PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN NOMINEE KEPEMILIKAN SAHAM PERSEROAN TERBATAS

OLEH WARGA NEGARA ASING

Kadek Mas Sri Kusumadewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Made Suksma Prijandhini Devi Salain, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i07.p07

ABSTRAK

Penyusunan jurnal ini bertujuan untuk mengkaji akibat hukum yang ditimbulkan dari akta perjanjian nominee pada kepemilikan saham Perseroan Terbatas serta mengidentifikasi tanggung jawab Notaris dalam pembuatan akta perjanjian nominee saham ditinjau berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun Kode Etik Notaris. Metode penelitian yang digunakan ialah penelitian hukum normatif karena adanya kekosongan norma dalam suatu undang-undang yang justru menimbulkan praktik nominee saham. Penelitian ini menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analitis. Teknik pengumpulan bahan hukum melalui studi dokumen, kemudian bahan hukum yang terkumpul dianalisis menggunakan teknik deskriptif dilengkapi dengan pendekatan kualitatif. Hasil yang diperoleh dari penelitian memperlihatkan bahwa akta perjanjian nominee saham yang dibuat Notaris batal demi hukum lantaran substansi akta melanggar Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang akibat hukumnya terdapat pada ayat (2) bahwa perjanjiannya dinyatakan batal demi hukum, serta tidak memenuhi salah satu syarat objektif sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata. Kepemilikan saham menggunakan akta perjanjian nominee tidak memberikan akibat hukum terhadap Perseroan Terbatas yang bersangkutan sepanjang sesuai prosedur, memenuhi syarat-syarat pendirian dan menjalankan kegiatan penanaman modal, sedangkan penggunaannya dapat menimbulkan akibat hukum yang merugikan terhadap pihak beneficiary, nominee maupun Notaris. Notaris yang memberikan jasanya untuk membuat akta perjanjian nominee saham telah melanggar Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris. Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata, pidana, administratif, Kode Etik maupun menanggung akibat hukum dari akta jika perbuatannya memenuhi unsur-unsur untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Kata kunci: Pertanggungjawaban Notaris, Akta Perjanjian Nominee, Kepemilikan Saham, Perseroan Terbatas, Akibat Hukum

ABSTRACT

The purpose of this journal is to study the legal consequences of the nominee agreement deed on share ownership of Limited Liability Companies and to identify the Notary’s responsibilities in making the share nominee agreement deed reviewed based on statutory regulations and the Notary’s Code of Ethics. The research method used is normative legal research because of the absence of norms in a law that actually causes the practice of nominee shares. This research uses a statutory approach and an analytical approach. The technique of collecting legal materials is through document studies, then the collected legal materials are analyzed using descriptive techniques equipped with a qualitative approach. The results obtained from the research show that the share nominee agreement deed made by the Notary is null and void because the substance of the deed violates Article 33 paragraph (1) of Law Number 25 of 2007

concerning Investment, which has legal consequences in paragraph (2) that the agreement is declared null and void, and does not fulfill one of the objective requirements for the validity of the agreement based on Article 1320 of the Civil Code. Ownership of shares using a nominee agreement deed does not give legal consequences to the Limited Liability Company concerned as long as it follows the procedure, meets the requirements for estabilshment and carries out investment activities, while its use may cause adverse legal consequnces to the beneficiary, nominee and notary public. The notary who gave his services to draft the share nominee agreement deed has violated the Law on Notary Position and the Notary Code of Ethics. Notaries can be held accountable for civil, criminal, administrative, Code of Ethics or bear the legal consequences of deeds if their actions meet the elements to be held accountable.

