Perubahan Paradigma Objek Sengketa Tata Usaha Negara Yang Diperluas Berdasarkan UU PERATUN Dan UU AP
on
PERUBAHAN PARADIGMA OBJEK SENGKETA TATA USAHA NEGARA YANG DIPERLUAS BERDASARKAN
UU PERATUN DAN UU AP
I Gede Ngurah Prahmandita Adiwinata, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
I Putu Rasmadi Arsha Putra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
DOI : KW.2021.v10.i12.p03
ABSTRAK
Penelitian mempunyai tujuan menelaah apakah rumusan Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan tepat jika dituangkan pada ketentuan peralihan dan bagaimana perubahan paradigma perluasan objek sengketa TUN yang terdapat dalam UU PTUN dan UU AP. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yang mengumpulkan bahan hukum primer serta sekunder. Penelitian ini mempergunakan pendekatan perundang-undangan dan menganalisis terdapatnya konflik norma lalu dihubungkan ke pendekatan konseptual, dan penelitian ini mempergunakan sifat penelitian deskriptif yang digunakan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang ada dan dilakukan dengan akurat dan jelas berdasarkan fakta-fakta yang ada, serta mempergunakan teknik analisis kualitatif penulisan dengan cara narasi lalu terbentuk suatu simpulan. Hasil menunjukan ketentuan peralihan tersebut tidak dapat dibenarkan sebab sudah mencakup revisi dengan cara diam-diam terhadap aturan pada Pasal 1 angka 9 Perubahan II UU PTUN serta adanya perubahan paradigma perluasan objek sengketa TUN sesuai UU PTUN serta UU AP. Perluasannya yaitu terdapat pada objek sengketa TUN yaitu khususnya pada unsur-unsur dari Keputusan TUN yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 9 UU PTUN jo. Pasal 87 UU AP. Yang dimana Undang-Undang tersebut sebaiknya di revisi agar lebih jelas lagi dalam memberikan pemaknaan dalam Keputusan TUN khususnya pada unsur-unsurnya.
Kata kunci: Peradilan Tata Usaha Negara, Perubahan Paradigma, Objek Sengketa TUN
ABSTRACT
The research aims to examine the whether of Article 87 of the Government Administrration Law is appropriate if it is stated in the transitional provisions and how paradigm shift in the expansion of the object of the State Administrative Court dispute contained in the Administrative Court Law and the AP Law. This study uses a normative juridical method, which collects primary and secondary legal materials. This study uses a statutory approach and analyzes the existence of a conflict of norms and then is connected to a conceptual approach, and this study uses the nature of descriptive research that is used to describe the existing factors and is carried out accurately and clearly based on the existing facts, and uses techniques qualitative analysis of writing by means of narration and then formed a conclusion. The results show that the transitional provision cannot be justified because it includes a secret revision of the rules in Article 1 point 9 Amandement II of the Administrative Court Law as well as paradigm shift in the expansion of the object of state administration disputes in accordance with the Administrative Court Law and the AP Law. The expansion is found in the object of the State Administrative Court dispute, namely specifically the elements of the State Administration Decree which are described in Article 1 point 9 of the Administrative Court Law jo. Article 87 of the AP Law. Which is where the Law should be revised so that it is even clearer in providing meaning in the TUN Decision, especially on its elements.
Keyword: State Administrative Court, Paradigm Change, Object of State Administrative Dispute.
Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan TUN) dibentuk sesuai dasar UU Nomor 5 Tahun 1986 (lalu disingkat UU PTUN) yang dimana sudah direvisi menjadi UU No. 9 Tahun 2004 (selanjutnya disingkat Perubahan I UU PTUN) dan dirubah kembali sebagai UU Nomor 51 Tahun 2009 (selanjutnya disingkat Perubahan II UU PTUN). Dalam konsideran Undang-Undang tersebut menguraikan ide pokok pembentukan Peradilan TUN yaitu melakukan fungsi kontrol hukum secara utuh terhadap administrasi pemerintahan karena dalam pelaksanannya terdapat potensi terjadinya permasalahan kepentingan, ketidakharmonisan, atau konflik diantara Badan ataupun Pejabat TUN dengan warga negara yang dapat memperlambat laju pembangunan nasional. Oleh karena itu, sengketa dapat diartikan sebagai sengketa TUN. Adapun sengketa TUN merupakan sengketa hukum publik sehingga putusannya berlaku bagi siapapun, bukan hanya para pihak yang bersengketa.1
Peradilan TUN merupakan peradilan yang diciptakan sebagai tempat untuk penyelesaian konflik atau permasalahan antara masyarakat dengan pemerintah, apabila pemerintah dalam melakukan suatu tindakan terdapat melakukan perbuatan yang menyimpang terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) ataupun perilaku yang menyimpang dari ketentuan undang-undang, jadi Peradilan TUN yang memiliki kewenangan untuk itu.2 Tujuan terbentuknya Peradilan TUN (Peradilan Administrasi Negara), antara lain :
-
1. Mengamati penerapan kewenangan Pejabat TUN (sebagai
penyelenggara kekuasaan eksekutif), supaya pemerintah tak melaksanakan hal-hal yang bisa membebani masyarakat. Yang dimana berarti Peradilan TUN adalah kendali yuridis bagi penyelenggaraan kewenangan pemerintah;
-
2. Memecahkan permasalahan atau konflik antara masyarakat dengan pemerintah, yaitu konflik yang terjadi akibat dari perbuatan-perbuatan pemerintah yang dirasa menyimpang dari hak warga negara atau masyarakatnya;
-
3. Sebagai satu dari banyak fasilitas untuk tercapainya pemerintahan yang efisien, bersih, berkompeten, dan dapat membawa hasil yang berguna (efektif), serta selalu menjalankan tugasnya dengan berdasar pada hukum yang ada. Atau dalam arti lain dapat diartikan bahwasanya Peradilan TUN ini bisa menjadi salah satu tempat agar tercapainya pemerintahan yang baik di Indonesia.3
-
1 Silalahi, Devi Melissa. “Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Terhadap Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Ditinjau Dari Perluasan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan”. Jurnal Komunikasi Hukum (JKI) Universitas Pendidikan Ganesha 6, No. 1 (2020) : 5063.
-
2 Kesuma, Diani. “Dinamika Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara Setelah Hadirnya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan No. 30 Tahun 2014”. SELISIK 2, No. 3 (2016) : 5865.
-
3 Wijaya, Endra. Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: LHI, 2011), h. 3.
Tujuan dibentuknya Peradilan TUN tersebut tertera pada UU PTUN itu sendiri, yaitu dapat dilihat dibagian “menimbang” dalam konsideran. Hal tersebut diaplikasikan lewat Pasal 53 ayat (1) UU PTUN yang mengatur yakni “Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan TUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.” Sesuai pada pemaparan tersebut, artinya tujuan didirikannya Peradilan TUN adalah untuk menyeimbangkan tingkatan dan menjaga kejelasan hukum bagi warga negara atau masyarakat. Selain itu, pembentukan Peradilan TUN mampu juga diarahkan menjadi satu dari sekian penerapan dari negara demokratis yaitu melakukan saling mengontrol antara Lembaga-lembaga negara atau dengan nama lain check and balances. Dengan check and balances, otoritas negara dapat dikendalikan, diberi batasan, serta diatur oleh pihak penyelenggara negara yang ada pada suatu posisi dalam kelembagaan negara mampu dihentikan serta diselesaikan secara sangat baik.4
Bertumpu pada Pasal 1 angka 10 Perubahan II UU PTUN mengatur yakni, “Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” UU PTUN merupakan sumber hukum materiil dari hukum TUN serta sumber hukum formil pada hukum acara Peradilan TUN. Pasal 1 hingga Pasal 52 yaitu yang mengontrol terkait hukum TUN atau dapat disebut juga sebagai Hukum materiil dan sedangkan pada Pasal 53 hingga Pasal 145 yang membahas hukum acara peradilan TUN atau dapat disebut juga sebagai hukum formil.5
