PENERAPAN RESTORATIF JUSTICE DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA BULLYING PADA

PELAKU ANAK DIBAWAH UMUR

Luh Putu Ayu Catur Adriani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Wayan Bela Siki Layang, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i10.p07

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya penanganan tindak pidana Bullying yang dilakukan anak-anak di bawah umur melalui Restoratif Justice. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan. Metode analisis data menggunakan metode kualitatif bersifat deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan hukum pada target tindak pidana bullying terdapat dalam KUHP, UU No. 11 Tahun 2012 terkait Sistem Peradilan Pidana Anak serta UU No. 35 Tahun 2014 terkait Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 terkait Perlindungan Anak dan upaya penyelesaian tindak pidana bullying dengan restorative justice dapat melalui Victim Offender Mediation, Conferencing, dan Circles

Kata Kunci: Bullying, Tindak Pidana Anak, Restorative Justice

ABSTRACT

This study aims to determine the efforts to handle the crime of bullying by minors through Restorative Justice. This study uses normative legal methods. The type of data used is secondary data. Collecting data using literature study. The method of data analysis using qualitative methods is descriptive. The results of the study indicate that the legal regulation on the target of the crime of bullying is contained in the Criminal Code, Law no. 11 of 2012 regarding the Juvenile Criminal Justice System and Law no. 35 of 2014 regarding Amendments to Law No. 23 of 2002 regarding Child Protection and efforts to resolve bullying crimes with restorative justice can be done through Victim Offender Mediation, Conferencing, and Circles

Keywords: Child Crime, Bullying, Restorative Justice

  • I.   PENDAHULUAN

    1.1  LATAR BELAKANG

Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak atas anak telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan anak telah banyak diterbitkan, namun dalam implementasinya di lapangan masih menunjukkan adanya berbagai kekerasan yang menimpa pada anak antara lain adalah bullying. Dikutip dari Yuliatun

(2017), secara etimologi kata bully berarti penggertak, orang yang mengganggu orang lemah. Sedangkan secara terminologi bullying adalah “sebuah hasrat untuk menyakiti”. 1

Bullying menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2021) suatu tindakan atau perbuatan yang mengucilkan seseorang atau lebih dengan menganggap korbannya memiliki kekurangan fisik atau psikis, Tindakan Bullying ini dapat dilakukan dengan cara menghina, meperbudak dan memperdaya korbannya seperti contohnya pelaku menyuruh korban untuk melakukan sesuatu, yang akan berdampak negatif bagi korban sendiri baik secara fisik maupun psikis, bullying dapat dilakukan baik secara langsung ataupun melalui online2 Hal ini merupakan tebentuknya perilaku awal dari suatu pembuliyan yakni bertingkah laku kasar terhadap korban, baik itu secara fisik maupun psikis melalui kombinasi itulah membuat para pelaku mengambil kesempatan kepada orang-orang yang lemah terhadap bullying.3 Berdasarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA), pada 2016-2020 terdapat sejumlah 40% siswa rentangan usia 13-15 tahun dilaporkan pernah mengalami kekerasan fisik oleh teman sebaya dan sejumlah 75 % siswa berbicara pernah melakukan kekerasan di sekolah. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2021) menyebutkan dampak bullying dapat mengancam setiap pihak yang terlibat, baik korban, pelaku maupun anak-anak yang menyaksikan bullying, bahkan sekolah dengan isu bullying secara keseluruhan. Bullying dapat membawa pengaruh buruk terhadap kesehatan fisik maupun mental anak. Pada kasus yang berat, bullying dapat menjadi pemicu tindakan yang fatal, seperti bunuh diri dan sebagainya.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2021) menyebutkan pengaruh internal dalam diri dan lingkungan dapat mendorong anak menjadi pelaku bullying. Anak yang memiliki kontrol diri yang rendah, berpotensi menjadi pelaku bullying karena menganggap dirinya selalu terancam dan biasanya bertindak menyerang sebelum diserang, tidak memiliki perasaan bertanggungjawab terhadap tindakan yang telah dilakukan, serta selalu ingin mengontrol dan mendominasi dan tidak menghargai orang lain. Anak yang tumbuh dalam keluarga permisif terhadap perilaku kekerasan berpotensi menjadi pelaku bullying, dimana orangtua yang sering bertengkar dan melakukan tindakan yang agresif, serta tidak mampu memberikan pengasuhan yang baik. Teman sebaya yang menjadi penonton yang secara tidak langsung membantu pelaku bullying memperoleh dukungan kuasa, popularitas dan status. Sekolah, lingkungan sekolah dan kebijakan sekolah mempengaruhi aktifitas, tingkah laku serta interaksi pelajar di sekolah dimana asa aman dan dihargai merupakan dasar pencapaian akademik yang tinggi di sekolah, jika hal ini tidak dipenuhi maka pelajar akan bertindak mengontrol lingkungan dengan melakukan tingkah laku anti social seperti melakukan bully. Manajemen dan pengawasan disiplin sekolah yang lemah juga mengakibatkan munculnya bullying di sekolah. Media massa sering menampilkan adegan kekerasan yang juga mempengaruhi tingkah laku kekerasan anak dan remaja.

