Pertanggungjawaban Dokter Terhadap Penyediaan Data Informasi Pribadi Pasien Covid-19 Dalam Hubungan Terapeutik
on
PERTANGGUNGJAWABAN DOKTER TERHADAP PENYEDIAAN DATA INFORMASI PRIBADI PASIEN
COVID-19 DALAM HUBUNGAN TERAPEUTIK
Ni Komang Ayu Sasmita, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Pande Yogantara S, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI : KW.2021.v10.i07.p08
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami bentuk perlindungan hukum bagi pasien positif Covid-19 terhadap ketersediaan data pribadi pasien; menganalisis pertanggungjawaban seorang dokter akibat ketersediaan data informasi pasien Covid-19 dalam hubungan terapeutik. Adapun metode penelitian dalam proses perumusan artikel ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, yang konseptual dan analitis. Kesimpulan akhir dari penyusunan artikel ini menunjukkan bahwa data rekam medis pasien positif Covid-19 merupakan hak asasi manusia sebagai hak pribadi yang bersifat rahasia dan terbatas. Produk hukum yang melindungi data rekam medis pasien belum optimal dilihat dari tersebarnya data pribadi pasien positif Covid-19 yang dapat diakses oleh khalayak umum tanpa izin sepengetahuan pasien yang telah dinilai mencederai hak asasi pribadi pasien. Pertanggungjawaban oleh Dokter selaku pemberi jasa layanan kesehatan mengenai kebocoran informasi atas ketersediaan data pribadi pasien positif Covid-19 dapat dilakukan sesuai dengan hubungan terapeutik yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana maupun perdata.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban dokter, Data Medis, Covid-19
ABSTRACT
The purpose of writing this article is to understand the form of legal protection for Covid-19 positive patients against the availability of patient personal data; analyzing a doctor's accountability due to the availability of Covid-19 patient information data in therapeutic relationships. The research method in the process of preparing this article is a method of normative legal research with a statutory approach, which is conceptual and analytical. The final conclusion of the preparation of this article shows that the medical record data of Covid-19 positive patients is a human right as a confidential and limited personal right. Legal regulations that protect patient medical record data have not been optimally seen from the dissemination of Covid-19 positive patient personal data that can be accessed by the general public without the knowledge of patients who have been judged to be harming the patient's personal rights. Accountability by the Doctor as a health care provider regarding the leakage of information on the availability of personal data of Covid-19 positive patients can be done in accordance with therapeutic relationships that can be held criminal and civil liability
Key Words: Accountability, Medical Record, Covid-19
Kemunculan Virus Corona menggambarkan ancaman kesehatan global yang menggemparkan masyarakat dunia dalam beberapa dekade terakhir di tahun 2019. Bagaimana tidak sejak dilaporkannya pada 8 Desember 2019 pertama kalinya virus corona ini ditemukan di Kota Wuhan, Cina dan menyebar secara cepat dan luas
melalui “human to human” di berbagai negara termasuk Indoenesia. WHO (World Health Organisation) memperkenalkan nama penyakit ini dengan sebutan Coronavirus disease 2019 (Covid-19)1 dan ditetapkan sebagai pandemic global, bahkan WHO per tanggal 26 Februari 2021 mencatat sejumlah 2.501.299 orang mengalami kematian akibat positif Covid-19.2 Persebaran virus ini di Indonesia pertama kali di temukan di daerah Depok dengan penemuan 2 (dua) orang dinyatakan positif. Menanggapi hal tersebut Pemerintah Indonesia mengambil langkah preventif dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2020 mengenai upaya penanggulangan terhadap Covid-19.
Berbagai kebijakan dilakukan oleh pemerintah Indonesia terkait adanya wabah virus corona ini pertama dibentuknya Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, kebijakan Social Distancing dan Physical Distancing, PSBB hingga Pemberlakuan PPKM mulai dari Provinsi Aceh sampai Provinsi Papua dan 34 (tiga puluh empat) Provinsi yang telah terdampak yang dimana penanggulangan ini dipimpin oleh masing-masing Gubernur dan Walikota/Bupati daerah.
