PERTANGGUNGJAWABAN PRODUK DALAM CACAT PRODUKSI AIRBAG KENDARAAN RODA

EMPAT DIKAITKAN DENGAN UU

PERLINDUNGAN KONSUMEN

Dewa Ayu Devi Dwivasari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Anak Agung Sri Indrawati, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i10.p02

ABSTRAK

Tujuan penulisan ini yakni untuk mengetahui dasar ketentuan dalam pengaturan hukum dari tanggungjawab produk dalam cacat produksi airbag pada kendaraan roda empat dan upaya sarana penyelesaian hukumnya bagi konsumen yang mendapati kerugian akibat produk tersebut. Studi ini mempergunakan metode penelitian yang berbentuk hukum normatif, yakni suatu penelitian yang menggunakan studi kepustakaan (Library Research) sebagai dasar. Dengan mempergunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) yakni mempelajari buku-buku literatur dan pendekatan fakta (the fact approach). Hasil studi menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 digunakan sebagai pedoman guna melindungi hak-hak dari konsumen serta dapat memahami upaya penyelesaian sengketa serta pertanggungjawaban kepada produsen terkait cacat produksi pada airbag kendaraan roda empat.

Kata Kunci: Airbag, Tanggungjawab Produk, Cacat Produk, Penyelesaian Sengketa

ABSTRACT

The purpose of this paper is to find out the form of the basic legal provisions of product liability in airbag production defects in four-wheeled vehicles and the legal remedies for consumers who experience losses due to these products. This study uses a research method in the form of normative law, namely a study that uses library research as the basis and approach to legislation and studies literature books and the fact approach. The results of the study show that Law Number 8 of 1999 is used as a guideline to protect the rights of consumers and to understand dispute resolution efforts and accountability to producers regarding production defects in four-wheeled vehicle airbags.

Key Words: Airbags, Product Liability, Product Defecis, Dispute

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1 Latar Belakang

Bertambah besarnya kemajuan dan pertumbuhan perekonomian di bidang usaha di dalam masyarakat baik dalam jangakuan nasional maupun intemasional begitu erat kaitannya dengan permasalahan perlindungan terhadap konsumen.

Perlindungan konsumen tidak terlepas kaitannya antara produsen dengan konsumen dimana dari sebuah transaksi produk terciptalah hubungan timbal balik tersebut secara berkesinambungan.1 Produsen membutuhkan partisipan dari pengguna produk (konsumen) sebagai pendukung dalam roda perputaran dari kelangsungan usahanya di mana tanpa adanya konsumen kelangsungan usahanya di pastikan tidak berjalan dengan baik. Sebaliknya juga dengan konsumen yang membutuhkan barang dari produsen untuk kelangsungan hidupnya. Namun dalam realitanya beberapa hal sering kali terjadi permasalahan di antara produsen dengan konsumen salah satunya yaitu mengenai perihal cacat produksi airbag pada kendaraan roda empat. Airbag pada kendaraan roda empat merupakan komponen yang cukup penting. Karena apabila terjadi kecelakan terhadap kendaraan tersebut maka tentunya airbag yang akan berfungsi untuk melindungi kepala dari cendera ataupun benturan yang cukup keras akibat dari kecelakaan tersebut. Tetapi dalam realitanya di lapangan tidak setiap airbag pada kendaraan roda empat dapat berfungsi secara sempuma sebagaimana mestinya Airbag yang sudah di desain sedemikian rupa bisa jadi justru mengakibatkan kejadian fatal yang mengancam keselamatan konsumen ataupun keamanan pengguna produk tersebut.2 Dalam kaitan produk dengan manusia, hingga faktor keamanan serta keselamatan menjadi prioritas dengan demikian sangat berartinya sebuah komponen produk pada kendaraan dalam mencermati faktor tersebut. Sesuatu produk dapat dikatakan bermutu apabila sudah terbebas dari cacat pembuatan, cacat desain, serta cacat peringatan/ data. Dari ketiga tipe cacat produk tersebut faktor cacat desain merupakan tipe yang sangat sulit untuk diukur.