Berdasarkan Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, Bullying termasuk dalam bentuk kekerasan terhadap anak. Mengingat bullying merupakan tindakan kekerasan terhadap anak, maka bullying adalah tindak pidana. Berdasarkan Surat Keputuran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (2020), dalam penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh pelaku anak menggunakan pedoman Restorative justice (keadilan restoratif). Keadilan restoratif merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat. Prinsip dasar keadilan restorative adalah adanya pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Hukum yang adil di dalam keadilan restoratif tentunya tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak sewenang-wenang, dan hanya berpihak pada kebenaran sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku serta mempertimbangkan kesetaraan hak kompensasi dan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan. Pelaku memiliki kesempatan terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi), masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian, dan pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum. Pelaku Anak yang dimaksud adalah anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua betas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana; Anak yang menjadi korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan tindak pidana; Anak yang menjadi saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan proses hukum mulai tingkat penyidikan, penuntutan dan sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan atau dialami. 4

Berdasarkan penelitian Tonny Rompis, Raodathul Jannah serta Chrysan et al mengemukakan bahwa, suatu perbuatan penindasan yang menimbulkan dampak buruk bagi korbannya tersebut maka diperlukan penerapan sanksi secara tegas pada pelaku bullying agar mendapatkan efek jera.5 Penelitian oleh Monica Chrysan, Yiska Marva Rohi, Dini Saputri Fredyandani Apituley yang berjudul tentang “Penerapan Sanksi Tindakan Anak Yang Melakukan Bullying Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Anak” pada penulisan tersebut membahas mengenai penerapan sanksi tindakan hukum yang diperbuat anak dibawah umur. Yang menjadi acuan dalam state of art dari penelitian ialah dijelaskan dengan rinci bagaimana penyelesaian alternatif keadilan hukum pelaku pada anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana bullying. Dengan begitu penulis berkeinginan untuk meneliti dan membahas secara detail dalam permasalahan kasus hukum yang sedang marak terjadi dilingkungan

sekolah maupun diluar sekolah khusus nya pembullyan dengan menggunakan alternatif penyelesaian Restoratif Justice. Maka penulis berkeinginan untuk menulis jurnal dengan judul “PENERAPAN RESTORATIF JUSTICE DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA BULLYING PADA PELAKU ANAK DIBAWAH UMUR”

  • 1.2    RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah yang dapat dikemukan dalam penelitian ini adalah :

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan Restoratif Justice di Indonesia?

  • 2.    Bagaimanakah penerapan Restoratif Justice dalam tindak pidana Bullying yang dilakukan oleh anak-anak dibawah umur?