Berbagai macam teori konspirasi dan permasalahan pun timbul ke permukaan global masalah kesehatan, dan perekonomian global pun mulai terdampak termasuk di Tanah Air Indonesia hal ini dapat dilihat dari terhentinya sektor ekonomi khususunya perusahaan swasta dengan terpaksa melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karyawannya dan pada akhirnya banyak pekerja di rumahkan secara masal.3 Wabah virus Corona yang akan menginfeksi saluran pernafasan ini masih terus meningkat penyebarannya di Indonesia yang menyebabkan tak terkendalinya jumlah perhitungan pasien positif Covid-19 yang tidak lagi mengenal usia ini, maka munculah kekhawatiran dan kepanikan dalam masyarakat Indoensia.
Penerbitan berupa pemberitaan jumlah pasien positive Covid-19 merupakan salah satu permasalahan yang sangat meresahkan di masyarakat. Dimana pemberitaan oleh tim gugus penanggulangan daerah yang aktif memperbaharui kasus di tiap daerahnya yang mengalami positif Covid-19 dengan tersedianya identitas pasien berupa, jenis kelamin, usia, dan kecamatan wilayah tempat tinggal pasien serta riwayat perjalanan pasien di sosial media menjadi pertanyaan di masyarakat mengenai dimana perlindungan hak pasien yang dinyatakan positif covid-19 berupa perlindungan data pribadi pasien ini.
Tersedianya informasi data pribadi pasien yang secara transparan oleh pihak yang terlibat dalam menangani wabah virus corona ini diatur dalam Undang-Undang, yang telah dituangkan dalam Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan Nasional menegaskan bahwa “hak atas rahasia kondisi pribadi dianggap tidak berlaku dalam hal perintah undang-undang dan kepentingan masyarakat.” Namun di sisi lain penyediaan informasi data pasien Covid-19 telah menimbulkan benturan persoalan hukum antara perlindungan hak privat atau hak pribadi dan pemenuhan kepentingan publik, dimana Hak asasi pribadi yang dapat merujuk pada hubungan
yang terjadi antara dokter dan pasien berupa interaksi saat terjadinya pelayanan medis.4
Tentunya kepastian hukum merupakan instrumen penting dalam keselamatan hak pasien penderita Covid-19 sebagai konsumen dan kewajiban pihak instansi sebagai pemberi jasa tempat pasien di rawat. Informasi yang dikenal dengan rekaman medis pasien tersebut seharusnya dijaga kerahasiannya oleh pihak-pihak terkait yang memiliki berhubungan dengan riwayat pengobatan pasien yang lahir atas suatu perikatan atau perjanjian antara pasien dan pemberi jasa kesehatan. Menurut Kartini Muljadi yang dimaksud dengan perjanjian adalah “salah satu sumber perikatan.” Sedangkan menurut Subekti melanjutkan bahwa perikatan tersebut yakni jalinan hukum yang melibatkan dua pihak atau lebih, sehingga menimbulkan suatu tuntutan dan kewajiban.
Suatu Perikatan ada yang lahir atau timbul dari suatu perjanjian akibat undang-undang dimana contohnya adalah perjanjian di bidang kesehatan antara dokter dengan pasien yang sering disebut perjanjian terapeutik, berlakunya perjanjian ini dimulai saat tenaga medis yakni dokter menyatakan kesanggupannya mengungkapkan secara lisan (oral steatment) maupun tersirat (implied steatment) melalui tindakan yang menyimpulkan mencatat rekaman medis dan sebagainya.5 Perjanjian terapeutik didukung oleh dua macam hak dimana pertama terdapat hak yang sifatnya mendasar dan kedua adalah hak yang lebih bersifat individual. Dimana hak yang lebih bersifat individual ini memiliki pengertian yaitu “hak atas informasi dan hak untuk menentukan nasib sendiri”, apabila dikaitkan dengan kasus penyebaran Covid-19 dokter atau rumah sakit serta pasien dapat melahirkan ikatan yang sifatnya tertutup dan pemerintah selaku pihak yang berkewajiban melindungi masyarakat harus menjaga keamanan dan kerahasiaan pasien yang positif Covid-19 yang selama ini dilakukanya penyediaan data informasi pasien dengan penyebutan jenis kelamin dan kelurahan atau kecamatan pasien, informasi pribadi ini dasarnya hanyalah dapat diperoleh secara definit oleh pemerintah dalam hal untuk kepentingan pencegahan dan upaya mengurangi korban dan kerugian.6
