KONSTITUSIONALITAS PASAL 359 AYAT (2) UNDANG-UNDANG PENERBANGAN DITINJAU DARI ASPEK HAK ASASI MANUSIA

Putu Ayu Chandra Utari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Edward Thomas Lamury Hadjon, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i07.p06

ABSTRAK

Penulisan artikel ini memiliki dua tujuan, Pertama mengetahui kesesuaian antara Pasal 359 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan) dengan hak asasi manusia yang termuat dalam konstitusi. Kedua, menganalisis konstruksi norma yang tepat dalam membatasi informasi hasil investigasi kecelakaan pesawat di Indonesia untuk masa mendatang (ius constituendum). Penelitian dalam artikel ini menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan undang-undang, pendekatan konsep, dan pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional). Hal tersebut didasari oleh tiga hal. Pertama, adanya norma baru dalam penjelasan pasalnya sehingga menimbulkan banyak penafsiran. Kedua, Pasal a quo tidak memuat batasan waktu untuk merahasiakan suatu infromasi yang merupakan hak asasi manusia. Ketiga, berdasarkan tahap uji proporsionalitas, Pasal a quo tidak memenuhi persyaratan dalam Tahap Kesesuaian karena pembatasan yang dilakukan oleh negara tidak memenuhi Pasal 28J UUD NRI 1945, Pasal 17 UU Keterbukaan Informasi Publik, dan Prinsip Siracusa. Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan tidak memenuhi asas kepastian hukum yang adil jika norma a quo tidak mengalami perubahan. Penggunaan moda transportasi pesawat udara dalam meningkatkan laju perekonomian, sosial budaya, politik, dan pertahanan keamanan oleh masyarakat menjadikan Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan sangat penting untuk diperbaharui. Sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjamin pegakkan hak asasi manusia. Hak atas informasi (right to information) merupakan hak dasar yang pemenuhannya harus dijamin oleh negara melalui kepastian hukum yang adil.

Kata Kunci: Hak Atas Informasi, Hasil Intevestigasi Kecelakaan Pesawat, Pembatasan HAM

ABSTRACT

This paper has two purposes, First to find out the conformity between Article 359 paragraph (2) of Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 (Aviation Law) with human rights in Indonesian constitution. Second, analyzing the appropriate construction norms to limiting information on the results of aircraft accident investigations in Indonesia. The research in this paper uses the normative legal method with a law approach, a concept approach, and a case approach. The results of the study show that Article 359 paragraph (2) of Aviation Law is contrary to constitution (unconstitutional). This is based on three things. First, there is a new norm in the explanation of the article. Second, article a quo doesn’t contain a time to limiting the information which is a human right. Third, based on the proportionality test, Article a quo doesn’t appropriate the requirements of Conformity Stage because the restrictions imposed by the state, don’t appropriate the Article 28J of the UUD 1945, Article 17 of Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 (Public Information Openness Law), and the Siracusa Principle. Article 359 paragraph (2) of the Aviation Law doesn’t fulfill the principle of fair legal certainty if the norm doesn’t change. Aircraft transportation modes increasing the pace of the economy, socio-culture, politics, and security-defense, that is makes Article 359 paragraph (2) of Aviation Law very important to updated. It is the

government's responsibility to ensure the enforcement of human rights. Right to information is a basic right whose fulfillment must be guaranteed by the state through fair legal certainty.

Key Words: Right to Information, Aircraft Accident Investigation, Human Rights Restriction

  • 1.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang

Kebutuhan masyarakat akan transportasi yang cepat, aman, dan nyaman menjadi alasan pentingnya keberadaan pesawat udara. Ditinjau dari aspek ekonomi, kehadiran pesawat udara menyebabkan meningkatnya mobilitas masyarakat. Peningkatan ini menjadi sinyal positif bagi perekonomian dunia, khususnya Indonesia. Namun berbeda halnya jika ditinjau dari aspek keselamatan. Pertanyaan-pertanyaan seperti penataan (compailance) ketentuan pemeliharaan pesawat udara, sertifikasi penerbang, kelaikan bandar udara (bandara), dan segenap pertanyaan lainnya yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan merupakan hal-hal yang pasti dipertanyakan seiring dengan berkembangnya industri penerbangan. Terdapat kecenderungan penyebab kecelakaan melalui berbagai macam faktor seperti kondisi cuaca, kondisi teknis pesawat udara, kondisi teknis dan fasilitas bandara, kealpaan manusia (human error), dan berbagai macam hal lainnya. Data menunjukkan, faktor penyebab kecelakaan pesawat udara dari tahun 2010 sampai dengan 2016 disebabkan oleh 4,79% faktor teknis dan fasilitas bandara, 12,33% faktor cuaca dan lingkungan, 15,75% faktor teknis pesawat udara, dan 67,12% faktor manusia (human error).1

Peningkatan level keselamatan dalam penerbangan di Indonesia dapat dicapai hanya jika seluruh komponen dalam industri penerbangan berfungsi dengan optimal. Indonesia menjadi negara di peringkat terakhir dari sepuluh negara di ASEAN terkait dengan level keselamatan penerbangan. Hal-hal yang menjadi dasar penilaian adalah kelengkapan regulasi, kelaikan, operasional, kelengkapan bandar udara, sistem navigasi, penanganan kecelakaan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penerbangan.2 Federal Aviation Administration (FAA) memberikan Indonesia peringkat kedua atau di bawah rata-rata untuk kategori Penilaian Keselamatan Penerbangan Internasional. Penerbangan di Indonesia yang masih di bawah standar, secara tidak langsung telah menggambarkan bahwa komponen sistem penerbangan di Indonesia belum berfungsi optimal. Kecelakaan dalam moda transportasi udara tidak dapat di-nolkan, akan tetapi sudah menjadi kewajiban seluruh komponen sistem penerbangan untuk mengantisipasi sedini mungkin faktor-faktor pemicu terjadinya kecelakaan. Sesuai dengan Pasal 22 PP No. 62 Tahun 2013 menyatakan “setiap kecelakaan Pesawat Udara dan Kejadian Serius Pesawat Udara sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 wajib dibertahukan kepada Komite Nasional Keselamatan Transportasi…”. Pelaksanaan investigasi kecelakaan pesawat udara dilakukan oleh Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT) yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden. Outline laporan akhir wajib disampaikan kepada negara tempat pesawat terdaftar, negara tempat maskapai penerbangan berada, negara yang merancang

pesawat, dan negara tempat manufaktur pesawat guna mendapatkan tanggapan oleh pihak-pihak tersebut. Akan tetapi, keputusan akhir hasil investigasi kecelakaan pesawat udara tetap berada ditangan KNKT.3