Sebuah produk di kategorikan dalam cacat apabila produk tersebut tidak benar-benar nyaman buat digunakan sesuai dengan tujuannya meskipun sudah dibuat secara benar. Jika sebuah produk telah melewati uji di standarisasi ataupun uji kelayakan, maka dari itu tentunya sebuah produk wajib memberikan jaminan atas kualitas dan keamanan dari sebuah produk tersebut dipastikan akan memberikan kompensasi atau jaminan perlindungan terhadap konsumennya. Maka dari itu jika benar pada kenyataannya airbag pada kendaraan roda empat tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya serta mengakibatkan kerugian bagi konsumennya maka tentu diharapkan tanggung jawab produsen atau tanggung jawab produk dapat bertanggungjawab akan hal tersebut.3 Aspek yang paling utama dari perlindungan terhadap konsumen yakni mengenai kewajiban produsen dalam hal pemberian ganti rugi sebagai konsekuensi yang ditumbulkan dari sebuah produk tersebut. Yang awam dikenal dengan tanggung jawab produk (product liability ). 4 Adanya artian dari Product Liability di istilahkan dalam bahasa indonesia secara beragam yakni: "tanggung gugat produk", "tanggung jawab produk", atau "tanggung jawab produsen". Secara pengertian dalam sejarah suatu ilmu, product timbul dikarenakan tidak seimbangnya tanggung jawab antara produsen dan konsumen. Product Liability merupakan sebuah tanggung jawab secara bidang hukum yang dimana berfungsi

untuk mengatur tanggung jawab produsen serta jalannya distributor, seller yang di perdagangkan untuk khalayak umum terhadap akibat yang ditimbulkan oleh produk-produk tersebut.5  Maka dari itu tanggung jawab dari produk cacat ini memiliki

perbedaan dari tanggung jawab dengan pelaku usaha. Tanggung jawab cacatnya sebuah produk yang mengakibatkan kerugian bagi orang, orang lain, atau barang lainnya merupakan tanggung jawab produk cacat. Sedangkan apabila adanya kerusakan atau gagal berfungsinya seb-uah produk merupakan kewenangan dari tanggung jawab pelaku usaha dikarenakan adanya tindakan yang melanggar hukum.6 Minimnya kesadaran serta pertanggungjawaban sebagai produsen maka tentu akan mengakibatkan kefatalan terhadap resiko bagi integritas usahanya. Adanya cacat pada produk airbag khususnya pada kendaraan roda empat serta rendahnya kualitas airbag di dalam kendaraan tersebut tentu akan menyebabkan kerugian bagi konsumen. Yang dimana tentunya konsumen dapat menuntut ganti rugi atau kompensasi akibat dari produk tersebut. Sekarang produsen lebih memprioritaskan konsumen karena pada mulanya produsen hanya dominan berkecenderungan terhadap produk dalam pemasarannya. Karena konsumen biasanya di anggap perlu membutuhkan perlindungan yang lebih dominan. Tanggung jawab produsen (tanggung jawab produk) merupakan komponen yang paling utama dan penting dari perlindungan konsumen yang mengalami kerugian yang diakibatkan oleh produk tersebut. Masih adanya permasalahan airbag yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka dapat diartikan bahwa masih adanya kelengahan dalam pengawasan dalam produksinya.7 Berdasarkan penelitian - penelitian yang sudah dilakukan terlebih dahulu yang ditulis oleh Juliana Dwi Lestiani berjudul “Tinjauan Yuridis Perbuatan Melawan Hukum Dari Pelaku Usaha Terhadap Tanggung Jawab Produk (product liability) di Perusahaan ‘X’ Dihubungkan Dengan Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999” pada tulisan tersebut membahas mengenai tindakan hukum yang bisa dilakukan pihak konsumen apabila barang yang dipergunakan tersebut merugikan konsumen. Yang menjadi state of art dari penelitian atau yang menjadi pembeda dengan tulisan-tulisan yang sebelumnya yakni dijelaskan secara rinci bagaimana tanggung jawab yang harus dilakukan oleh produsen apabila produk yang dihasilkan tersebut mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa konsumen yang di mana hal tersebut sangat penting bagi pembahuruan hukum di Indonesia. Maka penulis berkeinginan meneliti dan membahas secara detail dan khusus permasalahan hukum yang terjadi akibat dari cacat produksi airbag pada kendaraan roda empat yang dikaji dengan menggunakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Oleh sebab itu penulis berkeinginan menulis jural dengan judul "PERTANGGUNGJAWABAN PRODUK DALAM CACAT PRODUKSI AIRBAG KENDARAAN RODA"

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana aspek pengaturan hukum dari tanggung jawab produsen terkait cacat produksi airbag pada kendaraan roda empat dalam perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen?

