PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMENUHAN HAK DARI PEKERJA YANG DIRUMAHKAN PADA MASA PANDEMI COVID-19

Putu Ayu Tasya Agnesty, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i10.p08

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status hukum dari pekerja yang dirumahkan serta menguraikan bentuk perlindungan hukum yang ada pada pekerja dengan status dirumahkan. Metode normative dengan pendekatan perundang-undangan, konsep dan kasus yang relevan digunakan pada penelitian ini. Analisis kualitatif digunakan pada penelitian ini, teknik analisis data bertujuan untuk mengklasifikasikan data berdasarkan pada penyajian hasil analisis dalam bentuk narasi untuk selanjutnya akan diuraikan kesimpulan berdasarkan pada hasil analisa tersebut. Hasil penelitian yakni bahwa terdapat beberapa peraturan, pada Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagai pengaturan utama dalam perlindungan pekerja hanya mengenal istilah PHK, sehingga terhadap istilah dirumahkan tidaklah sama dengan PHK. Maka terhadap hak dan kewajibannya akan merujuk dalam perjanjian kerja yang mengikat sebagai hukum bagi para pihak. Bentuk perlindungan hukum terhadap status pekerja yang dirumahkan terkhusus pada perlindungan atas kepastian hukum terhadap pengupahan. Pekerja yang dirumahkan jika tidak diatur lebih lanjut dalam perjanjian kerja, maka wajib untuk mendapatkan upah. Jika pekerja tidak mendapat haknya, maka pekerja dapat untuk menggugat dengan pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial maupun mengajukan penyelesaian perselisihan secara bipatrit dan juga tripatrit.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Hak, Merumahkan Pekerja

ABSTRACT

This study aims to analyze the legal status of laid-off workers and describe the forms of legal protection that exist for workers who are on leave. The normative method with the statute approach, law concepts and relevant cases is used in this study. Qualitative analysis is used in this study, the data analysis technique aims to classify the data based on the presentation of the results of the analysis in the form of a narrative which will then be described based on the results of the analysis. The results of the study contained several regulations, the Manpower Act as the main regulation in the protection of workers only recognizes the term layoffs, so the term layoffs is not the same as layoffs. Then the rights and obligations will refer to a binding agreement as law for the parties. Forms of legal protection for the status of dismissed workers, especially in the legal protection of wages. If the dismissed workers are not further regulated in the work agreement, then they are obliged to get wages. If the worker does not get his rights, then the worker can sue by filing a lawsuit to the Industrial Relations Court or submitting a bipatriate and tripartite settlement

Key Words : Legal Protection, Right, Laid-off worker

  • 1.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Pandemi Covid-19 yang mewabah pada tahun 2019 memberikan ruang kesenjangan yang begitu besar dalam aspek ekonomi dunia. Virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan China ini menyebar begitu massif dibelahan dunia. Mobilitas antar negara menjadi terhambat dan berdampak pada kerugian materiil yang dari berbagai sector dengan potensi kerugian yang besar. Seluruh negara di dunia tengah gencar untuk membentuk serangkaian regulasi guna untuk memutus mata rantai penyebaran pandemic yang telah menjadi bencana nasional non alam. Maka berdasarkan pada penepatan tersebut diperlukan adanya sinkronisasi berbagai aspek guna merespon status bencana tersebut. Adanya status bencana non alam tersebut menimbulkan penghentian mobilitas pada beberapa aspek produksi dan distribusi dan secara kontan turut juga berdampak pada laju kinerja pekerja yang berkurang. Hal ini menyebabkan pelaku usaha mengambil tindakan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), maupun merumahkan pekerja.1 Berdasarkan pada data oleh Kementrian Ketenagakerjaan tercatat dalam data sebanyak 29,4 Juta Pekerja pada sector terdampak pandemic mengalami PHK maupun juga dirumahkan. Tindakan PHK merupakan suatu bentuk tindakan perusahaan untuk melakukan pemutusan dari segala bentuk hubungan yang terjalin dan memutuskan juga kewajiban yang harus dilakukan serta hak yang diterima dalam suatu perjanjian kerja. Tindakan PHK oleh perusahaan merujuk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Ketenagakerjaan) dalam Pasal 164 ayat (1) memang memberikan ruang bagi perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan tersebut, namun adanya PHK harus melalui serangkaian tahapan dan kualifikasi yang tepat untuk mampu menentukan bahwa suatu perusahaan berhak untuk melakukan PHK, hal ini bertujuan untuk dapat menghindari adanya pemutusan sepihak dan sewenang-wenang.2 Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur pembatasan dapat atau tidak dijadikan alasan atau pertimbangan untuk melakukan PHK. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, Pasal 150 sampai dengan Pasal 172 mengatur berbagai ketentuan tentang PHK. Pengusaha memberhentikan pekerja/buruh karena berbagai alasan, seperti pengunduran diri, kebangkrutan perusahaan, kematian pekerja, pensiunan pekerja atau pekerja/buruh yang melakukan kesalahan serius.

