PENGATURAN DAN PENGAWASAN HUKUM TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE
on
PENGATURAN DAN PENGAWASAN HUKUM
TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE
I Dewa Gede Surya Pradita, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Desak Putu Dewi Kasih, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI : KW.2021.v11.i01.p10
ABSTRAK
Perkembangan teknologi terutama perkembangan internet yang pesat di Indonesia menjadikan setiap orang memanfaatkannya dalam kegiatan bisnis serta transaksi menggunakan internet. Tetapi kehadiran jual beli online ini seringkali justru menyebabkan satu atau dua belah pihak baik penjual ataupun pembeli mengalami kerugian. Tujuan penulisan artikel ilmiah ini guna mencari tahu urgensi dilakukannya pengaturan pengawasan mengenai perlindungan hukum atas konsumen saat bertransaksi jual-beli online serta memberi kejelasan pihak yang berwenang untuk pelakukan pengawasan terhadap transaksi jual-beli dengan cara online. Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif. Adapun metode dalam pengumpulan data mempergunakan studi kepustakaan. Kesimpulan yang ditarik dalam penelitian ini, yaitu Proses transaksi bisnis elektronik (online) dapat berjalan selaras dan seimbangan melalui pengawasan yang tegas dalam penerapannya. Transaksi daring yang dilakukan antara pengusaha dan konsumennya harus memiliki maksud yang baik sejak awal. Untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan produk harus memenuhi SNI. Pengawasan perlindungan konsumen dilaksanakan bersama-sama oleh masyarakat, pemerintah, juga Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) melihat semakin beragamnya produk yang ditawarkan di pasar.
Kata Kunci: Transaksi online, Pengawasan, Perlindungan konsumen
ABSTRACT
The development of technology, especially the rapid development of the internet in Indonesia, makes everyone use it in business activities and transactions using the internet. But the presence of buying and selling online often actually causes one or two parties, both the seller and the buyer, to suffer losses. The purpose of writing this scientific article is to find the urgency of conducting supervisory arrangements regarding legal protection for consumers when online selling and buying and to provide clarity to the authorities to carry out supervision of selling and buying transactions online. This research includes normative legal research. The method of data collection using literature study. The conclusion drawn in this study is that the electronic (online) business transaction process can run in harmony and balance through strict supervision in its implementation. Online transactions between entrepreneurs and their consumers must have good intentions from the start. To prevent something unwanted, the product must meet SNI. Supervision of consumer protection is carried out jointly by the community, the government, as well as the Non-Governmental Consumer Protection Agency (LPKSM) seeing the increasing variety of products offered in the market.
Keywords: Online transactions, Supervision, Consumer protection
Teknologi informasi serta komunikasi menguasi aktifitas manusia di dunia. Pada zaman industri 4.0 teknologi informasi telah menjadi media utama dalam berkomunikasi maupun perekonomian. Dalam hal ini, teknologi informasi dipergunakan untuk memasarkan produk secara online1. Transaksi perdagangan melalui online memberikan keuntungan diantaranya transaksitidak dibutuhkan lagi tatap muka dan waktu yang diperlukan relatif singkat. Mekanisme ini menjadi sangat diminati baik oleh produsen, maupun konsumen. Tetapi, permasalahan wanprestasi sering terjadi antara penjual dan konsumen yang menyebabkan perselisihan berkepanjangan. Sebagai contoh, permasalahan transasksi online yang timbul adalah pembeli yang semestinya melakukan pembayaran atas produk yang dibeli tak kunjung melaksanakannya, serta penjual yang menawarkan produknya namun tak sama dengan spesifikasi yang