Permasalahan ketersediaan informasi mengenai data pasien positif Covid-19 dan hubungannya dengan perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien seperti apa yang telah di paparkan sangat menarik untuk dikaji, maka artikel ini ditulis dengan judul “Pertanggungjawaban Dokter Terhadap Penyediaan Data Informasi Pribadi Pasien Covid-19 dalam Hubungan Terapeutik”. Mengingat sebelumnya terdapat penelitian yang berkaitan dengan perikatan dalam hubungan terapeutik, yang dilakukan oleh Anggara Yudha Ramadianto yang berjudul “Aspek filosofis Moral dan Hukum Kewajiban Menyimpan Rahasia Medis Pasien Sebagai Objek Perikatan (Prestasi) Dalam Kontrak Terapeutik” yang memfokuskan dalam aspek moral dan hukum atas kewajibannya menjaga kerahasiaan medis pasien sebagai
objek perikatan dalam perjanjian terapeutik.7 Dan penelitian oleh Rahandy Rizki Prananda, dimana penelitian ini berfokus pada peraturan perundang-undangan yang belum optimal terkait perlindungan data rekam medis pasien dan adanya pertentangan norma dalam UU Kesehatan.8 Namun penelitian ini lebih berfokus pada hubungan terapeutik yang terjadi antara dokter dengan pasien di tengah penyediaan data pribadi pasien positif Covid-19 dalam aspek hukum perdata.
Bertolak dari latar belakang yang sudah dikemukakan sebelumnya, penelitian ini akan mengkaji bahasan-bahasan sebagai berikut :
-
1. Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap data informasi pribadi pasien positif Covid-19?
-
2. Bagaimanakah akibat hukum pertanggungjawaban dokter terkait dengan penyediaan data informasi pasien Covid-19 dalam hubungan terapeutik?
Tujuan dialakukannya penulisan artikel ini yakni untuk memahami bentuk pengaturan hukum hukum terhadap ketersediaan data informasi pribadi pasien positif Covid-19 serta untuk menganalisis akibat hukum pertanggungjawaban Dokter akibat ketersediaan data informasi pasien Covid-19 dalam hubungan terapeutik, yang mana besar harapan hasil penelitian ini bermanfaat dan memberikan pencerahan bagi pembacanya.
Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini yakni metode penelitian studi teori (hukum normatif) dan juga dikenal dengan penelitian doktrinal (law in book) ini akan menggambarkan apa saja yang termuat dalam norma-norma hukum sebagai suatu rujukan atau sebagai pedoman untuk bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat.9 Dan mengacu pada peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum, maupun prinsip-prinsip hukum dan berupa suatu doktrin.10 Dalam penelitian ini didasarkan pada kekesongan norma pengaturan data pribadi untuk seorang pasien positif covid-19 sehingga menciptakan ketidakpastian hukum bagi pasien. Adapun metode pendekatan yang dipakai oleh penulis antara lain: pendekatan analisis konsop hukum (Analytic Approach), pendekatan undang-undang (Statute Apporach), dan pendekatan konsep (Conceptual Approach).11 Kemudian mengadakan penelitian terhadap kekosongan, kekaburan, dan konflik norma, dengan
didasari pada prinsip dan konsep yang kuat dan tajam sehingga di harapkan penulisan artikel ini menjadi suatu karya yang bersifat komperhensif.