Tak hanya itu, apabila melihat ketentuan Pasal 1 angka 9 UU PTUN mengatur yakni, “Keputusan TUN merupakan sebuah ketetapan tekstual yang dicetuskan oleh Pejabat/Badan TUN, memuat perilaku hukum tata usaha negara atas dasar undang-undang yang diterapkan saat ini, sifatnya individual, konkrit, serta final, dan menciptakan dampak hukum untuk individu maupun badan hukum perdata.” Maksudnya adalah wewenang menangani konflik atau sengketa TUN, wewenang tersebut sebatas penanganan sengketa TUN, muncul sebab diterbitkannya Keputusan TUN.6 Keputusan TUN yang diterbitkan pemerintah digunakan menjadi objek sengketa TUN. Diterbitkannya Keputusan TUN berarti akan mengikat
kepada orang yang dituju. Suatu ketetapan tekstual yang bersifat konkrit, individual, serta final menjadi ciri khas Unsur Keputusan TUN. Yang dimana artinya, Keputusan TUN yang telah diterbitkan, tertuju pada individu tanpa perlu adanya kesepakatan lagi. Tetapi apabila Keputusan TUN tersebut telah merugikan pihak terkait, maka hal tersebut dapat digugat ke pengadilan TUN. Tak ada pasal yang memaparkan secara spesifik terkait objek dari sengketa TUN, tetapi jika diasumsikan, objek sengketa TUN ialah Keputusan TUN yang dijelaskan di Pasal 1 angka 9 UU PTUN. Inilah yang menjadi objek sengketa TUN sebelum diundangkanya UU No. 30 Tahun 2014 terkait Administrasi Pemerintahan.7
Seiring berjalannya waktu lahirlah UU Nomor 30 Tahun 2014 mengenai Administrasi Pemerintahan (yang kemudian dinamakan UU AP). Didalam ketentuan itu terjadi perluasan objek sengketa TUN. Pada Pasal 1 angka 7 UU AP menjelaskan mengenai Keputusan TUN yang mengatur “Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.” Disebutkan adanya pelebaran arti dari objek sengketa TUN sebab pada Pasal 87 UU AP elemen-elemen objek sengketa TUN semakin melebar jika dibandingkan Keputusan TUN dimana tertuang pada UU PTUN. Unsur putusan TUN huruf (a) Pasal 87 UU AP melengkapi “tindakan faktual” didalamnya. Yang dimana tindakan factual yaitu perbuatan pemerintah yang tak mempunyai akibat dimata hukum. Berbeda halnya dengan tindakan pemerintah pada Hukum Administrasi Negara yaitu perbuatan yang mempunyai akibat hukum. Hal ini dapat memicu pertanyaan, sebenarnya tindakan pemerintah yang bagaimana yang dimaksudkan. Tak jarang tindakan factual disalahartikan sebagai perilaku hukum, yang dipersamakan dengan onrehmatige overheidsdaad.
Penulis mendapatkan satu atau dua penelitian yang memuat tema yang sama contohnya pada penelitian yang dilakukan oleh Ketut Cindy Priyanka Sari dan Zakki Adlhiyati, pada tahun 2020, dengan judul “ Perluasan Objek Pengadilan Tata Usaha Negara Melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ”, yang membahas mengenai adanya perubahan atau perluasan Keputusan TUN sebelum diundangkannya UU AP dan setelah diundangkannya UU AP. Selain itu penulis menemukan penelitian dari Bambang Heriyanto, tahun 2018, dengan topik “Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara Berdasarkan Paradigma UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan”, yang membahas mengenai perubahan dan perluasan kompetensi absolut sebuah PTUN, baik sebelum ataupun setelah disahkannya UU No. 30 Tahun 2014 terkait Administrasi Pemerintahan. Jika dibandingkan dengan penelitian ini terlihat perbedaan bahasan yang dikaji oleh dua penelitian sebelumnya dengan penelitian ini, dimana penelitian ini menitik beratkan pada pengkajian cara pandang terkait dengan perluasan objek sengketa akibat dikeluarkannya UUAP, sehingga dirasa sangat penting membahas
permasalahan ini karena perluasan objek sengketa akan berpengaruh terhadap permasalahan yg dapat diselesaikan ke PTUN dan memberikan kepastian hukum terhadap objek sengketa yang seharusnya diatur secara tegas dalam UU PTUN.
Atas dasar fenomena yang sudah dijelaskan, terdapat sejumlah masalah yang dapat dikaji, yaitu sebagai berikut:
-
1. Apakah tepat rumusan Pasal 87 UU Adminstrasi Pemerintahan dituangkan dalam ketentuan peralihan?
-
2. Bagaimana perubahan paradigma perluasan objek sengketa TUN dalam UU PTUN dan UU Administrasi Pemerintahan?
Penulisan jurnal ilmiah ini mempunyai tujuan menyampaikan pengetahuan tentang apakah rumusan Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan tepat jika dituangkan pada ketentuan peralihan dan juga mengenai bagaimana perubahan paradigma perluasan objek sengketa TUN dalam UU PTUN dan UU Administrasi Pemerintahan.