disebutkan di awal. Krusialnya kasus hukum pada aspek jual-beli melalui daring terutama dalam memberi perlindungan pada kedua belah pihak yang bertransaksi dalam bentuk perjanjian atau kontrak hukum elektronik.2 Konsumen sering dirugikan dengan teknis dagang yang dipergunakan oleh pengusaha, dimana konsumen dijadikan sebagai sapi perah dalam memperoleh laba tinggi. Dengan adanya strategi marketing promosi, penjualan, serta perjanjian standar yang sepihak, menjadikan konsumen hanya memiliki kedudukan tawar yang sangat lemah bahkan berpotensi pada tindak penipuan yang merugikan konsumen dengan motif menjual produk.3
Sehubungan maraknya transkasi perdagangan melalui online, telah banyak kajian yang dilakukan. Menurut A. Hormaini dkk perlindungan konsumen dan pelaku usaha yang mana ketentuan yang dipakai memberi perlindungan atas hak konsumen yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen, akan tetapi ketentuan itu tidak mengatur secara khusus terhadap hak konsumen ketika melakukan kegiatan jual-beli online. Konsumen merasa kesulitan saat mengajukan gugatan kepada pelaku usaha jual beli online melalui UUPK sebab penjual online tersebut sangat sulit untuk diketahui keberadaannya.4
Menurut Rifan Adi dkk kedudukan tawar konsumen cukup lemah dan berimbas pada mudah terlanggarnya hak-hak konsumen saat bertransaksi secara daring. Perlindungan hukum erat kaitannya dengan perlindungan atas hak konsumen dan dijelaskan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 terkait Perlindungan Konsumen. Tak hanya itu, perlindungan hukum atas konsumen juga dapat berupa penyelesaian sengketa konsumen, proses menyelesaikan sengketa konsumen akan dilaksanakan jika terdapat pelanggaran hak konsumen saat bertransaksi secara daring. Penyelesaian sengketa konsumen mampu dilaksanakan dengan proses pengadilan ataupun di luar pengadilan.5
Hari Narayana serta Gde Rudy menyebutkan, perlindungan hukum atas konsumen ketika bertransaksi secara daring telah diatur di UU Perlindungan Konsumen, yang dimana pada UU itu menjelaskan mengenai hak yang seharusnya diperoleh konsumen saat bertransaksi online agar tidak terjadi kerugian dan penyimpangan. Itikad baik juga sangat penting agar pihak-pihak yang melakukan perjanjian memiliki kewajiban tidak berbuat yang sifatnya merugikan salah satu pihak. Apabila Konsumen dirugikan atas transaksi online yang dilakukan pada media facebook tersebut yang dikarenakan pelaku usaha, maka konsumen dapat melakukan upaya hukum agar mendapat keadilan. UUPK dalam hal ini telah menyediakan alternative untuk penyelesaian permasalahan tersebut yakni lewat pengadilan (litigasi) ataupun luar pengadilan (non litigasi). Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa tersebut tertuang pada pasal 45 ayat (1) serta ayat (2) UUPK.6
Menurut Cindy A, Indonesia sudah mempunyai dasar hukum terkait perlindungan konsumen, tiada lain Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 terkait Perlindungan Konsumen, serta aturan lain yang membahas hal yang serupa. Apabila saat pelaksanaan transaksi jual-beli ternyata ada masalah anatara konsumen dan juga pengusaha, maka boleh mempergunakan UUPK sebagai acuan konsumen dalam memperjuangkan haknya, hal yang sama berlaku pula bagi pengusaha. Pada dasarnya, aturan mengenai perlindungan konsumen harus terus dikembangkan, dilakukan
revisi, juga tambahan atas substansi aturannya karena merupakan sarana hukum baik bagi pelaku usaha ataupun konsumen demi melindungi kedua belah pihak.7
Pada proses transaksi online hubungan hukum juga tetap dilaksanakan, yang dituangkan dalam bentuk perjanjian atau kontrak elektronik. Proses perjajian ini diatur menurut Pasal 1 Ayat (18) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 yang selanjutnya diperbaharui menjadi Undang-Undang nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dengan kata lain dalam kegiatan transaski jual beli online sebenarnya telah menimbulkan perjanjian yang terikat hukum antara penjual dengan konsumen.