Keywords: Notary Accountability, Nominee Agreement Deed, Share Ownership, Limited Liability, Legal Consequences

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Era revolusi industri 4.0 tengah dihadapi Indonesia ditandai dengan pemerintah yang semakin proaktif dalam mendorong peningkatan investasi dengan berupaya menarik minat investasi asing sebagai salah satu strategi prioritas nasional. Peluang investasi di berbagai sektor yang ditawarkan kepada investor global memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Pengaruhnya jelas terlihat dari kemudahan akses berinvestasi menyebabkan tingkat ketertarikan investor asing untuk melakukan investasi semakin meningkat. Namun sebelum berinvestasi di Indonesia, penanam modal asing harus memperhatikan regulasi yang dikeluarkan pemerintah di sektor investasi. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) menetapkan penanaman modal asing hanya bisa dilakukan pada perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Prasyarat pendirian PT salah satunya termuat dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dimana mengharuskan minimal 2 (dua) orang atau lebih dapat mendirikan PT. Prasyarat untuk mendirikan PT minimal pendirinya 2 (dua) orang atau lebih kadang kala menimbulkan masalah ketika penanam modal asing justru berkeinginan menguasai sepenuhnya kegiatan usaha dalam PT.

Dalam memilih bidang usaha yang akan ditanamkan modal maka sebelumnya perlu diketahui mengenai bidang usaha yang diperbolehkan dengan syarat dan dilarang untuk penanaman modal asing di Indonesia sesuai Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016. Selain daripada itu, Perpres tersebut juga menentukan berapa persen maksimum saham yang boleh investor asing miliki dalam bidang usaha tertentu. Penanam modal asing yang tertarik menanamkan modal sering kali terbentur dengan adanya syarat pendirian PT, negative list investment ataupun persentase maksimum saham yang boleh dimiliki pada bidang usaha tertentu. Dalam hal ini, agar dapat terhindar dari aturan-aturan atau syarat-syarat yang bersifat membatasi tersebut penanam modal asing berupaya mencari jalan keluar dengan melakukan praktik nominee yakni membangun PT menggunakan nama WNI untuk dicatat di daftar pemegang saham.1

Kepemilikan saham dalam bentuk nominee mengenal adanya dua pihak, yaitu: nominee dan beneficiary. Pihak yang meminjamkan namanya atau yang ditunjuk melakukan sesuatu sehubungan dengan kepemilikan saham untuk menggantikan

pihak yang menunjuknya disebut nominee, serta pihak yang sesungguhnya memiliki saham (pemilik asli saham) dan memiliki wewenang mengontrol tindakan nominee disebut beneficiary.2 Pihak beneficiary yang akan memegang kendali, mengelola, menikmati profit dan memperoleh manfaat dari saham yang diatasnamakan karena beneficiary menunjuk nominee hanya sebagai pihak yang tercatat secara hukum. Oleh karena itu, walaupun secara de facto saham milik beneficiary tetapi secara de jure saham seutuhnya milik nominee sebagai pemilik sah saham yang namanya tertera di daftar pemegang saham, maka dari itu untuk memberikan perlindungan kepada beneficiary atas sahamnya antara para pihak dibuat perjanjian nominee.3 Substansi perjanjian tersebut umumnya memuat suatu pernyataan dari nominee yang secara tegas menyatakan bahwa sebenarnya uang beneficiary yang digunakan untuk mendirikan atau menjalankan usaha dalam Perseroan, oleh karena itu semua keuntungan yang diperoleh terkait kepemilikan saham nominee menjadi hak beneficiary sekaligus kerugian dan beban pajaknya ditanggung beneficiary.4 Para pihak yang terlibat melakukan praktik nominee tidak hanya sebatas membuat dan menandatangani perjanjian nominee, namun umumnya juga diikuti dengan pembuatan serangkaian perjanjian dan kuasa yang lumrah dikenal dalam tata hukum Indonesia untuk memberikan kepastian hukum dan melindungi beneficiary selaku pemilik asli saham yang disebut dengan nominee arrangement atau perjanjian simulasi yang bentuknya dapat berupa akta perjanjian kredit, perjanjian gadai saham, surat kuasa menghadiri dan mengeluarkan suara pada RUPS maupun surat kuasa untuk menjual saham. 5

Ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUPM melarang pembuatan suatu perjanjian ataupun pernyataan yang menerangkan kepemilikan saham PT untuk dan atas nama orang lain baik oleh investor dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal pada PT. Larangan pembuatan perjanjian tersebut dalam UUPT secara langsung juga dapat ditemukan dari penelaahan pasal-pasalnya. Ketentuan Pasal 48 ayat (1) UUPT mensyaratkan Perseroan mengeluarkan saham beratasnamakan pemiliknya, maka saham yang dikeluarkan Perseroan hanya diperbolehkan beratasnamakan pemiliknya, sebaliknya saham yang dikeluarkan tidak boleh sedikitpun atas nama orang lain yang bukan pemilik asli saham.6 Disamping itu, Pasal 52 ayat (4) UUPT menyebutkan kepada pemilik setiap saham dalam Perseroan diberikan hak yang tidak dapat dibagi-bagi, maka secara tidak langsung ketentuan pasal ini melarang penggunaan nominee dengan menutup kemungkinan adanya nominee pemegang saham dalam PT karena UUPT menganut konsep kepemilikan saham mutlak (dominium plenum) yang semata-mata hanya mengakui seorang pemegang saham beserta seluruh hak, tugas, kewajiban dan tanggung jawab yang mengikutinya. 7

Perjanjian nominee dapat dibuat di bawah tangan maupun menggunakan perantara Notaris, namun terkadang para pihak yang melakukan perjanjian ingin menuangkannya ke bentuk akta Notaris karena memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Rumusan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) menjelaskan pembuatan akta autentik baik berupa segala tindakan, kesepakatan dan penetapan sebagaimana diharuskan peraturan perundang-undangan ataupun diinginkan pihak yang bersangkutan guna disalin pada akta autentik menjadi kewenangan Notaris. Membuat akta autentik dilakukan dengan cara menuangkan kehendak pihak yang berkepentingan pada akta agar dapat terealisasi keinginan para pihak secara baik dan benar serta tidak melanggar atau menyimpang dari aturan hukum.8 Walaupun UUJN dan Kode Etik Notaris telah mengamanatkan Notaris untuk melaksanakan tugasnya wajib berpedoman kepada aturan hukum yang berlaku, tetapi dalam praktiknya tidak jarang ditemui Notaris yang memberikan jasanya membuat akta perjanjian nominee pada kepemilikan saham PT. Memperhatikan makna Pasal 48 ayat (1) UUPT dan Pasal 33 ayat (1) UUPM maka kepemilikan saham menggunakan perjanjian nominee dilarang di Indonesia, baik dalam UUPT dan UUPM tidak mengatur secara eksplisit perihal sanksi yang bisa menjerat para pihak yang mengadakan perjanjian ataupun Notaris yang membuat akta perjanjian nominee saham.9 Akibat kekosongan norma dalam kedua undang-undang hingga kini masih ditemukan Notaris yang memberikan jasa bahkan tidak jarang menawarkan jasa untuk membuat akta perjanjian nominee saham meskipun mengetahui larangan pembuatan perjanjian tersebut. Dilatarbelakangi dari adanya kekosongan norma yang dapat menimbulkan persoalan hukum sehubungan dengan sanksi bagi Notaris apabila terbukti membuat akta perjanjian nominee pada kepemilikan saham PT. Dengan demikian, penulis tertarik menyusun jurnal berjudul “Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Nominee Kepemilikan Saham Perseroan Terbatas Oleh Warga Negara Asing” dengan menelaah pasal-pasal yang terdapat pada peraturan perundang-undangan maupun Kode Etik Notaris yang dapat menjerat Notaris serta bentuk-bentuk pertanggungjawabannya apabila terbukti bersalah membuat akta perjanjian nominee saham.

