AKIBAT HUKUM DAN UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN KREDIT YANG OBYEK JAMINANNYA BUKAN ATAS NAMA DEBITUR

Kadek Ayu Dwi Ningsih, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

Dewa Gde Rudy, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i09.p08

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum dan upaya penyelesaian perjanjian kredit yang obyek jaminanya bukan atas nama debitur. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undangan. Sifat penelitian dalam penulisan ini adalah analisisi bahan hukum kepustakaan dengan mengkaji literatur berupa jurnal, skripsi, serta buku-buku hukum lainnya sehingga bisa digunakan sebagai dasar dalam menarik kesimpulan permasalahan hukum terkait. Dalam undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menjelaskan keterlibatan pihak ketiga dalam memberikan jaminan hak tanggungan yang dimana pengaturannya adalah sama dengan jaminan yang diberikan oleh debitur sendiri. Pemberian kredit oleh bank dilakukan dengan pemberian jaminan oleh pihak debitur sebagai wujud prinsip kehati-hatian. Perjanjian kredit dengan jaminan bukan atas nama debitur dikatakan sah karena tidak melanggar ketentuan hukum serta dalam melakukan perjanjian sudah sesuai dengan syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Akibat hukum dalam hal 11 adalah jaminan dapat dieksekusi karena jaminan tersebut sudah mengikat dan berdasarkan kepada UU Hak Tanggungan serta terdapatnya kuasa jaminan oleh pihak ketiga dalam perjanjian kredit tersebut. Penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan cara untuk mengikat kedudukan jaminan yang tidak bisa dijual sehingga tercapainya win win solution agar salah satu pihak tidak merasa dirugikan. Selain itu terdapat juga upaya penyelesaian secara musyawarah antara kreditur, debitur dan pihak ketiga agar memberikan jaminan secara sukarela untuk pemenuhan kewajiban debitur ketika debitur wanprestasi.

Kata Kunci: Perjanjian Kredit, Hak tanggungan, Jaminan milik Pihak Ketiga, Akibat Hukum, Upaya Penyelesaian.

ABSTRACT

This paper aims to determine the legal consequences and efforts to settle credit agreements that the object of guarantee is not on behalf of the debtor.This paper aims to determine the legal consequences and efforts to settle credit agreements that the object of guarantee is not on behalf of the debtor.This research is a normative legal research using a statutory approach. The nature of the study of the writing is the analysis of the content of literature of literature in journals, scripts, and other legal books and thus can be used asa basis for drawing conclusions on related legal matters. In law number 4 of 1996 on Mortgage Rights describes the involvement of a third party in providing guarantees of mortgage where the arrangement is the same as the guarantee provided by the debtor himself. Lending by banks is carried out by providing guarantees by the debtor as a form of prudential principles. A credit agreement with a guarantee not in the name of the debtor is said to be valid because it does not violate legal provisions and in making the agreement it is in accordance with the valid terms of the agreement in Article 1320 of the Civil Code. The legal consequence in this case is that the guarantee can be executed because the guarantee is binding and based on the Mortgage Law and the presence of a proxy by a third party in the credit agreement. Dispute resolution through Alternative Dispute Resolution is a way to bind a collateral position that cannot be

sold so as to achieve a win win solution so that one of the parties does not feel disadvantaged. In addition, there are also deliberative settlement efforts between creditors, debtors and third parties to provide voluntary guarantees for the fulfillment of debtors' obligations when the debtor defaults.

Key Words: Credit Agreement, Mortgage, Guarantee Owned By Third Parties, Due To Law, Settlement Efforts.