  • 1.3    TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan permasalahan hukum diatas maka tujuan dalam penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui pengaturan Restoratif Justice dan penerapan Restoratif Justice dalam tindak pidana Bullying yang dilakukan oleh anak-anak dibawah umur di Indonesia.

  • II.   METODE PENELITIAN

Metode penelitian yakni memakai penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan. Adapun bahan hukum yang digunakan antara lain Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat (Peraturan Dasar yaitu Batang Tubuh UUD 1945, KUHP, UU No. 11 Tahun 2012 terkait Sistem Peradilan Pidana Anak serta UU No. 35 Tahun 2014 terkait Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 terkait Perlindungan Anak), Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer yang diperoleh dari studi kepustakaan berupa literature-literatur yang berkaitan dengan permasalahan penelitian; dan Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan penelitian ini diataranya adalah internet. Pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan yaitu teknik pengumpulan data dengan melakukan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier. Metode analisis data menggunakan metode kualitatif bersifat deskriptif, yakni mendeskripsikan analisis dengan data berupa kata-kata dari dokumen resmi, memo, dan dokumen-dokumen lainnya

  • III.  HASIL DAN PEMBAHAN

  • 3.1    Pengaturan Restoratif Justice di Indonesia

Tidak selamanya hukuman pidana yang pada dasarnya memiliki tujuan memberi hukuman berupa isolasi menjadi cara terakhir untuk setiap pelaku perbuatan kriminalitas khususnya anak. Isolasi tidaklah suatu jalan keluar yang paling baik dalam menuntaskan perkara-perkara kriminalitas yang melibatkan anak. Dalam berbagai dasar serta model strategi restorative justice, proses percakapan antara korban

dengan pelaku ialah bekal dasar serta salah satu hal yang penting dari implementasi keadilan ini. Percakapan langsung antara korban dengan pelaku membuat korban bisa mengatakan apa yang dialaminya, menjelaskan keinginan akan terwujud hak-hak serta harapan-harapan dari suatu penanganan masalah kejahatan. Dengan percakapan juga pelaku diinginkan tersadar hatinya untuk memperbaiki diri, sadar atas kesalahannya serta bertanggung jawab sebagai hukuman dari perbuatan kejahatan yang dilakukan secara sadar. Proses percakapan ini juga masyarakat bisa ikutserta bergabung untuk mencapai hasil keputusan serta mengawasi kelangsungannya. Oleh karena itu pada dasarnya restorative justice disebut juga dengan penanganan masalah menggunakan mediasi penal.6

Restorative Jutice yang sering disebut sebagai just peace principles7. Alternative Dispute Resolution lahir sebagai suatu upaya penyelesaian perkara selain jalur penal. Penyelesaian perkara anak yang berkaitan dengan pidana bukan hanya bergelut pada kewenangannya saja. Restorative justice dalam metode hukum kejahatan anak ialah salah satu dari penerapan diversi. Dasar yang paling penting penggunaan metode diversi ialah strategi persuasif maupun strategi non penal serta memberikan kesempatan pada seseorang untuk memgoreksi kesalahan. 8 Hal tersebut ialah pelanggaran jaminan hak anak yang diatur pada konvensi hak anak. Pasal 40 ayat (2) KHA huruf iv disebutkan bahwa anak tidak didesak untuk mengakui kesalahan tetapi pada press conference tersebut anak yang menjadi pelaku kekrasan memberikan pengakuan kepada media bahwa anak tersebut bersalah dalam kasus itu. Perlindungan hukum yang diberikan oleb konvensi hak anak sudah dikonfirmasi oleh Pemerintah Indonesia tanggaI 26 januari 1990 yang ditetapkan dalam Ketetapan Presiden No. 36 Tahun 1990 Konvensi Tentang Hak-Hak Anak. Dalam Rule 8.2. SMR JJ dijelaskan bahwa pada dasarnya tidak ada laporan terkait data diri pelaku yang boleh dipublikasikan.9