-
III. Hasil dan Pembahasan
Sebelum mengetahui bagaimana perlindungan hukum konsumen dalam penyediaan data informasi pasien Covid-19 maka terlebih dahulu diuraikan mengenai konsepsi tentang hak informasi. Dimana hak suatu data dapat dikatan sebagai data pribadi apabila data tersebut dapat dipergunakan untuk menyelidiki orang tersebut dan tentunya berhubungan dengan orang yang bersangkutan, dimana nomor pribadi dan nama terang dapat menjadi cara untuk menyelidiki siapa seseorang yang memiliki data tersebut, maka oleh sebab hal tersebut dikatakanlah sebagai data pribadi. Menurut Notonegoro Hak dapat diartikan sebagai kuasa dalam menerima atau melakukan sesuatu atau sebaliknya oleh pihak tertentu. Melihat pengertian tersebut maka hak merupakan suatu yang bersifat melekat secara hakiki dalam diri manusia. Sedangkan pengertian informasi berakar kata dari kata to inform yang berarti memberitahukan dan UU KIP menerangkan bahwa “informasi merupakan keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan yang dapat berupa data, fakta ataupun penjelasan yang dapt dilihat, didengar dan dibaca, dan dikemas dalam format tertentu sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi baik secara elektronik maupun non elektronik.” Namun dalam regulasi ini menjelaskan mengenai informasi yang dikonsumsi publik dalam kapasitas negara sebagai penyelenggara yang dilakukan dengan maksud mengutamakan kepentingan orang banyak.
Kata informasi dalam pandangan dunia kesehatan dapat ditinjau dari dua kategori yakni informasi publik dan informasi privat. Dimana apabila aspek informasi publik ini jika ditinjau lebih jauh lagi penggolongannya terdiri dari dua macam yakni publik dengan sifat umum yang dapat dilihat dari sistem informasi dari layanan suatu rumah sakit itu sendiri dan publik dengan sifat khusus dapat dilihat dari informasi hasil laporan data penyakit. Melihat kedua hal tersebut maka ketersediaan informasi kesehatan yang bersifat publik ini diwajibkan terbuka untuk umum.12
Adapun alasan mengapa diperlukannya keterbukaan informasi kepada publik yakni mengingat adanya penegakan hak mendasar yang dimiliki oleh manusia atau yang kita kenal dengan HAM (Hak Asasi Manusia) yang tentunya secara langsung menyentuh keterlibatan masyarakat secara pro-aktif dalam mengawasi dan mengontrol kebijakan yang dimiliki pemerintah dalam menciptakan good goverenance sebagaimana diatur dalam Pasal 169 UU Kesehatan yang menyebutkan bahwa
“ Pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk memperoleh akses terhadap informasi kesehatan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat” Namun dalam hal pemenuhan hak pasien selaku konsumen pada penyelenggaraan jasa layanan Kesehatan, keterbukaan atas akses informasi ini yang termaktub dalam UUPK, dimana dalam Pasal 4 ayat (3). Undang-Undang tersebut mengatur jelas bahwa seorang konsumen memiliki hak dalam hal mendapatkan informasi dengan jujur dan jelas mengenai kondisi suatu jasa. Apabila jasa tersebut menunjukkan
ketidaknyamanan terlebih lagi ketidakamanan atau dapat dikatakan tergolong mengancam keselamatan konsumen, maka jelas tidak layak untuk diinformasikan dalam khalayak luas. Dimana hal ini sejalan dengan UU HAM yang mana menjamin dalam Pasal 29 ayat (1) yang mengatur tentang keberadaan perlindungan kepemilikan hak setiap orang atas dirinya secara individu. Namun, dalam UU KIP, perlindungan terhadap data informasi publik yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (3) huruf (c) menyebutkan bahwa “Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi.” Hal tersebut juga tercantum dalam Pasal 17 huruf (g) dan (h) yang berbunyi ”informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang.” Hal ini menitikberatkan pada pengecualian informasi mengenai rahasia pribadi.
Perlindungan data pribadi yang harus di rahasiakan dalam aspek hukum kesehatan terkait data rekam medis seorang pasien dilindungi oleh Undang-Undang Praktik Kedokteran. Dan tercantum pula dalam Pasal 57 ayat (1) UU Kesehatan mengatur mengenai tugas tenaga kesehatan wajib menghormati hak pasien dengan bersandar pada standar profesi terkait informasi-informasi kesehatan pasien tersebut. Sehingga melihat hal tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa data pribadi dari seorang pasien positif Covid-19 merupakan informasi yang wajib dirahasiakan dan penginformasiannya berupa ijin persetujuan pasien penderita Covid-19 yang bersangkutan. Karena Hak privasi mengenai data medis pasien merupakan bagain dari hak dasar individual dalam pelayanan kesehatan.