  • 1.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang

Hak tanggungan merupakan hak jaminan yang dibebankan terhadap tanah sebagai benda tak bergerak pada dasarnya memiliki kedudukan atau posisi yang paling kuat dalam hukum jaminan sejak diberlakukannya Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Kreditor yang memegang hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang memiliki kedudukan yang paling diutamakan diantara kreditor lainnya. Dalam memberikan kreditnya bank selaku kreditur mengikat debiturnya dalam suatu perjanjian, yang selanjutnya disebut dngan perjanjian kredit. Perjanjian pokok dan perjanjian tambahan merupakan bagian dari perjanjian kredit. Perjanjian pokok meliputi utang piutang dan perjanjian tambahan yaitu perjanjian yang pemberi jaminannya oleh pihak debitor. Kesepakatan ini wajib dituangkan dalam sebuah perjanjian yang kemudian disebut dengan perjanjian kredit.1 Undang-undang perbankan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tidak menjelaskan secara rinci terkait bentuk perjanjian kredit perbankan serta keharusan perjanjian dibuat secara tidak tertulis atau tertulis. Dalam undang-undang ini juga tidak dijelaskan bentuk perjanjian dibuat oleh notaris atau biasa disebut dengan akta otentik yang dilaksanakan melalui perjanjian di bawah tangan.2

Pemberian kredit biasanya dilakukan oleh mereka yang memiliki modal dan menyalurkannya kepada mereka yang mengajukan kredit. Dalam pemerian kredit ini biasa disebut dengan perjanjian hutang piutang. Lembaga keuangan berupa perbankan adalah penyalur kredit yang memiliki sumber dana utama dan terpenting. Lembaga keuangan tersebut dapat menyalurkan dana dalam bentuk kredit dengan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak terkait. Perbankan memiliki posisi yang strategis didalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional sehingga tak khayal Lembaga perbankan disebut sebagai agent of development. Peran penting dan strategis tersebut tertuang dalam Pasal 4 UU Perbankan yang menyatakan “Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”.

Dengan adanya jaminan dan agunan yang merupakan syarat penting untuk memperoleh fasilitas kredit, maka perjanjian kredit tersebut dapat terlaksana. Jaminan

dan agunan ini pada umunya harus bermutu tinggi sehingga mudah untuk diperjual belikan. Jaminan yang seharusnya dijaminkan adalah jaminan yang tidak akan merugikan debitur dan kreditur diberikan rasa aman serta didalamnya ada kepastian hukum untuk kreditur agar kredit dapat dijalankan seseuai dengan perjanjian. Fungsi jaminan dalam kegiatan ekonomi khususnya dalam pengajuan kredit dikatakan sangat penting karena dengan adanya jaminan fasilitas kredit tersebut akan didapat. Pembebanan hak tanggungan terhadap tanah sebagai jaminan pelunasan utang disesuaikan dengan jangka waktu peminjaman kredit sebagaimana yang telah disepakati dalam perjanjian kredit.3

Dalam mendapatkan fasilitas kredit hak tanggungan atas tanah menjadi jaminan yang paling sering digunakan. Banyaknya ditemukan pihak debitur yang menggunakan jaminan milik pihak ketiga dalam pengajuan kredit sehingga dapat dikatakan bahwa pihak ketiga dapat melakukan pelunasan atas nama debitur sesuai dengan penjelasan Pasal 1820 KUHPerdata. Jaminan hak tanggungan milik pihak ketiga tetap dikatakan sah karena dalam pengajuan kredit, perjanjian yang dibuat telah memenuhi ketentuan mengenai syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menyatakan bahwa pihak kreditur mendapat perlindungan hukum jika debitur wanprestasi dalam perjanjian kreditnya. Dengan pernyataan diatas maka penulis ingin membahas lebih jauh mengenai akibat hukum dan upaya penyelesaian sengketa terhadap obyek jaminan milik pihak ketiga apabila yang dalam hal ini debiturlah yang telah melakukan wanprestasi.