Cara melibatkan Keadilan Restoratif yakni dengan menyertakan keseluruhan yang terdiri dari target perbuatan kejahatan, pelaku tindak pidana kejahatan serta masyarakat sehingga terwujudnya keadilan, serta mewujudkan suasana damai seperti sebelum terjadi tindakan kriminalitas. Terdapat juga perbedaan peradilan restorative serta peradilan retributive sesuai yang dijelaskan oleh Mahmud Mulyadi yaitu, Pada umumnya untuk penanganan perbuatan kejahatan atau perselisihan bisa memakai dua jalur yaitu Nonlitigasi dan jalur Litigasi. Penanganan konflik melalui Litigasi atau pengadilan adalah proses penanganan di pengadilan yang membutuhkan terlibatnya seluruh pihak yang berselisih saling mengemukakan argument agar tetap memakai kewenangannya pada saat di muka pidana. Sedangkan penanganan konflik di luar pidana atau Non litigasi yaitu penanganan konflik dari tidak samanya argument yang telah menggunakan jalur yang diputuskan seluruh pihak, yang dilaksanakan menggunakan penengahan serta evaluasi dari ahli. Penanganan tindak pidana bullying dengan restorative justice memakai jalur penenganan konflik Non litigasi.

Proses penanganan sengketa yang berlandaskan hukum restoratif lewat mediasi dari seluruh pihak yang terlibat untuk sepakat mendapatkan kemufakatan perdamaian.

Pada proses hukum pidana konvensional diketahui terdapat restitusi pada korban. Restitusi ialah kompensasi yang diberikan pada korban maupun kerabatnya oleh pelakumaupun pihak ketiga, bisa berbentuk pemulihan harta milik, penggantian biaya bagi tindakan tertentu, atau pembayaran kompensasi untuk penderitaan maupun kehilangan.10 Kompensasi sesuai dengan dasar pengembalian pada kondisi semula yakni suatu usaha bahwa target criminal harus dipulihkan pada keadaan semula sebelum kekerasan terjadi walaupun dilandasi bahwa tidak akan bisa korban pulih pada keadaan sebelumnya. Dasar tersebut menjelaskan bahwa model penyembuhan kepada korban harus selengkap mungkin serta meliputi berbagai faktor yang didapatkan dari dampak kriminalitas. K orban bisa mendapatkan kembali hak-hak hukum, kebebasan, kedudukan, kehidupan keluarga serta kewarganegaraan, pengembalian pekerjaannya, Kembali kerumahnya, serta kembalinya kekayaannya dengan adanya restusi.11

Restorative justice dan diversi sebenarnya memiliki arti yang sama akan tetapi mempunyai jalan yang berbeda, bisa dikatakan diversi yakni pengubahan penanganan masalah anak dibawah umur dalam proses hukum kriminalitas berproses di luar hukum kriminalitas. Restorative Justice adalah suatu strategi yang lebih mengutamakan pada keadaan telahirnya keadilan serta kesepadanan untuk faksi yang melakukan perbuatan kriminalitas serta targetnya tersebut. Diversi ialah pengalihan penaganan masalah dari proses hukum ke proses di luar hukum kriminalitas. Adapun aspek penting di dalam penerapan diversi, yakni terdapat pengakuan bersalah dari pelaku serta kemauannya untuk dilaksanakan usaha diversi. Usaha diversi ini bukan hanya penanganan eksternal proses hukum formal atas perbuatan kriminalitas yang diperbuat seorang anak sesuai yang dijelaskan pada Pasal 6 Huruf b UU SPPA. Diversi memiliki tujuan yakni menegakkan rasa tanggungjawab pada anak. Selain itu, usaha diversi tersebut ialah usaha untuk pembelajaran sera rehabilitasi anak yang menjadi pelaku perbuatan kriminalitas. tidak adanya kesaksian bersalah dari pelaku perbuatan kriminalitas. Kosongnya pernyataan bersalah dari pelaku perbuatan kriminalitas bisa memacu untuk dilaksankannya proses hukum secara formal atas suatu perbuatan kriminalitas.12