Perjanjian terapeutik atau juga yang dikenal dengan dengan transaksi terapeutik menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara seorang dokter dengan pasien dalam pemberian dan penerimaan pelayanan medis yang dilandasi atas keprofesionalan dan kompetensi yang berupa kecakapan dan keterampilan dalam dunia kedokteran.13 Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari hubungan yang tercipta antara peran dokter sebagai subyek layanan kesehatan dan pasien sebagai subyek penerima jasa tersebut. Dengan melaksanakan profesinya sebagai suatu pekerjaan seorang dokter dengan ukuran rasa kemanusiaan yang tinggi dapat bertanggungjawab memberikan jasanya yang berupa layanan kesehatan tersebut berdasarkan pada nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh seorang pasien sebagai manusia.14 Maka ketika seorang dokter dihadapi dengan pasiennya maka dalam kondisi tersebut seorang dokter sedang menghadapi dirinya sendiri sebagaimana manusia yang memiliki perasaan dan hak asasi. Tanggung jawab dokter ini akan dikenal dengan medicality liability. Pertanggungjawaban merupakan suatu akibat atau konsekuensi terhadap sesuatu yang telah dilakukan. Dalam Pasal 1365 KUHPerdata menunjukkan bahwa “setiap perbuatan yang melanggar hukum dan mengakibatkan kerugian karena kesalahannya wajib mengganti kerugian tersebut”, dan “apabila seseorang dianggap lalai dalam melakukan suatu perbuatan maka juga wajib bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan” sebagaimana dalam Pasal diatas. Apabila berbicara mengenai medis dan kesehatan maka pertanggungjawaban perdata dapat diminta apabila adanya perbuatan melanggar hukum atau yang dikenal dengan onrechtmatige daad. Untuk mengetahui adanya perbuatan melanggar hukum maka diperlukan adanya penuntutan.
Dunia Kesehatan dalam hal ini dokter ataupun pihak rumah sakit merupakan pihak-pihak yang pada dasarnya memberi prestasi dalam bentuk upaya untuk kesembuhan pasien, dan sebaliknya pasien sebagai pihak yang memberikan imbalan. Dimana kesepakatan ini merupakan bentuk perjanjian yang berlandaskan itikad baik yang ada didalam perjanjian terapeutik. Perjanjian terapeutik ini memiliki ciri dan sifat yang khusus dikarenakan obyek perjanjian dalam transaksi ini bukan “kesembuhan” pasien, melainkan “upaya’ yang tepat untuk kesembuhan pasien.15 Dimana dapat dilihat dari pernyataan kesanggupan dokter baik itu secara lisan ataupun tersirat dalam hal tindakannya bersedia mencatat rekam medis pasien. 16
Adapun dalam Pasal 45 Undang-Undang Praktik Kedokteran menjelaskan bahwa “segala perbuatan yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap pasiennya harus dilandasi dengan persetujuan pasien”, yang tidak harus dilakukan secars tertulis karena dapat dianggap berlebihan karena diperkirakan membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan penanganan yang dibutuhkan segera. Hubungan terapeutik ini terdiri dari tiga unsur yaitu (1) informed consent, (2) medical record dan (3) rahasia medis. Dimana hubungan terapeutik yang terjadi antara pasien dan dokter ini ditandai dengan adanya pemberian informasi awal terkait kondisi medik pasien, dilanjutkan dokter sebagai pelayanan kesehatan wajib mengkonfirmasi persetujuan guna mendapatkan izin persetujuan pasien yang bersangkutan. Dalam PERMENKES No. 290 tahun 2008 tentang Rekam Medis, tindakan informed consent ini merupakan kewajiban seorang dokter terkait informasi lengkap mengenai dampak positif maupun negatif atas tindakan yang dilakukan saat menindaki pasien.
Tanggung jawab dan kewajiban layanan kesehatan dalam melakukan rekam medis dapat dilihat dalam Pasal 29 Ayat (1) huruf h Undang-Undang Rumah Sakit. Penyelenggaraan rekam medis ini apabila dilanggar maka akan mendapatkan sanksi yang bersifat administratif. Setiap rekaman medis pasien harus melampirkan paling tidak; (1) nama terang, (2) waktu pelaksanaan pelayanan medis, dan (3) tanda tangan tenaga kesehatan yang melakukan tindakan. Dimana status hukum kepemilikan rekam medis ini dapat dibedakan menjadi dua yakni berkas dan isinya. Pasien mempunyai hak kepemilikan atas konten medis, sedangkan pihak penyelenggara layanan kesehatan berhak atas dokumen.
