PERANAN NOTARIS UNTUK MENIADAKAN

DISKRIMINASI DALAM MEMBUAT KETERANGAN WARIS

I Wayan Bagus Perana Sanjaya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gede Yusa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i12.p07

ABSTRAK

Studi ini bertujuan untuk mengetahui diskriminasi dalam membuat keterangan waris serta peranan Notaris untuk meniadakan diskriminasi dalam membuat keterangan waris. Studi ini menerapkan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konseptual, serta pendekatan historis. Hasil studi menunjukkan bahwa diskriminasi dalam membuat keterangan waris ditemukan dalam dua peraturan yang didalamnya masih menerapkan penggolongan penduduk warisan pemerintah kolonial Belanda. Kemudian membuat akta pihak dapat menjadi jalan yang ditempuh oleh Notaris untuk berperan serta berupaya meniadakan diskriminasi dalam membuat keterangan waris. Apabila ditinjau mengenai kewenangan Notaris untuk membuat keterangan waris berbentuk berupa akta pihak, maka dapatlah diketahui bahwa sesungguhnya hal tersebut merupakan bentuk dari perwujudan kewenangan atribusi. Artinya bahwa wewenang yang melekat pada suatu jabatan merupakan pemberian dari suatu peraturan hukum. Atas dasar itulah sesungguhnya Notaris memperoleh kewenangannya yakni dari ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUJN. Maka Notaris dibenarkan apabila mereka kemudian mengeluarkan keterangan waris bagi seluruh WNI tanpa memandang golongan seperti pada saat masa pemerintahan kolonial Belanda.

Kata Kunci: Diskriminasi, Keterangan waris, Peranan Notaris

ABSTRACT

This study aims to determine discrimination in making inheritance statements and the role of a Notary in eliminating discrimination in making inheritance statements. This study applies a normative legal research method with statutory approach, conceptual approach, and historical approach. The results show that discrimination in making inheritance statements is found in two regulations which is still apply the classification of residents inherited from the Dutch colonial government. Also making a party deed can be a path taken by a Notary to participate in efforts to eliminate discrimination in making inheritance statements. the authority of a Notary to make an inheritance statement in the form of a party deed is a form of embodiment of attribution authority. This means that the authority attached to a position is a gift from a legal regulation. So notaries actually obtain their authority, namely from the provisions of Article 15 paragraph (1) of the UUJN. Then Notaries are justified if they then issue inheritance statements for all Indonesian citizens.

Key Words: Discrimination, Inheritance information, The role of a Notary.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.   Latar Belakang Masalah

Satu dari sekian banyak materi keperdataan yang mengandung kompleksitas problematika ialah hukum waris. Peristiwa pewarisan muncul ketika seseorang (pewaris) meninggal dunia, seperti yang termaktub didalam pasal 830 KUH Perdata

yang menyebut "Pewarisan hanya berlangsung karena kematian". Dari sanalah bermunculan hal-hal yang perlu diselesaikan; mengenai siapa saja ahli warisnya, pembagian warisan beserta pengurusannya, ada tidaknya wasiat sepeninggalan pewaris, dan perihal lainnya.1

Meski Pasal 833 KUH Perdata tegas menyatakan "Sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang si yang meninggal...", akan tetapi tetap diperlukan kelengkapan lainnya sebagai pembutian seorang ahli waris bahwa memang sebenarnya ialah ahli waris atas harta pewaris.2 Hal ini dikarenakan harta waris sepeninggalan pewaris masih harus menempuh sederet prosedur peralihan yang kompleks, seringkali diperuntukan untuk peralihan benda tidak bergerak, sebidang tanah misalnya.3 Dalam kerangka inilah kemudian lahir keterangan waris, sebuah dokumen yang mengandung pembuktian seseorang sebagai ahli waris yang hingga kini masih eksis.4 Inilah bentuk tindakan hukum yang sampai saat ini masih mutlak harus dilakukan, yakni membuat keterangan waris.5

Apabila hendak membahas mengenai keterangan waris, maka tidak mungkin tanpa membahas rangkaian perkembangan pengaturan surat keterangan waris utamanya di Indonesia, atau disebut pula Hindia Belanda pada saat pemerintahan kolonial. Diawali pada tahun 1842, terbit sebuah peraturan bertajuk "Wet Op Het Notarisambt" di Belanda yang merupakan peraturan yang mengatur jabatan Notaris di Belanda. Didalam Pasal 38 ayat (2) peraturan tersebut menyebut bahwa kewajiban membuat minuta oleh terhadap akta-akta yang ia buat, itu tidak berlaku apabila Notaris membuat keterangan waris, dalam arti sederhana berarti pembuatan minuta dikecualikan dalam hal membuat keterangan waris.6