Sebelumnya terdapat penelitian yang serupa dengan tulisan ini, penelitian tersebut dilakukan oleh Bagus Priyo Mahendra dan Aminah pada tahun 2018 dengan judul “Akibat Hukum Perjanjian Kreditur Yang Obyek Jaminannya Bukan Atas Nama Debitur”4. Namun jika dilihat dari substansi jurnal dan metode penilitian jurnal tersebut terdapat perbedaan, dimana pada penelitian terdahulu yang dituangkan dalam bentuk jurnal itu lebih memfokuskan mengenai akibat hukum yang akan terjadi apabila debitur yang menggunakan obyek jaminan atas nama pihak ketiga melakukan wanprestasi. Namun, pada tulisan kali ini membahas tentang akibat hukum dan upaya penyelesaian sengketa perjanjian kredit yang obyek jaminannya bukan atas nama debitur atau jaminan yang digunakan adalah milik pihak ketiga dengan menggunakan metode penelitian normative dan pendekatan perundang-undangan. Jurnal dengan judul Akibat Hukum dan Upaya Penyelesaian Sengketa Perjanjian Kredit yang Obyek Jaminannya Bukan Atas Nama Debitur ini dirasa menarik untuk dibahas dan dikaji lebih lanjut guna mengatahui akibat hukum serta upaya yang bisa dilakukan jika terjadi permasalahan kredit pada obyek jaminan.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Terdapat rumusan masalah yang penulis angkat dalam jurnal ini, yaitu sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana akibat hukum perjanjian kredit yang obyek jaminannya bukan atas nama debitur?

  • 2.    Bagaimana upaya penyelesaian sengketa perjanjian kredit yang obyek jaminannya bukan atas nama debitur?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan jurnal ini yaitu untuk mengetahui akibat hukum Bank selaku pihak kreditur dalam menerima jaminan yang bukan atas milik debitur serta upaya penyelesaian sengketa dari kasus tersebut jika debitur mengalami permasalahan dalam menggunakan jaminan milik orang lain sebagai jaminan kredit di Bank.

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan ialah metode penelitian normatif. Penelitian hukum normatif termasuk kedalam penelitian hukum kepustakaan. Dalam penelitian ini pengolahan data terhadap bahan-bahan hukum tertulis mengacu kepada norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan serta putusan pengadilan.5 Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi kepustakaan dan mengkaji literatur dan peraturan yang berkaitan. Analisis dilakukan dengan bahan hukum pustaka disusun secara sistematis dan konsisten agar dapat mempermudah proses analisis. Bahan hukum ini dipilah dan dikoreksi terlebih dahulu guna menyesuaikan dengan bahan yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pada bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang penulis gunakan meliputi peraturan perundang-undangan sebagai norma yang memiliki kekuatan hukum mengikat dan memaksa. Penulis juga menggunakan jurnal, skripsi, buku-buku hukum yang memiliki relevansi dengan isu hukum yang penulis angkat. Bahan hukum sekunder yang diperoleh berdasarkan Pustaka dipilah-pilah serta dihimpun secara sistematis agar dapat dijadikan sebagai dasar analisis dan kemudian dibahas secara deskriptif analisis.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Akibat Hukum Perjanjian Kredit yang Objek Jaminan Bukan Atas Nama Debitur

Pemberian makna yang berbeda oleh UU Perbankan mengenai jaminan dan agunan namun menyatakan keberadaan keduanya memang sangat penting dalam pengajuan kredit. Jaminan menurut undang-undang ini merupakan keyakinan bank atas kemampuan debitur untuk melaksanakan kewajibannya sehingga sebelum kredit

diberikan kepada debitur bank terlebih dahulu mengenali watak dari debitur tersebut. Sedangkan jaminan tambahan yang diberikan bank kepada debitur dalam rangka pemberian kredit berdasarkan prinsip perbankan biasa disebut dengan agunan. Adanya resiko dalam kedua syarat kredit tersebut sehingga mengharuskan pihak bank untuk tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.

Lahirnya kontrak terjadi setelah adanya kesepakatan mengenai hal pokok kontrak tersebut. Dalam hal lain agar terpenuhinya perjanjian kredit maka harus memperhatikan serta menerapkan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu mencakup unsur:

  • a.    Syarat subjektif merupkan syarat yang apabila terdapat pelanggaran maka akan mengakibatkan pembatalan suatu kontrak, syarat sahnya yaitu meliputi:

  • -    Kecakapan dalam membuat suatu perjanjian

  • -    Kesepakat untuk mereka yang mengikatkan dirinya.

  • b.    Syarat objektif merupakan syarat yang apabila terdapatnya suatu pelanggaran didalamnya maka kontrak dinyatakan batal demi hukum, syarat sahnya yaitu meliputi:

  • -    Hal tertentu

  • -    Sebab yang halal.