Berdasarkan hasil penelusuran dan pengamatan penulis ditemukan sejumlah penelitian yang mempunyai kemiripan pembahasan apabila dibandingkan dengan penelitian ini. Penelitian pertama ditulis oleh Kevin Pahlevi, Paramita Prananingtyas dan Sartika Nanda Lestari berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Saham Pinjam Nama (Nominee Arrangement) Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia” yang membahas mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya praktik nominee arrangement dan akibat hukumnya terhadap perjanjian itu sendiri, pemegang saham nominee, pihak beneficiary maupun PT.10 Berbeda dengan penelitian ini yang fokus pembahasannya mengenai perjanjian nominee saham yang dibuat secara notariil, maka dari itu penelitian terdahulu tidak menjelaskan konsekuensi hukum bagi Notaris yang membuat akta perjanjian nominee saham termasuk sejauhmana tanggung jawabnya apabila membuat perjanjian tersebut. Penelitian kedua ditulis oleh Chandra Lesmana berjudul “Tanggung Jawab Hukum Notaris Terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Nominee Saham” yang mengulas tentang konsekuensi hukum akta

perjanjian nominee saham dan bentuk-bentuk tanggung jawab Notaris manakala membuat perjanjian tersebut.11 Akan tetapi terdapat beberapa hal yang mengakibatkan penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu, yaitu penelitian terdahulu belum dapat menjelaskan akibat hukum terhadap Notaris atas perjanjian nominee saham yang dibuatnya, serta tidak menjelaskan ketentuan-ketentuan pasal dalam UUJN dan Kode Etik yang telah dilanggar Notaris yang terbukti bersalah membuat perjanjian tersebut. Penelitian ini dengan penelitian terdahulu juga memiliki perbedaan dilihat dari teori yang digunakan dan penelitian terdahulu di bagian pembahasannya masih mengacu kepada beberapa ketentuan pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang telah dihapus oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Berdasarkan perbandingan yang dilakukan penulis telah menunjukkan bahwa penelitian ini cukup banyak perbedaannya dibandingkan penelitian terdahulu, dimana penelitian ini berusaha menjelaskan hal-hal yang tidak terdapat dalam penelitian terdahulu serta menyajikan hasil penelitian dalam bentuk yang berbeda disesuaikan dengan perkembangan hukum saat ini.

Penelitian ini penting dilakukan karena penulis melihat bahwa fenomena praktik penyelundupan hukum dengan perjanjian nominee yang dibuat secara notariil masih sering terjadi di dunia usaha dan bisnis saat ini, bahkan penggunaannya tidak jarang berujung sengketa antara para pihak yang menyebabkan Notaris harus dipanggil ke Pengadilan untuk diminta keterangan atas akta yang diterbitkannya. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa belum ada regulasi yang mengatur mengenai sanksi yang dapat menjerat Notaris apabila terbukti bersalah membuat akta perjanjian nominee saham. Hal ini tentu menimbulkan ketidakjelasan mengenai bentuk tanggung jawab Notaris dalam membuat akta perjanjian nominee saham maupun sejauhmana Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban atas timbulnya persoalan-persoalan hukum sebagai akibat dari perjanjian tersebut. Oleh karena itu, diperlukan adanya pembaharuan hukum di Indonesia terkait sanksi untuk para pihak yang mengadakan perjanjian ataupun Notaris yang membuat akta perjanjian nominee saham sehingga penegakan hukum terhadap ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUPM bisa berjalan lebih efektif.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk membahas 2 (dua) permasalahan, yaitu :

  • 1.    Apa akibat hukum akta perjanjian nominee pada kepemilikan saham Perseroan

Terbatas yang dibuat Notaris ?

  • 2.    Bagaimanakah tanggung jawab Notaris dalam pembuatan akta perjanjian

nominee pada kepemilikan saham Perseroan Terbatas ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai akibat hukum akta perjanjian nominee pada kepemilikan saham Perseroan Terbatas dan mengidentifikasi tanggung jawab Notaris dalam pembuatan akta perjanjian nominee saham ditinjau dari peraturan perundang-undangan maupun Kode Etik Notaris.