Dari kajian sebelumnya terdapat hal yang belum dikaji yaitu terkait dengan keamanan bertransaksi, misalnya informasi pribadi, nomor kartu kredit, password, dan data lainnya. Selanjutnya pada penulisan jurnal ini secara fokus dikaji terhadap pengaturan pengawasan terhadap transaksi jual-beli online. Adapun tujuan pembahasan ini ialah guna memberikan kejelasan pengaturan pengawasan serta pihak yang berwenang untuk pelakukan pengawasan bagi pelaku bisnis yang mempergunakan Online System sehingga tidak ada yang dirugikan secara hukum.
Sesuai fenomena tersebut, rumusan permasalahan yang diangkat yakni :
-
1. Bagaimana pengaturan pengawasan atas transaksi jual beli secara online?
-
2. Siapa yang berwenang untuk pelakukan pengawasan atas transaksi jual-beli online?
Atas dasar rumusan permasalahan, tujuan dari penulisan ini yakni :
-
1. Memberi kejelasan pengaturan pengawasan atas transaksi jual beli secara online.
-
2. Memberikan kejelasan pihak yang berwenang untuk pelakukan pengawasan atas transaksi jual-beli online.
Penelitian ini berjenis hukum normatif yang berdasarkan pendekatan perundang-undangan serta konseptual menjadi metode yang dipilih dalam penyelesaian masalah pada penelitian ini. Penelitian hukum normative ialah
penelitian yang menempatkan hukum menjadi suatu bangunan sistem norma.8 Selanjutnya untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang dikaji maka dikumpulkan bahan hukum, entah bahan hukum primer ataupun sekunder dikuatkan oleh penelitian pustaka. Cara bahan hukum dikumpulkan yaitu mencatat, mengutip, meringkas kemudian melakukan review terhadap dokumen baik berbentuk undang-undang, kajian pustaka, majalah, surat kabar, serta pasal lain terkait objek penelitian. Bahan hukum tersebut kemudian disajikan deskriptif yakni berbetuk lisan maupun tulisan dari informan yang terkait dengan kasus yang ada hingga mampu ditarik simpulan.
Perkembangan teknologi informasi serta system transaksi elektronik yang sangat pesat, membawa industri teknologi informasi sebagai industri unggulan. Tak hanya memudahkan dan mengefisiensi waktu, teknologi informasi juga memberi kelebihan lain seperti memperluas jangkauan pasar hingga ke berbagai negara di belahan dunia tanpa mengirimkan sumber daya untuk melakukan pemasaran ke negara tersebut. Teknologi yang dimanfaatkan secara baik, mampu memberi kemudahan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, tak terkecuali dalam hal bisnis. Didalam melaksanakan jual beli barang dan jasa termasuk jual-beli online (e-commerce). Definisi E-commerce yaitu bentuk kegiatan perdagangan memanfaatkan media daring maupun elektronik.9 Setidaknya terdapat dua belah pihak yang saling terhubung, antara lain penyedia barang/penyelenggara jasa yang disebut pelaku usaha, selanjutnya pihak pemakai barang ataupun jasa yaitu konsumen.10 Didalam melakukan suatu transaksi jual beli online, para pihak pada dasarnya telah membuat suatu perjanjian sebelum melakukan transaksi online. Perjanjian merupakan kegiatan
saat beberapa pihak sepakat melakukan suatu hal yang telah disepakatai yang dimana dari perjanjian tersebut menimbulkan perikatan antara pihak-pihak.11
Sesuai sumber hukum yang ada di Indonesia, kontrak jual-beli wajib berisikan klausul-klausul dalam bentuk kontrak yang jelas, tertulis, nyata, entah berbentuk akta asli ataupun akta di bawah tangan. Proses ini mampu memudahkan kegiatan kontrak jual-beli, sebab meliputi kewajiban serta hak para pelakunya. Pengaturan hukum transaski jual beli online diatur dalam beberapa aturan yaitu:
-
1. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi serta Transaksi Elektronik
-
2. Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Dalam perjanjian jual-beli, pelaku-pelaku terkait memiliki kewajiban serta hak yang tak sama, adapun kewajiban penjual yaitu:
-
1. Melakukan penyerahan hak millik atas barang yang dijual.
-
2. Berkewajiban mengurus kenikmatan tentram serta menanggung kerusakan yang tak terlihat (vrijwaring, warranty).
Hak penjual secara umum yakni:
-
1. Hak penentuan harga atas penjualan produk ke konsumen.
-
2. Hak memperoleh bayaran berdasarkan kesepakatan terkait keadaan serta nilai tukar produk yang dijual.
-
3. Hak mendapat perlindungan secara hukum atas tingkah laku konsumen yang mempunyai itikad baik. Hak membela diri dalam rangka menyelesaikan hukum sengketa konsumen
-
4. Hak memperoleh rehabilitasi nama baik jika tak terbukti dimata hukum kerugian konsumen tak disebabkan oleh produk yang dijualnya.
Untuk menjamin keamanan konsumen dalam melaksanakan transaksi online kita dapat mengacu pada UUPK yaitu pada Pasal 4 yang membahas hak konsumen. Hak konsumen yang terkandung pada Pasal 4 UUPK salah satunya yakni hak mendapat suatu data yang jelas terkait barang maupun jasa. Sehingga dalam transaksi online tidak terjadi kesalahpahaman antara pihak yang bersangkutan. Pasal ini juga mengatur mengenai ganti rugi atau pergantian barang karena ketidak sesuaian produk. 12 Dengan adanya UUPK tentunya dapat memberi perlindungan terhadap hak-hak konsumen dan dapat menekan segala bentuk kecurangan dari pelaku usaha yang tidak bertanggungjawab atas usahanya dalam transaksi online pada media facebook dan dapat memberi hukuman terhadap pelaku usaha yang melakukan kecurangan.13
Hak atas suatu barang tertentu berpindah sesuai kehendak pihak-pihak yang berangkutan pada sebuah kontrak yang dibuat, serta guna menentukan niat dari para pihak dengan melihat klausul-klausul kontrak tersebut. Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 2999 menyatakan hak konsumen yakni :
-
1. Hak atas keamanan, kenyamanan, serta keselamatan saat mengonsumsi produk ;
-
2. Hak menentukan produk serta memperoleh produk itu selaras dengan nilai tukar, keadaan, juga agunan yang disepakati.
Hak tersebut tentunya harus diseimbangkan dengan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh konsumen agar tidak semena-mena saat bertindak. Kewajiban dari seorang konsumen sesuai Pasal 5 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 antara lain :
-
1. Memahami atau melaksanakan petunjuk informasi serta cara-cara pemakaian produk semi keselamatan serta keamanan;
-
2. Mempunyai itikad baik saat membeli produk;
-
3. Melaksanakan pembayaran berdasarkan kesepakatan nilai tukar;
-
4. Patuh menjalankan prosedur penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen.
Konsumen berkewajiban memahami ataupun melaksanakan arahan penggunaan produk yang kadangkala diabaikan oleh konsumen. Umumnya, pengusaha sudah menuliskan petunjuk pemakaian dalam produknya. Adanya itikad baik adalah sesuatu yang perlu dimiliki pihak dalam menerapkan kontrak jual-beli. Pada umumnya, legalitas sebuah perjanjian terutama pada perjanjian jual-beli dengan cara elektronik merupakan peristiwa yuridis yang baru untuk hukum positif di Indonesia. Perlu kajian mendalam atas aspek hukum pembuktian pada khususnya.