  • 2.    Bagaimana upaya penyelesaian hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen terkait dengan tanggung jawab produsen dalam cacat produksi airbag pada kendaraan roda empat dalam perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalah hukum diatas maka tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui dan memahami kaedah-kaedah hukum yang terdapat pada suatu peraturan   perundang-undangan   mengenai pengaturan hukum dari

pertanggungjawaban produk dalam cacat produksi airbag pada kendaraan roda empat dan upaya sarana penyelesaian hukumnya dalam perspektif Undang -Undang Perlindungan Konsumen.8

  • 2. Metode Penelitian

Di dalam pembahasannya peneliti menggunakan metode penulisan normatif yakni dengan menggunakan ketentuan dasar perundang-undangan sebagai acuan serta meninjau buku-buku literatur.9 Tipe penelitian ini ialah deskriptif dan mempergunakan jenis pendekatan peraturan perundang-undangan serta aturan hukum (the statute approach) dan pendekatan fakta (the fact approach). Data yang dipergunakan sebagai bahan hukum pada penelitian ini mempergunakan data primer yang berbentuk perundang-undangan dan juga data sekunder yang berupa tulisan dari para ahli hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan yakni teknik studi dokumen yang merupakan teknik penelitian hukum yang mempergunakan bahan-bahan hukum yang berbentuk sumber data, dokumen yang tertulis yang sesuai dengan permasalahan dari penelitian tersebut. Tipe penelitian ini bersifat deskriptif yakni mengenai aspek yang dapat dikaji berdasarkan dengan aspek peraturan perundang-undangan serta dilakukan dengan teknis analisis bahan hukum kualitatif yakni analisis dari keseluruhan data yang sudah dikumpulkan dengan data primer ataupun data sekunder.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Aspek Pengaturan Hukum dari Tanggung Jawab Produsen Terkait Cacat Produksi Airbag Pada Kendaraan Roda Empat Dalam Perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia dijadikan sagai dasar hukum dan perangkat hukum yang dimana akan melindungi konsumen. Undang - Undang tersebut telah mengatur secara substansial terkait dengan upaya untuk dapat menyeimbangkan antara kedudukan konsumen maupun para pelaku usaha. Definisi dari produk cacat yang dikemukakan oleh Bustai & Nulela, dapat diartikan sebagai sebuah produk yang tidak layak dan tidak sesuai dengan ketentuan standar yang sudah diwajibkan namun tetap bisa untuk dibenahi atau diganti dengan mengeluarkan biaya.10 Sebagaimana pengertian yang

sudah dipaparkan diatas maka bisa di tarik kesimpulan yakni sebuah produk yang dianggap cacat merupakan produk yang tidak maksimal berfungsi dengan sempuma atau gagalnya kinerja dalam suatu produk yang mengakibatkan kerugian bahkan terancamnya keselamatan konsumen akibat dari gagalnya suatu produk dalam proses perancangannya. Persyaratan produk cacat (defective product) merupakan salah satu peranan yang paling krusial dalam tanggung jawab produk. Aspek hukum mengenai tanggling jawab produk terkait cacat produksi air bag pada kendaraan roda empat pihak konsumen korban yang merasa dirugikan yang ingin menuntut atau menginginkan adanya kompensasi dari tanggung jawab produk atau tanggung jawab produsen tentunya harus menunjukan tiga hal, sebagai berikut :

  • a)    Produk tersebut benar-benar sudah cacat ketika saat diserahkan dari pihak produsen.

  • b)    Cacatnya suatu produk itu sudah mengakibatkan kcrugian atau kecelakaan.

  • c)    Adanya kerugian.11

Beberapa hal dapat dilakukan agar mengetahui pada saat kapan sebuah produk dikatakan mengalami cacat yang di bagi menjadi 3 kemungkinan yakni :

  • a)    Kesalahan produksi, dapat di klasifkasikan ke dalam 2 bagian yaitu kesalahan yang mencakup ketidak berhasi1an dalam proses produksi, juga dalam hal perakitan produk, kegagalan pada saat peninjauan, baik di karenakan unsur kealpaan yang dilakukan oleh orang manusia atau ketidak berhasilan berfungsinya pada mesin dalam hal ini yaitu airbag, sedangkan yang kedua yakni produk sebenamya sudah tepat dan baik ketika dirancang sedemikian rupa namun pada kenyataannya tidak safety ketika dalam pemaikaiannya secara umum.

  • b)    Cacat desain, yang di mana keadaan produk sudah cacat terjadi pada kondisi saat produk sudah mulai untuk di persiapakan, yang terbagi atas desain, komposisi, dan juga serta konstruksi dalam hal ini ketika airbag sudah terpasang pada badan kendaraan.