Peraturan tersebut pada saat itu oleh karena asas konkordansi masih eksis maka praktis berlaku pula pada daerah jajahan/pendudukan Belanda, yang berarti berlaku pula di Indonesia. Peraturan tersebut kemudian diformulasikan kembali dalam bentuk peraturan baru, yang bertajuk "Reglement op het Notarisambt" (peraturan jabatan Notaris). Formulasi anyar ini mulai berlaku sejak tanggal 11 Januari 1860. Namun yang perlu menjadi perhatian ialah keterangan waris yang tertera pada peraturan jabatan Notaris Belanda ternyata tidak tercantum atau dimasukkan dalam peraturan jabatan Notaris yang berlaku di Indonesia. Itu berarti sebenarnya tidak ada kewenangan Notaris di Indonesia untuk membuat keterangan waris sebagaimana di Belanda. Sekalipun 53 tahun kemudian di Belanda diundangkan peraturan bernama "de wet op de Grootbroeken der Nationale schuld" atau dikenal pula dengan nama buku perutangan nasional yang ternyata mengatur keterangan waris dengan jauh lebih

terperinci, namun ternyata peraturan ini tidak pernah berlaku di Indonesia. Sebab peraturan ini tidak pernah sama sekali diformulasikan dalam bentuk peraturan yang berlaku di daerah jajahan (reglements). Sehingga dapat diketahui bahwa sesungguhnya tidak ada dasar hukum yang pasti dan jelas yang memberi Notaris di Indonesia kewenangan untuk mengeluarkan keterangan waris. Namun demikian, Notaris di Indonesia yang sebagaian besar merupakan orang Belanda tetap mempraktekkan pembuatan surat keterangan waris seperti di Negeri Belanda.7

Selain itu adapula peraturan mengenai Balai Harta Peninggalan yang diundangkan saat pemerintah kolonial Hindia Belanda masih berkuasa yang didalamnya juga turut mengatur tentang pembuatan keterangan waris, yakni "Institutie voor de Weeskamer in Indonesie" dan "Vereeniging toteene regeling van het de kassen der weeskamers en der boedelkamers en regelling van het beheer dier Kassen".8 Oleh karena ketika masa itu masih terdapat penggolongan penduduk di Indonesia, maka keberlakuan peraturan ini khusus diperuntukan kepada mereka golongan Eropa (yang disamakan), mereka yang merupakan penduduk keturunan Cina juga timur asing lainnya (kecuali keturunan Arab yang beragama Islam). Semua ketentuan itu berlaku berbarengan dengan keberlakuan hukum waris islam bagi golongan pribumi yang beragama Islam. Sedangkan bagi pribumi yang bukan beragam islam berlaku hukum adatnya kecuali menundukan diri kepada hukum perdata Barat.

Hingga pada akhirnya Indonesia merdeka, hadirlah kembali pengaturan baru yang mengatur hal serupa dan masih berlaku hingga saat ini. Pengaturan pertama yakni Surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jendral Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster), tanggal 20 Desember 1969, Nomor Dpt/12/63/12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan. Kemudian pengaturan kedua ialah Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan-peraturan itu menentukan pembuatan keterangan waris yang tata caranya berbeda antar etnis/golongan satu dengan lainnya. Bagi mereka golongan Pribumi keterangan warisnya dibuat dibawah tangan dan harus dikuatkan oleh lurah atau kepala desa dan camat setempat. Kemudian bagi mereka yang merupakan golongan Tionghoa keterangan warisnya dibuat oleh Notaris. Terakhir untuk mereka yang termasuk golongan Timur Asing keterangan warisnya dibuat oleh Balai Harta Peninggalan. Walaupun kedua peraturan tersebut merupakan pengaturan di bidang pertanahan, nyatanya kedua peraturan ini justru dijadikan acuan dalam melakukan perbuatan hukum lainnya dalam lingkup pewarisan. Ini dikarenakan ketiadaan aturan yang memang khusus mengatur mengenai keterangan waris saja.9 Maka praktis, terdapat 3 instansi untuk 3 golongan penduduk dalam pembuatan keterangan waris, yang berarti tidak ada bedanya dengan produk hukum kolonial Hindia Belanda.

Peraturan-Peraturan tersebut diatas jelas menimbulkan problematika hukum. Sejatinya, hak keperdataan merupakan Hak Asasi Manusia dalam aspek hukum, sehingga berarti tidak dapat dihalangi dalam pengimplementasiannya baik oleh manusia lainnya atau negara dengan lembaganya. Hak Keperdataan ini berakhir/hilang ketika seseorang meninggal dunia atau dalam kasus tertentu haknya hilang oleh sebab suatu putusan pengadilan. Maka jelas, membuktikan diri sebagai ahli waris adalah satu dari sekian banyak bentuk implementasi hak keperdataan itu.10

Kehadiran keterangan waris yang eksis selama ini sebenarnya ialah hasil serapan dari "Verklaring Van Erfrecht". Jika ditelusuri artinya, maka verklaring dapat berarti menerangkan/menjelaskan dan dapat pula berarti menyatakan. Dalam pengartian sebagai menerangkan ialah arti umum berbentuk pemberian keterangan atau informasi dan tidak mengikat secara hukum. Apabila diartikan sebagai menyatakan, maka bentuknya berupa pernyataan konkrit dan memiliki kekuatan hukum berupa keterikatan untuk yang menerima pernyataan. Apabila ada pihak yang berkeberatan maka wajib hukumnya untuk membuktikan secara hukum juga.11 Itulah arti sesungguhnya "Verklaring Van Erfrecht", yakni berupa pernyataan. Maka jika ada yang berkeberatan dipersilahkan untuk mengajukan keberatan kepada yang membuat pernyataan.