Tujuan pokok pelaksanaan investigasi kecelakaan oleh KNKT adalah merumuskan setiap faktor-faktor yang terkait dengan terjadinya kecelakaan pesawat udara. Investigasi kecelakaan pesawat udara dilakukan untuk menentukan penyebab terjadinya kecelakaan. Sangat penting untuk mengetahui penyebabnya karena beberapa alasan yakni, untuk menentukan tanggung jawab perdata dan kompensasi untuk korban dan/atau keluarga korban, untuk menjatuhkan sanksi peraturan dan hukuman pidana bagi pelaku kesalahan, dan untuk meningkatkan keamanan transportasi udara.4 Hasil penyelidikan KNKT akan dimuat dalam laporan kecelakaan pesawat udara (aircraft accident investigation report) dalam bentuk laporan permulaan (preliminary report) dan laporan akhir (final report). Kedua laporan tersebut wajib diberikan kepada komponen sistem penerbangan untuk meningkatkan keselamatan penerbangan guna mencegah terjadinya kecelakaan kembali dengan faktor-faktor yang sama. Adapun komponen sistem penerbangan yang berwenang memperoleh laporan hasil investigasi kecelakaan pesawat udara adalah Dirjen Perhubungan Udara, pihak pengelola bandara, pihak maskapai penerbangan, pihak produsen atau manufaktur pesawat udara, pembuat regulasi, keluarga korban dan pihak lain yang terkait dalam industri penerbangan. Setelah laporan tersebut diterima oleh seluruh komponen penerbangan beserta rekomendasi yang diberikan oleh KNKT, maka laporan hasil investigas kecelakaan pesawat udara dapat diakses oleh masyarakat umum melalui situs resmi KNKT.

Berkaca dari kecelakaan pesawat udara milik PT. Lion Mentari Airlines dengan nomor penerbangan JT-610 yang menuai berbagai kontroversi, keluarga korban tidak memperoleh informasi utuh yang dibutuhkan guna memperoleh keadilan yang mereka harapkan. Polemik ini terjadi akibat keberadaan dua pasal dalam UU Penerbangan yang dianggap tidak mampu mengakomodir hak keluarga korban.5 Salah satu pasal tersebut adalah Pasal 359 ayat ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan) yang menyatakan bahwa dalam hasil investigasi kecelakaan pesawat udara terdapat informasi rahasia yang tidak dapat diinformasikan kepada masyarakat. Adapun informasi yang digolongkan sebagai informasi rahasia (non-disclosure of records) meliputi:

  • 1.    “Pernyataan oleh orang-orang yang diperoleh dalam proses investigasi;

  • 2.    Rekaman atau transkrip komunikasi antara orang-orang yang terlibat dalam pengoperasian pesawat;

  • 3.    Informasi kesehatan atau informasi pribadi dari orang-orang yang terlibat dalam kecelakaan atau kejadian

  • 4.    Rekaman suara atau transkrip di ruang kemudi (cockpit voice recorder);

  • 5.    Rekaman atau transkrip dari pembicaraan petugas pelayanan lalu lintas penerbangan (air traffic services), dan

  • 6.    Pendapat yang disampaikan dalam analisisi informasi termasuk rekaman informasi penerbangan (flight data recorder)”.

UUD NRI 1945 telah menjamin dan melindungi hak atas informasi bagi warga negaranya. Penjaminan dan perlindungan tersebut dimuat dalam Pasal 28F UUD NRI 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada”. Hak atas informasi juga dijamin dan dilindungi oleh UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), DUHAM 1948, dan ICCPR 1966. Terkait kasus kecelakaan pesawat udara, keluarga korban berhak memperoleh informasi yang lengkap dan utuh sesuai dengan hasil investigasi kecelakaan pesawat udara.

Pada hakikatnya informasi publik menurut UU KIP dikategorikan menjadi dua yaitu informasi wajib tersedia serta informasi yang dikecualikan.6 Informasi yang dikecualikan tetap menjadi bagian dari informasi publik, oleh sebab itu informasi tersebut tidak dapat dikecualikan secara permanen (selamanya). Parameter dalam pengecualian suatu informasi publik adalah pengecualian/pembatasan yang diatur oleh sebuah undang-undang, berasal dari tindakan yang patut, dan untuk kepentingan yang lebih luas. Ketiga parameter tersebut harus melalui uji proporsionalitas oleh badan publik yang berwenang. UU KIP telah ada sebelum berlakunya Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan oleh sebab itu pasal ini sudah tidak mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat saat ini dan menimbulkan permasalahan akibat malti-intepretasi norma dan bagian penjelasan pada norma tersebut justru memuat norma baru dan menyebabkan perluasan norma. Selain itu, tidak dilakukan uji proporsionalitas sebelum merahasiakan informasi hasil investigasi kecelakaan pesawat udara. Berdasarkan risalah sidang pembahasan UU Penerbangan, Pasal 359 ayat (2) semata-mata mematuhi protokol keselamatan penerbangan internasional yaitu Article 5.12.1 Non-disclosure of Records Annex 13 Konvensi Chicago 1944 Aircraft Accident and Incident Investigation.7

Uraian di atas menunjukan bahwa Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional). Hal tersebut didasari oleh tiga hal. Pertama, adanya norma baru dalam penjelasan pasalnya sehingga menimbulkan banyak penafsiran. Kedua, Pasal a quo tidak memuat batasan waktu untuk merahasiakan suatu infromasi yang merupakan hak asasi manusia. Ketiga, berdasarkan tahap uji proporsionalitas, Pasal a quo tidak memenuhi persyaratan dalam Tahap Kesesuaian karena pembatasan yang dilakukan oleh negara tidak memenuhi

Pasal 28J UUD NRI 1945, Pasal 17 UU Keterbukaan Informasi Publik, dan Prinsip Siracusa. Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan tidak memenuhi asas kepastian hukum yang adil jika Pasal a quo tidak memenuhi syarat pembatasan hak asasi manusia. Suatu pembatasan hak asasi manusia yang tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dan prinsip internasional menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia itu sendiri. Sangat penting untuk mengubah Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan agar tidak menderogasi hak asasi manusia khususnya bagi korban dan keluarga korban kecelakaan pesawat.

Berikut beberapa tulisan dari penelitian sebelumnya yang memiliki kesamaan topik bahasan adalah sebagai berikut: 1) Eko Noer Kristyanto yang berjudul “Urgensi Keterbukaan Informasi Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik”. Tulisan ini memaparkan kolerasi tentang pentingnya hak atas informasi terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Tulisan ini fokus membahas tentang hakikat pelayanan publik, keterbukaan informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia, dan keterbukaan informasi yang menunjang pelayanan publik yang baik;8 2) Bisariyadi yang berjudul “Penerapan Uji Proporsionalitas Dalam Kasus Pembubaran Partai Politik: Sebuah Perbandingan” .9 Tulisan ini memaparkan beberapa pertimbangan mengenai penerapan uji proporsionalitas dalam menghadapi kasus pembubaran partai politik, yang notabenenya merupakan hak asasi manusia untuk berserikat dan berkumpul serta dijamin oleh UUD NRI 1945. Dalam tulisan yang berjudul “KEPASTIAN HUKUM DALAM PASAL 359 AYAT (2) UNDANG-UNDANG PENERBANGAN DITINJAU DARI HAK ASASI MANUSIA” memiliki keterkaitan dengan tulisan sebelumnya dalam hal urgensi keterbukaan informasi publik sebagai hak atas informasi dan penerapan uji proporsionalitas dalam suatu norma yang memuat pembatasan terhadap hak sasi manusia.