  • c)    Informasi yang kurang lengkap dan detail, yakni terjadinya keadaan cacat pada jenis ini berkaitan dengan penyamapain informasi terkait produk tersebut dalam hal ini yaitu airbag.12

Tanggung jawab produk secara perdata secara mutlak harus dilaksanakan oleh produsen dan harus di dapatkan oleh konsumen yang menderita kerugian dampak yang di akibatkan oleh suatu produk dari desain cacat tersebut dalam hal ini yaitu aribag. Secara langsung di dalam product liability apabila tidak ada kesepakatan terlebih dahulu sebe1umnya yang terjadi antara produsen dengan konsumen tidak peru risau dikarenakan pelaku usaha tetap akan bertanggung jawab berdasarkan dari product liability tersebut.13 Diterapkannya product liability di dalam peraturan UUPK mengenai pelaku usaha yang bertindak menghasilkan produk yang dimana pada

kenyataannya produk tersebut mengakibatkan kerusakan, pencemaran, dan/ atau kergian pada tubuh dan dan keselamatan jiwa serta produk yang dimiliki konsumen maka tentunya mendapatkan akibat yang di implemantasikan pada product liability pelaku usaha tersebut tentunya akan mendapatkan sanksi dalam hukum private (perdata) sebagimana yang ada pada Pasal 19 UUPK.14 Sebagaimana yang sudah tertuang dalam UUPK Pasal 19, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 mengenai pengaturan dari tanggung jawab pelaku. Didalam UUPK telah diatur secara detail terkait dengan apa saja yang menjadi kewajiban dan juga hal-hal yang dilarang untuk diperbuat oleh pihak pelaku usaha. Dimana hal-hal yang wajib seharusnya dilakukan tersebut tertuang dalam Pasal 7 yang meliputi hal mulai dari keharusan pelaku usaha untuk menyampaikan informasi terkait produknya dengan jelas, beritikad baik dan jujur, tidak melakukan tindakan membeda-bedakan konsumen, serta yang paling penting yaitu apabila konsumen mengalami kerugian maka tentunya pelaku usaha harus memberikan ganti rugi yang diakibatkan oleh produk cacat tersebut dalam hal ini airbag pada kendaraan roda empat tidak dapat berfungsi dengan baik. Sedangkan terkait dengan perbuatan yang dilarang dilaksanakan oleh pelaku usaha atau produsen yang terkait dengan produknya telah diatur dalam Pasal 8 hingga Pasal 11 UUPK. Seluruh hal yang yang berkaitan dengan tanggung jawab produk yang sudah termuat pada Pasal-Pasal dalam UUPK yang merupakan bagian dari tanggungjawab produsen sebagai pelaku usaha dimana hal tersebut mencakup seluruh kerugian yang diakibatkan dari produk tersebut. Maka dari itu menjadi penting halnya untuk tau apakah benar produk cacat tersebut dikarenakan memang adanya unsur kesalahan mutlak yang diperbuat oleh pihak produsen hingga mengakibatkan kerugian bagi pihak konsumen.15

Oleh sebab itu konsumen jika ingin menuntut ganti rugi, adapun beberapa hak-hak yang tentunya harus dipenuhi oleh produsen guna mewujudukan keinginanya konsumen yang ingin mendapatkan pertanggungjawaban dari produsen berupa ganti rugi rugi yang telah dijembatani oleh UUPK yang terdapat dalam Pasal 19 Ayat (1) yang berisikan terkait tanggungjawab pelaku usaha dalam memenuhi ganti rugi akibat dari kegagalan sebuah produk atau jasa yang di perjualkan.16 Kemudian dalam Pasal 19 Ayat (2) menyebutkan mengenai hal yakni berupa : barang atau jasa yang sudah dibeli atau digunakan oleh konsumen ataupun dengan memberikan santunan seperti yang tertera pada Undang-Undang. Kemudian pada. Pasal 19 Ayat (3) disebutkan dilakukannya pemberian ganti rugi akibat dari produk atau jasa tersebut dilaksanakan dengan tenggang waktu selam 7 hari setelah terjadinya transaksi. Memerhatikan substansi dari Pasal 19 Ayat (1) tersebut terdapat beberapa peranan penting yang termasuk ke dalam tanggung jawab dari pelaku usaha seperti : tanggung jawab ganti rugi atas terjadinya kerusakan, penemaran, dan juga kerugian yang dialami konsumen.17 Dari batasan yang sudah di paparkan diatas maka dapat di simpulkan yakni suatu produk cacat yang sampai mengakibatkan kerugian material ataupun