Aktivitas transaksi bisnis elektronik (online) dapat berjalan selaras dan seimbang dengan diawasi secara ketat untuk pelaksanaannya. Fungsi pengawasan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan belum sepenuhnya jelas diatur tentang transaksi ecommerce. Fungsi pengawasan masih sekedar difokuskan pada pengusaha/pedagang secara umum dan bukan transaksi bisnis elektronik yang karakteristiknya tak sama dengan pengusaha tradisional. Para pengusaha e-commerce dianggap lebih memiliki kemudahan dalam hal perdagangan dan produk yang dijual cenderung memberikan promo yang lebih membuat tertarik pelanggan daripada pengusaha tradisional.
Adapun kekurangan fungsi pengawasan yaitu memberikan celah bagi beberapa pihak untuk melaksanakan kecurangan, misalnya saja dalam hal standarisasi SNI (Standar Nasional Indonesia). Tak sulit bagi pedagang untuk mengiming-imingi produk dengan harga murah sebab konsumen akan langsung membeli produk tersebut tanpa memastikan kualitas produk. Peluang ini dilihat oleh importir yang berniat tidak baik, e-commerce memberikan kemudahan bagi produk non-SNI untuk diterima di masyarakat. Pasal 100 ayat (3) Undang-Undang Perdagangan sudah mengatur tentang pokok-pokok pengawasan perdagangan tersebut.
Selaku pembina sector perdagangan, Menteri Perdagangan menyebutkan produk harus memenuhi persyaratan SNI, tidak peduli perdagangan tradisional ataupun perdagangan elektronik. Ketentuan pendaftaran, teknik pengujian, pengawasan, penghentian, juga penarikan barang dibahas di Pasal 2 ayat (1) Permendag No. 73/M-Dag/Per/9/2015. Kegiatan pendaftaran barang bertujuan mengenal keberadaan dan kelayakan produk tersebut demi memaksimalkan pemanfaarannya untuk pembeli saat produk telah didistribusikan.
Ketentuan perundang-undangan tersebut memperlihatkan secara jelas perhatian pemerintah pada perlindungan konsumen. Tindak kecurangan yang muncul mampu merugikan pembeli serta mempunyai potensi wanprestasi sebab tak dipenuhinya hak-hak yang seharusnya diperoleh pembeli melalui
transaksi eletronik. Mengenai informasi pengusaha harus didaftarkan seperti yang disebutkan dalam Pasal 65 Undang-Undang Perdagangan. Mengenai sertifikasi dijelaskan pada Pasal 41 Peraturan Pemerintah PSTE. Adapun kegiatan memberi sertifikat dilakukan dengan pemeriksaan terlebih dahulu, jika syarat sudah dipenuhi, maka akan diberikan sertifikat sebagai bukti pengusaha tersebut dapat menjalankan transaksi elektronik. Satu sari sekian hal krusial yang harus dipunyai oleh penjual dan pembeli ialah informasi diri atau identitas. Adapun perizinan usaha bagi pengusaha e-commerce dijelaskan di Pasal 15 Peraturan Pemerintah PMSE. Pada daftar prioritas pengawasan, yang dijelaskan hanya yang dikenakan sanksi administrative adalah pelaku usaha yang tak menjalankan proses perbaikan sesudah diberi surat peringatan secara tertulis untuk ketiga kalinya. Pemberian sanksi pertama yakni pemberian surat peringatan pada pedagang dan paling parah yakni pembekuan izin usaha, jadi pedagang tidak akan mampu mendistribusikan produknya.
Perlindungan hukum adalah perlindungan atas kepentingan seseorang yang mendapat perlindungan dari hukum. Perlindungan hukum ialah perbuatan hukum oleh pemerintah ke pelaku hukum atas dasar kewajiban serta hak yang dijalankan sesuai hukum positif yang berlaku dan muncul akibat sebuah hubungan hukum yang tiada lain merupakan ikatan antara pelaku hukum yang mempunyai relevansi hukum ataupun akibat hukum.