Tentu timbul kerancuan baik dari segi bahasa ataupun secara subtansial ketika ahli waris menggunakan haknya untuk membuat keterangan warisnya namun malah dibuat dibawah tangan dan disahkan oleh pemangku jabatan didaerahnya. Menjadi rancu dan sesat logika pula apabila keterangan waris yang merupakan hak keperdataan seseorang untuk membuktikannya justru dikeluarkan oleh suatu Badan Tata Usaha Negara. Sebab baik kepala desa, lurah, camat, dan Balai Harta Peninggalan merupakan pejabat dan/atau Badan Tata Usaha Negara yang tunduk pada Hukum Administrasi, sedangkan keterangan waris merupakan produk keperdataan.12

Memang benar adanya bahwa pejabat atau Badan Tata Usaha Negara diberikan kewenangan oleh UU No. 5 Tahun 1986 untuk menerbitkan suatu surat atau ketetapan. Akan tetapi yang perlu dicermati kemudian ialah dalam tiap surat dan ketetapan itu didalamnya mengandung kehendak atau "wilsvorming" dari yang menerbitkannya. Apabila muncul permasalahan mengenai keterangan waris yang diterbitkan oleh pejabat atau badan Tata Usaha Negara, maka praktis akan terjadi ketidakpastian mengenai pengadilan mana yang dapat menyelesaikannya. Jika pengadilan negeri maka itu berarti obyek sengketanya ialah pada ahli waris itu sendiri, sedangkan jika pengadilan tata usaha negara maka obyeknya adalah surat atau ketetapan yang dikeluarkan. Sedangkan keterangan waris sendiri merupakan bukti keperdataan, maka merupakan kesalahkaprahan apabila bukti keperdataan malah dikeluarkan oleh pejabat atau lembaga tata usaha negara yang ranahnya pada hukum administrasi.13 Selain itu keterangan apapun bentuknya hanya boleh dikeluarkan oleh pejabat atau badan yang berwewenang dan diatur dalam undang-undang. Sedangkan baik dalam pengaturan mengenai BHP dan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

pemerintahan daerah tidak ditemukan pengaturan yang memberi wewenang BHP, kepala desa, lurah, dan camat untuk membenarkan atau mengeluarkan keterangan waris.14

Problematika lainnya dan yang paling krusial ialah mengenai penggolongan penduduk dalam kedua peraturan tersebut. Bahwa masih dicantumkannya penggolongan peduduk Indonesia berdasarkan etnis tidak lebih dari politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang mirisnya dlianjutkan hingga kini. Ini menjadi dasar terjadinya diskriminasi dalam membuat keterangan waris. Padahal diskriminasi seperti itu halnya harus telah berakhir berbarengan dengan kemerdekaan Indonesia dan lebih jelasnya semenjak keberlakuan Undang-Undang kewarganegaraan yang baru.15

Problematika hukum tersebut harus sesegera mungkin diakhiri. Upaya yang dapat ditempuh ialah dengan menunjuk satu lembaga atau pejabat yang diberi kewenangan dengan undang-undang untuk mengeluarkan keterangan waris tentunya tanpa melupakan esensinya sebagai hak keperdataan, dan dengan begitu maka kelak akan tercapai unifikasi hukum. Pejabat publik yang berpeluang untuk itu salah satunya ialah Notaris. Dalam hal pembuktian ahli waris Notaris memiliki kewenangan untuk menuangkannya dalam bentuk akta otentik. Hal inilah yang menjadi pembahasan dalam jurnal ilmiah ini, yakni mengenai peranan Notaris untuk meniadakan diskriminasi dalam membuat keterangan waris. Berkaitan dengan orisinalitas, berdasarkan penelusuran penulis, belum ditemukan adanya karya publikasi dengan judul maupun rumusan masalah yang sama.

Atas dasar latar belakang tersebut, maka penulis hendak menulis mengenai "Peranan Notaris untuk Meniadakan Diskriminasi dalam membuat keterangan waris".

  • 1.2.    Rumusan Masalah

    • 1.2.1.    Bagaimana pengaturan yang menimbulkan diskriminasi dalam membuat keterangan waris?

    • 1.2.2.    Bagaimana peranan Notaris untuk meniadakan diskriminasi dalam membuat keterangan waris?

  • 1.3.    Tujuan

Tujuan penyusunan jurnal ilmiah ini untuk mengetahui diskriminasi dalam membuat keterangan waris serta peranan Notaris untuk meniadakan diskriminasi dalam membuat keterangan waris.

