TINDAK PIDANA CYBERPORNOGRAPHY YANG MELIBATKAN ANAK DI BAWAH UMUR

Made Julia Mahayanti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i08.p02

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis hukum positif terkait perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban kejahatan cyberpornografi. Perkembangan teknologi yang semakin pesat di Indonesia berpengaruh pada kehidupan sosial dan keamanan masyarakat.Tingginya pengguna internet membuka peluang terhadap munculnya kejahatan-kejahatan berbasis ruang cyber. Anak-anak lebih beresiko menjadi korban kejahatan di ruang cyber, salah satunya ialah kejahatan pornografi. Anak-anak menjadi rentan mendapatkan kejahatan secara seksual dan pornografi di dalam ruang cyber, hal ini terkait keamanan ruang cyber, kontrol akses pada internet, dan kurang tegasnya hukum yang berlaku. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ilmiah ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual untuk mengkaji dan mendeskripsikan bagaimana ancaman kejahatan berbasis pornografi di ruang cyber yang melibatkan anak dibawah umur.

Kata Kunci: Cyberpornography, Anak dibawah umur, Tindak pidana

ABSTRACT

The purpose of this study is to find out and analyze positive laws related to legal protection for children who are victims of cyberpornography crimes. The increasingly rapid technological developments in Indonesia have an impact on sosial life and community security. The high number of internet users opens up opportunities for the emergence of cyberspace-based crimes. Children are more at risk of becoming victims of crime in cyberspace, one of which is pornography. Children become vulnerable to sexual crimes and pornography in cyberspace, this is related to cyberspace security, access control on the internet, and the lack of strict laws that apply. The research method used in writing this scientific journal is a normative legal research method using a statutory approach and a conceptual approach to examine and describe how the threat of pornography-based crime in cyberspace involves minors.

Keywords: Cyberpornography, Children under age, Criminal acts

  • I.  PENDAHULUAN

    • 1.1.  Latar Belakang Masalah

Semakin berkembangnya pembangunan dunia beriringan dengan meningkatnya perkembangan teknologi yang terus-menerus dan telah menjadi bagian tak terlepaskan dari kehidupan manusia, semua aktivitas kehidupan manusia seakan dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi termasuk tindakan-tindakan kejahatan. Teknologi yang semakin canggih tidak hanya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif akan tetapi banyak yang

menggunakan kehebatan teknologi untuk tindakan-tindakan negatif yang menimbulkan ancaman bagi pengguna teknologi, teknologi yang dimaksud ialah dalam hal pemanfaatan ruang maya (cyber space). Tindak pidana yang terjadi didunia maya disebut sebagai cybercrime, perbuatan menyimpang ini semakin banyak jenisnya dan dapat terjadi di semua aspek kehidupan dan siapa saja dapat melakukannya, karena cybercrime merupakan penyalahgunaan kompleksitas teknologi berbasis digital dengan menggunakan ruang digital sebagai medianya.1 Di satu sisi memang menguntungkan apabila dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menjalankan kegiatan yang positif namun disisi lain hal ini malah disalahgunakan untuk menyebarkan hal-hal negatif yang merugikan dan mengancam keamanan maupun kenyamanan penggunannya, salah satu ancaman yang sangat marak terjadi ialah ancamam pornografi. Media internet banyak digunakan pengguna untuk mengakses konten-konten porno yang tersedia luas di ruang cyber tersebut. kelompok yang paling berisiko ancaman konten pornografi tersebut ialah anak-anak.

Sekarang ini perangkat internet sering digunakan oleh anak-anak dibawah umur yang sangat beresiko terhadap ancaman cyberpornography, anak-anak ini tidak hanya sebagai korban kejahatan konstruksi dunia maya tetapi juga sebagai pelakunya.2 Kurangnya pengawasan dari orang tua, edukasi maupun pemahaman terhadap ancaman-ancaman kejahatan seksual yang didatangkan dari dunia maya membuat anak-anak dibawah umur rawan menjadi korban cyberpornography. Data menunjukan bahwa paparan pornografi pada anak-anak dibawah umur terbilang cukup tinggi, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan lebih dari 65,34% anak usia 9-19 tahun dapat mengakses internet melalui gadget untuk menonton video bermuatan pornografi. Bahkan banyak anak yang masih berstatus pelajar pernah terlibat kasus pornografi melalui media sosial.3