Sebenarnya perlindungan hukum untuk pihak-pihak pada transaksi online adalah sama, yakni dengan terdapatnya andil pemerintah dalam memberi perlindungan atas hak penjual dan pembeli saat proses jual-beli. Satu dari sekian bentuk andil pemerindah adalah dengan membuat ketentuan yang menjelaskan mengenai kewajiban serta hak masing-masing pihak. Pada transaksi perdagangan dengan cara daring, pihak-pihak melaksanakan korelasi hukum yang tertuang pada perjanjian secara daring pula. Perjanjian tersebut berisikan ketentuan serta keadaan yang wajib ditaati oleh pembeli, dimana isinya tentu tidak menekan pembeli serta harus mampu bertindak sebagai perlindungan hukum bagi pihak terkait. Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 mengenai Informasi serta Transaksi Elektronik menyebutkan :
“Pengadaan transasksi elektronik hanya boleh dilaksanakan pada cakupan publik maupun privat”.
Selanjutnya, Pasal 19 menyebutkan :
“Pihak yang menjalankan transaksi elektronik wajib mempergunakan sistem elektronik yang sudah disepakati”.
Maka, pratransaksi elektronik, pihak-pihak perlu melakukan kesepakatan tentang sistem elektronik yang nantinya dipergunakan dalam hal transaksi. Terkecuali jika ada ketentuan lain oleh pihak yang bersangkutan, transaksi elektronik muncul ketika penawaran transaksi yang dikirimkan sudah diperoleh serta ada persetujuan dari pihak penerima.
Pengawasan oleh pemerintah yang memperoleh ligitimasi lewat aturan perundang-undangan kepada pengusaha dalam rangka melaksanakan kegiatan
usahanya, merupakan wujud andil pemerintah terkait kesejahteraan rakyat, dan merupakan karakteristik dari sebuah negara dengan kesejahteraan modern (Hamid, 2017). Kontrol negara mampu meminimalisir potensi penipuan perdagangan elektronik, dimana penipuan adalah kejahatan utama bagi perdagangan baik tradisional ataupun elektronik.14
Pasal 29 Undang-Undang Perlindungan Konsumen memaparkan fungsi pengawasan serta pembinaan produk yang diperdagangkan. Hak yang diperoleh konsumen wajib selaras dengan asas keseimbangan serta keadilan, juga tak mengabaikan kebutuhan produsen. Hak produsen serta konsumen dilaksanakan sesuai asas kepercayaan. Mengenai fungsi pengawasan diatur pada Pasal 30 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dimana fungsi ini lebih fokus pada maskarakat daripada pemerintah. Hal ini diperlukan mengingat minimnya kesadaran masyarakat untuk bersikap preventif.
Fungsi pengawasan sesuai Pasal 30 hanya dapat dilaksanakan oleh LPKSM. Pasal 9 di Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan serta Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen berisikan jenis pengawasan yang dijalankan warga negara. Peraturan Pemerintah PMSE Pasal 78 memaparkan pula tentang tugas peerintah pada fungsi pengawasan. Hal ini berarti, pemerintah, rakyat, dan juga LPKSM secara bersama melakukan pengawasan perlindungan konsumen.
Pranata serta Perlindungan Hukum atas Konsumen pada Transaksi Online dalam tataran nasional, Indonesia sudah mempunyai ketentuan yang melindungi hak kekayaan intelektual baik itu hak paten, cipta, serta merek, bahkan melakukan pengesahan UU.15 Ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 berisikan peristiwa globalisasi serta perdagangan bebas yang disertai dengan perkembangan telekomunikasi serta informatika sudah melebarkan ruang gerak transaksi produk melewati batasan negara, jadi produk yang diperjualbelikan beraneka ragam.
Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen memaparkan tujuan perlindungan konsumen antara lain :
-
1. Mengembangkan kesadaran, kemandirian, serta kekuatan dalam hal perlindungan diri;
-
2. Meningkatkan taraf konsumen dengan menjauhkannya dari akses negatif penggunaan produk;
-
3. Memberdayakan konsumen untuk memilih, lalu menentukan, serta memperoleh hak menjadi konsumen;
-
4. Membuat sistem perlindungan konsumen mencakup unsur kepastian hukum serta keterbukaan informasi, juga akses memperoleh data;
-
5. Menciptakan kesadaran pengusaha tentang krusialnya perlindungan ke konsumen, jadi muncul sikap jujur serta tanggung jawab berusaha;
-
6. Memperbaiki kualitas produk yang mampu menjaga keberlangsungan usaha produksi produk, kenyamanan, kesehatan, keamanan, serta keselamatan konsumen.16
Dapat pula dipertegas mengenai sebab utama yang jadi kekurangan konsumen ialah kesadaran konsumen yang sangat kecil atas hak-haknya, ini diakibatkan oleh latar belakang pendidikan. Disamping aturan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 sesungguhnya di tataran tertentu guna memberi perlindungan terhadap konsumen, dapat menggunakan hukum pidana KUHP. Terdapat satu lagi pranata hukum yang mampu memberikan perlindungan terhadap konsumen saat transaksi online yaitu asuransi. Berdasarkan pemaparan tersebut, diketahui demi melindungi konsumen khususnya yang bertransaksi dengan elektronik, maka sangat penting menerapkan legislagi, sebab aturan yang berlaku, utamanya yang membahas perlindungan konsumen belum memfasilitasi keperluan itu.
Perlindungan hukum bagi para pihak seperti imbalan ganti rugi untuk konsumen atas produk yang diperoleh tak seperti spesifikasi yang ditawarkan. Adapun perlindungan hukum bagi penjual diutamakan pada aspek pembayaran, dimana pembeli harus melunasi barang yang sudah dipesannya. Mengenai bukti elektronik dijelaskan di Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang ITE yang memaparkan tentang data dana ataupun hasil cetakannya adalah bukti yang sifatnya sah serta berakibat hukum yang sah. Maka dari itu, pihak-pihak yang terlibat pada transaksi perdagangan online mempunyai kewajiban serta hak yang harus dipenuhi secara keseluruhan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulakan 1) Proses transaksi bisnis elektronik (online) mampu terlaksana selaras dan seimbangan melalui pengawasan yang tegas dalam penerapannya. Transaksi online bagi pihak pengusaha ataupun konsumen harus menyertakan itikad baik sedari awal dari kedua belah pihak. Perlindungan konsumen di Indonesia perlu lebih diperhatikan mengingat tindakan curang yang muncul mampu merugikan konsumen serta menciptakan wanprestasi akibat tak dipenuhinya hak konsumen. Kelemahan dari fungsi pengawasan mampu menjadi peluang bagi sejumlah oknum untuk bertindak curang, misalnya dalam hal standarisasi Standar Nasional Indonesia (SNI). Guna mencegah hal ini, selaku pembina sector perdagangan, Kementerian Perdagangan menyebutkan suatu produk wajib memenuhi syarat SNI. Dimana tata cara pendaftaran produk bertujuan mengenali keberadaan dan kelayakan produk, jadi pembeli dapat secara maksimal merasakan manfaat produk tersebut saat sudah terdistribusi. 2) Pengawasan pemerintah mampu meminimalisir munculnya tindakan penipuan dalam perdagangan elektronik. Penipuan adalah suatu kejahatan utama dibidang perdagangan baik konvensional ataupun elektronik. Adapun Pasal 30 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan, fungsi pengawasan lebih fokus pada masyarakat, sebab kesadaran masyarakat bertindak preventif sangatlah kecil. Pemerintah, rakyat, serta LPKSM secara bersama-sama melakukan pengawasan atas perlindungan konsumen. Adapun saran dalam penelitian ini yakni sebaiknya kedua belah pihak mengikatkan diri pada perjanjian yang dibuat sehingga ada kepastian hukum. Sehingga jika di kemudian hari ada pihak yang melaksanakan wanprestasi maka akta perjanjian mampu dengan mudah digunakan sebagai alat bukti tertulis di persidangan, dan pihak yang melakukan wanprestasi tidak dapat menyangkalnya. Serta masyarakat diharapkan dapat memenuhi komitmen seperti yang sudah dimufakatkan pada kesepakatan yang telah dibuat. Hal ini karena perjanjian yang dipenuhi akan merugikan pihak lain. Bagi masyarakat wajib menjalankan prinsip kehati-hatian Ketika bertransaksi online guna menjauhkan diri
dari hal yang tak diharapkan meskipun pemerintah maupun lembaga pengawasan lainnya akan berupaya melindungi pihak-pihak yang dirugikan tetapi alangkah baiknya masyarakat bisa memulai meningkatkan kesadaran diri terlebih dahulu agar seluruh pihak bisa bekerja sama dengan sebaik mungkin mengingat beraneka ragamnya produk yang dijual di pasar.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Setiadi , Edi dan R Yulia. Perkembangan Tindakan Pidana Ekonomi. (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010).