  • II.    Metode Penelitian

Jurnal ilmiah dengan judul “Peranan Notaris untuk Meniadakan Diskriminasi dalam Membuat Keterangan Waris” merupakan jurnal ilmiah yang menerapkan tipe penelitian hukum normatif. Tipe penelitian Hukum Normatif ialah sebuah metode penelitian hukum yang bertujuan untuk mengungkap kondisi norma yang tidak jelas atau "vague van normen", norma yang berkonflik atau "geschijld van normen", dan ketiadaan norma atau "leetmen van normen".16 Penelitian normatif identik dengan studi kepustakaan yang merupakan pengkajian terhadap data sekunder berupa bahan-

bahan hukum. Oleh karenanya penulis hendak menggunakan bahan hukum primer serta bahan hukum sekunder dalam penyusunan jurnal ilmiah ini. Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan seputar keterangan waris dan Notaris, sedangkan bahan hukum sekunder yang akan digunakan meliputi buku maupun jurnal ilmiah serupa. Adapun penulis juga menerapkan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) sebagai konsekuensi dari bentuk penelitian normatif. Disamping itu penulis juga menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach) demi tercapainya hasil penulisan yang dapat diterapkan untuk menemukan konsep pemaknaan daripada peranan Notaris untuk meniadakan diskriminasi dalam membuat keterangan waris. Kemudian penulis juga menggunakan pendekatan historis dalam kerangka penelusuran perkembangan peraturan hukum mengenai pembuatan bukti sebagai ahli waris demi mendapatkan pemahaman yang kronologis.17 Lebih lanjut, analisis bahan hukum (dari sudut sifatnya) yang digunakan dalam jurnal ilmiah ini ialah bersifat deskriptif. Penelaahan deskriptif berarti memaparkan segenap data yang diperoleh dengan akurasi dan verifikasi penuh daripada bahan-bahan hukum untuk kemudian disusun konklusinya baik dengan pemahaman logika deduktif maupun induktif. Sehingga nantinya, diperoleh pemahaman yang utuh mengenai peranan Notaris untuk meniadakan diskriminasi dalam membuat keterangan waris.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Pengaturan yang Menimbulkan Diskriminasi dalam Membuat Keterangan Waris

Ketika Bangsa Indonesia belum mencapai kemerdekaannya, tepatnya saat pemerintah kolonial Belanda masih berkuasa, penduduk di Indonesia digolongkan berdasarkan asal/etnis. Hal tersebut termaktub dalam sebuah peraturan saat itu yang bertajuk "Indische Staatsregeling". Pada Pasal 163 peraturan tersebut disebutkan bahwa penduduk di Indonesia dibagi menjadi 3 golongan. Golongan pertama yakni Golongan Eropa, meliputi orang-orang Belanda, orang-orang dari negara di benua Eropa lainya, dan meliputi pula orang-orang Jepang. Golongan kedua disebut sebagai Golongan Timur Asing yang lagi-lagi dibedakan menjadi 2 (dua) kategori. Kategori pertama yakni mereka keturunan Tionghoa, dan kategori kedua meliputi mereka yang bukan keterangan tionghoa, seperti orang-orang Arab, Pakistan, Muangthai, India, dan mereka lainnya yang berasal dari Timur Asing. Terakhir ialah Golongan Bumi Putera, yaitu orang-orang pribumi (Indonesia asli).18

Adanya penggolongan penduduk ini jelas merupakan bentuk diskriminasi sebagai bagian dari politik hukum pemerintah kolonial yang bertujuan untuk memecah belah Bangsa Indonesia, sekaligus hanya untuk memudahkan pemerintah kolonial dalam melakukan tindakan hukum. Oleh karena pemerintah kolonial Belanda tidak lagi berkuasa di Indonesia, seharusnya penggolongan penduduk di Indonesia telah dihapuskan, sebab tidak lagi merepresentasikan perikehidupan bernegara Bangsa Indonesia yang telah bersatu tanpa memandang etnis. Hal tersebut secara filosofis dengan mudah dipahami dengan meninjau makna dari semboyan yang dituliskan pada lambang Negara Indonesia, yakni "Bhinneka Tunggal Ika", dengan

pengartiannya ialah meski ada banyak perbedaan, tetapi tetap satu jua. Pun juga dapat dipahami dari ayat 3 Pancasila, dasar negara Indonesia, yakni "Persatuan Indonesia". Berangkat dari dasar filosofis tersebut, maka tentu segala bentuk keberagaman di Indonesia harus dipandang sebagai satu kesatuan bangsa yang utuh tanpa membeda-bedakan/mendiskriminasikan, apalagi dalam peraturan-peraturan hukum.19

Meski hadir berbagai upaya dan gagasan yang bertujuan untuk memangkas sebanyak-banyak peraturan hukum yang mengandung nilai diskriminasi didalamnya, nyatanya masih ditemukan peraturan dan tindakan diskriminasi yang didasari oleh penggolongan penduduk era pemerintah kolonial Belanda, ialah dalam membuat keterangan waris. Terdapat 2 peraturan yang mengatur mengenai pembuatan bukti sebagai ahli waris, yakni Surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jendral Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster), tanggal 20 Desember 1969, Nomor Dpt/12/63/12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan; dan Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi "surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa: 1) wasiat dari pewaris, atau 2) putusan Pengadilan, atau 3) penetapan hakim/Ketua Pengadilan, atau 4) bagi warganegara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia; bagi warganegara Indonesia keturunan Tionghoa: akta keterangan hak mewaris dari Notaris, bagi warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya: surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan".