Berdasarkan hal tersebut, selain unsur syaratnya sahnya kontrak harus terpenuhi sebaiknya kontrak juga harus memenuhi unsur esensialia, unsur aksidentalia dan unsur naturalia.6 Undang-Undang Perbankan telah mendefinisikan apa itu kredit. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian kredit seperti prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian didalam pemberian dan penilaian kredit merupakan prinsip dari perbankan sehingga dapat menghindari sengketa kredit bermasalah. Setiap kredit tentunya berisiko termasuk kredit yang diberikan oleh perbankan, oleh karenanya selain prinsip kehati-hatian bank harus memperhatikan asas-asas kredit yang sehat lainnya.

Pada perjanjian kredit tentunya terdapat hubungan antara kreditur dan debitur yang dibangun atas dasar kontrak sesuai Pasal 1320 KUHPerdata. Selain syarat sahnya kredit tersebut perlindungan hukum dalam transaksi perkreditan oleh bank harus tetap memperhatikan unsur kepastian hukum, unsur manfaat dan unsur keadilan. Perlindungan hukum transaksi perkreditan diatur juga oleh UU Perkreditan Perbankan dan UU Perlindungan Konsumen.7 Dalam pemberian kredit bank selalu memastikan untuk apa kredit itu diajukan sehingga apabila penggunaanya menyimpang dari tujuan kredit maka akan mengancam Bank itu sendiri. Untuk mengurangi resiko dalam pemberian kredit jaminan menjadi faktor penting karena

jaminan memberikan arti bahwa kreditur mempunyai keyakinan agar debitur berkemampuan untuk melunasi kewajibannya sesuai yang diperjanjikan.8

Terlaksananya kredit ini mengakibatkan para pihak yang terkait melakukan kewajiban sesuai dengan kontrak yang telah dosepakati tersebut. Prestasi merupakan pemenuhan kewajiban anatar pihak dalam suatu perjanjian kontrak, sedangkan waanprestasi adalah kelalaian atau ketidak sanggupaan para pihak dalam melaksanakan kewajibannya sesuai perjanjian kontrak. Untuk menghindari terjadinya wanprestasi maka pihak kreditur akan lebih hati-hati dalam memberikan kreditnya. Dari sini dapat disimpulkan alasan kreditur khususnya lembaga perbankan mensyaratkan adanya jaminan adalah untuk mengamankan dana lembaga keuangannya dan adanyaa kepastian hukum. Dengan ini dapat ditarik kesimpulan jika tidak adanya jaminan maka fasilitas kredit tidak dapat diberikan. Jaminan dan agunan disini memiliki peranan yang sangat penting sehingga ketentuan hukum mengenai lembaga jaminan sangat diperlukan.

Dalam Jaminan terdapat hubungan antara kreditur daan debitur dengan benda yang dijaminkan tersebut dapat berupa uang ataupun orang. Adanya hak yang dimiliki oleh kreditur atas benda yang dijaminkan merupakan akibat dari adanya jaminan dalam perjanjian kredit.9 Adannya kontruksi hukum akan hak kebendaan sebagai jaminan yang dilahirkan oleh perjanjian antara debitor dan kreditor atau perjanjian obligator sehingga terlahirnya hak pribadi yang harus tetap tunduk pada Buku III BW. Perjanjian hutang piutang tersebut disepakati dengan perjanjian jaminan yang obyek jaminnya bisa berupa hak tanggungan yang tunduk terhadap Buku II BW sehingga terlahirnya hak kebendaan (Zaakelijkerecht).10 Hak tanggungan atas tanah merupakan jaminan yang paling sering dijumpai, hal ini dikarenakan hak tanggungan atas tanah untuk pengajuan kredit diperbankan memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan mudah untuk diperjual belikan. UU Hak Tanggungan dan UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 telah memberikan pengertian tentang hak tanggungan maupun hak tanggungan atas tanah.