  • 1.2.    Permasalahan

Adapun rumusan masalah yang penulis angkat dan akan dibahas dalam jurnal ini adalah:

  • 1.    Apakah pembatasan informasi hasil investigasi kecelakaan pesawat udara telah sesuai dengan hukum positif di Indonesia?

  • 2.    Bagaimana sebaiknya konstruksi norma hukum yang melimitasi informasi hasil investigasi kecelakaan pesawat di Indonesia pada masa mendatang (ius constituendum)?

  • 1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dan memahami kesesuaian antara Pasal 359 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dengan hak asasi manusia yang termuat dalam konstitusi dan menganalisis konstruksi norma yang tepat dalam membatasi informasi hasil investigasi kecelakaan pesawat di Indonesia untuk masa mendatang (ius constituendum).

  • 2.    Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian hukum normatif yang mengkaji tentang “Kepastian Hukum Dalam Pasal 359 Ayat (2) Undang-Undang Penerbangan Ditinjau Dari Hak Asasi Manusia”. Penelitian hukum normatif sering disebut juga sebagai penelitian hukum doktrinal.10 Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan suatu argumentasi hukum, teori tentang hukum, dan/atau konsep hukum baru guna menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.11 Dalam menganalisis bahan hukum metode yang digunakan adalah metode kepustakaan (library research). Literatur berfungsi sebagai rujukan dalam memecahkan permasalahan yang diteliti. Adapun literature yang digunakan adalah buku-buku yang relevan, jurnal-jurnal ilmiah melalui platform digital, situs web penyedia informasi yang relevan, dan penelitian terdahulu yang terkait. Penilitian ini menggunakan metode pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan kasus.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Kesesuaian Pembatasan Informasi Hasil Investigas Kecelakaan Pesawat Udara Terhadap UUD NRI 1945

Sidang paripurna (plenary meeting) PBB tanggal 14 Desember 1946, majelis umum PBB menyatakan bahwa “freedom of information is a fundamental human right and the touchstone for all freedoms to wich the United Nations is consecrated”.12 Majelis umum PBB juga mengemukakan beberapa prinsip-prinsip untuk menjamin keterbukaan informasi sebagai berikut:

  • 1.    Pengungkapan secara maksimal (maximum disclosure);

  • 2.    Kewajiban untuk mempublikasi (obligation to publish);

  • 3.    Keterbukaan pemerintah (promotion of open government);

  • 4.    Ruang lingkup yang terbatas untuk pengecualian (limited scope of exceptions);

  • 5.    Fasilitas untuk proses pengaksesan informasi (processes to facilitate access);

  • 6.    Perhitungan biaya (costs);

  • 7.    Pertemuan terbuka (open meeting);

  • 8.    Mengutamakan keterbukaan (disclosure takes precedence);

  • 9.    Perlindungan untuk pihak yang menginginkan informasi (protection for wishtle blower);13

Selain itu, dalam Artikel 19 DUHAM 1948 menyatakan bahwa “everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers”, yang berarti setiap orang memiliki hak untuk bebas berpendapat dan berekpresi serta kebebasan untuk mendapatkan, mencari, menerima, dan memberikan informasi melalui media apapun tanpa adanya batasan. Pentingnya hak

atas informasi sebagai hak yang fundamental kemudian ditetapkan sebagai hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) yang dilindungi dan dijamin oleh UUD NRI 1945. Perlindungan dan penjaminan hak atas informasi dituangkan dalam Pasal 28F UUD NRI 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Lebih dalam lagi, hak atas informasi (right to information) juga masuk kedalam sepuluh hak dasar sebagaimana dalam Pasal 14 UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights. Bertitik tolak dari peraturan di atas, hak atas informasi tidak hanya diatur dalam konstitusi saja tetapi juga undang-undang dan peraturan internasional. Hal ini menunjukan bahwa hak atas informasi dan keterbukaan informasi sangat penting sebagai sarana pengawasan terhadap penyelenggaraan negara, sehingga penyelenggaraan negara dapat lebih dipertanggung jawabkan.14

Informasi merupakan kebutuhan bagi setiap orang guna mengembangkan diri serta lingkungannya, bagian yang krusial bagi ketahanan nasional, ciri penting bagi negara demokrasi untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dan memaksimalkan pengawasan masyarakat terhadap badan-badan publik maka dibentuklah Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (selanjutnya disingkat UU KIP). UU KIP memuat lima substansi pokok yaitu kewajiban badan publik, hak memperoleh informasi publik, jenis-jenis informasi publik, komisi informasi beserta fungsinya, sengketa tentang informasi publik dan sanksi terhadap pelanggarannya. 15 Pasal 2 UU KIP memuat tentang asas-asas hukum keterbukaan informasi publik. Asas-asas tersebut meliputi “keterbukaan informasi dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik, informasi publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas, informasi publik harus diperoleh dengan cepat dan tepat waktu serta biaya ringan dan cara sederhana bagi pemohon informasi publik”. Secara eksplisit, UU KIP memperbolehkan adanya informasi publik yang dikecualikan tetapi dengan syarat pengecualian harus bersifat ketat, terbatas, sesuai dengan undang-undang, dan melindungi kepentingan umum. Informasi publik memiliki dua sifat yaitu terbuka untuk umum dan dikecualikan untuk umum (maximum access limited exemption). Pengecualian dan pembatasan suatu informasi oleh undang-undang diwujudkan melalui beberapa rumusan yaitu:16

  • 1.    Pengecualian harus berdasarkan atas asas kehatian-hatian dengan menggunakan metode uji proporsionalitas;

  • 2.    Status kerahasian pada suatu informasi wajib memiliki batasan waktu (tidak bersifat selamanya);

  • 3.    Badan publik yang dimaksud tidak hanya sebatas pada institusi pemerintahan, tetapi juga institusi di luar pemerintahan yang mempergunakan dana yang berasal dari APBN/APBD.