Peraturan-Peraturan itu mendasari diskriminasi dalam membuat keterangan waris yang hingga detik ini berlaku dan dijalankan walau sesungguhnya sudah tidak benar lagi. Dikatakan mendasari diskriminasi dikarenakan masih diterapkannya penggolongan penduduk warisan pemerintah kolonial Belanda yang jelas bertentangan dengan perikehidupan Bangsa Indonesia. Selain itu, peraturan-peraturan itu juga bertentangan dengan berbagai peraturan hukum lainnya, sehingga meninmbulkan konflik norma (geschijld van normen). Setidaknya ada 2 peraturan yang bertentangan dengan peraturan-peraturan mengenai bukti sebagai ahli waris tersebut. Peraturan pertama yakni UUD NRI Tahun 1945. Dalam Pasal 26 ayat (2) disebut bahwa "Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia". Kemudian Pasal 27 ayat (1) berbunyi "segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Terakhir Pasal 28D ayat (1) berbunyi "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum". 20

Sebagaimana disebutkan pada Pasal 26 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, hanya dikenal dua istilah apabila menyangkut penduduk, yakni Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA). Tidak ada sama sekali disebutkan atau dijelaskan bahwa WNI digolongkan kembali berdasarkan etnis seperti yang diatur

dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling. Maka praktis pengaturan mengenai pembuatan keterangan waris yang sampai sekarang ini masih berlaku ialah berlawanan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, akibatnya menimbulkan kondisi norma yang berkonflik antar satu norma dengan norma lainnya (geschijld van normen). Selain itu, kedua pengaturan mengenai bukti sebagai ahli waris tersebut juga jelas menimbulkan diskriminasi, sebab masih membeda-bedakan WNI berdasarkan golongan/etnis. Padahal Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dengan tegas menyatakan "segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya" dan "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum"

Peraturan lainnya yang patut pula menjadi perhatian ialah UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Disebutkan dalam Pasal 2 bahwa "Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara". Serta bagian penjelasan Pasal 2 tersebut juga menjelaskan "Yang dimaksud dengan 'orang-orang bangsa Indonesia asli' adalah orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri". Maka sudah sangat jelas bahwa bangsa Indonesia tidak berdasarkan suku atau etnis, tapi didasarkan pada kenyataan bahwa mereka telah menjadi WNI sejak lahir di bumi Indonesia dan tidak pernah berkewarganegaraan lain atas kehendak mereka sendiri. Dalam penjelasan umum UU tersebut juga disebutkan bahwa asas yang menjadi dasar penyusunan UU tersebut ialah asas nondiskriminatif yang dalam penjelasannya diartikan sebagai "asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender". Maka aturan hukum yang didalamnya masih mengandung nilai diskriminasi dengan membeda-bedakan perlakuan berdasarkan etnis seseorang seharusnya sudah tidak berlaku, mengikat, atau dilanggengkan. Peraturan ini diperkuat lagi dengan ditetapkannya UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang pada intinya mengatur tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis utamanya dalam bidang hukum.

Apabila meninjau dasar asas yang dapat digunakan untuk menentukan peraturan mana yang seharusnya berlaku, maka menurut asas "lex superior derogat legi inferiori" yang berarti peraturan hukum yang stratanya lebih tinggi meniadakan keberlakuan peraturan hukum yang stratanya lebih rendah, dan asas "lex posterior derogat legi priori" yang berarti peraturan hukum yang baru meniadakan keberlakuan peraturan hukum yang terdahulu, maka peraturan mengenai pembuatan keterangan waris tersebut harusnya tidak lagi berlaku atau keberlakuannya dikesampingkan. Namun hingga kini, peraturan mengenai keterangan waris tersebut masih berlaku dan diterapkan, padahal jelas telah menimbulkan diskriminasi dan konflik norma dalam kerangka hukum nasional Indonesia.21 Dibutuhkan upaya-upaya visioner untuk sesegera mungkin mengakhiri diskriminasi ini dan menuntaskan permasalahan konflik norma yang terjadi oleh karenanya.