Dalam lembaga keuangan perbankan untuk mendapatkan fasilitas kredit, jaminan yang digunakan berupa jaminan milik debitur atau bukan milik debitur. Jaminan hak tanggungan mempunyai subyek dan obyek yang telah diatur dalam UU Hak Tanggungan. Dalam Pasal 4 UU Hak tanggungan yang menjadi obyek tidak dijelaskan secara terperinci mengenai pemilik hak tanggungan sehingga dapat dikatakan hak tanggungan bisa merupakan milik pihak ketiga. Sertifikat tanah merupakan bentuk nyata adanya hak tanggungan yang mencantumkan pemilih dari

tanah tersebut yang diterbitkan oleh kantor pertanahan. Eksekusi hak tanggungan tidak harus melalui proses gugatan ketika debitur wanprestasi, hal ini karena hak tanggungan ini mempunyai kekuatan hukum tetap.

Keterlibatan pihak ketiga dalam fasilitas kredit berupa pemberian hak tas tanah yang dijadikan jaminan dinyatakan tidak melanggar hukum, hal ini dapat dilihat dari Pasal 3 ayat (2) UU Hak Tanggungan .11 Mengingat UU No. 4 Tahun 1996 tidak dengan tegas mengatur keterlibatan pihak ketiga dalam pemberian jaminan untuk fasilitas kredit karena tidak adanya larangan hukum dan tidak bertentangan dengan UU No. 4 Tahun 1996 itu sendiri. Perbuatan debitur yang menggunakan jaminan milik pihak ketiga yang memang disetuji oleh pihak ketiga tersebut dikatakan tidak bertentangan dengan hukum sesuai Pasal 4 UU Hak Tanggungan.

Namun, dengan pengajuan kredit jaminan milik pihak ketiga pihak bank tetap meberikan kreditnya dengan beberapa persyaratan. Pembuatan perjanjian tertulis bertujuan agar terpenuhinya syarat kredit dengan jaminan milik pihak ketiga, yagg dimana ketika terjadi sengketa, perjanjian tertulis tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti. Pencantuman Akta Pemberian Atas tanah ini terjadi karena adanya jaminan yang diberikan oleh pihak ketiga yang merupakan perjanjian berdasarkan Pasal 10 UU Hak Tanggungan. Perjanjian dibuat dengan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan berdasarkan keteriban umum yang sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang tertera dalam Pasal 11 ayat (2) UU Hak Tanggungan.

Dalam hal pemberian jaminan kredit kepada bank tidak ada aturan mengenai dilarangnya menggunakan jaminan bukan atas milik debitur. Berdasarkan Pasal 1792 KUHPerdata juga menyebutkan bahwa “pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Dengan ini jaminan yang diberikan oleh debitur boleh milik pihak ketiga dengan syarat adanya persetujuan pihak ketiga untuk terlibat dalam kredit tersebut dan membuat perjanjian secara tertulis. Dengan adanya perjanjian tertulis maka akan mengikat pihak kreditur dan debitur serta dapat dijadikan alat bukti yang kuat jika terjadi suatu sengketa.12

Akibat hukum yang timbul dengan adanya jaminan milik pihak ketiga adalah eksekusi jaminan tetap terjadi karena jaminan tersebut sudah mengikat dan berdasarkan kepada UU Hak Tanggungan serta terdapatnya kuasa jaminan oleh pihak ketiga dalam perjanjian kredit tersebut. Dalam hal ini posisi jaminan bisa dieksekusi sesuai dengan prosedur yang ada dalam perjanjian sebelum pemberian kredit karena pihak ketiga telah memberikan Surat Kuasa Menjual. Perjanjian kredit dengan jaminan milik orang lain ini sah dan mengikat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata.

  • 3.2    Upaya Penyelesaian Sengketa Perjanjian Kredit Yang Obyek Jaminannya Bukan Atas Nama Debitur

Dalam pemberian kredit dapat mengalami beberapa permasalahan sehingga menyimpang dari standar operasional atau prosedur. Penyimpangan ini dapat terjadi karena kesalahan utama pada tahap awal permohonan kredit. Agar lembaga keuangan berupa perbankan tetap dikatakan sehat maka pihak bank harus sangat memeperhatikan prinsip kehati-hatian. Debitur dalam memberikan jaminan atas milik orang lain secara hukum tetap dikatakan sah, namun ketika pihak debitur tidak menjalankan kewajibannya maka jaminan atas milik orang lain yang dipergunakan debitur tersebut tidak bisa dijual.