Sama halnya yang dikemukakan Mardjono Reksodiputro menurut Soedikno Mertokusumo juga berpendapat demikian, perlindungan hukum ialah suatu langkah guna jaminan subjek hukum berlandaskan pada ketetapan undang-undang yang berlangsung disertai dengan hukuman-hukuman apabila ada yang menjalankan wanprestasi13. Munculnya permintaan wanprestasi bisa dilaksanakan sebagai usaha akan pelunasan restitusi dalam dalam masalah perbuatan kriminalitas anak. Korban bisa meminta pemenuhan kompensasi lewat kontrak pemufakatan yang isinya mengenai hasil persetujuan diversi. Pelunasan restitusi tidak harus berupa materi.

Hoge Raad dalam ketetapan pada tanggal 24 Mei 1918 sudah meninjau pada pemulihan untuk kondisi sebelumnya ialah pelunasan restitusi yang paling sesuai. Ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata menjelaskan bahwa untuk kemungkin memulihkan korban pada kondisi sebelumnya, sekurang-kurangnya pada kondisi yang bisa didapatkan, asalkan tidak melakukan tindakan melawan hukum. Sehingga yang diupayakan yaitu pemulihan yang jelas sekiranya lebih cocok selain pembayaran pelunasan kompensasi dalam bentuk materi sebab pelunasan sebanyak uang hanyalah merupakan nilai yang equivalen saja.14

Akan tetapi tetap saja tindakan ini harus memeliki hukuman juga, maka dari itu anak korban tindak pidana bullying harus memiliki perlindungan peradilan yang jelas serta tegas supaya tidak terjadi lagi kasus yang sama. Perbuatan Bullying bisa diasosiasikan pada beberapa peraturan yang sudah ada pada peradilan pidana di Indonesia, yang terdapat dalam KUHP, dalam mengelola tindak pidana bullying yakni yang terdapat pada Bab XVI terkait Penghinaan, khususnya Pasal 310 Ayat (1) dan (2) serta pada UU No. 35 Tahun 2014 terkait Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak. Memberi sanksi penjara untuk pelaku kriminalitas terhadap anak tercantum dalam Pasal 80 Ayat (1), (2), (3), serta (4).

  • 3.2    Penerapan Restoratif Justice dalam Tindak Pidana Bullying yang Dilakukan

    Oleh Anak-anak Dibawah Umur

Berdasarkan Pedoman Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum Mahkamah Agung (2020), keadilan restoratif (restorative justice) pada perkara anak memiliki beberapa dasar hokum yaitu Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun; Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Adapun skema Penerapannya yakni:

  • a.    Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).

  • b.    Setiap penetapan diversi merupakan wujud keadilan restoratif

  • c.    Dalam hal diversi tidak berhasil atau tidak memenuhi syarat diversi, hakim mengupayakan putusan dengan pendekatan keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 71 sampai dengan Pasal 82.

  • d.    Setelah pembacaan dakwaan, hakim proaktif mendorong kepada anak/orangtua/penasehat hukum dan korban serta pihak-pihak terkait (Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan selanjutnya disebut PK Bapas, Pekerja Sosial (Peksos), Perwakilan Masyarakat) untuk mengupayakan perdamaian.

  • e.    Dalam hal proses perdamaian tercapai, para pihak membuat kesepakatan perdamaian, selanjutnya ditandatangani anak dan/atau keluarganya, korban dan pihak-pihak terkait (PK Bapas, Peksos, Perwakilan Masyarakat) dan

kesepakatan perdamaian dimasukkan kedalam pertimbangan putusan hakim demi kepentingan terbaik bagi anak.