Kerahasiaaan atas informasi publik dibenarkan jika kerahasian informasi tersebut diatur melalui undang-undang dan setelah melalui uji proporsionalitas. Terdapat tiga parameter yang wajib dipenuhi dalam pengecualian suatu informasi publik. Pertama, diatur oleh undang-undang. Kedua, sesuai dengan kepatutan dan ketiga, berdasarkan kepentingan umum. Informasi publik yang dikecualikan mencakup informasi yang jika disampaikan kepada pemohon dapat menimbulkan: 17

  • 1.    Terhambatnya proses penegakkan hukum;

  • 2.    Membahayakan pertahanan dan keamanan suatu negara;

  • 3.    Merugikan ekonomi nasional;

  • 4.    Merugikan kepentingan hubungan luar negeri;

  • 5.    Terungkapnya rahasia pribadi subjek hukum, dan sebagainya.

Adanya pengecualian terhadap informasi publik cukup relevan dengan situasi sosial dewasa ini. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi meningkatkan kemampuan seluruh lapisan masyarakat dalam memperoleh informasi dengan mudah. Kemudahan ini memberikan konsekuensi timbulnya penyebaran informasi tidak benar (hoax) melalui berbagai media informasi. Informasi yang disampaikan kepada publik acap kali tidak jelas sumber dan validitasnya. Setelah dianalisis, terdapat tiga hal yang mendasari kurangnya sistem menajemen informasi di Indonesia, yaitu:18

  • 1.    “Pemerintah dan pihak-pihak terkait belum terbiasa menunjuk juru bicara yang mumpuni dan menguasai materi persoalan yang akan disampaikan kepada publik;

  • 2.    Maraknya keisengan di tengah frustasi publik;

  • 3.    Ketiga klarifikasi yang disampaikan oleh pihak berwenang dianggap sebagai rutinitas dan ritual tanpa mengintropeksi buruknya manajemen komunikasi publik di Indonesia.”

Contohnya seperti kasus Anggota DPD RI bernama Fahira Idris yang dilaporkan oleh Muannas Alaidid selaku Ketua Umum Cyber Indonesia atas penyebaran informai tidak benar (hoax) melalui media sosial Twitter. Informasi tidak benar yang disampaikan Fahira Idris yaitu tentang jumlah pasien yang terkonfirmasi Corona Virus Disease 2019 di Indonesia. Unggahan tersebut telah menggangu ketertiban umum dan disampaikan oleh pihak yang tidak memiliki kewenangan untuk menyampaikan informasi tersebut.19 Agar kejadian tersebut tidak terulang kembali maka menjadi sangat penting pengaturan mengenai penyampaian informasi publik dan pengecualian suatu informasi publik. Adanya pengecualian informasi publik oleh undang-undang

maka publik akan mengetahui bahwa informasi yang valid akan disampaikan oleh pihak yang berwenang sebab informasi tersebut diperoleh melalui prosedur resmi. Sehingga masyarakat tidak akan mudah percaya terhadap informasi yang beredar dan disampaikan oleh pihak lain.

Pengecualian terhadap informasi hasil investigasi merupakan suatu bentuk pembatasan HAM. UUD NRI 1945 memperbolehkan adanya suatu pembatasan terhadap HAM yang bersifat derogable right (HAM yang dapat dikurangi pemenuhannya) guna melindungi hak-hak lainnya. Pembatasan HAM dimuat dalam“Pasal 28J ayat (2)” yang secara eksplisit mengijinkan adanya pembatasan hak, adapun bunyi pasalnya sebagai berikut:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

The Siracusa Principles on The Limitation and Derogation of Provisions in The International Convenant on Civil and Political Rights (Siracusa Principles) menegaskan bahwa pembatasan terhadap hak-hak dasar (in cassu hak atas informasi) tidak boleh berlebihan dan sewenang-wenang. Prinsip Siracusa menegaskan bahwa di dalam pembatasan suatu hak, tidak boleh menghilangkan esensi dari hak. Segala bentuk klausul pembatasan harus ditulis dan ditafsirkan secara tegas. 20 Pembatasan oleh negara dinamakan konsep Margin Of Appreciation yang bertujuan untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM. Jika dianalisis dengan JohannesburgPrinciples, pembatasan haruslah ditentukan oleh undang-undang yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat, tidak mengandung multi penafsiran, dibuat secara hati-hati dan teliti; pembatasan harus memiliki tujuan dan pro terhadap perlindungan kepentingan keamanan nasional yang sah; pemerintah harus dapat membuktikan informasi yang dibatasi berpotensi memberikan ancaman serius terhadap keamanan nasional jika diungkapkan kepada publik, dan harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Pada tataran hukum positif Indonesia, limitasi terhadap suatu informasi yang dianggap rahasia diatur dalam Pasal 6 juncto Pasal 17 UU KIP. Jika disimpulkan, Pasal 6 juncto Pasal 7 UU KIP memberikan pembatasan terhadap 3 (tiga kategori) yaitu informasi yang dikategorikan rahasia pribadi (privat), rahasia bisnis, dan rahasia negara. Informasi rahasia pribadi sesuai dengan Pasal 17 huruf h UU KIP meliputi, “riwayat dan kondisi anggota keluarga, perawatan, pengobatan, dan kesehatan fisik dan psikis, aset, keuangan, rekening bank, kapabilatas, intelektualitas, rekomendasi kemampuan seseorang, dan informasi yang berkaitan dengan pendidikan formal maupun nonformal”. Informasi rahasia bisnis juga menjadi salah satu yang dirahasiakan di dalam Pasal 17 UU KIP meliputi hak kekayaan intelektual seperti, hak cipta, rahasia dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, dan perlindungan varietas tanaman serta perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat. Kemudian yang terakhir adalah informasi rahasia negara yang meliputi sistem intelejen negara, intelejen kriminal, sistem persandian negara, dan sebagainya. 21

Kemudian dalam Pasal 20 UU KIP, seluruh informasi yang dikecualikan (diberikan pembatasan) tidak bersifat permanen dan publikasinya diatur berdasarkan peraturan pemerintah.

Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan menyatakan bahwa “hasil investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang bukan digolongkan sebagai informasi rahasia, dapat diumumkan kepada masyarakat”. Norma ini memuat kalimat “informasi rahasia” yang dimana tidak diuraikan secara eksplisit terkait ruang lingkup informasi rahasia yang dimaksud. Sesuai dengan pasal tersebut, dapat diamati bahwa konstruksi UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (selanjutnya disingkat UU Penerbangan) menghendaki adanya kerahasiaan terhadap informasi hasil investigasi kecelakaan pesawat udara dengan tujuan mengikuti amanat protokol penerbangan internasional.22 Padahal, amanat Annex 13 Konvensi Chicago 1944 adalah merahasiakan informasi hasil investigasi kecelakaan pesawat udara hanya selama proses investigasi dilangsungkan. Ini diatur dalam Chapter 5.12 Article 5.12.1 Annex 13 Konvensi Chicago 1944 yang menyatakan:

The state conducting the investigation of an accident or incident shall not make the following records available for purposes other than accident or incident investigation, unless the appropriate authority for the administration of justice in that state determines that their disclosure outweights the adverse domestic and international impact such action may have on that or any future investigation: (a) all statements taken from persons by the investigation authorities in the course of their investigation; (b) all communications between persons having been involved in the operation of the aircraft; (c)medical or private information regarding persons involved in the accident or incident; (d) cockpit voice recordings and transcripts from such recordings; and (e) opinions expressed in the analysis of information, including flight recorder information”, yang berarti bagi negara yang melaksanakan investigasi suatu kecelakaan pesawat udara atau insiden, tidak diperkenankan memberikan catatan hasil investigasi tersebut yang bertujuan selain untuk keperluan mencari penyebab kecelakaan, kecuali jika otoritas peradilan di negara tersebut yang meminta pengungkapan karena dianggap pengungkapan tersebut akan memberikan dapat yang luas baik nasional maupun internasional dan jika tidak diungkap, dapat merugikan investigasi di masa yang akan datang. Adapun catatan hasil investigasi yang tidak boleh diungkapkan: (a) pernyataan yang diperoleh dari orang-orang yang terlibat dalam investigasi selama penyelidikannya; (b) percakapan antara pihak-pihak yang terlibat dalam pengoperasian pesawat; (c) informasi medis atau pribadi orangorang yang terlibat dalam kecelakaan atau insiden; (d) rekaman suara dan transkrip data kokpit pesawat; (e) pendapat yang diungkapkan sebagai hasil analisis informasi kecelakaan, termasuk rekaman penerbangan.

Berdasarkan kajian regulasi internasional dan nasional, pembatasan hak atas informasi (right to information) diperbolehkan sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur berdasarkan undang-undang dan prinsip-prinsip universal. Hasil investigasi kecelakaan pesawat udara di Indonesia, dipaparkan melalui hasil investigasi yang dilakukan oleh Komisi Nasional Kecelakaan Transportasi (selanjutnya disingkat KNKT). Hasil investigasi tersebut dituangkan ke dalam Preliminary Report dan Final Report yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia. Preliminary report (laporan awal) paling lambat harus diberikan 90 hari terhitung dari diketahuinya

kecelakaan pesawat tersebut. Laporan awal berbentuk hipoujia yang masih memerlukan investigasi lanjutan untuk menyimpulkan penyebab kecelakaan yang sebenarnya. Investigasi lanjutan akan menghasilkan Final report (laporan akhir) yang memuat lebih terperinci hasil investigasi KNKT. Rancangan laporan akhir diberikan paling lambat 12 (dua belas bulan). Apabila investigasi belum dapat diselesaikan, maka KNKT wajib menyampaikan laporan perkembangan hasil investigasi setiap tahun. Secara umum, laporan awal dan laporan akhir memuat tentang: 23

Jenis Laporan

Isi

Preliminary Report (Laporan Awal)

Sinopsis (synopsis) kecelakaan pesawat udara

Informasi faktual (factual information):

  • 1.    riwayat penerbangan;

  • 2.    korban;

  • 3.    kerusakan akibat kecelakaan;

  • 4.    informasi kru pesawat;

  • 5.    informasi tentang kondisi pesawat terbang sebelum kecelakaan

sampai menjelang terjadinya kecelakaan;

  • 6.    informasi  meteorologi  (cuaca,  curah ujan,  angina,  dan

sebagainya);

  • 7.    komponen navigasi penerbangan;

  • 8.    komunikasi dengan elemen-elemen dalam proses penerbangan;

  • 9.    informasi bandar udara;

  • 10.   transkrip aktivitas penerbangan;

  • 11.   informasi kerusakan dan benturan;

  • 12.   informasi medis dan patologi korban;

  • 13.   api;

  • 14.   aspek survival;

  • 15.   uji dan investigasi;

  • 16.   informasi tambahan; dan

  • 17.   teknis investigasi

Final  Report  (Laporan

Akhir)

Sinopsis (synopsis) kecelakaan pesawat udara

Informasi faktual (factual information):

  • 1.    riwayat penerbangan;

  • 2.    korban;

  • 3.    kerusakan akibat kecelakaan;

  • 4.    informasi kru pesawat;

  • 5.    informasi tentang kondisi pesawat terbang sebelum kecelakaan

sampai menjelang terjadinya kecelakaan;

  • 6.    informasi  meteorologi  (cuaca,  curah ujan,  angina,  dan

sebagainya);

  • 7.   komponen navigasi penerbangan;

  • 8.   komunikasi dengan elemen-elemen dalam proses penerbangan;

  • 9.    informasi bandar udara;

  • 10.   transkrip aktivitas penerbangan;

  • 11.  informasi kerusakan dan benturan;

  • 12.   informasi medis dan patologi korban;

  • 13.   api;

  • 14.   aspek survival;

  • 15.   uji dan investigasi;

  • 16.  informasi tambahan; dan

  • 17.   teknis investigasi

Analisis (analysis)

Kesimpulan (conclution)

Aksi keamanan (safety action)

Rekomendasi keamanan (safety recommendation)

Penutup (appendices)

Kehadiran laporan hasil investigasi, konferensi pers, dan penyampaian perkembangan hasil investigasi menandakan bahwa akses informasi kepada publik telah dilaksanakan. Adapun keterangan dalam laporan awal maupun laporan akhir bersumber dari maintenance book, kotak hitam, dan sebagainya yang turut dalam proses penerbangan. Pada hakikatnya, investigasi kecelakaan pesawat udara dibagi menjadi dua, yaitu investigasi teknis dan investigasi hukum. Investigasi teknis memiliki tujuan utama untuk menemukan faktor penyebab terjadinya kecelakaan dan memberikan rekomendasi kepada elemen-elemen penerbangan agar kecelakaan dengan penyebab yang sama tidak terulang kembali. Sedangkan investigasi hukum baru akan dilaksanakan jika investigasi teknis menemukan indikasi adanya tindakan kriminal dalam kecelakaan pesawat tersebut.

Kerahasiaan informasi hasil investigasi adalah sah sepanjang bertujuan untuk melindungi hak-hak para korban dan/atau keluarga korban, kelancaran proses investigasi, dan melindungi rahasia dagang, hak cipta, desain industri, dan hak kekayaan intelektual lain yang melekat pada mesin dan teknologi pesawat tersebut. Akan tetapi untuk mewujudkan tujuan tersebut, Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan belum mampu mengakomodir hal tersebut. Kategori informasi yang dirahasiakan oleh Annex 13 Konvensi Chicago 1944 dengan UU Penerbangan adalah sama, akan tetapi bagian terpenting yaitu jangka waktu kerahasiaannya tidak dicantumkan dalam UU Penerbangan sehingga menimbulkan multi-intepretasi norma dan ketidakpastian hukum.