Penulisan jurnal ilmiah ini mempergunakan metode hukum normatif, dimana melaksanakan penelitian hukum menurut perspektif internal yang tujuan kajiannya adalah norma hukum.8 Karena menggunakan hukum normatif maka dalam jurnal ilmiah ini menggunakan metode statue approach atau pendekatan undang-undang yang melakukan pendekatan karena terdapat konflik norma antar Undang-Undang satu dan yang lainnya. Selain itu, penulisan jurnal ilmiah ini juga menggunakan conceptual approach atau pendekatan konseptual yaitu jenis pendekatan yang memberikan sudut pandang analisis penyelesaian permasalahan dalam penelitian hukum dilihat dari konsep-konsep hukum yang melatarbelakanginya.9 Yang dimana dalam kajian ini adalah UU Administrasi Pemerintahan dalam menjelaskan objek sengketa tata usaha negara dianggap kontradiktif dengan UU PTUN serta perlunya definisi atau pengertian yang jelas mengenai objek sengketa tata usaha negara. Penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum primer dan sekunder. Selain itu, analisis studi yang digunakan adalah teknik deskriptif yang menerangkan secara nyata tentang kondisi hukum, yaitu suatu Undang-Undang yang bersifat kontradiktif dengan Undang-Undang lainnya dengan mengutip pasal-pasal yang berhubungan dengan realitanya. Dan yang terakhir penelitian ini memanfaatkan teknik analisis kualitatif penulisan dengan cara narasi yang selanjutnya menghasilkan kesimpulan.
-
3. Hasil serta Pembahasan
-
3.1. Ketentuan Peralihan Dalam Rumusan Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan
-
Ketentuan pada Pasal 87 UU AP merupakan salah satu
ketentuan peralihan yang tercantum pada UU Administrasi Pemerintahan. Jika membandingkan dengan unsur-unsur pemaknaan Keputusan TUN yang tercantum pada Pasal 87 UU AP dimana unsur-unsur Keputusan TUN UU PTUN sangat jelas perbedaannya.
Konsep Keputusan TUN tertuang pada Pasal 1 angka 9 UU
PTUN mengatur bahwa, “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.” Mengacu terhadap aturan itu, elemen-elemen dari beschikking, yakni penetapan tekstual; dicetuskan oleh Pejabat TUN; memuat perilaku hukum TUN; atas dasar aturan undang-undang; dan yang sifatnya individual, konkrit, serta final; juga menciptakan dampak hukum atas individu maupun badan hukum perdata.10
Sedangkan elemen-elemen Keputusan TUN dalam UU AP
berbeda dengan UU PTUN. Unsur-unsur Keputusan TUN dalam UU AP yaitu sebagai berikut: penetapannya merupakan penetapan tekstual yang berisikan pula mengenai perilaku factual, putusan Pejabat dan atau Badan TUN pada wilayah yudikatif, legislative, eksekutif, juga para penyelenggara negara yang lain; sesuai aturan undang-undang dan AAUPB; sifatnya final dalam artian yang luas, dan suatu putusan yang mempunyai potensi menciptakan akibat hukum; serta keputusan yang dirasakan masyarakat.11
Rumusan norma yang tertera pada ketentuan peralihan yaitu
pada Pasal 87 UU AP telah mengalami perubahan secara diam-diam atas ketentuan yang tertuang pada norma Pasal 1 angka 9 UU PTUN. Perubahan tersebut tak dapat dianggap benar seperti dengan Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pada angka 135 mengatur: Rumusan yang terdapat di ketentuan peralihan tak mengandung revisi tersembunyi terhadap aturan UU yang lainnya. Perubahan tersebut seharusnya dilaksanakan melalui penciptaan batas definisi atau pemaknaan baru pada Ketentuan Umum Peraturan Perundang-Undangan ataupun dilaksanakan melalui penerbitan UU perubahan.