Tindak pidana cyberpornography tidak memandang gender, baik anak laki-laki maupun anak perempuan bisa saja menjadi korban kejahatan seksual yang terjadi di dunia maya ini, dan tidak dapat dipungkiri akses internet yang tidak terbatas memberi peluang kepada para pelaku kejahatan untuk melakukan perilaku jahatnya seperti transaksi seks yang menjadikan anak-anak sebagai target korban pelaku. Anak dibawah umur yang menjadi korban tindak pidana cyberpornography menimbulkan dampak terhadap keadaan psikis korban, juga memberikan korban rasa terganggu, ketakutan dan tidak dipungkiri mendapat labelling negatif dari lingkungan sekitarnya. Ketakutan ini menyebabkan banyak korban khususnya anak-anak di bawah umur tidak memiliki keberanian untuk mengungkap kejahatan

yang telah diperbuat oleh pelaku karena merasa dirinya terancam, untuk itu negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada korban.

Melihat fenomena menjamurnya situs-situs porno sekarang ini, yang menimbulkan dampak kerusakan moral yang meresahkan masyarakat, maka atas dasar inilah penyusun tertarik untuk melakukan penelitian tentang Cyber pornography yang melibatkan anak dibawah umur, yang pembahasannya terfokus pada peraturan hukum positif yang digunakan dalam menangani kasus Cyberponography yang melibatkan anak dibawah umur. Jika melihat penelitian yang sudah ada sebelumnya yakni oleh Atem Kornadi mengenai Ancaman Cyber Pornography Terhadap Anak-Anak yang disana menjelaskan apa bentuk ancaman tindak pidana cyberpornography terhadap anak, lalu melihat penelitian oleh Antonia Regirma Chrisly Frellina, Naila Amatullah, dan Salma Nur Azizah yang menjelaskan tentang pengaturan cyberpornography dari perspektif UU ITE Dari penelitian tersebut belum dapat menjelaskan mengenai peraturan hukum positif dan upaya perlindungan hukum terkait korban tindak pidana cyberpornography yang melibatkan anak dibawah umur.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang diatas maka dapat ditarik permasalahan sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana peraturan hukum positif terkait penyelesaian perkara tindak pidana cyberpornography di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana upaya perlindungan hukum yang diberikan Negara Republik Indonesia terhadap anak sebagai korban tindak pidana cyberpornography?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penulisan jurnal ilmiah ini dibuat dengan tujuan memberi pemahaman dan analisis peraturan hukum terkait tindak pidana cyberpornography dan mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana cyberpornography di Indonesia.

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan gagasan tertentu, serta bertujuan untuk mempelajari gejala hukum tertentu melalui analisis. Jenis metode yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode penelitian hukum normatif, karena penelitian ini menggunakan aturan-aturan hukum yang berlaku dan bahan pustaka sebagai sumber utama dalam penelitian.4 Penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statue approach) mengenai pengaturan secara formil dan materiil terhadap perkara tindak pidana cyberpornography. Menggunakan Teknik deskripsi analisis tersebut yang sekiranya dapat

menjawab/menyelesaikan permasalahan melalui analisis bahan hukum serta perundang-undangan.5

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    Peraturan Hukum Terkait Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Cyberpornography Di Indonesia

Belakangan ini banyak kasus kriminal yang melibatkan anak-anak yang masih dibawah umur, kejahatan yang sedang marak dilakukan dan dialami oleh anak dibawah umur adalah kejahatan seksual yang terjadi di dunia maya atau cyberpornography. Pornografi menjadi permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia di era globalisasi saat ini, karena perkembangan pornografi tidak hanya terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat, akan tetapi penyebarannya yang meluas di dunia maya terus menjadi suatu hal yang wajar bagi sebagian masyarakat.6 Menurut riset yang dilakukan KPAI, faktor utama kejahatan ini disebabkan oleh pergaulan yang terlalu bebas, kurangnya pengawasan dari orang tua, media sosial dan akses penggunaan internet yang tidak dibatasi. Penggunaan media sosial tanpa pengawasan memberikan kebebasan pada anak dalam mengakses situs-situs berisi konten pornografi yang mendorong gairah seksual anak untuk melakukan hal tersebut kepada lawan jenisnya. Kejahatan cyberpornography yang sering terjadi yaitu penyebarluasan video porno, sexting (chat dengan muatan pornografi), partisipasi dalam grup-grup pornografi, kemudian grooming atau proses untuk menjalin komunikasi dengan anak melalui internet dengan tujuan memikat, memanipulasi, atau menghasut anak tersebut untuk terlibat dalam aktivitas seksual.7