  • 2.     Metode Penelitian

Penulisan jurnal yang berjudul “Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Nominee Kepemilikan Saham Perseroan Terbatas Oleh Warga Asing” mempergunakan metode penelitian hukum normatif atau diistilahkan juga teoritis/dogmatis yang fokus meneliti hukum dari aspek internal dengan norma hukum sebagai objek penelitiannya.12 Metode penelitian normatif digunakan untuk membahas permasalahan penelitian yang berangkat dari adanya kekosongan norma dalam suatu undang-undang yang justru menimbulkan praktik nominee saham. Penelitian ini mempergunakan jenis pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan meneliti peraturan perundang-undangan terkait isu hukum yang akan dibahas, serta digunakan juga pendekatan analitis (analytical approach) yang dilakukan untuk menganalisa bahan hukum yang terkumpul. Dikarenakan menggunakan penelitian hukum normatif, maka semata-mata hanya meneliti data sekunder yang didapatkan dari data perpustakaan itulah sebabnya sering kali disebut penelitian kepustakaan atau studi dokumen. 13 Data sekunder tersebut ialah sumber bahan hukum yang dipergunakan mencakup bahan hukum primer dan sekunder. Digunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, kemudian digunakan bahan hukum sekunder mencakup buku, tesis dan jurnal hukum. Untuk mengumpulkan bahan hukum penulis melakukan studi dokumen (studi kepustakaan) yaitu penelusuran bahan hukum melalui mekanisme membaca dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku, tesis maupun jurnal hukum yang relevan dengan objek penelitian. Bahan hukum yang terkumpul dianalisis menggunakan teknik deskriptif yaitu mendeskripsikan/menguraikan hasil-hasil penelitian, kemudian peneliti akan menarik konklusi sebagai jawaban atas permasalahan yang di teliti. Teknik deskriptif yang digunakan peneliti dilengkapi dengan pendekatan kualitatif untuk memudahkan dalam memberikan tafsiran maupun memahami hasil analisis dengan cara memaparkannya ke dalam sebuah kalimat, kemudian disusun secara sistematis, berurutan, masuk akal, tidak saling bertentangan dan tepat sasaran dalam artian apa yang dimaksud tersampaikan dengan baik. 14

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Akibat Hukum Akta Perjanjian Nominee Pada Kepemilikan Saham Perseroan Terbatas yang Dibuat Notaris

Akta autentik dibuat oleh atau dihadapan Notaris yang dikategorikan alat bukti yang sah serta memiliki nilai pembuktian yang sempurna (volledig bewijs) sehingga dalam sengketa keperdataan tidak dibutuhkan alat bukti lain, namun dalam keadaan tertentu akta tersebut dapat dibatalkan, batal demi hukum ataupun kekuatan pembuktiannya mengalami penurunan (degradasi) menjadi layaknya akta dibawah tangan. Penyebab akta dapat dibatalkan maupun batal demi hukum lantaran tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata yang menentukan adanya 4 (empat) syarat yakni :

  • 1)    Sepakat para pihak yang melakukan perjanjian, diartikan sebelumnya para

pihak telah menyepakati substansi perjanjian sehingga diantara mereka terdapat kesamaan kehendak mengenai hal-hal yang diperjanjian. Kata “sepakat” diperoleh dari kesadaran masing-masing pihak untuk melakukan perjanjian bukan karena sedang berada dalam tekanan, mengalami penipuan ataupun terjadi suatu kesalahan yang tidak disengaja.

  • 2)    Kecakapan melakukan perjanjian, diartikan subjek yang melakukan perjanjian

dari segi hukum dianggap berwenang bertindak dan mampu mengadakan hubungan hukum. Seseorang disebut cakap hukum dilihat dari keadaannya, dimana ia sudah cukup umur dan tidak berada dibawah pengampuan (curatele).