hingga sampai terancamnya kesalamatan konsumen. Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindugan Konsumen, product liability dimasukkan dalam berbagai pasal termasuk di dalamnya Pasal 7 huruf e UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindugan Konsumen tentang kewajiban pelaku usaha. Tindakan preventif dan represif sebagai upaya perlindungan konsumen dalam kaitannya terhadap product liability termuat dalam pasal tersebut. Salah satu tindakan preventif yang ditawarkan ialah bahwa kewajiban pelaku usaha untuk memberikan kesempatan pada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan jasa tertentu namun untuk airbag pada kendaraan roda empat ini sendiri tentunya tidak bisa di uji coba karena temasuk ke dalam komponen mobil yang memang tidak bisa untuk di uji coba fungsinya namun perusahaan wajib serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan. Maka dari itu pelaku usaha atau produsen selaku sebagai pihak yang tentunya harus bertanggung jawab sebagaimana yang telah tertuang dengan rinci dalam UUPK berkaitan pada kewajiban serta hal yang tidak boleh dilakukan dari pelaku usaha seperti berkewajiban untuk menyampaikan informasi dengan jelas dan tentunya menjamin produknya tersebut telah sesuai dengan standar, kemudian melayani konsumen dengan baik dengan tidak membedak-bedakan setiap konsumen dan juga tentunya wajib memberikan ganti rugi apabila benar produk yang diperjualkannya tersebut mengakibatkan kerugian bagi konsumen.18

  • 3.2 Upaya Sarana Penyelesaian Hukum Terhadap Perlindungan Konsumen Terkait Dengan Tanggung Jawab Produsen Dalam Cacat Produksi Airbag Pada Kendaraan Roda Empat Dalam Perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Pasal 45 Ayat (2) UUPK memuat mengenai hal pengurusan dari penuntasan sengketa terhadap konsumen yang bagi menjadi 2 bagian yakni :

  • 1.    Upaya dari proses menyelesaikan sengketa konsumen melalui pengadilan

  • 2.    Upaya proses menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan

  • a)    Yakni penyelesaian sengketa dengan secara baik-baik yang dilakukan oleh konsumen, para pihak sendiri, ataupun produsen

  • b)    Penyelesaian sengketa ini melalui BPSK dengan menggunakan cara Konsiliasi, Mediasi dan Arbitrase (arternative dispute resolution).19

Dalam UUPK Pasal 23 sudah memuat terkait dengan jikalau pelaku usaha enggan mengindahkan tidak merespon dan melayani permintaan penggantian rugi terkait degan permohonan yang diajukan oleh pihak konsumen sebagaimana yang tersurat pada Pasal 19 ayat (1) ayat (20, ayat 93), dan ayat (4) dapat melayangkan gugatan melalui BPSK ataupun dapat melayangkan gugatan ke lembaga peeradilan dimana tempat konsumen itu berada.20 Mengenai proses menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pihak pelaku usaha sudah dimuat pada UUPK, dimana hal tersebut digunakan untuk sarana oleh konsumen untuk menuntut haknya :

  • 1.    Penyelesaian Melalui Peradilan

Menurut UUPK terdapat pada. Pasal 45 Ayat (1), dimana memuat masing-masing konsumen yang merasa tidak diuntungkan bahakan dirugikan dapat melayangkan gugatan kepada pelaku usaha atau produsen tersebut dengan mepergunakan lembaga yang mempunyai tugas untuk mengatasi perselisihan sengketa di antara pihak konsumen dengan pihak pelaku usaha. BPSK yakni sebuah badan spesifik yang dibuat dan dalam UUPK sudah diatur, yang mempunyai tugas pokok yakni adalah mengatasi sengketa atapun konflik di antara produsen dengan konsumen. Pada Pasal 46 Ayat (1) UUPK tertera kriteria yang berkesempatan untuk bisa mengemukakan gugatan mengenai kaalpaan yang diperbuat pelaku usaha tersebut yakni, seorang konsumen ataupun ahli waris yang bersangkutan yang telah mengalami kerugian, kumpulan dari beberapa konsumen yang memiliki perihal keperluan yang sejenis, kemudian LPKSM yang tentunya sudah melengkapi kriteria seperti sudah berwujud badan hukum kemudian pada anggaran dasar sudah berisikan dengan jelas dan transparan mengenai tujuan dibentuknya organisasi ini untuk demi kebutuhan dari perlindungan konsumen itu sendiri dan tentunya sudah melakukan aktivitas yang telah dimuat dalam anggaran dasar, dan badan atau lembaga yang berkaitan dengan perihal jikalau adanya suatu produk ataupun jasa tersebut di pakai oleh pihak dari konsumen tersebut menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan juga kerugian materi yang besar. Penyelesaian sengketa yang dialami oleh pihak konsumen tersebut dapat melalui peradilan hanya memungkinkan jikalau :

  • a)    Para pihak yang bersengketa belum menentukan untuk menggunakan menempuh upaya penyelesaian sengketa konsumen tersebut melalui diluar pengadilan