Tentunya rekaman medis ini memiliki sifat rahasia dan terbatas, yang artinya tidak semua orang bisa membaca dan menegtahuinya.17 Sebagaimana dalam Pasal 10 ayat 1 Permenkes 269/Menkes/III/2008 menyebutkan bahwa “informasi yang berkenaan dengan identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan pasien harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu, petugas pengelola dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan”. Maka dokter sebagai penyelenggara atau pemberi jasa kesehtan harus secara profesional menjaga dan mengelola dengan baik sebagai rahasia jabatan profesi dokter sebagai penyedia jasa layanan kesehatan dan menyangkut hak asasi pasien Covid-19. Sehingga penyampaian isi rekam medis
dalam wewenangnya hanya dapat dilakuakan oleh seorang dokter sebagai pemberi tindakan medis kepada pasien yang bersangkutan.
Instrument hukum yang mengundangkan penjaminan perlindungan keamanan data rekam medis pasien dalam ketentuan Pasal 79 huruf b Undang-Undang Praktik Kedokteran yang merumuskan adanya pemberian sanksi pidana yang dinyatakan bahwa setiap dokter dengan kesengajaannya membuat rekaman medis yang telah diamanatkan sebagaimana Pasal 46 ayat (1).
Sejalan dengan hal tersebut dalam Pasal 56 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik menyebutkan pada intinya barang siapa dengan sengaja membeberkan informasi yang dikhususkan akan dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun serta denda sebesar sepuluh juta rupiah. Diperjelas kembali dalam surat Edaran No. 2 Tahun 2020 yang menyebutkan batasan-batasan data yang boleh layanan informasi terbitkan namun penyampaiannya tetap dilakuakn secara ketat dan terbatas serta tetap memeperhatikan data pribadi seseorang seperti:
-
1. Jenis penyakit
-
2. Persebaran
-
3. Area episentrun
-
4. Pencegahannya
Untuk menentukan apakah dalam suatu perjanjian terdapat hak yang dicederai atau tidak maka dapat diidentifikasi terlebih dahulu menegnai jenis perjanjian dan pola hubungan yang akan terbentuk dalam perjanjian terapeutik itu sendiri. Dalam hal ini seorang dokter sebagai pemberi jasa layanan kesehatan dapat dimintai untuk bertanggungjawab secara pidana maupun perdata mengenai kebocoran informasi data pribadi pasien Covid-19 karena pemberi layanan jasa kesehatan seharusnya melakukan perinsip perlindungan data pribadi dengan menggunakan prinsip proporsionalitas dan Purposive limitation. Dimana kedua prinsip ini merupakan ketentuan yang membatasi pengumpulan data yang bersifat privat dengan cara memperolehnya secara sah dan adil dan atas sepengetahuan subyek data.18 Sehingga harus mendapatkan persetujuan yang sah dari pasien Covid-19 yang bersangkutan tanpa adanya publikasi profil pribadi.
-
IV. Kesimpulan
Berdasarakan hasil penelitaian diatas, artikel ini menemukan kesimpulan bahwa pengaturan hukum sebagai bentuk perlindungan data rekaman medis pasien Covid-19 dikategorikan oleh sejumlah undang-undang sebagai hak individu yang besifat privat dan rahasia sebagai hak dasar individu dalam hal pelayanan kesehatan yang tidak dapat disebarluaskan begitu saja tanpa persetujuan dari pasien. Akibat Hukum Pertanggungjawaban dokter dapat dilihat dalam pelanggaran perjanjian terapeutik atas tersebarnya data pribadi pasien melalui rekam medik. Dimana dokter sebagai pemberi jasa layanan kesehatan dapat dimintai untuk bertanggungjawab secara pidana maupun perdata mengenai kebocoran informasi data pribadi pasien Covid-19 sebagaimana yang dianut oleh Pasal 1365 KUHPerdata, Pasal 79 huruf b Undang-Undang Praktik Kedokteran dan Pasal 56 Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik. Regulasi terkait perlindungan data pribadi pasien Covid-19 di Indoensia masih belum optimal dalam memberi kepastian hukum dalam penjaminan hak-hak pasien yang memberikan celah untuk melemahkan kedudukan hukum terhadap hak kerahasiaan data rekam medis pasien covid-19 yang memperjelas profil pribadi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.118.