  • 3)    Adanya persoalan tertentu, diartikan dalam membuat perjanjian harus ada

kejelasan terkait objek perjanjian yang pada dasarnya memuat mengenai sesuatu hal tertentu. Objek perjanjian juga tidak boleh melanggar aturan hukum yang berlaku.

  • 4)     Adanya kausa/sebab yang tidak terlarang, diartikan substansi perjanjian

dilihat menurut peraturan perundang-undangan bukan sesuatu yang dilarang dan berlawanan dengan ketertiban umum maupun norma kesusilaan dalam masyarakat sebagaimana diatur Pasal 1337 KUH Perdata.

Keempat syarat yang telah dikemukakan diatas dapat dikelompokkan menjadi syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat pertama dan kedua ialah syarat subjektif, sedangkan ketiga dan keempat ialah syarat objektif. Salah satu daripada syarat subjektif maupun objektif yang tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian akan memberikan konsekuensi hukum terhadap perjanjian yang bersangkutan. Suatu perjanjian dapat “dibatalkan” apabila tidak memenuhi salah satu syarat subjektif, yaitu: syarat pertama atau kedua sahnya perjanjian. Dalam hal ini, sepanjang perjanjian tidak dibatalkan pemenuhan prestasi tetap harus dilaksanakan para pihak sebagaimana perjanjian yang sah. Sebaliknya perjanjian “batal demi hukum” apabila salah satu syarat objektif, yaitu: syarat ketiga atau keempat tidak dapat dipenuhi. Mengamati perjanjian nominee saham PT yang diformulasikan Notaris ke dalam akta autentik apabila dianalisis berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, maka tidak memenuhi salah satu syarat untuk sahnya perjanjian. Akta perjanjian nominee saham memuat kausa/sebab yang terlarang karena substansi perjanjian menyalahi ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUPM. Akta tersebut mencantumkan kausa/sebab yang terlarang agar dapat terhindar dari ketentuan-ketentuan hukum suatu peraturan perundang-undangan, baik terkait syarat pendirian PT atau penanaman modal asing di Indonesia sehingga penggunaannya menjadi salah satu bentuk penyelundupan hukum.

Akibat hukum pembuatan akta perjanjian nominee saham PT yang dibuat Notaris adalah akta dinyatakan batal demi hukum, dimana diartikan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sebab sejak awal diantara para pihak diibaratkan tidak terjadi suatu perjanjian atau perikatan. Upaya penyelundupan hukum berupa pembuatan akta perjanjian nominee saham secara terang dan nyata telah menyimpang dari ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUPM, bahkan mengenai konsekuensi hukumnya diatur dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) bahwa akta yang bersangkutan menjadi batal demi hukum. Selain daripada itu, disebabkan juga karena tidak terpenuhinya syarat objektif, yaitu: syarat keempat kausa/sebab yang tidak terlarang agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah. Sekalipun akta batal demi hukum, namun apabila PT yang menggunakan akta perjanjian nominee saham telah memenuhi prosedur, syarat-syarat

pendirian dan menjalankan kegiatan penanaman modal, maka berdirinya PT tetap dianggap sah dan eksistensinya diakui oleh hukum.15 Pembubaran dapat terjadi terhadap PT yang melakukan praktik nominee karena permohonan dari pihak yang mengajukan pembubarannya ke Pengadilan Negeri, serta berdasarkan penetapan pengadilan tersebut PT resmi dibubarkan. Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan untuk membubarkan PT dengan dalih penggunaan akta perjanjian nominee dalam kepemilikan saham merupakan perbuatan melanggar hukum.