  • 3.2.    Peranan Notaris untuk Meniadakan Diskriminasi dalam Membuat Keterangan Waris

Upaya-Upaya visioner untuk sesegera mungkin mengakhiri diskriminasi dan menuntaskan permasalahan konflik norma yang terjadi oleh karena pengaturan pembuatan bukti sebagai ahli waris, salah satunya ialah dengan menunjuk pejabat atau lembaga yang menurut undang-undang berwenang membuat keterangan waris, sehingga tercapai unifikasi hukum. Dalam kerangka pemikiran tersebut, pejabat publik yang berpeluang untuk itu salah satunya ialah Notaris. Hal tersebut dikarenakan Notaris memiliki wewenang yang dapat menjadi dasar untuk turut serta berperan meniadakan diskriminasi dalam membuat keterangan waris. Notaris memiliki segenap kewenangan yang tercantum dalam Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 (UUJN).

Ayat (1) berbunyi "Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang". Kemudian ayat (2) berbunyi "Notaris berwenang pula : a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat akta risalah lelang". Terakhir, ayat (3) berbunyi "Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan".

Kewenangan Notaris untuk membuat "akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan" mengandung arti terdapat dua bentuk akta, yakni akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) Notaris atau akta pihak (partij akten) dan akta yang dibuat oleh (door) Notaris atau akta relaas (ambtelijke akten). Hal tersebut juga dijelaskan dalam pasal 1 angka 7 UUJN yang berbunyi "Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini". Maka Notaris hanya berwenang mengeluarkan dua jenis akta tersebut, dengan kata lain Pasal 15 ayat (1) UUJN sudah tidak lagi memperkenankan Notaris untuk mengeluarkan akta diluar kedua jenis akta yang penulis paparkan sebelumnya.22

Sangat jelas bahwa tidak ada diatur mengenai notaris hanya berwenang untuk membuat keterangan waris untuk WNI keturunan Tionghoa saja. Akan tetapi bukan

berarti Notaris kemudian tidak memiliki wewenang untuk membuat bukti sebagai ahli waris hanya untuk WNI golongan Tionghoa saja. Sebab Pasal 15 ayat (3) UUJN mengatur bahwa "Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan". Mengingat bahwa peraturan menteri tersebut sampai saat ini masih eksis sebagai hukum positif yang berlaku, maka itu berarti peraturan menteri tersebut masih memberi wewenang Notaris untuk membuat bukti sebagai ahli waris hanya untuk WNI golongan Tionghoa saja.23

Namun yang perlu dicermati ialah, apabila Notaris membuat bukti sebagai ahli waris hanya untuk WNI golongan Tionghoa saja sebagaimana diatur dalam peraturan menteri tersebut, itu berarti Notaris turut serta melanggengkan diskriminasi yang merupakan produk warisan pemerintah kolonial untuk memecah belah Bangsa Indonesia.24 Penulis berpandangan bahwa oleh karena unifikasi hukum mengenai wewenang Notaris sudah ada/eksis dengan ditetapkannya UUJN, maka bukan sebuah kesalahan ataupun bentuk dari penyalahgunaan wewenang (ultra vires) apabila Notaris kemudian membuat keterangan waris untuk seluruh WNI tanpa membeda-bedakan atau memperhatikan etnis seperti halnya dalam peraturan menteri tersebut diatas.

Ada beberapa hal yang mendasari argumentasi tersebut. Pertama, bahwa keberlakuan UUJN dapat mengenyampingkan keberlakuan peraturan menteri tersebut, mengingat asas "lex superior derogat legi inferiori" dan asas "lex posterior derogat legi priori" yang artinya telah penulis paparkan sebelumnya.25 Asas tersebut digunakan oleh karena peraturan menteri tersebut jelas menimbulkan konflik norma apabila disandingkan dengan UUJN, selain dengan dua peraturan hukum lainnya yang telah penulis paparkan pada pembahasan pertama. Selain itu, wewenang Notaris untuk membuat bukti sebagai ahli waris hanya untuk WNI golongan Tionghoa saja secara normatif tidak bersumber dari aturan hukum yang konkrit, melainkan hanya berdasar pada kebiasaan-kebiasaan Notaris Belanda di Indonesia sebagaimana telah penulis telah paparkan pada latar belakang penulisan ini.26 Kedua, oleh karena UUJN sebagai unifikasi hukum Kenotariatan kini merupakan rule of law dalam hal pengaturan wewenang Notaris, maka sepanjang UUJN tidak mengatur bahwa wewenang Notaris untuk membuat akta otentik hanya untuk WNI etnis/golongan tertentu, itu berarti membuat akta keterangan waris bagi seluruh WNI tanpa memandang etnis/golongannya tidak bertentangan dengan UUJN baik secara filosofis, sosiologis, maupun secara yuridis.27

Lebih jauh lagi, kewenangan Notaris untuk membuat keterangan waris bagi seluruh WNI sesungguhnya merupakan bentuk dari perwujudan kewenangan atribusi. Artinya bahwa wewenang yang melekat pada suatu jabatan merupakan pemberian dari suatu peraturan hukum. Atas dasar itulah sesungguhnya Notaris memperoleh kewenangannya yakni dari ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUJN. Maka