  • b)    Upaya yang dilakukan oleh kedua belah pihak dari penyelesaian sengketa konsumen tersebut di luar pengadilan, diputuskan gagal atau tidak mencapai keberhasilan oleh salah satu dari kedua belah p-ihak yang bersengketa.21

  • 2.    Penyelesaian Sengketa Konsumen di Luar Pengadilan

Penyelesan sengketa konsumen dapat ditempuh mclalui BPSK. Seperti yang tertuang dalam Pasal 49 ayat (1) pemerintah mendirikan BPSK di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa luar pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak antara konsumen dengan produsen terkait dengan besarnya kerugian yang akan diganti ataupun perihal kertekaitan permasalahan kerugian yang dialami konsumen tersebut untuk tidak terulang kembali. Penyelesaian sengketa terhadap konsumen diluar pengadilan dapat ditempuh melalui beberapa upaya yakni :

  • a)    Penyelesaian sengketa secara damai

Penyelesaian sengketa konsumen secara damai sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 45 Ayat (2) UUPK, tidak menutup kemungkinanan untuk diselesaikannya sengketa tersebut secara rukun oleh kedua belah pihak yang bersengketa yakni konsumen dan pelaku usaha tersebut tanpa campur tangan pengadilan ataupun badan penyelesaian sengketa konsumen yang terpenting tidak berlawanan dengan undang-

undang perlindungan konsumen yang berlaku. Bahkan penjelasan di dalam Pasal 45 Ayat (2) UUPK tersebut justru menghendaki terlebih dahulu untuk para pihak menyelesaikan sengketa tersebut dengan upaya damai sebclum para pihak tersebut untuk menuntaskan sengketa mereka melalui BPSK ataupun badan peradilan.22

  • b)    Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK

Berpacu pada Pasal 45 UUPK yang secara uraian singkat di jelaskan terkait penyelesaian sengketa konsumen dapat dilaksanakan melalui pengadilan ataupun diluar pengadilan. Berdasarkan Pasal diatas tentunya pihak-pihak yang terlibat sengketa memiliki hak yang diperbolehkan untuk bebas menentukan insitusi yang terkait menangani penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.23 Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada bab XI terdiri atas Pasal 49-58 dimana dalam Pasal tersebut memuat mengenai sebuah lembaga yang didirikan oleh pemerintah dan juga dineat dalam undangundang yang disebut BPSK. Tugas serta kewenangan BPSK telah diatur dalam Pasal 52 UUPK jo. SK. Menplinclak Nomor 350/MPP/Kep/12/ 2001. BPSK memiliki tugas untuk dapat memberi konsultasi perlindungan konsumen (Pasal 52 butir b UUPK) yang bisa disebut sebagai wujud dari pengenalan dan sosialisasi mengenai UUPK yang diberikan pada pihak konsumen maupun pelaku usaha. Konsultasi dapat diberkan ketika upaya permohonan sengketa konsumen telah terdaftar di sekretariat BPSK. Dalam Pasal 6 Kepmenrindag No. 30/MPP/Kep/10/20011 dijelaskan konsultasi yang di upayakan dari pihak BPSK guna menyelesaiankan sengketa tersebut dengan menggunakan jalan mediasi, konsiliasi, serta arbitrase.24

Tahapan pada proses upaya menyelesaikan sengketa konsumen dengan bantuan BPSK mencakup 3 tingkatan yakni :

  • a)    Proses tahapann permohonan dimana tentunya mencakup ketentuan-kententuan pengaduan penyelesaian sengketa konsumen dengan tidak adanya pengacara. Tahap permohonan ini diajukan melalui sekretariatan BPSK secara lisan ataupun tertulis. Apabila ingin lagajukan permohonan dengan secara tulisan maka dari itu pihak sekretariat BPSK akan menyerahkan tanda terima kepada pihak pemohon. Namun jika ingin mengajukan dengan cara lisan lalu selanjutnya dicatat dalam sebuah format yang sudah disiapkan khusus oleh sekretariat BPSK. Tertera pada Pasal 16 KepMenPerindag dan Perdagangan RI No. 350/MPP/Kep/12/2001 sudah tertera secara jelas bagaimana syarat pengajuan permohonan yang benar dan lengkap. Apabila permohonan yang diajukan tersebut tidak detail seperti dengan Pasal 16 tersebut maka ketua BPSK akan berhak tidak menerima permohonan tersebut. Sedangkan jika permohonan tersebut sudah dibuat dengan benar makan akan diterima oleh ketua BPSK lalu pihak dari pelaku usaha maupun pihak konsumen

berkesempatan untuk memilih menyelesaikan sengketa dengan menggimakan tahapan mediasi, konsiliasi, ataupun arbitrase.