Di Indonesia Cyberpornography merupakan suatu tindak pidana yang termasuk dalam kejahatan pornografi yang terjadi di jaringan online atau dunia maya, kegiatan dunia maya yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana cyberpornography yaitu aktivitas memuat, mengakses, menyalahgunakan dan menyebarluaskan konten-konten bermuatan pornografi. Tindak pidana merupakan suatu proses perbuatan yang dilarang karena melanggar ketentuan-ketentuan hukum dan membawa ancaman sanksi kepada pelanggarnya. Unsur-unsur suatu tindak pidana menurut Simons adalah perbuatan manusia, diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.8

Unsur –unsur tindak pidana cyberpornography dapat diuraikan sebagai berikut:

  • a.    Dalam tindak pidana cyberpornography unsur perbuatan manusia yang dilakukan adalah aktivitas memuat, mengakses, menyalahgunakan dan menyebarluaskan konten-konten bermuatan pornografi.

  • b.    Seseorang yang melakukan tindak pidana cyberpornography dapat diancam dengan pidana tentang kejahatan kesusilaan.

  • c.    Cyberpornography bisa dikatakan sebagai perbuatan yang melawan hukum karena melanggar hak asasi manusia lain.

  • d.    Adanya unsur-unsur kesalahan dimana kapasitas dari diri pelaku kejahatan tersebut untuk mampu bertanggungjawab atas  perbuatan  yang

dilakukannya, keterkaitan batin antara pelaku dan perilakunya dapat berupa kesengajaan atau kealpaan dan tidak adanya alasan penghapus kesalahan berupa alasan pemaaf.9

  • e.    Orang yang mampu bertanggungjawab atas tindak pidana cyberpornography, dikatakan mampu apabila tidak adanya alasan pembenar maupun pemaaf atas perbuatannya.

Mengenai aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana cyberpornography yang melibatkan anak dibawah umur secara khusus belum diatur karena terdapat kekosongan norma hukum atas tindak pidana ini. Dengan demikian aparat penegak hukum menggabungkan beberapa pasal yang tercantum di dalam “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Pornografi, dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)” sebagai dasar penyelesaian perkara tindak pidana cyberpornography

  • Pengaturan Cyberpornography yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Perumusan tindak pidana kesusilaan dalam KUHP yang dapat digunakan untuk menjangkau cyberporn Ketentuan ini merupakan upaya perlindungan terhadap anak-anak atau orang yang belum dewasa agar terhindar dari pornografi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur mengenai cyberporn terdapat pada Bab XIV tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan dalam Pasal 281, 282, dan 283 KUHP.

  • 1.    Pasal 281 KUHP yang berbunyi: “Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak lima ratus rupiah: ke-1 barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan; ke-2 barangsiapa dengan sengaja dan di muka orang lain yang ada di situ bertentangan kehendaknya, melanggar kesusilaan.”

  • 2.    Pasal 282 ayat (1) KUHP adalah sebagai berikut: “barangsiapa menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran, atau benda, yang telah diketahui isinya dan yang melanggar kesusilaan; atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan dimuka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut,    memasukannya    kedalam negeri, meneruskannya,

mengeluarkannya dari negeri, atau mempunyainya dalam persediaan; ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan

surat tanpa diminta, menawarkannya, atau menunjukannya sebagai bisa, dapat, dianca dengan pidana paling lama satu tahun enam bulan atau denda paling tinggi tiga ribu rupiah.”

  • 3.    Pasal 282 ayat (2) KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran, ataupun barangiapa, dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikinnya, memasukannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau mempunyai dalam persediaan, ataupun barangsiapa, secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan atau menunjuknya sebagai bisa didapat, diancam jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambaran, atau benda melanggar kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”

  • 4.    Pasal 282 ayat (3) KUHP yang berbunyi: “Kalau yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama, sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhi pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak lima ribu rupiah.”