Keputusan TUN berkaitan dengan kapabilitas kekal peradilan
TUN dimana tak lain adalah domain dari hukum acara peradilan TUN yang wajib tertera pada materi muatan berbeda, tak boleh diselipkan pada
UU, salah satunya UU materiil. Sebaiknya kompetensi absolut peradilan TUN diatur dengan UU. Adanya perubahan di Pasal 1 angka 9 Perubahan II UU PTUN tidak sejalan dengan amanah atau ketentuan pada Pasal 24A ayat (5) UUD 1945. Sebaiknya peraturan selanjutnya diatur “dengan UU” (bij de wet), tidak melalui cara menyelipkan “dalam undang-undang” (in de wet).12
Oleh karena itu, dalam pengaturan kompetensi yang tercantum pada UU AP bertentangan dengan UUD 1945. Norma lebih rendah tak dapat bertolak belakang dengan norma lebih tinggi. Peraturan kapabilitas kekal peradilan TUN dimana diatur pada UU AP bertolak belakang dari urutan norma hukum. Menurut Hans Kelsen yang mengemukakan teori Stufentheorie yang dimana artinya terbentuknya norma hukum yang posisinya lebih dibawah, harus berdasar pada norma hukum yang lain dengan posisi lebih tinggi.
-
3.2. Perubahan paradigma perluasan objek sengketa tata usaha negara dalam UU PTUN dan UU Administrasi Pemerintahan
Berdasarkan pada penjelasan Pasal 47 UU PTUN dan Pasal 1 angka 10 Perubahan II UU PTUN yang menjadi objek sengketa TUN adalah Keputusan TUN. Yang dimana artinya sengketa TUN lahir dari adanya Keputusan TUN, sehingga Keputusan TUN merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) bagi timbulnya sengketa TUN.13 Selain itu juga, mengenai objek sengketa TUN ialah Keputusan TUN sesuai Pasal 1 angka 9 Perubahan II UU PTUN serta putusan fiktif negatif atas dasar Pasal 3 UU PTUN.14
Pengabsahan UU Nomor 30 Tahun 2014 mengenai Administrasi Pemerintahan (UU AP), sudah mengantarkan evolusi cukup besar pada objek sengketa TUN. UU AP memberikan pemaknaan yang lebih luas terhadap Keputusan TUN, hal ini dapat dilihat dari rumusan definisi tentang Keputusan TUN. UU PTUN pada Pasal 1 angka 9 yang mengatur, “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.” Aturan yang ada pada Pasal 1 angka 9 itu mengandung elemen sebagai berikut:15 suatu ketetapan tekstual; dicetuskan oleh pejabat/badan TUN; memuat perilaku hukum TUN; dan yang sifatnya individual, konkrit, serta
final; serta yang menciptakan dampak hukum untuk orang ataupun badan hukum perdata.
Kemudian penjelasan mengenai Keputusan TUN diubah secara diam-diam dalam Pasal 1 angka 7 UU AP memaparkan, “Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan TUN atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintah dalam pelaksanaan pemerintahan.” Pasal 1 angka 7 UU AP tersebut menyatakan elemen-elemen berikut ini :16 penetapan tekstual; yang dicetuskan Pejabat/Badan Pemerintahan; pada pelaksanaan pemerintahan.
Berbeda halnya dalam Pasal 87 UU AP, pemaknaan mengenai keputusan semakin diperluas karena dalam Pasal 1 angka 7 UU AP tak kunjung memberi pernyataan konkrit terkait syarat putusan.17 Pasal 87 UU AP mengatur menjelaskan, “Dengan diberlakukannya UU ini, Keputusan Tata Usaha Negara seperti yang termuat pada UU Nomor 5 Tahun 1986 mengenai Peradilan Tata Usaha Negara yang diubah menjadi UU Nomor 9 Tahun 2004 serta UU Nomor 51 Tahun 2009 wajib diartikan sebagai :
-
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
-
b. keputusan badan dan/atau Pejabat Tata Usaha negara di lingkungan eksekutif, legislative, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
-
c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
-
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
-
e. keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
-
f. keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.”
Jika melihat pada yang disebutkan di Pasal 87 diatas, terdapat perluasan elemen-elemen Keputusan TUN sebagi objek sengketa atas TUN. Pada poin a, d, e, serta f sangat terlihat perbedaan mengenai Keputusan TUN UU PTUN dengan UU Administrasi Pemerintahan.