Permasalahan yang dimungkinkan timbul dengan jaminan milik pihak ketiga yaitu ketika pihak debitur mengalami wanprestasi maka eksekusi hak jaminan secara kekeluargaan adalah solusinya agar kreditur tidak mengalami kerugian, namun jika dengan cara kekeluargaan tidak terselesaikan maka terjadinya sengketa.13 Sengketa ini lahir karena adanya ketidakpuasan dari salah satu pihak dalam perjanjian kredit tersebut. Sengketa ini juga dibisa diakibatkan oleh adanya salah satu pihak dalam perikatan melakukan pelanggaran hukum sehingga salah satu pihak merasa dirugikan.14 Dalam hal debitor tidak bisa memenuhi kewajibannya atau wanprestasi, maka disini solusi penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan isi perjanjian pada saat akan mengajukan kredit. Dalam Pasa; 1338 KUHPerdata menyatakan perjanjian dibuat secara sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat perjanjian merupakan yang dijadikan acuan dalam membuat suatu peerjanjian. Dalam hal jika pihak debitur menyetujui akan adanya kontrak atau peminjaman kredit namun jaminan bukan milik debitur tetap dikatakan sah menurut hukum. Perjanjian yang dibuat tidak bisa ditarik selain karena kedua belah pihak menyatakan sepakat atau undang-undang menyatakan cukup untuk pembatalan perjanian tersebut karena suatu perjanjian harus dibuat berdasarkan itikad baik.

Setelah pihak debitor dinyatakan bersalah atau wanprestasi dalam kasusnya maka berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata menjelaskan bahwa pihak debitor wajib untuk melakukan penggantian biaya atau ganti rugi mengingat jaminan yang digunakan tidak bisa dijual oleh pihak kreditur. Namun disini perjanjian kredit tetap dikatakan sah, dikarenakan sudah memenuhi unsur dari sahnya perjanjian. Jika kedepannya terdapat kendala dalam perjanjian ini maka dapat juga diselesaikan dengan itikad baik, namun jika jalur ini tidak bisa diselesaikan maka dapat pula diselesaikan dengan jalur penyelesaian sengketa alternatif.

Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa dengan cara melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan cara untuk mengikat kedudukan jaminan yang tidak bisa dijual. Asas keseimbangan dapat dipergunakan

agar tercapainya win win solution sehingga salah satu pihak dalam perjanjian kredit ini tidak merasa dirugikan. Kewenangan BPSK dalam penyelesaian sengketa kredit dapat melalui jalur mediasi, arbitrase dan konsiliasi yang bersasarkan pilihan dan persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan. Untuk menyelamatkan dan menyelesaikan sengketa kredit pada bank juga dapat dilakukan dengan jalan musyawarah antara kreditur, debitur dan pihak ketiga dengan cara penyerahan jaminan berupa hak tanggungan tersebut kepada pihak kreditur secara sukarela untuk pemenuhan kewajiban debitur. Dalam UU Hak Tanggungan dinyatakan apabila debitor cidera janji, maka pemegang hak tanggunan pertama dapat menjual obyek jaminan atas kekuasaan sendiri melalui cara lelang umum dan mengambil hasil jual obyek hak tanggungan tersebut.15 Pihak Bank sebagai pihak kreditur juga telah mendapat perlindungan yang diatur dalam Pasal 10 UU Hak Tanggungan. Adapun eksekusi tentang hak tanggungan juga telah diatur dalam UU Hak Tanggungan secara sistematis yang diatur dalam Pasal 20 UU Hak Tanggungan.16