  • 5.    Pasal 283 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil, kepada seorang yang belum cukup umur dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya.”

  • Pengaturan Cyberpornography yang terdapat dalam ”Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik

“Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik” Pasal 27 yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan.” Dalam “Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008” tidak menjelaskan mengenai definisi mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diakses, namun dalam “Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Infromasi dan Transaksi Elektronik” dijelaskan sebagai berikut:

  • a.    Dengan sengaja adalah seseorang mengetahui dan menyadari bahwa perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat informasi elektronik dan/atau akses dokumen elektronik tidak diizinkan untuk dilakukan, melanggar kewajiban hukumnya, atau melanggar hak

orang lain. Kata "sengaja " berarti niat untuk melakukan sesuatu, keinginan, kesediaan seseorang untuk melakukan sesuatu.

  • b.    Tanpa hak adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan cara melawan hukum.

  • c.    Medistribusikan adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada banyak orang atau pihak melalui sistem elektronik.

  • d.    Mentrasmisikan adalah mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui sistem elektronik.

  • e.    Membuat aksesibilitas adalah setiap tindakan selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui sistem elektronik yang menyebabkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.

  • f.    Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk namun tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, desain, foto, electronic data interchange (EDI), email (email), telegram, telex, dan lain-lain., Logo, nomor, kode akses, simbol, atau perusahaan yang diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh seseorang yang dapat memahaminya.

  • g.    Dokumen elektronik adalah segala informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirim, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optik, dan lain-lain., Yang dapat dilihat, ditampilkan dan/ atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk namun tidak terbatas pada Kata-kata, suara, gambar, peta, desain, foto atau sejenisnya, huruf, simbol, angka, kode akses, simbol atau perusahaan yang memiliki arti atau arti, atau perusahaan yang dapat dipahami oleh orang yang dapat memahaminya.

  • h.    Pelanggaran asusila adalah kejahatan atau perilaku asusila yang melanggar karakter. Dalam hal ini yang melanggar etika adalah moralitas seks atau keinginan manusia. Misalnya mengupload foto atau video atau gambar yang mengandung unsur pornografi.

  • Pengaturan Cyberpornography yang terdapat dalam “Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi”

“Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi” Pasal 4 ayat (1) mengatur larangan yang berbunyi “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. Persenggamaan,

termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. Kekerasan seksual; c. Masturbasi atau onani; d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. Alat kelamin; atau f. Pornografi anak.” Uraian pasal ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata “membuat” yakni tidak termasuk untuk diri sendiri dan juga kepentingannya sendiri.

  • 3.2. Upaya Perlindungan Hukum Yang Diberikan Negara Republik Indonesia Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Cyberpornography

Perlindungan merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban atas kesejahteraan, ketentraman, keamanan, dan kedamaian dari segala bahaya yang sedang dihadapi baik anak, remaja, maupun orang dewasa. Perlindungan hukum merupakan suatu perbuatan melindungi seseorang berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia.10 Menurut I.B Wyasa Putra dan Lili Rasjidi yang menyebutkan bahwa “Hukum dapat berfungsi bukan hanya diwujudkan kepastian, tetapi juga dijamin perlindungan dan seimbang yang sifatnya sekedar hanya fleksibel dan adaftif, namun juga prediktif dan antisipatif. Yang khususnya sumber daya distribusi, baik pada structural maupun peringkat individu”.11

Sejak dulu kedudukan korban akibat dari suatu tindak pidana selalu ditempatkan pada posisi yang sangat tidak menguntungkan, mengingat bahwa korban merupakan seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat kejahatan dan rasa keadilannya secara langsung. 12 Korban kejahatan seringkali kecewa dalam praktik penegakan hukum, karena tindakan penegakan hukum seringkali lebih memperhatikan atau bahkan melindungi hak asasi tersangka, sedangkan hak-hak dasar korban seringkali diabaikan.13 Isu terkait perlindungan korban kejahatan di Indonesia patut mendapat perhatian lebih karena kondisinya sangat meresahkan. Untuk itu, pemerintah mengeluarkan “Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban”.