Hamid, A. H. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. (CV Sah Media, 2017).
Setiawan, I. Ketut Oka. Hukum Perikatan. (Jakarta, Sinar Grafika, 2016).
Suharnoko. Hukum Perjanjian (Teori dan Analisa Kasus). (Jakarta, Prenada Media, 2004).
Warsita, Bambang. Teknologi Pembelajaran Landasan & Aplikasinya. (Jakarta, Rineka Cipta, 2008).
JURNAL
Ayu Rai, dkk. “Pengawasan Terhadap Transaksi Bisnis E-Commerce Dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen.” Jurnal Konstruksi Hukum 1, No.1. (2020).
Aulia, Cindy. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli-Online (E-Commerce).” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta (2016).
Fawzi, Anas, M. Rizqa. “Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli OnlineBerdasarkan Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik”. Jurnal Kertha Semaya 8 No. 4.
Hormaini, dkk. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Online.” Jurnal Reformasi Hukum: Cogito Ergo Sum 3, No.1. (2020).
Lestarini. Dewi Intan, Ni Made dan Asmara Putra. "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Akibat Kerugian Yang Ditimbulkan Oleh Pelaku Usaha Toko Online Diinstagram." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, No.10. (2019).
Mahardika, Putu Surya, dan Dewa Gde Rudy. "Tanggung Jawab Pemilik Toko OnlineDalam Jual-Beli Online (E-Commerce) Ditinjau Berdasarkan Hukum
Perlindungan Konsumen." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum (2018).
Narayana, Hari dan G Rudy. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Online Melalui Media Facebook.” Jurnal Kertha Negara 9, No.2. (2021).
Pradnyaswari. Eka, Ida Ayu dan Westra, I. Ketut. "Upaya Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi Jual-Beli Menggunakan Jasa E-Commerce." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8. No. 5.
Prawesti, Indah. "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Penjualan Barang Bermerek Palsu Secara Online." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum.
Rifan Adi, dkk. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Online.” Jurnal Serambi Hukum 8 No.2. (2015).
Widyantari. Trisna, Ni Putu dan Wirasila, Ngurah. "Pelaksanaan Ganti Kerugian Konsumen Berkaitan Dengan Ketidaksesuaian Produk Pada Jual Beli Online." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7 No.8. (2019).
Wulandari, Yudha Sri. Perlindungan Hukum bagi Konsumen terhadap Transaksi Jual Beli E-Commerce. Jurnal Ilmu Hukum 2. No.2. (2018).
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sekretariat Negara. Jakarta.
Indonesia. Undang-Undang nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sekretariat Negara. Jakarta.
Indonesia. Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sekretariat Negara. Jakarta.
Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan. Sekretariat Negara. Jakarta.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 73/M-Dag/Per/9/2015 Tahun 2015 terkait Kewajiban Pencantuman Label Dalam Bahasa Indonesia Pada Barang
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2012 terkait Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE)
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 terkait Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 terkait Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
Jurnal Kertha Wicara, Vol.11 No.1 Tahun 2021, hlm.100-110
Discussion and feedback