Fajar,Mukti dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), h.34.
Ibrahim, Johnny Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayu Media, 2007), h. 300.
Komalawati,Veronica. Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien (Bandung:Citra Aditya Bhakti, 2002), h. 14.
Soekanto, Soerjono. Kartono Muhamad. Aspek Hukum dan Etika Kedokteran di Indonesia (Jakarta :Graffiti Press,1989), h. 55-56.
Jurnal Ilmiah dan Skripsi
Hutauruk, Puput Melati, and Widya Tri Astuti. "Tinjauan Aspek Keamanan dan Kerahasiaan Dokumen Rekam Medis Di Ruang Filling Rumah Sakit Khusus (RSK) Paru Medan Tahun 2018." Jurnal Ilmiah Perekam dan Informasi Kesehatan Imelda (JIPIKI) 3, no. 2 (2018): 510-517.
Munir, Abu Bakar et al. “Data Protection Law in Asia”. Hong Kong, Thompson Reuters Limited, (2014): 35.
Prananda, Rahandy Rizki. “Batasan Hukum Keterbukaan data Medis Pasien Pengidap Covid-19: Perlindungan Privasi VS Transparansi Informasi Publik”. Jurnal Law, Development and Justice Review 3, no. 1, (2020): 148.
Ramadianto, Anggara Yudha. “Aspek Filosofis Moral dan hukum Kewajiban Menyimpan Rahasia Medis Pasien Sebagai Objek Perikatan (Prestasi) Dalam Kontrak Terapeutik. Simbur Cahaya: Majalah Ilmiah 24, no.3, (2017): 4904-4906.
Ricky, N. P. M. "Analisis Yuridis Pentingnya Informed Consent Pada Tindakan Medis Berisiko Tinggi Yang Dilakukan Oleh Dokter Di Rumah Sakit Dihubungkan Dengan Undang-Undang No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran." Phd Diss., Unpas, 2017.
Sholahuddin, Al-Fatih, Fachry Ahsany, and Ahmad Faiz Alamsyah. "Legal Protection of Labor Rights During the Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Pandemic.” Jurnal Pembaharuan Hukum 7, no. 2 (2020): 100-115.
Wang, Chan Khung. “Security and privacy of Personal Health Record, Electronic Medical Record and Health Information.” Problems and Perspectives in Management, (2015):19.
Wijanarko, Bayu dan Mudiana Permata Sari. “Tinjauan Yurudis Sahnya Perjanjian Teraupeutik dan Perlindungan Hukum Bagi Pasien”. Jurnal Garuda Rujukan Digital 2, (2014): 3.
Yuliana. “Corona Virus Diseases (Covid-19) Sebuah Tinjauan Literatur”, Jurnal Wellness And Healthy Magazine 2, no.1 (2020): 187-192.
Internet
Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia. “ KI Pusat Ingatkan Penyebaran Informasi Pasien Covid-19 Bisa Dipidana.” 2020. Retrieverd from
https://komisiinformasi.go.id/?news=ki-pusat-ingatkan-penyebaran-informasi-pribadi-pasien-covid-19-bisa-dipidana (diakses pada tanggal 21 April 2021)
WHO. Coronavirus disease (COVID-19) Pandemic. 2019. Retrieverd from https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-
2019?gclid=CjwKCAiA1eKBBhBZEiwAX3gql4W8q1PxrMk8i6WOp3sJxocu5RAvF 5byevsL5TaxtT8MSUplcS-C1BoCI_YQAvD_BwE (diakses pada 27 Februari 2021)
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burtgerlitijk Netboek) diterbitkan oleh Pustaka Yustitia, cetakan pertama tahun 2011
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoensia Nomor 4431)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846)
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 5072)
Undang-Undang Nomor. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)
Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2020 tentang pelayanan Informasi Publik Dalam Masa Darurat Kesehatan Masyarakat Akibat Covid-19
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis
Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.7 Tahun 2021, hlm. 566-575
Discussion and feedback