Kasus tindak pidana yang melibatkan anak di bawah umur, Republik Indonesia memberikan perhatian khusus pada berlakunya “Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak”, yang mengatur atau memperkuat perlindungan bagi pelaku kejahatan, sanksi pidana dan denda. Untuk menimbulkan efek jera dan mendorong langkah-langkah khusus untuk mengembalikan kondisi fisik, psikis, dan juga sosial anak sebagai korban dan anak sebagai pelaku kejahatan baik lahir batin maupun di masyarakat, diharapkan langkah yang diambil sesuai agar anak sebagai korban dan pelakunya tidak menjadi sama.14

Perlindungan hukum bagi anak korban kejahatan cyberpornography bukan suatu masalah yang bisa disepelekan. Ada beberapa factor yang menyokong dan mendukung pelayanan terhadap anak korban kejahatan menurut Arif Gosita adalah sebagai berikut:

  • a.    Harus di dasari keinginan untuk mengembangakan perlakuan adil terhadap anak dan peningkatan kesejahteraan anak.

  • b.    Adanya hukum kesejahteraan yang dapat mendukung pelaksaan pelayanan terhadap anak korban kejahatan.

  • c.    Sarana yang dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk melakukan pelayanan terhadap anak korban kejahatan.15

Perlindungan hukum merupakan suatu kewajiban untuk menjamin dan melindungi kepentingan anak. Perspektif teori perlindungan hukum, bentuk perlindungan anak merupakan bentuk komersial yang menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan terlaksananya hak dan kewajiban anak secara manusiawi.16 Banyak pihak yang seharusnya menjadi saksi tidak mau untuk menjadi saksi dikarenakan merasa terancam jiwa raganya dan keluarga. Bahkan yang pada awalnya menjadi saksi dalam persidangan namun akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.17 Baik saksi maupun korban harus mendapat perlindungan dan bantuan hukum sesuai dengan aturan yang berlaku.Walaupun implementasi perlindungan hukum bagi anak sebagai korban cyberpornography belum maksimal namun pemerintah sudah mengesahkan beberapa peraturan yang mengatur beberapa bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak korban kejahatan salah satunya kejahatan cyberpornography yaitu, Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

  • 1.    Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak”, pada Pasal 1 ayat (2) yang menyebutkan “Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

  • 2.    Pasal 64 ayat (3) “Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak” menjelaskan secara garis besar bahwa anak korban berhak untuk mendapat perlindungan dalam hal keamanan, rehabilitasi, dibebaskan dari segala tekanan untuk memberikan kesaksian, tidak dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjerat, selalu diberikan informasi terkait kasus yang sedang berlangsung.

  • 3.    “Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak” (UU SPPA) juga mengatur terkait dengan perlindungan anak korban dan anak saksi sesuai dalam pasal 90 ayat (1) yang menyebutkan: “Anak Korban dan Anak Saksi berhak atas: a. upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga; b. jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial; dan c. kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara”.

  • 4.    Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2020” yang menegaskan kembali bahwa Presiden menjamin setiap anak Indonesia, khususnya anak yang menjadi korban tindak pidana (anak korban) dan anak yang menjadi saksi tindak pidana (anak saksi) berhak atas pemenuhan hak dan rasa aman sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Sejatinya selain aparat penegak hukum yang memiliki fungsi penting dalam perlindungan korban, peran keluarga dan masyarakat juga sangat dibutuhkan dan harus turut serta membantu upaya perlindungan terhadap anak sebagi korban tindak pidana cyberpornography. Keluarga dan masyarakat harus memberi dukungan emosional serta moral kepada korban demi proses pemulihan trauma atau keseimbangan psikis korban dan juga nama baik anak korban tindak pidana cyberpornography.18

IV. Kesimpulan

Berdasarkan dari kajian diatas secara garis besar kejahatan pornografi di dunia maya atau disebut dengan Cyberpornography adalah kegiatan atau aktivitas yang mengandung, memuat, mengakses, menyalahgunakan dan menyebarluaskan konten-konten tentang pornografi di dunia maya, di Indonesia tindak pidana cyberpornography yang melibatkan anak dibawah umur belum memiliki dasar hukum yang pasti. Dalam penyelesaian perkara terkait tindak pidana tersebut,

18. Dwiatmodjo, Haryanto. “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Banyumas ”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11, No. 2, (Mei 2011): 202.

aparat penegak hukum menggabungkan pasal pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Pornografi, dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Walaupun penggunaan peraturan Perundang-Undangan tersebut dapat dijadikan sebagai dasar hukum tindak pidana cyberpornography tetapi belum dapat diimplementasikan dan tidak dapat menjamin kepastian hukum secara penuh.