  • b)    Tahapan proses sidang yang diperbolehkan dilakukan menggunakan proses konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Setelah permohonan diterima maka secara tertulis ketua BPSK maka selanjutnya pelaku usaha akan dipanggil dengan dilengkapi dengan salinan permohonan dari konsumen, dengan selang waktu paling lama 3 hari mulai dari mengajukan proses dari permohonan menyelesaikan sengketa permasalahan konsumen dikabulkan ketua BPSK. Setelah itu tahap persidangan di mulai ketua BPSK dengan bantuan dari panitera, membentuk majelis yang total tidak boleh genap yang mencakup dari paling sedikit atas 3 orang BPSK yang tentunya mewakilkan bagian dari kepala ketua, usaha, dan konsumen. Namun berdasarkan Pasal 20 KepMenPerindag dan Perdagangan RI No. 350/MPP/Kep/12/2001 pihak dari majelis dengan para pihak tidak boleh ada hubungan darah ataupun hubungan keluarga. Menurut Pasal 52 ayat 4 UUPK jo. Pasal 26 sampai 36 KepMenPerindag Perdagangan RI No. 350/MPP/Kep/12/2001 dijelaskan terkait mengenai proses menyelesaikan permasalahan sengketa dari konsumen dengan menggunakan BPSK sebagai jembatan dapat dilaksanakan melalui 3 cara yaitu : • Persidangan melalui konsiliasi yakni mekanisme proses penyelesaian sengketa konsumen dimana saat penyelesaiannya permasalahan di antara piahk konsumen dengan pihak pelaku usaha melibatkan pihak ketiga yang netral yang disebut sebagai konsiliator.

  • •    Persidangan mcnggunakan proses mediasi yakni prosedur menyelesaikan sengketa di luar pengadilandibantu

menggunakan badan altcmatif penyelesaian sengketa sebagai penasihat serta penyelesaian sengketanya diberikan kepada kedua belah pihak.

  • •    Persidangan dengan cara artbitrase yakni dalam penyelesaian sengketa konsumen ini melibatkan satu atau lebih hakim swasta (arbiter) dalam pengambilan putusannya. Arbiter harus bersifat aktif sebagaimana hal seorang hakim. Arbiter tunggal ataupun majelis arbitrase harus mampu bersikap profesional, serta tanpa memihak salah satu pihak dan harus independen dalam segala hal.25

  • c)    Tahap putusan wajib dituntaskan paling lambat 21 hari pada hari kerja dihitung mulai saaat gugatan diteriman sampai dengan akhir eksekusi dari putusan tersebut. Putusan yang disampaikan oleh BPSK berbentuk perdamaian, gugatan di tolak, atau gugatan di tolak atau gugatan dikabulkan apabila putusan tersebut di kabulkan oleh BPSK maka di dalam amar putusan sudah diberikan keharusan yang tentunya wajib dilaksanakan pihak pelaku usaha sebagai bentuk dari upaya penggatian rugi dengan mengganti biaya yang sudah di keluarkan konsumen untuk membeli produk tersebut serta memberikan kompensasi yang sama seperti produk ataupun jasa yang serupa.26 Putusan BPSK dari konsiliasi, mediasi, arbitrase termasuk putusan akhir serta tentunya harus dijalankan oleh para pihak sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Ayat (3) UUPK. Pada Pasal 42 Ayat (2) KepMenPerindag

350/MPP/Kep/12/2001 berisi terkait pengaturan keputusan BPSK dikabulkan untuk menetapkan eksekusi pada Pengadilan Negeri bertempat dimana konsumen di rugikan. Sesuai dengan Pasal 56 Ayat (2) UUPK jikalau ada salah satu pihak yang tidak puas dengan putusan yang di putuskan BPSK bisa kembali mengutarakan ketidakpuasannya pada Pengadilan Negeri dengan selang waktu paling lama empat belas hari kerja terhitung mulai saat menerima keputusan itu.27