Perusahaan bertindak secara efisien sesuai dengan Pasal 156 ayat (2), memberikan imbalan 1 (satu) kali lipat dari remunerasi menurut Pasal 156 ayat (3) dalam masa kerja, dan menurut Pasal 156 ayat (4) Hak atas kompensasi. Keadaan memaksa mengacu pada ketidak mampuan untuk memenuhi kondisi kinerja pekerja karena kejadian yang yang tidak dapat diketahui atau diharapkan pada saat membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa ini, pekerja tidak dapat disalahkan, karena situasi ini di luar kemauan dan kemapuan pekerja.3 Alasan force majure menjadi celah bagi

perusahaan untuk dapat mengambil keputusna terhadap PHK pekerja. Tindakan lainnya untuk pengurangan pekerja adalah merumahkan. Status merumahkan pekerja ini pada dasarnya tidak diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pendefinisian “dirumahkan” begitu luas pemaknaannya ketika tidak diatur dengan tegas dalam peraturan ketenagakerjaan. Status merumahkan pekerja baru terdapat dalam Surat Edaran Nomor : SE-907/MEN/PHO-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal. Status pekerja dirumahkan disejajarkan dengan penggunaan pekerja sejajarkan dengan penggunaan pekerja secara bergilir untuk sementara waktu, sehingga berdasarkan pada hal tersebut maka status dirumahkan akan memiliki makna bahwa pekerja akan dikembalikan kerumah untuk selanjutnya diatur Kembali jadwal bekerjanya agar dapat bekerja secara bergiliran. Namun pada fakta yang terjadi, adanya status dirumahkan ini menjadi rancu dan ambigu dikarenakan pada masyarakat dapat secara mudah merumahkan pekerja serta tidak memberikan jangka waktu yang pasti bagi pekerja yang akan kembali bekerja. Hal ini cenderung memberikan dampak kerugian dan ketidakpastian hukum bagi pekerja karena statusnya yang berdasarkan pada Surat Edaran Nomor : SE-907/MEN/PHO-PPHI/X/2004.4 Status dirumahkan bagi pekerja akan menempatkan pekerja pada situasi yang tidak pasti antara PHK atau masih sebagai pekerja pada suatu perusahaan.