Di dalam poin a, terdapat perluasan yaitu terdapat tindakan faktual dalam Keputusan TUN. Tindakan faktual sejujurnya tidak merupakan hal yang baru dalam sengketa TUN. Ada beberapa contoh kasus perilaku faktual yang telah disebut sengketa TUN, salah satu contoh yaitu kasus pembongkaran. Tetapi peradilan manakah yang mempunyai kewenangan mengadili sengketa, itulah yang sering menjadi titik permasalahannya. Ada yang menyebutkan bahwa perilaku faktual sebagai onrechtmatige overheidsdaad maka wajib diadili pada peradilan umum mempergunakan ketentuan pada Pasal 1365 KUHPerdata, selain itu terdapat pula yang menyebutkan, perilaku faktual tersebut akan selalu pada wilayah peradilan TUN tetapi wajib memenuhi kriteria disebutkan menjadi objek sengketa TUN. Semua kembali pada pemerintah itu sendiri melanggar di bagian hukum public ataukah hukum privat. Tetapi hingga
kini tak ada penjelasaan lagi terhadap pemisahan kapabilitas peradilan mana yang mempunyai kewenangan.
Lalu melihat poin d mengatur mengenai “bersifat final dalam arti luas”. Berbeda halnya dengan penjelasan pada UU PTUN yang mengatur bahwa “bersifat konkret, individual, dan final”. Berdasarkan pada penjelasan yang diatur pada Pasal 87 huruf d, yang diartikan secara final dengan artian luas yaitu meliputi putusan yang diambil alih oleh Atasan Pejabat yang berwenang. Di dalam prakteknya sangat jarang ditemui putusan yang diambil alih oleh atasan pejabat yang disahkan menjadi objek sengketa, namun seringkali ditemukan putusan berantai yang dimana putusan masih ditangani serta sebagai kriteria supaya dikeluarkannya putusan lainnya.
Selanjutnya UU PTUN menyatakan keputusan TUN “menimbulkan akibat hukum”, tak sama dengan elemen keputusan TUN menurut Pasal 87 poin e UU AP yang “berpotensi menimbulkan akibat hukum” telah masuk elemen Keputusan TUN. Arti dari “berpotensi” yaitu belum memicu dampak hukum. Ini menyebabkan ketidakjelasan hukum, sebab tak tentu benar apakah hal tersebut akan betul terlaksana ataukah tidak. Selanjutnya, akan ada sejumlah warga negara yang melayangkan gugatan ke pemerintah dikarenakan putusan pemerintah “berpotensi” memunculkan dampak hukum. Secara situasional, putusan boleh saja mempunyai potensi menciptakan dampak hukum yang mampu dipastikan dampak hukumnya. Jadi, legalstandingnya masih dapat diterima Hakim sepanjang akibat yang diciptakan mampu dibuktikan dengan ilmiah.
Ketentuan pada Pasal 87 UU AP merupakan salah satu ketentuan peralihan yang terdapat pada UU AP, ketentuan peralihan tersebut tidak dapat dibenarkan sebab sudah mencakup revisi dengan cara diam-diam terhadap aturan pada Pasal 1 angka 9 Perubahan II UU PTUN. Secara normatif perubahannya sebaiknya dilaksanakan dengan cara menerbitkan Batasan definisi atau pemaknaan baru pada undang-undang ataupun dapat dilaksanakan melalui penerbitan undang-undang hasil revisi. Makna yang tertuang di dalam Pasal 1 Angka 9 UU PTUN seperti yang termuat pada Pasal 87 UU AP poin a, b, c, d, e, dan f terlihat berlebihan, makna serta tujuannya tak jelas, juga tak memuat landasan teoretis. Dengan berlakunya UU AP sebaiknya pembentuk UU dan Presiden RI merevisi UU PTUN dan merevisi UU Administrasi Pemerintahan agar disesuaikan dengan konsep-konsep dasar Hukum Administrasi. Keputusan TUN merupakan objek sengketa TUN yang tertuang pada UU PTUN. Tahun 2014 diterbitkan UU Nomor 30 Tahun 2014 mengenai Administrasi Pemerintahan. Dengan diterbitkannya UU AP tersebut, terjadi perluasan termasuk perluasan pada objek sengketa TUN. Berdasarkan aturan peralihan pada Pasal 87 UU AP diatur mengenai perluasan objek sengketa TUN serta dari aspek unsur-unsurnya tak sama seperti apa yang diatur pada UU PTUN serta revisinya. Perluasan objek sengketa TUN yaitu : ketetapan tekstual yang meliputi perilaku factual, putusan Pejabat/Badan TUN pada wilayah yudikatif, legislative, eksekutif, serta penyelenggara negara yang lain; sesuai aturan perundang-undangan serta AUPB; sifatnya final dalam artian yang lebih luas; putusan yang mempunyai potensi menciptakan dampak hukum; dan/atau putusan yang diberlakukan untuk warga negara. Adanya perubahan
tersebut nantinya akan menyebabkan kebingungan di masyarakat dalam menggugat pemerintah atau pejabat TUN jika terjadi suatu konflik dalam mengeluarkan suatu keputusan, masyarakat harus berkaca atau berdasar pada Undang-Undang yang mana karena adanya perbedaan unsur antara UU AP dan UU PTUN. Selain itu, bagi badan atau Pejabat TUN sebaiknya agar lebih cermat dalam menerbitkan suatu keputusan dan disesuaikan dengan UU yang berlaku. Supaya nantinya tidak terjadi kerugian bagi warga negara atau masyarakat serta tidak ada gugatan atas keputusan yang telah diterbitkan kemudian berakibat dibatalkan hanya karena tidak sesuai dengan UU yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Diantha, I. Made Pasek and MS SH. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. Prenada Media, 2016.