  • 4. Kesimpulan

Bertolak dari uraian dalam sub hasil dan pembahasan diatas maka pengaturan terkait pertanggungjawaban pihak pelaku usaha atau produsen sudah tertuang pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang terdapat pada Pasal 19, Pasal 21, Pasal 23 Pasal 24, dan Pasal 25. Serta bentuk dari tanggung jawab tersebut bisa berupa ganti rugi adapun berupa bentuk ganti rugi yang bisa diberikan oleh undang-undang yang tertuang dalam Pasal 19 Ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 19 ayat (3), Pasal 19 ayat (4), Pasal 19 ayat (5). Kemudian berkaitan dengan proses upaya menyelesaikan permasalahan sengketa konsumen tersebut terdapat pada Pasal 45 Ayat (2)UUPK dimana dibagi menjadi 2 bagian yakni : Upaya Proses Penyelesaikan permasalahan sengketa melalui pengadilan ( Pasal 45 ayat (1) ), Penyelesaian sengketa diluar pengadilan Pasal 49 ayat (1). Da1am menyelesaikan sengketa sengketa pihak konsumen diluar pengadilan dilaksankan BPSK menggunakan upaya Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase. Hendaknya untuk pemerintah/ pembentuk undang-undang dirasa per1u untuk mebentuk atau menambahkan aturan yang lebih spesifik dan detail mengenai airbag sebagai kelengkapan dan komponen wajib dalam kendaraan roda empat. Bagi pihak produsen atau pelaku usaha juga harus melakukan kontrol pada setiap detail kendaraan roda empat yang diproduksinya agar sesuai dengan standar kualitas, keamanan, kenyaman, dan kesehatan konsumen serta selalu melakukan seluruh kewajiban dan juga hak seperti yang tertera dalam Undang Undang yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdul, Halim Barkatullah. Hak-hak Konsumen, (Bandung, Nusa Media, 2010).

Ahmad Miru & Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2010).

Bustami & Nurlela. Akuntansi Biaya. (Jakarta, Mitra Wacana Media, 2013).

Isis, Ikhwansyah. Hukum Persaingan Usaha Dalam Implementasi Dan Praktik, (Bandung, Unpad Pres, 2010).

Kristiyanti, Celine Tri Siwi. Hukum Periindungan Konsumen, ( Jakarta, Sinar Grafika, 2011).

Kumiawan. Hukum Perlindungan Konsumen, (Malang, UB Press, 2011).

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta, Kencana Prenida Media, 2011).

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press, 2015).

Susanti, Adi Nugroho. Proses Penyelesall Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta, Prenada Media Grup, 2011).

Jumal Ilmiah:

Bustomi, Abuyazid. “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Kerugian Konsumen”, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Palembang Vol. 16, No. 2, Bulan Mei (2018).

Duha, Novanema, Tan Kamello, Dedi Harianto, and Utary Maharani Barus. "Prinsip Tanggungjawab Produk (Product Liability) Atas Penarikan Kendaraan Bermasalah oleh Pelaku USAha Ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen." USU Law Journal 4, no. 4 (2016)

Grady, Nathanael. "Tanggung Gugat Pelaku Usaha Otomotif Atas Kerugian Konsumen Akibat Cacat Desain." PhD diss., Universitas Airlangga, (2019)

Juniarti, Jeanette. "Tanggung Jawab Produk (Producy Liability) Dalam Industri Otomotif, Jurnal FH UI (2017)

Kurniawan. “Permasalahan dan Kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)”, Jurnal Dinamika Vol. 12 No.1 Januari (2012).

Lumantow, Carter H. "Tinjauan Yuridis Tanggung Jawab Produsen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitanya Dengan Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen." Jurnal Hukum Unsrat 1, no. 2 (2013).

Mamengko, Rudolf S. "Product Liability dan Profesional Liability di Indonesia." Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 9 (2016).

Nurbaiti, Siti."Aspek Yuridis Mengenai Product Liability Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Perbandingan Indonesia-Turki, Jumal Hukum Prioris Vol. 3 No.2 (2013)

Rusli, Tami. "Penyelesaian Sengketa antara konsumen dan pelaku usaha menurut peraturan perundang-undangan." Keadilan Progresif 3, no. 1 (2012).

Rusli, Tami. "Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen." Pranata Hukum 7, no. 1 (2012).

Setyawati, Desy Ary. Perlindungan Bagi Hak Konsumen dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Perjanjian Transaksi Elektonik” ,Syah Kuala Law Joumal Vol. 1, No. 3 Desember (2017).

Sukadi, Febryan Fransiscus. "Aspek Hukum Tanggung Jawab Cacat Produk Desain Industri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen”. Lex Privatum 8, no. 2 (2020).

Sukma, Liya. "Pertanggungjawaban Produk (Product Liability) sebagai Salah Satu Alternatif Perlindungan Konsumen." Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis dan Investasi 7, no. 2 (2016).

Widyawati, Agnes Maria Janni. "Tanggung Jawab Produsen Terhadap Konsumen Atas Barang Yang Menimbulkan Kerugian.” Jurnal Spektrum Hukum 15, no. 2 (2018).

Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek voor Indonesie, (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821)

Jurnal Kertha Wicara Vol. 10. No. 10 Tahun 2021 hlm. 778-791