Pada status dirumahkan, maka dengan merujuk pada Pasal 155 Undang-Undang Ketenagakerjaan, bahwa pengusaha akan terus memiliki hubungan hak dan kewajiban terhadap pekerja selama belum terjadi pemutusan hubungan kerja yang sah. Maka terhadap status pekerja dirumahkan, maka akan tetap melekat padanya hak dan kewajiban yang harud dipenuhi satu sama lainnya. Namun penggunaan istilah “dirumahkan” memiliki urgensi untuk dijelaskan lebih lanjut dalam suatu peraturan, hal ini dikarenakan pada masa pandemi, status dirumahkan tersebut telah ditetapkan oleh banyak perusahaan dengan mengabaikan hak-kewajiban pengusaha terhadap pekerja dikarenakan pemaknaan yang sempit dan tidak terdapat pengaturan lebih lanjut terkait syarat merumahkan pekerja yang terprosedur. Maka berdasarkan pada uraian tersebut, penulis berkeinginan untuk melakukan tinjauan yuridis terhadap perlindungan hukum bagi status pekerja yang dirumahkan pada masa pandemi. Penelitian ini akan membahas kedudukan hukum terhadap pekerja yang dirumahkan pada beberapa peraturan untuk memberikan uraian analisa terkait lemahnya kedudukan pekerja yang dirumahkan karena pengertian atas status dirumahkan tersebut belum diatur lebih lanjut batasannya dalam suatu peraturan perundang-undangan. Adapun state of art pada penelitian ini akan disandingkan dengan beberapa penelitian terdahulu seperti pada penelitian oleh Fitrah Agung Sabda dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Akibat Pemutusan Hubungan Kerja Dimasa Pandemi Covid-19” yang pada dasarnya berfokus pada situasi force majure dengan kaitannya terhadap PHK, sedangkan pada penelitian oleh Dhitania Annisa dan Andriyanto Adhi Nugroho dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerjayang Dirumahkan Terkait Remunerasi Dalam Masa Pandemi Covid-19” pada penelitian tersebut berfokus pada bentuk remunerasi dari pengusaha terhadap pekerja,

penelitian tersebut merujuk secara penuh dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Lain hal pada penelitian ini, dengan menggunakan metode hukum normatif yang timbul dari ketidakpastian hukum pemaknaan pekerja dirumahkan sehingga terhadap pemenuhan hak-hak pekerja rentan menimbulkan ambiguitas. Pada penelitian ini akan diuraikan pula kedudukan pekerja dengan status dirumahkan yang akan meliputi pembahasan terkait hak dan kewajiban dalam perspektif beberapa regulasi serta menguraikan bentuk perlindungan hukum dari pekerja yang dirumahkan. Maka berdasarkan pada uraian diatas penulis tertarik untuk mengkaji status pekerja dirumahkan dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pemenuhan Hak Dari Pekerja Yang Dirumahkan Pada Masa Pandemi Covid-19”.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana kedudukan hukum terhadap pekerja yang dirumahkan pada masa pandemi Covid-19 dalam perspektif hukum positif di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap status pekerja yang dirumahkan pada masa pandemi Covid-19 ?

  • 1.3 Tujuan Penelitian

  • 1.    Untuk mengetahui kedudukan hukum terhadap pekerja yang dirumahkan pada masa pandemic Covid-19 dalam perspektif hukum positif di Indonesia

  • 2.    Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap status pekerja yang dirumahkan pada masa pandemi Covid-19

  • 2 .Metode Penelitian

Penelitian normatif atau disebut juga penelitian doktrin, yang fokusnya adalah meneliti dan menemukan landasan pustaka hukum, jurnal dan penelitian hukum serta peraturan perundang-undangan, sehingga penelitian ini menggunakan penelitian normative. Adapun penggunaan pendekatan perundang-undnagan, konsep dan kasus yang relevan dapat memperjelas ungkapan dari permasalahan di atas dan metode kasus untuk mempelajari penelitian ini untuk memahami urgensi penguatan atas instrument perlindungan hukum status pekerja dirumahkan yang kian meningkat selama masa pandemi di Indonesia. Analisis kualitatif digunakan pada penelitian ini, teknik analisis data tersebut bertujuan untuk mengklasifikasikan data berdasarkan pada penyajian hasil analisis dalam bentuk narasi untuk selanjutnya akan diuraikan kesimpulan berdasarkan pada hasil analisa tersebut.

  • 3 . Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Kedudukan Hukum Terhadap Pekerja Yang Dirumahkan Pada Masa Pandemi Covid-19 Dalam Perspektif Hukum Positif Di Indonesia

Aspek pembangunan nasional akan berkorelasi erat dengan pemenuhan hak dan kewajiban dari masyarakatnya. Pembangunan nasional merujuk pula pada pembangunan masyarakat yang sejahtera dan merata. Tenaga kerja menempati posisi yang krusial dalam pembangunan bangsa, sehingga penting bagi negara untuk dapat

memberikan perlindungan yang berkepastian hukum. Atas dasar uraian tersebut sebagai salah satu butir konsideran dari terbentuknya Undang-Undang Ketenagakerjaan pada tahun 2003. Berdasarkan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan, dalam Pasal 150 telah mengatur perihal PHK yang menyatakan sebagai berikut:

“Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”

Hak pekerja yang mengalami PHK tertuang dalam Pasal 156 yang mensyaratkan adanya uang pesangon atau penghargaan sebagai pengganti dari hak selama bekerja. PHK menjadi satu-satunya bentuk penghentian pekerja. Pada Undang-Undang Ketenagakerjaan, tidak dikenal dengan istilah dirumahkan. Bahkan tidak mengenal system merumahkan pekerja, hal ini dikarenakan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan mengupayakan adanya kepastian hukum status pekerja.5 Perjanjian kerja menjadi bagian terpenting dalam suatu hubungan kerja, manakala terjadi PHK atau keputusan lain dalam suatu ikatan pekerjaan maka keseluruhan putusan tersebut harus merujuk pada perjanjian kerja. Hal ini sejalan dengan kesepakatan kerja dalam Pasal 1601 KUH Perdata, yaitu pihak pertama, pekerja, akan mengalihkan tenaganya kepada pihak lain, pemberi kerja, dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, menurut aturan hukum di atas, jika seorang pekerja kontrak diberhentikan sebelum kontrak diputus, dia berhak atas gaji bulanan dikalikan dengan sisa kompensasi kontrak yang pekerja tersebut belum bekerja. Perusahaan harus memenuhi beberapa kewajiban kepada pekerjanya. Semuanya telah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, dimana di dalamnya ada 3 hal yang harus perusahaan lakukan ketika melakukan PHK yaitu membayar pesangon, upah masa kerja dan kompensasi hak. Selain dari yang tertuang dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, pengaturan terhadap pekerja juga termuat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut Undang-Undang Cipta Kerja) yang mengatur terkait dengan pesangon. Turunan dari pengaturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, Serta Pemutusan Hubungan Kerja (selanjutnya disebut PP 35/2021) . Pada Pasal 40 ayat (2) PP 35/2021 mengatur rincian hak pekerja terhadap pesangon yang disesuaikan dengan masa kerja, sedangkan pada Pasal 43 PP 35/2021 mengatur kewenangan bagi perusahaan untuk dapat mengurangi jumlah dari pesangon yang seharusnya dibayarkan kepada pekerja pada kondisi saat perusahaan melakukan pengurangan jumlah pekerja karena timbulnya kerugian perusahaan. Pada uraian pengaturan diatas, maka status pekerja yang lepas dari hubungan kerja hanya saat pekerja tersebut di PHK. Terhadap ketentuan pekerja dirumahkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Cipta Kerja belum terdapat pengaturan yang tegas dan berkepastian hukum.

Permasalahan yang sering muncul adanya pada suatu perjanjian kerja tidak termuat pengaturan yang terperinci, seperti pada status pekerja saat pekerja ada pada posisi dirumahkan. Posisi merumahkan pekerja sering disamakan dengan tindakan “memecat” atau memberhentikan pekerja. Pada praktiknya dilapangan, tidak jarang pengusaha memberhentikan pekerja dengan status dirumahkan namun terhadap hak dan kewajibannya seketika berhenti pada saat itu sebagaimana sama dengan status diberhentikan. Jika merujuk pada Undang-Undang Ketenagakerjaan dalam Pasal 56 mengatur hak-hak pekerja, pada status PHK pengaturannya terletak dalam Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pada kondisi pekerja yang terkena PHK maka diperlukan adanya proses-proses lebih lanjut sebelum melakukan PHK, namun dalam status dirumahkan jika merujuk pada SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004, maka status dirumahkan tidak terdapat penjelasan lebih lanjut.