Upaya perlindungan hukum yang diberikan Negara Republik Indonesia terhadap anak sebagai korban tindak pidana cyberpornography dimuat dalam “Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak”, “Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak” dan juga diatur dalam “Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2020” yang memberikan perlindungan terhadap anak korban berupa hak untuk mendapat perlindungan dalam hal keamanan, rehabilitasi, dibebaskan dari segala tekanan untuk memberikan kesaksian, tidak dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjerat, selalu diberikan informasi terkait kasus yang sedang berlangsung.

Kekosongan norma hukum terhadap kejahatan cyberpornography perlu segera dibentuk untuk mengurangi intensitas kejahatan cyberpornography di masyarakat yang sangat meresahkan, dan diharapkan peran pemerintah dan aparat penegak hukum untuk memilih peraturan perundang-undangan yang sesuai sebagai dasar hukum tindak pidana cyberpornography agar pelaku kejahatan cyberpornography dapat dihukum sesuai dengan tindakannya. Terkait upaya perlindungan hukum Negara Republik Indonesia bagi anak korban kejahatan cyberpornography haruslah menjadi fokus aparat penegak hukum dalam penegakan hukum di Indonesia, dan perlindungan sebesar-besarnya harus diberikan untuk menjamin keselamatan fisik dan mental anak-anak korban.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amiruddin dan Asikin, Zainal. “Pengantar Metode Penelitian Hukum.” Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, (2004).

Rubai, Masruchin. Buku Ajar Hukum Pidana, Malang, Bayumedika, (2014).

Mansur, Didik M Arif dan Elisatris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita. (Jakarta, Rajawali Pers, 2006)

Jurnal Ilmiah

Anggara, Bayu dan Darmadha, I Nyoman.“Penegakan Hukum Kejahatan Dunia Maya (Cybercrime) Yang Dilakukan Anak Di Bawah Umur.” Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum 5, No.5 (2016): 2.

Anggara, Gede Nyoman Gigih dan Subawa, Made. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan.” Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum: 1-14. 11.

Aprilianda, Nurini. “Perlindungan Anak Korban Kekerasan Seksual Melalui Pendekatan Keadilan Restoratif.” Jurnal Arena Hukum 10, No.2 (2017)

Briliantari, Ni Putu Melinia Ary dan Darmadi, A.A. Ngurah Oka Yudistira. “Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pada Tindak Pidana Body Shaming.” Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum 8, No.8 (2019)

Dwiatmodjo, Haryanto. “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Banyumas”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 11, No. 2, (Mei 2011)

Harahap, Irwan Safaruddin. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kejahatan Seksual dalam Perspektif Hukum Progresif.” Jurnal Media Hukum 23, No.23 (2016)

Ismail, Mahsun. “Kebijakan Hukum Pidana Cyberpornography Terhadap Perlindungan Korban.” Jurnal Hukum Ekonomi Syariah 1, No.2 (2018)

Lisanawati. “Cyber Child Sexual Exploitation dalam Perspektif Perlindungan atas Kejahatan Siber.” Pandecta : Jurnal Penelitian Ilmu Hukum 8, No.1 (2013)

Suratman dan Laksana, Andri Winjaya. “Analisis Yuridis Penyidikan Tindak Pidana Pornografi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Di Era Digitalisasi.’’ Jurnal Pembaharuan Hukum 1, No.2 (2014)

Sushanty, Vera Rimbawani. “Pornografi Dunia Maya Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Pornografi Dan Undang-Undang Informasi Elektronik” Jurnal Gagasan Hukum 1, No. 1 (2019)

Triasti Ananda, Ni Nyoman Praviyanti; Mertha, I Ketut. “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Sebagai Korban Pada Tindak Pidana Balas Dendam Pornografi (Revenge Porn)." Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum 9, No.4 (2020)

Website

Jumasani, Destriadi Yunas. 2019, KPAI Ungkap 65,34 Persen Anak Usia 9-19 Tahun Akses Pornografi Via Gadget. URL: https://pontianak.tribunnews.com/

Peraturan Perundang- Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2020

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.8 Tahun 2021, hlm. 586-598