Notaris dibenarkan apabila mereka kemudian mengeluarkan keterangan waris bagi seluruh WNI tanpa memandang golongan seperti pada saat masa pemerintahan kolonial Belanda. Disi lain, makna lain yang dapat dipahami ialah Apabila wewenang Notaris akan ditambah atau dibatasi, maka tentu harus dalam bentuk UU, karena wewenang Notaris sekarang ini diatur dalam bentuk UU yaitu UUJN.28

Atas dasar tersebut, sesungguhnya jika hingga kini dalam praktiknya masih ditemukan Notaris yang membuat akta keterangan waris bagi WNI golongan Tionghoa saja atau malah membuat surat keterangan waris (bukan akta) hanya berdasarkan format dan kebiasaan lama, maka hal tersebut jelas merupakan kesalahkaprahan dan bentuk pelanggengan diskriminasi yang harus diakhiri sesegera mungkin. Notaris berperan krusial untuk mengatasi permasalahan tersebut apabila ditinjau dari wewenangnya yang diatur dalam UUJN. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam membuat keterangan waris, sesuai dengan kewenangan Notaris maka dapat ditempuh dengan membuat akta pihak berupa akta pernyataan sebagai ahli waris untuk seluruh WNI dalam bingkai Pasal 15 ayat (1), Pasal 38 dan Pasal 58 ayat (2) UUJN serta Pasal 1868 KUHPerdata.

Membuat akta pihak dapat menjadi jalan yang ditempuh oleh Notaris untuk berperan serta berupaya meniadakan diskriminasi dalam membuat keterangan waris, karena ketika Notaris membuat akta pihak ia hanya menuangkan segenap pernyataan/kehendak/keinginan para pihak yang menghadap didepannya agar pernyataan mereka para pihak tersebut termaktub dalam sebuah akta otentik. Sangat berbeda tentu dengan karakteristik akta relaas yang didalamnya tidak ada bagian komparisi para pihak, yang mengandung arti tidak adanya penghadap. Sebab dalam akta relaas Notaris lah yang membuat keterangan dengan berdasar pada surat-surat yang disodorkan kepadanya. Maka secara esensi terdapat unsur kehendak (wilsvorming) dari si Notaris sehingga bentuknya berupa pernyataan (verklairing) darinya, bukan pernyataan para pihak sebagaimana dalam akta pihak. Maka kemudian apabila keterangan waris dibuat dalam bentuk akta relaas, akan menimbulkan ketidakpastian hukum apabila bukti sebagai ahli waris tersebut nantinya dipermasalahkan. Sebab untuk membuktikan siapa merupakan ahli waris dari siapa ialah hak keperdataan dari yang bersangkutan, sehingga tidak diperlukan campur tangan atau adanya kehendak pihak lain untuk membuat bukti waris. Dengan begitu tanggung jawab sepenuhnya mutlak pada yang bersangkutan, bukan kepada Notaris, sebab Notaris dengan akta pihak hanya memformulasikan pernyataan para pihak menjadi sebuah akta otentik. Bukan berarti Notaris menyalin permintaan atau kehendak para pihak, tapi kehendak ahli waris yang dicantumkan didalam akta pernyataan sebagai ahli waris, sehingga mustahil dan tidak diperkenankan Notaris membuat akta tersebut tanpa ada permintaan dari ahli waris bersangkutan. Ini sesuai dengan sifat keterangan waris tersebut yang merupakan hak keperdataan seseorang.29

Bahwa yang terpenting ialah akta pernyataan sebagai ahli waris tersebut praktis menghilangkan diskriminasi, karena tidak hanya untuk golongan atau lapisan masyarakat tertentu, tapi untuk seluruh WNI tanpa melihat lagi etnis/ras/suku dan agama. Apalagi kini sungguh sulit untuk menentukan seseorang dari golongan apa dan harus tunduk kepada hukum yang mana, sebab telah terjadi percampuran etnis melalui perkawinan. Dalam hal ini Notaris dapat menjadi garda terdepan dalam

pembaharuan hukum, khususnya menghilangkan sekat-sekat perbedaan yang berkaitan dengan pembuktian sebagai ahli waris.30

Sehingga jika semua Notaris dapat melakukan tindakan berdasarkan wewenangnya dalam pembuatan akta pernyataan sebagai ahli waris, maka Notaris telah berperan untuk menghilangkan diskriminasi sekaligus berperan untuk menghentikan pluralisme hukum, khususnya dalam pembuktian sebagai ahli waris. Pun juga berarti telah menciptakan unifikasi hukum, sebab mengembalikan jiwa atau ruh Notaris yang sesuai dengan kehendak UUJN dan membantu masyarakat untuk memperoleh pembuktian sebagai ahli waris dengan dasar hukum yang jelas dan pasti.