  • f.    Dalam hal hakim menjatuhkan hukuman berupa tindakan, maka hakim wajib menunjuk secara tegas dan jelas tempat atau lembaga dengan berkoordinasi kepada PK Bapas, Peksos dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak selanjutnya disingkat menjadi UPTD PPA (dahulu P2TP2A).

  • g.    Dalam hal pelaku adalah anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun dan menghadapi permasalahan hukum, hanya dapat dikenai tindakan bukan pemidanaan, yang meliputi; pengembalian kepada orang tua, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal dan atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta dan pencabutan Surat Ijin Mengemudi, dan perbaikan akibat tindak pidananya.

  • h.    Dalam hal korban adalah anak (anak korban/anak saksi) panitera wajib memberi catatan identitas (stempel korban/ saksi anak) dalam berkas perkara.

Kemudian Upaya yang dapat digunakan dalam rangka penanganan kasus bullying yakni:

  • 1.    Usaha penal, yakni suatu usaha supaya kriminalitas tidak terjadi dengan cara konsepsi maupun pikiran. Penanganan yang memakai usaha represif bisa dikatakan pelaku kejahatan mendapatkan sanksi tegas karena melakukan tindakan yang salah yang tentunya telah melawan hukum serta masyarakat juga mendapat efek buruk, supaya pelaku tidak melakukan lagi tindakannya pada orang lain, harus ditekankan kembali bahwa ada sanksi yang harus ditaati dan bisa bertanggungjawab.

  • 2.    Usaha preventif, prinsip dari non-penal policy semakin menegaskan dengan perbuatan preventif, memiliki tujuan guna menghindari sebelum terjadinya kriminalitas. Penting adanya instruksi tegas dari seluruh pejabat penegak hukum yang berperan dalam memberikan keamanan supaya terhindar dari terbentuknya kriminalitas, jadi usaha preventif ialah usaha yang baik untuk menangani kriminalitas.

Strategi restorative justice sesuai dengan ketetapan yang ditentukan pada Pasal 40 ayat (1) KHA yang menetapkan bahwa “Negara-negara faksi mengesahkan hak tiap anak yang dikatakan sebagai tertuduh yang sudah melawan hukum kejahatan untuk diperlakukan pada suatu cara yang sesuai dengan perkembangan rasa penghormatan serta status anak, yang menopang kembali penghormatan anak terhadap HAM serta kebebasan dari orang lain serta yang menjaga umur anak serta kemauan agar mengembangkan penyatuan kembali anak serta pemulihan anak pada kedudukan positif pada masyarakat”.

Tanpa merujuk proses yang beroperasi dalam program peradilan formal, proses penanganan lewat lembaga kemusyawarahan bekerja masyarakat. Proses percakapan antara pelaku dengan target adalah pesan dasar serta hal yang penting dari penegakkan kebenaran, hal tersebut terdapat pada berbagai dasar serta model strategi restorative justice. Percakapan langsung antara korban dengan pelaku membuat korban bisa mengatakan apa yang dialaminya, mendapatakan keinginan akan tekabulkannya hak-hak serta harapan-harapan dari suatu penanganan masalah kriminalitas. Lewat percakapan juga pelaku diinginkan tersentuh hatinya agar memperbaiki diri, memahami kekeliruannya serta bertanggungjawab sebagai akibat dari perbuatan kriminalitas yang dilakukan secara sadar.

Berdasarkan Fatahillah A. Syukur dan Hj. DS. Dewi maka penanganan kasus bullying oleh pelaku anak dibawah umur daat melalui:

  • a.    Victim Offender Mediation yakni suatu pembahasan yang memicu adanya dialog antara korban dengan yang ditolong oleh mediator sebagai pemimpin serta penyedia pada percakapan itu.