  • 3.2.    Pengaturan yang Tepat Terkait Pembatasan Informasi Hasil Investigasi Kecelakaan Pesawat Di Indonesia Pada Masa Mendatang (Ius Constituendum)

Hukum dan masyarakat adalah satu kesatuan yang mengikat. Hukum berlaku di dalam suatu tatanan sosial yang disebut dengan masyarakat, tanpa adanya masyarakat maka hukum tidak akan berfungsi. Sesuai dengan pameo bangsa Romawi, ubi societies ibi ius yang artinya dimana ada hukum disana ada masyarakat. Oleh sebab itu hukum merupakan suatu proses yang setiap saat akan berubah dan berkembang (law in the making) sesuai dengan teori hukum integratif.24 Hukum harus beradaptasi dengan perubahan dan perkembangan zaman. Hukum tidaklah suatu sistem yang bersifat stagnan dan status quois, akan tetapi ia berkembang mengikuti perubahan sosial masyarakat.25 Jika suatu norma hukum tidak relevan dengan keadaan saat ini dan tidak mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat akan hukum maka sudah seharusnya norma tersebut diperbaharui, baik dengan mengajukan judicial review,

legislative review, maupun executive review. Konstruksi norma pada Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan mencerminkan norma hukum yang tidak lagi relevan dan tidak mampu mengakomodir kebutuhan hukum masyarkat. Hal ini didasari oleh tiga alasan yaitu:

  • 1.    Pasal ini tidak memuat secara tegas jangka waktu kerahasiaan informasi hasil investigasi kecelakaan pesawat udara;

  • 2.    Penempatan uraian-uraian informasi rahasia sebagai pembatasan hak dimuat dalam bagian penjelasan pasal; dan

  • 3.    Pasal ini tidak melalui memenuhi tahapan uji proporsionalitas.

Jika dalam Chapter 5.12 Article 5.12.1 Annex 13 Konvensi Chicago 1944 mencantumkan dengan jelas mengenai batas waktu kerahasiaan informasi kecelakaan pesawat udara yaitu hingga proses investigasi selesai dilaksanakan dan seluruh informasi tersebut akan dimuat dalam laporan akhir yang dirilis oleh pihak yang berwenang di masing-masing negara:

These records shall be included in the final report or its appendices only when pertinent to the analysis of the accident or incident. Parts of the records not relevant to the analysis shall not be disclosed”, yang berarti catatan hasil investigasi yang harus dimuat dalam laporan akhir atau lampirannya adalah hasil analisis yang berkaitan dengan kecelakaan atau inseiden. Bagian yang tidak relevan dengan kecelakaan atau insiden tidak boleh dimuat dalam laporan.

Selain itu dalam Chapter 5.12 Article 5.12.1 Annex 13 Konvensi Chicago 1944 mengklasifikasikan informasi hasil investigasi kecelakaan pesawat udara menjadi dua yakni informasi yang bersifat non-disclosure of record (tidak boleh disampaikan) yakni informasi yang tidak berkaitan dengan kecelakaan penerbangan dan informasi yang bersifat disclosure (harus dipublikasi dan bersifat umum) karena memiliki keterkaitan dengan penyebab kecelakaan pesawat. Sedangkan dalam Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan, baik secara implisit maupun eksplisit tidak memuat jangka waktu kerahasiaan informasi hasil investigasi kecelakaan pesawat udara.

Selain itu, penempatan uraian yang tergolong informasi rahasia dalam Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan melanggar Lampiran UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang melarang penjelasan suatu pasal memuat norma baru, memperluas dan/atau mempersempit norma. Penjelasan hanyalah tafsir pembentuk peraturan perundang-undangan saja.26 Adapun informasi yang digolongkan sebagai informasi rahasia (non-disclosure of records) dalam investigasi kecelakaan pesawat meliputi:

“Pernyataan oleh orang-orang yang diperoleh dalam proses investigasi, rekaman atau transkrip komunikasi antara orang-orang yang terlibat dalam pengoperasian pesawat, informasi kesehatan atau informasi pribadi dari orang-orang yang terlibat dalam kecelakaan atau kejadian, rekaman suara atau transkrip di ruang kemudi (cockpit voice recorder), rekaman atau transkrip dari pembicaraan petugas pelayanan lalu lintas penerbangan (air traffic services), dan pendapat yang disampaikan dalam analisisi informasi termasuk rekaman informasi penerbangan (flight data recorder)”. Lebih tepat jika uraian ini ditempatkan menjadi norma dalam Pasal 359 ayat (2), kemudian dijelaskan kembali setiap poinnya dalam bagian penjelasan pasal per pasal. Penjelasan berfungsi untuk memuat tafsir resmi pembentuk undang-undang sehingga masyarakat memiliki satu persepsi atas makna dari norma pasal tersebut. Jika

penjelasan memuat norma baru, maka hal tersebut yang menimbulkan multi-tafsir/multi-intepretasi bagi suatu norma hukum.

Uji proporsionalitas (the ultimate rule of law) dideskripsikan sebagai patokan guna menentukan kelayakan antara tujuan yang hendak dicapai dengan cara-cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan yang diharapkan.27 Uji proporsionalitas umumnya digunakan dalam pengujian konstitusional. Uji proporsionalitaas digunakan untuk mempertimbangkan kemelut antara kepentingan umum dengan nilai-nilai konstitusi.28 Prinsip proporsionalitas telah diadopsi oleh berbagai negara dengan beragam sistem hukum. Prinsip proporsionalitas termuat dalam Komentar Umum Komisi HAM PBB dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik serta Prinsip Siracusa.29 Dalam uji proporsionalitas terdapat beberapa tahapan yang harus dilewati. Jika satu tahapan uji tidak dapat terlewati maka tahap berikutnya tidak akan dilanjutkan. Adapun tahapan pada uji proporsionalitas meliputi:30 (i) tahap Tujuan yang sah adalah tahapan untuk menguji tujuan negara yang ingin dicapai dapat dibenarkan dalam suatu pembatasan atau tidak; (ii) tahap Kesesuaian adalah tahapan untuk menguji cara pembatasan yang dilakukan oleh negara; (iii) tahap Kebutuhan adalah tahapan untuk menguji cara pembatasan tersebut merupakan cara satu-satunya yang dapat ditempuh oleh negara atau justru terdapat cara yang lebih baik dengan tidak membatasi hak atau less restrictive means; dan (iv) tahap Proporsionalitas adalah tahapan untuk menguji keseimbangan, menghitung keuntungan dan kerugian dari suatu pembatasan dengan suatu skala imajiner. Sederhananya, jika biaya yang harus dibayarkan untuk membatasi hak lebih besar dari keuntungan yang didapat lewat suatu pembatasan maka tindakan pembatasan tersebut dinyatakan tidak proporsional.