  • IV.    Kesimpulan

Diskriminasi dalam membuat keterangan waris ditemukan pada dua peraturan. Peraturan pertama yakni Surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jendral Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster), tanggal 20 Desember 1969, Nomor Dpt/12/63/12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan. Kemudian peraturan kedua ialah Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan-peraturan itu menentukan pembuatan keterangan waris yang tata caranya berbeda antar etnis/golongan satu dengan lainnya. Sehingga pengaturan tersebut berlawanan dengan Pasal 26 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan oleh karenanya terjadi konflik norma. Membuat akta pihak dapat menjadi jalan yang ditempuh oleh Notaris untuk berperan serta berupaya meniadakan diskriminasi dalam membuat keterangan waris. Apabila ditinjau mengenai kewenangan Notaris untuk membuat keterangan waris berbentuk berupa akta pihak, maka dapatlah diketahui bahwa sesungguhnya hal tersebut merupakan bentuk dari perwujudan kewenangan atribusi. Artinya bahwa wewenang yang melekat pada suatu jabatan merupakan pemberian dari suatu peraturan hukum. Atas dasar itulah sesungguhnya Notaris memperoleh kewenangannya yakni dari ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUJN. Maka Notaris dibenarkan apabila mereka kemudian mengeluarkan keterangan waris bagi seluruh WNI tanpa memandang golongan seperti pada saat masa pemerintahan kolonial Belanda.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adjie, Habib. Bernas-bernas pemikiran di bidang Notaris dan PPAT (Bandung, Mandar Maju, 2012), 65.

Adjie, Habib. Pembuktian sebagai ahli waris dengan akta Notaris: dalam bentuk akta keterangan ahli waris (Bandung, Mandar Maju, 2008), 18.

Harun, Arsyad. Tinjauan Yuridis Surat Keterangan Hak Waris bagi Penduduk di Indonesia (Bandung, Refika Aditama, 2010), 74.

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2012), 65.

Jurnal Ilmiah

Ahmad, Aden, Sihabudin, dan Siti Hamidah. "Kepastian Hukum Surat Keterangan Waris Sebagai Persyaratan Pengambilan Jaminan Kredit." Jurnal Selat 6, no. 1 (2018): 19-36.

Akbar, Muhammad Fadhilillah. "Kewenangan Balai Harta Peninggalan atas Penerbitan Surat Keterangan Waris." Jurnal Education and Development 9, No. 3 (2021): 142147.

Hartono, Michael. "Kepastian Hukum Bagi Warga Negara Indonesia Dalam Pembuatan Surat Keterangan Waris." Jatiswara 34, no. 2 (2019): 93-102.

Irfani, Nurfaqih. "Asas Lex Superior, Lex Specialis, Dan Lex Pesterior: Pemaknaan, Problematika, Dan Penggunaannya Dalam Penalaran Dan Argumentasi Hukum." Jurnal Legislasi Indonesia 17, no. 3 (2020): 305-325.

Lailawati, Fadill Dwi. "Penghapusan diskriminasi, ras, dan etnis pembuatan surat keterangan waris yang didasarkan pada penggolongan penduduk." Jurnal Cakrawala Hukum 11, no. 1 (2020): 12-20.

Laili, Fardatul. "Analisis Pembuatan Surat Keterangan Waris yang Didasarkan pada Penggolongan Penduduk (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis)." Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum 1, no.1 (2015): 1-22.

Natasha, Shela. "Penghapusan Pasal Penggolongan Penduduk Dan Aturan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Unifikasi Hukum." Majalah Hukum Nasional 48, no. 2 (2018): 167-192.

Nurdia, Fita Candra, Soediro Soediro, and Astika Nurul Hidayah. "Juridical Analysis on the Elimination of Race and Ethnic Discrimination in Making Certificate of Inheritance in the Land Registration Process Based on Law Number 40 of 2008." UMPurwokerto Law Review 2, no. 2 (2021): 76-89.

Pramana, R. M. "Analisis Yuridis Surat Keterangan Waris sebagai Alat Bukti." Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum 1, no. 1 (2014): 1-27.

Priyanti, Sari Elsye. "Tinjauan Yuridis Penggolongan Penduduk Dalam Pembuatan Keterangan Waris." Lex Renaissance 4, no. 1 (2019): 226-247.

Sari, Ni Ketut Novita, Sihabudin, dan Bambang Sutjito. "Penggolongan Penduduk Dalam Pembuatan Surat Keterangan Waris Terkait Pendaftaran Hak Atas Tanah Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia." RechtIdee 14, No. 2 (2019): 207-223.

Suwigjo, Nany Pudjianti. "Rekonstruksi Kebijakan Tugas dan Kewenangan Lembaga Pembuat Surat Keterangan Waris Berbasis Nilai Keadilan." (PhD diss., Universitas Islam Sultan Agung Semarang, 2020).

Yoga, I. Gusti Kade Prabawa Maha, Afifah Kusumadara, and Endang Sri Kawuryan. "Kewenangan Notaris dalam Pembuatan Surat Keterangan Waris untuk Warga Negara Indonesia." Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 3, no. 2 (2018): 132-143.

Peraturan Perundang-Undangan

UUD NRI Tahun 1945.

UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432).

UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4634).

UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4919).

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jendral Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster), tanggal 20 Desember 1969, Nomor Dpt/12/63/12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan.

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.12 Tahun 2021, hlm. 1032-1045