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan UU Hak Tanggungan pemberian jaminan yang dimiliki pihak ketiga memiliki pengaturan yang sama dengan pemberian jaminan oleh debitur sendiri. Perjanjian kredit dengan jaminan bukan atas nama debitur dikatan sah dan mengikat selama tata cara pembebanan jaminannya mengkuti prosedure yang diatur dalam UU Hak Tanggungan. Jaminan dapat dijaminkan karena tidak melanggar ketentuan hukum serta dalam melakukan perjanjian sudah sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata. Akibat hukum dalam hal ini adalah jaminan dapat dieksekusi karena jaminan tersebut sudah mengikat dan berdasarkan kepada UU Hak Tanggungan serta terdapatnya kuasa jaminan oleh pihak ketiga dalam perjanjian kredit tersebut. Adapun upaya penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan cara untuk mengikat kedudukan jaminan yang tidak bisa dijual sehingga tercapainya win win solution agar salah satu pihak tidak merasa dirugikan. Dalam hal ini dapat juga diselesaikan dengan penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi, arbitrase dan konsiliasi yang bersasarkan pilihan dan persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan. Untuk menyelamatkan dan menyelesaikan sengketa kredit pada bank juga dapat dilakukan dengan jalan musyawarah antara kreditur, debitur dan pihak ketiga dengan cara penyerahan jaminan berupa hak tanggungan tersebut kepada pihak kreditur secara sukarela untuk pemenuhan kewajiban debitur.

Daftar Pustaka

Buku :

Fuandy, Munir. Hukum Perkreditan Kontemporer (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2003)

Mamudji, Sri. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta, Badan Penerbit FH UI 2005)

Miru, Ahmad. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak (Depok, Rajawali Pers, 2018)

Jurnal

Fajriyah, Nurjanatul. “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur (bank) dan Debitur (Nasabah) Dalam Perjanjian Kredit Tanpa Agunan (KTA) Bank X”. Jurnal Hukum Dan Pembangunan.

Hidayat, Danny Robertus. “Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dengan Jaminan Atas Objek Jaminan Hak Tanggungan Yang Sama”. DIH Jurnal Ilmu Hukum 14, No. 27 (2018).

Mahendra, Bagus Priyo dan Aminah. “Akibat Hukum Perjanjian Kreditur Yang Obyek Jaminannya Bukan Atas Nama Debitur”. Notarius 11, No. 1 (2018).

https://doi.org/10.14710/nts.v11i1.23120

Mahendra, Lidya dkk. “Perlindungan Hak-Hak Kreditur Dalam Hal Adanya Pengalihan Benda Jaminan Oleh Pihak Debitur”. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenot ariatan, No. 2 (2016).

Matto, Silvana. “Penyelesaian sengketa terhadap peralihan hak tanggungan kepada pihak ketiga dalam perjanjian kredit”. Lex Administratum III, No. 3(2015).

Narasanti, Ida Ayu Gede. “Perlindungan Hukum Terhadap PT. Pegadaian (Persero) Dalam Hal Barang Jaminan Gadai Bukan Milik Debitur”. Jurnal Magister Hukum Udayana 5, No. 1 (2016).

Putra, Fani Martiawan Kumara. “Tanggung Gugar Debitor Terhadap Hilangnya Hak Atas Tanah Dalam Obyek Jaminan Hak Tanggungan”. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma.

Risa, Yulia. “Perlindungan Hukum Terhadap KrediturAtas Wanprestasi Debitur Pada Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak tanggungan”. jurnal Normative 5 No. 2 (2017).

Valayvi, Yunita Krysna dan Djuwityastuti. “Jaminan Hak Tanggungan Atas Tanah Milik Pihak Ketiga Dalam Perjanjian Kredit Di Lembaga Keuangan Perbankan Berdasarkan Undang-Undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan”. Privat law IV, No. 2(2016).

Wastu, Ida Bagus Gde Gni. “Kekuatan Hukum Perjanjian Kredit di Bawah Tangan Pada Bank Perkreditan Rakyat”. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, No.1 (2017).

Widayat, Retno. “Tinjauan Yuridis Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak Atas Tanah Milik Orang lain”. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Winarno, Jatmiko. “Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Pada Perjanjian Jaminan Fidusia”. Jurnal Independent Fakultas Hukum, ISSN: 2338-777.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgelijk Wetboek Voor Indonesie, (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23)

Pemerintah Indonesia. 1996. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42. Jakarta: Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. 1998. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 31. Jakarta: Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. 1999. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42. Jakarta: Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. 1960. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104. Jakarta: Sekretariat Negara.

Jurnal Kertha Wicara Vol. 10. No. 9 Tahun 2021 hlm. 749-759