  • b.    Conferencing ialah suatu diskusi yang sama dengan VOM, pada model ini adanya ketidaksamaan, yakni penyertaan penanganan bukan hanya menyertakan pelaku serta primary victim, namun juga secondary victim, seperti kerabat atau teman dekat korban maupun kerabat dengan teman dekat pelaku. Terdapat juga dasar penyertaan faksi-faksi tersebut yakni sebab mereka bisa jadi mendapat akibat secara langsung maupun tidak atas perbuatan kriminalitas yang terjadi atau mereka mempunyai perhatian yang tinggi serta keperluan hasil dari perundingan dan mereka bisa ikut serta dalam mengusahakan kesuksesan proses dan keputusannya.

  • c.    Circles yakni suatu bentuk implementasi restorative justice yang keikut sertaannya sangat besar daripada dua model sebelumnya, yakni pembahasan yang bukan hanya pelaku, korban, mediator atau keluarga namun juga masyarakat yang dirasa bersangkutan dengan masalah itu. Ketiga model asas dari model implementasi strategi restorative justice itu pada dasarnya ialah model-model yang menjadi perbedaan dari bentuk percakapan yang termasuk dalam penyelenggaraan dari model perundingan serta sepakat. Menurut nilai dasar tersebut restorative justice sebagai penerapan dari nilai dasar yang ada pada irakyat Indonesia mempunyai dasar mutu yang efisien.15

  • IV. Kesimpulan

Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Dalam hal pelaku adalah anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun dan menghadapi permasalahan hukum, hanya dapat dikenai tindakan bukan pemidanaan, yang meliputi; pengembalian kepada orang tua, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal dan atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta dan pencabutan Surat Ijin Mengemudi, dan perbaikan akibat tindak pidananya. Dalam hal korban adalah anak (anak korban/anak saksi) panitera wajib memberi catatan identitas (stempel korban/ saksi anak) dalam berkas perkara. Penanganan kasus bullying oleh pelaku anak dibawah umur melalui Victim Offender Mediation yakni suatu pembahasan yang memicu adanya dialog antara korban dengan yang ditolong oleh mediator sebagai pemimpin serta penyedia pada percakapan itu; Conferencing ialah suatu diskusi yang sama dengan VOM, pada model ini adanya ketidaksamaan, yakni penyertaan penanganan bukan hanya menyertakan pelaku serta primary victim, namun juga secondary victim, seperti kerabat atau teman dekat korban maupun kerabat dengan teman dekat pelaku. Terdapat juga dasar penyertaan faksi-faksi tersebut yakni sebab mereka bisa jadi mendapat akibat secara langsung maupun tidak atas perbuatan kriminalitas yang terjadi atau mereka

mempunyai perhatian yang tinggi serta keperluan hasil dari perundingan dan mereka bisa ikut serta dalam mengusahakan kesuksesan proses dan keputusannya dan Circles yakni suatu bentuk implementasi restorative justice yang keikut sertaannya sangat besar daripada dua model sebelumnya, yakni pembahasan yang bukan hanya pelaku, korban, mediator atau keluarga namun juga masyarakat yang dirasa bersangkutan dengan masalah itu. Ketiga model asas dari model implementasi strategi restorative justice itu pada dasarnya ialah model-model yang menjadi perbedaan dari bentuk percakapan yang termasuk dalam penyelenggaraan dari model perundingan serta sepakat. Menurut nilai dasar tersebut restorative justice sebagai penerapan dari nilai dasar yang ada pada irakyat Indonesia mempunyai dasar mutu yang efisien.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Penerapan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana yang dilakukan anak-anak, Jakarta: BPHN, 2013, Hlm, 80.

Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2011).

Hj. DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan

Anak Indonesia, (Indi Publishing, Bandung, 2011).

I Made Sukadana, Mediasi Peradilan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012).

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, ( Jakarta: Kencana, 2011).

Jurnal:

Azwad Rachmat Hambali, Vol. 13 No. 1, “Penerapan Diversi Terhadap Anak”, Jurnal Fakultas Hukum UMI Makassar, jurnal.fh.umi.ac.id.