Analisis terhadap Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan berdasarkan uji proporsionalitas sebagai berikut, pertama berdasarkan tujuan yang sah, pada dasarnya pasal ini bertujuan untuk membatasi suatu informasi hasil investigasi kecelakaan pesawat udara selama proses investigasi. Berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, pembatasan hak dapat dilakukan jika dibatasi dengan undang-undang dan bertujuan untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain serta memenuhi tuntutan yang adil berdasarkan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Jika merujuk pada hal-hal tersebut maka pembatasan hak atas informasi yang dilakukan pasal ini bertujuan untuk mencapai ketertiban umum, investigasi yang berjalan dengan baik, dan keselamatan penerbangan. Maka tahap pertama pada uji proporsionalitas terlewati. Kedua, kesesuaian. Pasal ini tidak lolos tahap kedua sehingga tidak diperlukan ke tahap ketiga dan keempat karena cara pembatasan yang dilakukan oleh negara kurang tepat. Pembatasan telah dimuat dalam sebuah undang-undang akan tetapi Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan cacat hukum karena penjelasan pasal ini menimbulkan norma baru, mengakibatkan multi penafsiran, dan ketidakpastian hukum.

Selain memiliki permasalahan pada konstruksi norma, Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan ini tidak relevan karena antara norma dengan implementasinya memiliki perbedaan yang menyebabkan ketidaksesuaian. Dalam implementasinya, ketika kecelakaan pesawat terjadi di Indonesia, masyarakat memperoleh berbagai informasi penting melalui media massa. Keterangan dari pihak yang terlibat dalam proses investigasi maupun jumlah dan keadaan korban. Pada dasarnya, dengan tidak mengumumkan sebagian informasi yang tidak berkaitan dengan kecelakaan penerbangan telah cukup untuk melindungi hak privasi, khsusnya privasi kru dan penumpang pesawat. Pada kasus kecelakaan pesawat udara Lion Air JT-610, terjadi benturan kepentingan antara hak publik utamanya korban dan/atau keluarganya untuk memperoleh informasi hasil investigasi kecelakaan pesawat udara dengan Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan. Sesuai dengan konsep HAM, kepentingan yang lebih besar tentu menegasikan kepentingan yang lebih sedikit, sementara dalam kasus ini kepentingan untuk memperoleh informasi menjadi hak publik baik sebagai konsumen dalam maskapai penerbangan maupun sebagai korban dan/atau keluarga korban.

Perbaikan terhadap konstruksi norma dalam UU Penerbangan khususnya pada Pasal 359 ayat (2) harus segera dilaksanakan. UU Penerbangan telah berusia dua belas tahun dan belum pernah mengalami perubahan. Kegiatan penerbangan yang begitu dinamis perkembangannya harus diimbangi dengan pekembangan regulasi yang memadai sehingga mampu mengakomodir perubahan-perubahan yang terjadi. Terbentuknya UU Penerbangan merupakan pangejawantahan dari protokol penerbangan internasional yakni Annex 13 Konvensi Chicago 1944. Keberadaan UU Penerbangan sangat penting untuk memenuhi standar penerbangan internasional agar kegiatan penerbangan Indonesia memperoleh ijin terbang kenegara-negara lainnya. UU Penerbangan disahkan pada tahun 2009, oleh karena itu materi muatannya harus disesuaikan dengan UUD NRI 1945 dan undang-undang yang memiliki kesamaan substansi muatan. Pada Pasal 359 ayat (2) yang memuat norma tentang pengecualian informasi publik memiliki hubungan vertikal dengan Pasal 28F UUD NRI 1945 tentang hak informasi sebagai bagian dari HAM, Pasal 28J UUD NRI 1945 tentang pembatasan HAM. Berdasarkan asas konflik norma, terdapat prinsip dan kaidah hukum (legal maxim) yang menyatakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi meniadakan keberlakuan norma yang lebih rendah (lex superior derogate legi inferior).31 Asas ini secara implisit menerangkan bahwa undang-undang sebagai peraturan yang lebih rendah harus sesuai dengan undang-undang dasar (konstitusi) sebagai peraturan yang lebih tinggi. Pasal 359 ayat (2) juga memiliki hubungan horisontal dengan Pasal 17 UU KIP tentang informasi publik yang dikecualikan. Oleh sebab itu, dalam proses harmonisasi dalam pembentukan UU Penerbangan sangat penting untuk mengurangi terjadinya tumpang tindih peraturan perundang-undangan.

Sebagai hak seluruh rakyat Indonesia, maka secara a contrario pemenuhan hak informasi menjadi tanggung jawab pemerintah. Berkaitan dengan tata cara menyampaikan informasi publik yang baik dan benar, Moh. Mahfud MD mengatakan bahwa negara wajib menyampaikan informasi yang jujur dan dilakukan secara

transparan.32 Oleh sebab itu, untuk menjamin hak warga negara atas informasi publik dan kepastian hukum di bidang penerbangan, maka UU Penerbangan harus kembali diperbaharui dan dibenahi konstruksi norma di dalamnya agar sesuai dengan asas-pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

  • 4.    Kesimpulan

Kesimpulan dari hasil penelitian ini, pertama, Pasal 359 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan telah melanggar ketentuan UUD NRI 1945 karena tidak memenuhi syarat-syarat pembatasan hak asasi manusia dan informasi yang bersifat dikecualikan berdasarkan Pasal 28J UUD NRI 1945, Pasal 17 Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan Prinsip Siracusa. Hal tersebut didasari oleh tiga hal; (1) Penjelasan Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan memuat norma baru yang kemudian menimbulkan berbagai penafsiran dan ketidak pastian hukum terkait jenis-jenis informasi yang dirahasiakan; (2) Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan tidak mencantumkan jangka waktu kerahasiaan informasi hasil investigasi kecelakaan pesawat udara. Padahal dalam ketentuan dalam Chapter 5.12 Article 5.12.1 Annex 13 Konvensi Chicago 1944 menyatakan bahwa hasil investigasi tidak dapat diungkapkan hanya selama proses investigasi belum selesai. Ini dilakukan agar proses investigasi tidak terganggu oleh pihak-pihak yang tidak memiliki oteritas dalam proses investigasi; (3) Pasal 359 ayat (2) UU Penerbangan tidak memenuhi sebagian tahapan metode uji proporsionalitas agar pembatasan yang dimuat pasal tersebut menjadi konstitusional. Tahap yang tidak terpenuhi adalah tahap kesesuaian. Kedua, UU Penerbangan sudah seharusnya mengalami perbaikan dalam konstruksi normanya, khususnya dalam Pasal 359 ayat (2). Pasal ini tidak mampu mengakomodir perubahan yang terjadi dalam dunia penerbangan. Pasal a quo seharusnya memuat uraian-uraian informasi rahasia sebagai pembatasan hak informasi di dalam norma hukumnya (batang tubuh), sedangkan pengertian dari jenis-jenis informasi yang dirahasiakan tersebut dimuat dibagian penjelasan pasal. Hal ini menjadi penting karena masyarakat masih awam untuk memahami istilah-istilah dalam penerbangan. Pembatasan atas hak informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia harus melalui metode uji proporsionalitas untuk memastikan bahwa pembatasan ini akan bermanfaat lebih besar dan tidak menderogasi hak-hak lain yang dimiliki oleh warga negara. Terakhir, UU Penerbangan harus melakukan harmonisasi baik secara vertikal maupun horizontal dengan peraturan perundang-undangan yang lain agar tidak terjadi konflik norma kembali.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Efendi, Jonaedi dan Ibrahim, Johnny.“Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris (Jakarta, Kencana, 2016).”