Pada kondisi status dirumahkan yang tidak mendapat penjelasan lebih rinci terkait batasan serta hak dan kewajibannya, maka pada dasarnya status tersebut akan berbeda dengan status pekerja yang mengalami PHK. Hal ini disebabkan karena dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya mengatur status PHK beserta haknya. Maka dapat diuraikan bahwa status dirumahkan akan sama dengan status pekerja yang masih bekerja diperusahaan tersebut, sehingga terhadapnya masih melekat hak dan kewajiban sebagai pekerja. Jika merujuk pada SE-97/MEN/PHI-PPHI/X/2004 telah mengkualifikasikan pengusahayang melakukan tindakan merumahkan dalam 2 (dua) golongan, yakni sebagai berikut:

  • 1.    Untuk mengarah pada tindakan PHK yang masih dipertimbangkan oleh pengusaha. Dalam kondisi demikian, pada dasarnya keseluruhan hak dan kewajiban masih melekat dalam kedua belah pihak dan tunduk dalam masing-masing perjanjian yang telah disepakati.

  • 2.    Tidak mengarah pada terjadinya PHK. Upaya merumahkan akan dipersamakan dengan upaya pengurangan pekerja atau yang biasa disebut sebagai efisiensi. Pengusaha akan mengatur kembali jadwal bekerjanya pekerja sehingga pekerja masih tetap berstatus bekerja. 6

Serta dalam pengaturan lain pada Surat Edaran SE/05/M/BW/1998 Tahun 1998 menempatkan kondisi pengusaha yang mengalami kesulitan dapat mengambil kebijakan untuk merumahkan pekerja dengan ketentuan pengupahan sebagai berikut:

  • 1.    Kewajiban tetap atas pengupahan seperti adanya upah pokok serta tunjangan tetap pada saat dirumahkan. Hal tersebut akan menjadi baku ketika dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan serta kesepakatan kerja bersama tidak diatur lebih rinci.

  • 2.    Pada kondisi saat pengusaha akan membayar upah secara tidak penuh maka harus terdapat kesepakatan para pihak yang ditetapkan dengan status dirumahkan tersebut.

  • 3.    Namun dalam kondisi apabila perundingan yang dilangsungkan oleh perantara pekerja tidak tercapai kesepakatan maka perselisihan tersebut akan dilanjutkan dengan jalur seperti dengan pelimpahan ke P4 Daerah, maupun pusat untuk adanya PHK Massal.

Dasar dari pengaturan tersebut maka kedudukan pekerja dirumahkan akan memiliki posisi yang sama dengan status bekerja namun terdapat pengecualian terhadap hak dan kewajiban yang disepakati sebelum ditetapkannya status pekerja dirumahkan. Argumentasi tersebut juga selaras dengan ketentuan dalam Pasal 81 angka 25 Undang-Undang Cipta Kerja dengan pembaharuan yang merujuk pada Pasal 88A ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menempatkan pemutusan hubungan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha hanya akan hilang pada saat berakhirnya hubungan kerja dengan PHK.

3.2 Perlindungan Hukum Terhadap Status Pekerja Yang Dirumahkan Pada Masa

Pandemic Covid-19

Jika merujuk pada pendefinisian perlindungan hukum menurut Satjipto Rahardjo, maka yang dimaksud dengan bentuk perlindungan hukum yakni suatu upaya yang diadakan untuk dapat melindungi kepentingan seseorang dengan mengakomodir hak asasi manusia kedalamnya.7 Aparat penegak hukum menjadi salah satu bagian dari penegakan terhadap perlinudngan hukum sebagaimana pendapat menurut CST Kansil.8 Menurut Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa :

“Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak – hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasakarkan ketentuan umum dari kesewangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal lainnya”.9

Berdasarkan pada uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa suatu perlindugan hukum sebagai sebuah upaya untuk melindungi hak dan kewajiban dari dari para pihak maupun masyarakat. Ketika merujuk pada suatu perlindungan hukum, maka penting untuk mengetahui terlebih dahulu kedudukan atau status hukumnya, karena dengan mengetahui hal tersebut maka aspek perlindungan yang diupayakan menjadi jelas. Perlindungan hukum memberikan ruang atas upaya preventif yang merujuk pada pemberian kesempatan kepada individu untuk mengajukan keberatan terhadap suatu perilaku yang mengganggu hak dan kewajibannya, selain itu dalam aspek represif perlindungan hukum juga akan diarahkan pada suatu penyelesaian sengketa untuk memperoleh keadilan dan kepastian hukum.10