Wijaya, Endra. Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: LHI, 2011.
Yanto, Nur. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015.
Jurnal Ilmiah
Aji, Ersyta Fellista dan Sugiarti, Laga. “Pemaknaan Perluasan Objek Sengketa Tata Usaha Negara Yang Meliputi Tindakan Faktual”. Justiciabelen 1, No. 1 (2018).
Effendi, Maftuh. “Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia Suatu Pemikiran Ke Arah Perluasan Kompetensi Pasca Amandemen Kedua Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara”. Jurnal Hukum dan Peradilan 3, No. 1 (2014).
Heriyanto, Bambang. “Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara Berdasarkan Paradigma UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan”. Pakuan Law Review IV, No. 1 (2018).
Kesuma, Diani. “Dinamika Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara Setelah Hadirnya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan No. 30 Tahun 2014”. SELISIK 2, No. 3 (2016).
Permana, Arya Made Bayu dan Putra, I Putu Rasmadi Arsha. “Kewenangan Paralegal Dalam Pemberian Bantuan Hukum : Perspektif Putusan Mahkamah Agung No. 22/P/HUM/2018”. Jurnal Kertha Wicara 10, No. 1 (2020) : 17-28. DOI : KW.2020.v10.i01.p02
Prahastapa, Anita Marlin Restu, Leonard, Lapon Tukan, dan Putriyanti, Ayu. “Friksi Kewenangan PTUN Dalam Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Berkaitan Dengan Objek Sengketa Tata Usaha Negara (TUN)”. DIPONEGORO LAW JOURNAL 6, No. 2 (2017).
Putra, Muhamad Amin. “Keputusan Tata Usaha Negara Yang Berpotensi Menimbulkan Akibat Hukum Sebagai Objek Sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara”. Jurnal Hukum PTUN 3, No. 1 (2020).
Ridwan, Heryansyah, Despan dan Pratiwi, Dian Kus. “Perluasan Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan”. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 25, No. 2 (2018) : 339-358. DOI: 10.20885/iustum.vol25.iss2.art7
Riza, Dola. “Keputusan Tata Usaha Negara Menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan”. Jurnal Bina Mulia Hukum 3, No. 1 (2018) : 85-102. DOI:
10.23920/jbmh.v3n1.7 Halaman Publikasi:
http://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/jbmh/issue/archive
Riza, Dola. “Hakikat KTUN Menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Vs Undang-Undang Administrasi Pemerintahan”. SOUMATERA LAW REVIEW 2, No. 2 (2019).
Sari, Ketut Cindy Priyanka dan Adlhiyati, Zakki. “Perluasan Objek Pengadilan Tata Usaha Negara Melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan”. Jurnal Verstek 8, No. 3 (2020).
Silalahi, Devi Melissa. “Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Terhadap Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Ditinjau Dari Perluasan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan”. Jurnal Komunikasi Hukum (JKI) Universitas Pendidikan Ganesha 6, No. 1 (2020).
Wahyunadi, Yodi Martono. “Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan”. Jurnal Hukum dan Peradilan 5, No. 1 (2016).
Yanti, Herma dan Masriyani. “Implementasi Perluasan Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 di Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi”. Legalitas XI, No. 2 (2019).
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601.
Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.12 Tahun 2021, hlm. 989-999
Discussion and feedback