Marzuki, Peter Mahmud.” Penelitian Hukum Edisi Revisi (Jakarta, Kencana, 2014).” Sastro, Dhoho A. dan Yasin, M. dkk.”Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi

Publik (Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, 2010).”

Jurnal Ilmiah

Aleinikoff, T. Alexander. "Constitutional Law in The Age of Balancing." Yale lj 96 (1986): 943.

Ansori, Lutfil. "Reformasi Penegakan Hukum Perspektif Hukum Progresif." Jurnal Yuridis 4, no. 2 (2018): 148-163.

Bisariyadi, Bisariyadi. "Penerapan Uji Proporsionalitas Dalam Kasus Pembubaran Partai Politik: Sebuah Perbandingan." Jurnal Hukum & Pembangunan 48, no. 1 (2018): 84-109.

Dempsey, Paul Stephen. "Independence of Aviation Safety Investigation Authorities: Keeping the Foxes From the Henhouse." J. Air L. & Com. 75 (2010): 223.

Irfani, Nurfaqih. "Asas Lex Superior, Lex Specialis, Dan Lex Pesterior: Pemaknaan, Problematika, Dan Penggunaannya Dalam Penalaran Dan Argumentasi Hukum." Jurnal Legislasi Indonesia 17, no. 3 (2020): 305-325.

Laurensius Arliman, S. "Implementasi Keterbukaan Informasi Pubik Untuk Mendukung Kinerja Aparatur Sipil Negara Yang Profesional." Cendikia Hukum 3, no. 2 (2017).

Matompo, Osgar S. "Pembatasan Terhadap Hak Asasi Manusia Dalam Prespektif Keadaan Darurat." Jurnal media hukum 21, no. 1 (2014): 16.

Muhshi, Adam. “Pemenuhan Hak Atas Informasi Sebagai tanggung Jawab Negara Dalam rangka Mewujudkan Good Governance”. Jurnal Lentera Hukum Volume 5, Issue 1 (2018), 70.

Warong, Kristian Megahputra. "Kajian Hukum Hak Asasi Manusia Terhadap Kebebasan Berpendapat Oleh Organisasi Kemasyarakatan Di Media Sosial." Lex Administratum 8, no. 5 (2020).

Poerwanto, Eko, dan Uyuunul Mauidzoh. "Analisis Kecelakaan Penerbangan Di Indonesia Untuk Peningkatan Keselamatan Penerbangan." Angkasa: Jurnal Ilmiah Bidang Teknologi 8, no. 2 (2016): 9-26.

Rifai, Akhmad. "Kemerdekaan Informasi: Catatan atas Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik." Jurnal Dakwah 9, no. 2 (2008): 101-115.

Sastro, Dhoho A dan Yasin, M. dkk. Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, 2010), 23.

Septian, Ilham Fajar, and Abiandri Fikri Akbar. "Konstitusionalitas Pasal-Pasal Kecelakaan Pesawat Udara Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan." Jurnal Legislasi Indonesia 17, no. 3 (2020): 269-281.

Singh, Rajeev Kumar. "Right to information: The basic need of democracy." Journal of Education & Social Policy 1, no. 2 (2014): 86-96.

Tjoetra, Afrizal, Phoenna Ath Thariq, and Arfriani Maifizar. "Pemenuhan Hak Atas Informasi Publik Dan Perubahan Sosial (Studi Terhadap Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan informasi Publik)." Ius Civile: Refleksi Penegakan Hukum dan Keadilan 4, no. 1 (2020).

Skripsi

Magribi, Ilham, Susi Dwi Harijanti, and LLM SH. "Penerapan Prinsip Proporsionalitasdalam Penafsiran Mahkamah Konstitusi Terhadap Limitation Clause Dalam UUD 1945." Skripsi, Universitas Padjadjaran, Bandung (2018).

Website

Azanella, Lutfhia Ayu. “Kecelakaan Lion Air JT 610 dan Polemik Pesawat Boeing 737

Max,”           Kompas.com,           2019,           URL           :

https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/tren/read/2019/10/29/ 173300865/kecelakaan-lion-air-jt-610-dan-polemik-pesawat-boeing-737-max. Diakses pada tanggal 10 Februari 2021.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. “Arsip Legislasi,” dpr.go.id, URL : https://www/dpr.go.id/arsip/indexlg/id/265. Diakses pada tanggal 15 Februari 2021.

Frendy Kurniawan, “Kecelakaan Lion Air & Teror Kerapnya Kecelakaan Pesawat Terbang,” Tirto.id, 2018, URL : https://amp.tirto.id/kecelakaan-lion-air-teror-kerapnya-kecelakaan-pesawat-terbang-c8Qt. Diakses pada tanggal 08 Februari 2021.

Komite Nasional Kecelakaan Transportasi. “Final KNKT.18.10.35.04 Aircraft Accident Investigation Report PT. Lion Air Mentari Airlines Boeing 737-8 (MAX); PK-LQP Tanjung Karawang, West Java Republic of Indonesia 29 October 2018,” knkt.go.id,   2019, URL :   http://knkt.go.id/post/read/laporan-final-

penerbangan?cat=QmVyaXRfHNIY3Rpb24tNjU. Diakses pada 27 Mei 2021.

Martono, K. “Menyikapi Lahirnya Telescope 23 Januari 2009,” Ilmuterbang.com, 2009, URL     :     https://ilmuterbang.com/artikel-mainmenu-29/peraturan-

penerbangan-mainmenu-81/19-peraturan-penerbangan-umum/179-menyikapi-lahirnya-telescope-23-januari-2009.  Diakses pada tanggal 15

Februari 2021.

Rachmawati. “5 Kasus Hoaks Corona di Media Sosial, Libatkan ibu Rumah Tangga hingga     Fahira     Idris,”     Kompas.com,     2020,     URL     :

https://regional.kompas.com/read/2020/03/12/06070061/5-kasus-hoaks-corona-di-media-sosial-libatkan-ibu-rumah-tangga-hingga-fahira?amp=1&page=2. Diakses pada tanggal 15 Februari 2021.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

PP No. 62 Tahun 2013 tentang Investigasi Kecelakaan Transportasi

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

Annex 13 Konvensi Chicago 1944 Aircraft Accident and Incident Investigation

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.7 Tahun 2021, hlm. 532-549