Pemenuhan hak dan kewajiban bagi setiap pekerja telah diupayakan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan. Telah diatur bentuk-bentuk pekerja seperti PKWTT (pekerja waktu tidak tetap) atau yang umumnya disebut sebagai pekerja kontrak, sedangkan pada PKWT (pekerja waktu tetap) umumnya disebut sebagai pekerja kontrak, serta pada pekerja yang telah diputus hubungan kerjanya maka akan berstatus PHK.11 Pada status pekerja dirumahkan berbeda dengan status pekerja yang di-PHK karena dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak ditemukan

perinstilahan tersebut. Maka terhadap hak dan kewajiban dari pekerja dirumahkan akan merujuk pada hak dan kewajiban pekerja sebagaimana dalam undang-undang serta hak dan kewajiban pekerja yang merujuk pada perjanjian kerja. 12 Terhadap hal-hal seperti pengupahan, bagi pekerja yang dirumahkan haruslah tetap mendapat upah. Hal ini pula kembali ditegaskan oleh Kahar Cahyono yang menyatakan bahwa keseluruhan keputusan yang akan berdampak pada pekerja harus merujuk dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, sehingga terhadap status dirumahkan yang tidak terdapat dalam undang-undang tersebut maka masih tetap melekat padanya sebagaimana tertuang dalam Pasal 93 ayat (2) huruf f Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pekerja wajib mendapatkan upah meskipun dalam status dirumahkan, dalam hal yang patut dikondisikan adalah besaran upah yang disepakati oleh para pihak.13

Pada kondisi pengusaha yang tidak membayarkan kewajibannya tersebut maka telah termasuk kedalam suatu pelanggaran. Kondisi pada praktiknya memberikan ruang kekaburan hukum dikarenakan pemaknaan merumahkan tidak terdapat pengaturan secara tegas dalam undang-undang, karena status dirumahkan hanya terdapat dalam surat edaran. Hal ini menimbulkan urgensi untuk memberikan pemaknaan lebih rinci terhadap kedudukan status pekerja dirumahkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan mengingat pada dewasa kini pilihan untuk merumahkan pekerja menjadi salah satu pilihan yang kian banyak ditetapkan oleh pengusaha. Pelanggaran atas pekerja dirumahkan yang tidak mendapatkan upah akan sama sanksinya dengan pekerja yang masih dalam status kerja namun tidak mendapatkan upah. Maka, pada kondisi saat tiadanya kesepakatan terkait pengupahan dan diberikannya status dirumahkan kepada pekerja, bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh negara guna menjamin kesejahteraan pekerja yakni dengan memeberikan ruang diupayakannya Langkah-langkah litigasi maupun non litigasi. Terhadap Langkah litigasi yakni penyelesaian sengketa melalui jalur hukum maka dapat melalui Pengadilan Hubungan Industrial dengan mendaftarkan gugatan ke Pengadilan setempat dengan dalil dasar gugatan berupa tidak terpenuhinya upah pekerja sebagai bagian dari hak pekerja. Serta Adapun jalur non litigasi yakni dengan penyelesaian Bipatrit maupun juga Tripatrit. Keduanya merupakan bentuk perundingan, namun pada bipatrit akan melibatkan pihak yang tertuang dalam perjanjian kerja bersama maupun perjanjian kerja, sedangkan pada jalur tripatrit akan melibatkan pekerja, pengusaha dan medioator yang berasal dari Dinas Ketenagakerjaan.

4. Kesimpulan

Kedudukan hukum terhadap pekerja yang dirumahkan pada masa pandemi Covid-19 dapat ditinjau dalam beberapa peraturan terkait yakni seperti dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, SE-907/MEN/PHO-PPHI/X/, SE/05/M/BW/1998 Tahun 1998. Pendefinisian status dirumahkan tidak secara terperinci diatur dalam regulasi tersebut, melainkan hanya dirumuskan dengan kedudukan yang sama sebagai pekerja yang masih terikat hubungan kerja namun pada waktu tertentu tidak melangsungkan

kewajibannya sebagai pekerja. Pada Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagai pengaturan utama dalam perlindungan pekerja hanya mengenal istilah PHK, sehingga terhadap istilah dirumahkan tidaklah sama dengan PHK. Maka terhadap hak dan kewajibannya akan merujuk dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan serta perjanjian kerja yang mengikat sebagai hukum bagi para pihak.