Amrunsyah. Tindak Pidana Perlindu ngan Anak (Perspektif Hukum Tentang Undang-Undang Perlindungan Anak). Jurnal Hukum Islam Dan Perundang-Undangan, (2017), 4(1).

Chrysan, E. M., Rohi, Y. M., Saputri, D., & Apituley, F. Penerapan Sanksi Tindakan Anak yang Melakukan Bullying dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Anak. Jurnal Hukum Magnum Opus, 3(4), (2020), Hlm: 162–172.

Teguh Prasetyo, ‘Penerapan Diversi Terhadap Tindak Pidana Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak’ (2015) 9 Jurnal Refleksi Hukum 1, 2.

Mahfiana, Layyin. No. 1, “Perlindungan Hukum Terhadap Tersangka Anak Sebagai Upaya Melindungi Hak Anak.” Jurnal Kajian Gender 3, (2011), Hlm: 393.

Marasabessy, Fauzy., No. 1, Restitusi Bagi Korban Tindak Pidana: Sebuah Tawaran Mekanisme Baru, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-45, 2015, Hlm: 55.

Nurdina, M. A., dan Tri Andrisman, F,‘Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindakan Penindasan Atau Bullying Di Sekolah Dasar’, Jurnal Poenale, 6.2 (2018), 1.

Prayitno, K. (2012). restorative justice untuk peradilan di Indonesia (perspektif yuridis filosofis dalam penegakan hukum In concreto). Jurnal Dinamika Hukum, 12(3), Hlm: 407-420.

Pangemanan, Jefferson B., Vol. III No. 1, Pertanggung Jawaban Pidana Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jurnal Lex et Societatis, 2015, Hlm: 104.

Pradityo, Randy., Vol. 5 No. 3, Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, Jurnal Hukum dan Peradilan, 2016, Hlm: 325.

Randy Pradityo, “Garis Lurus Diversi Sebagai Pendekatan Non-Penal,” Jurnal RechtsVinding Online (Jakarta, 2016). Hlm. 1.

Ransun, Alvianto R.V., Vol. I No. 1, Mekanisme Pemberian Kompensasi dan Restitusi bagi Korban Tindak Pidana, Jurnal Lex Crimen, 2012, Hlm: 62.

Raoudathul Jannah, ‘Pertanggungjawaban Pidana Oleh Anak Pelaku Bullying’, Jurnal Lex Crimen, 8.3 (2018), 109.

S. Atalim. Keadilan Restoratif Sebagai Kritik Inheren Terhadap Pengadilan Legal-Konvensional, Vol. 2 No. 2, Jurnal Rechtsvinding : Media Pembinaan Hukum Nasional berjudul Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI, 2013, Hlm. 147-148.

Slamet, Sri Redjeki., Vol. 10 No. 2, Tuntutan Ganti Rugi dalam Perbuatan Melawan Hukum: Suatu Perbandingan dengan Wanprestasi, Jurnal Lex Jurnalica, 2013, Hlm: 113.

Wijaya, Irawan Adi., Vol. 6 No. 2, Pemberian Restitusi Sebagai Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana, Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi, 2018, Hlm: 95.

Yuyarti, ‘Mengatasi Bullying Melalui Pendidikan Karakter’, Jurnal kreatif, 8.2 (2018), Hlm: 170.

Peraturan Perundang-undangan

UU No. 11 Tahun 2012 terkait Sistem Peradilan Pidana Anak.

UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 tahun 2002 terkait Perlindungan Anak.

Sumber Lain:

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2021). Bullying. https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/8e022-januari-ratas-bullying-kpp-pa

Mahkamah Agung. (2020). Pedoman Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum.

Yuliatun, I. (2017). Waspadai Perilaku Bullying Di Sekitar Kita (Vol. 4, pp. 1–23). RSJ Surakarta Jawa Tengah.

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.10 Tahun 2021, hlm. 844-854