Bentuk perlindungan hukum terhadap status pekerja yang dirumahkan pada masa pandemic Covid-19 tidak mengalami pembaharuan, terkhusus pada perlindungan atas kepastian hukum terhadap pengupahan. Pekerja yang dirumahkan jika tidak diatur lebih lanjut dalam perjanjian kerja, maka wajib untuk mendapatkan upah. Terhadap status pekerja yang dirumahkan dengan tanpa mendapat upah serta dalam perjanjian kerja tidak diatur terkait pengupahan, maka pekerja tersebut mendapat perlindungan dengan diberikannya hak untuk menggugat dengan pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial maupun mengajukan penyelesaian perselisihan secara bipatrit dan juga tripatrit.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Aris Haranto. Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia. (Bandung: Mandar Maju, 2001) C.S.T Kansil. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka Jakarta 1989)

Hariri, Muhwan. Hukum Perikatan. (Bandung: Pustaka Setia, 2011)

Haryono.  Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa.(Jakarta: Sekretariat Jenderal Dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008)

Lalu Husni. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2014) Ramli, Lanny. Hukum Ketenagakerjaan. (Jakarta:Airlangga University Press, 2020)

JURNAL

Fitri, Wardatul. "Implikasi Yuridis Penetapan Status Bencana Nasional Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Terhadap Perbuatan Hukum Keperdataan." Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum 9, No. 1 (2020): 7693.

Juaningsih, Imas Novita. "Analisis Kebijakan PHK Bagi Para Pekerja Pada Masa Pandemi Covid-19 Di Indonesia." 4, No. 1 (2020).

Kahfi, Ashabul. "Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja." Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum 3, No. 2 (2016): 59-72.

Prajnaparamitha, Kanyaka, dan Mahendra Ridwanul Ghoni. "Perlindungan Status Kerja Dan Pengupahan Tenaga Kerja Dalam Situasi Pandemi COVID-19 Berdasarkan Perspektif Pembaharuan Hukum." Administrative Law And Governance Journal 3, No. 2 (2020): 314-328.

Putri, Retno Karunia, Rahmawati Indah Sari, Rita Wahyuningsih, Ety Meikhati, And Alpian Winarso Aji. "Efek Pandemi Covid 19: Dampak Lonjakan Angka PHK Terhadap Penurunan Perekonomian Di Indonesia." Jurnal Bisnis Manajemen Dan Akuntansi (BISMAK) 1, No. 2 (2021): 72-77.

Randi, Yusuf. "Pandemi Corona Sebagai Alasan Pemutusan Hubungan Kerja Pekerja Oleh Perusahaan Dikaitkan Dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. " Yurispruden 3, No. 2 (2020): 119-136.

Sihombing, Uli Parulian. "Perlindungan Hukum Terhadap Buruh Perempuan Di Tempat Kerja." Jurnal Hukum Dan Bisnis (Selisik) 2, No. 1 (2016): 66-78.

Tanjaya, Willy, dan Ellert "Perlindungan Hukum Terhadap Karyawan Yang Dirumahkan Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (Putusan: Nomor 491 K/Pid. Sus-Phi/2017)." Ilmu Hukum Prima (IHP) 2, No. 1 (2019): 166-180.

Wijayanti, Asri. "Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Yang Di PHK Karena Melakukan Kesalahan Berat." Legality: Jurnal Ilmiah Hukum (2010).

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39]

Surat Edaran Nomor SE-907/MEN/PHO-PPHI/X/2004 Tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal

Surat Edaran Kemenaker Nomor: SE/05/M/BW/1998 Tahun 1998 terkait dengan Upah Pekerja Yang Dirumahkan Bukan Kearah Pemutusan Hubungan Kerja.

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.10 Tahun 2021, hlm. 855-864