Kepemilikan saham menggunakan akta perjanjian nominee memberikan akibat hukum yang merugikan terhadap pihak beneficiary, nominee maupun Notaris. Akibat hukum terhadap beneficiary adalah tidak mendapatkan hak atas saham nominee sebab akta yang digunakan untuk mendukung (back up) menjadi batal demi hukum.16 Akibat hukum terhadap nominee adalah harus bertanggung jawab atas kerugian yang muncul karena tindakan-tindakan hukum yang diambil beneficiary berupa pengambilan keputusan ketika memberikan suara dalam RUPS, mengurus saham maupun tindakan lain sehubungan dengan kepemilikan saham nominee.17 Hal yang terjadi sebagai akibat akta dinyatakan batal demi hukum, maka dihadapan hukum terhadap kerugian yang dialami nominee pertanggungjawaban beneficiary tidak dapat dituntut pemenuhannya. Akibat hukum terhadap Notaris adalah dapat dimintakan pertanggungjawaban atas timbulnya akibat hukum atau persoalan-persoalan hukum sebagai akibat dari akta perjanjian nominee saham. Pembuatan akta tersebut juga akan mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap profesi Notaris menurun karena akta terindikasi menyebabkan ketidakpastian hukum yang berujung menimbulkan kerugian kepada masyarakat.18

  • 3.2    Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Nominee Pada Kepemilikan Saham Perseroan Terbatas

Dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban yang bersumber dari peraturan perundang-undangan ataupun sebuah kesepakatan tentu akan menimbulkan tanggung jawab bagi seseorang yang dilimpahkan tugas dan kewajiban untuk itu, begitu pula halnya Notaris yang dilimpahkan kewenangan membuat akta autentik harus bertanggung jawab manakala dalam membuat akta terdapat pelanggaran ataupun penyimpangan terhadap aturan hukum yang berlaku yang berdampak akta menjadi tidak sah, oleh karena itu dalam menjalankan kewenangannya ia wajib memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dan menanggung akibat yang timbul dari tindakannya tersebut.19 Sehubungan dengan tindakan Notaris yang memberikan jasanya untuk membuat akta perjanjian nominee saham PT yang dilarang Pasal 33 ayat (1) UUPM, maka secara langsung Notaris telah melakukan pelanggaran terhadap UUJN maupun Kode Etik Notaris.

Pelanggaran Terhadap UUJN :

  • a.    Pasal 4 ayat (2) mengatur bahwa di depan Menteri/pejabat yang berwenang

Notaris diwajibkan untuk melafalkan sumpah/janji berdasarkan keyakinannya sebelum mengemban dan melaksanakan tugas jabatannya. Sesuai dengan Permen Hukum dan HAM Nomor 25 Tahun 2014, pejabat yang dimaksud berwenang ialah Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM. Sewaktu Notaris melafalkan sumpah/janjinya secara garis besar ia menyatakan akan berpegang teguh dan taat terhadap NKRI, dasar negara Pancasila, UUD 1945, UUJN serta peraturan perundang-undangan lain. Notaris membuat akta perjanjian nominee saham sudah mengingkari sumpah/janjinya untuk berpegang teguh dan taat terhadap peraturan perundang-undangan lain, yakni UUPM yang secara tegas melarang praktik pembuatan perjanjian nominee saham dalam penanaman modal.

  • b.    Pasal 15 ayat (2) huruf e mengatur bahwa terkait akta yang hendak dibuatnya

Notaris diberikan kewenangan untuk melakukan penyuluhan hukum. Pelanggaran terhadap ketentuan ini disebabkan karena Notaris sebagaimana mestinya tidak melakukan penyuluhan hukum kepada para penghadap yang hendak menggunakan jasanya membuat akta perjanjian nominee saham. Kepada para penghadap penyuluhan hukum dilakukan dengan cara menjelaskan substansi perjanjian yang akan dibuat dilarang ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUPM dan mempunyai konsekuensi perjanjian dinyatakan batal demi hukum, maka dari itu seharusnya para penghadap mengurungkan niatnya untuk membuat maupun melakukan perjanjian tersebut. 20

  • c.     Pasal 16 ayat (1) huruf a mengatur bahwa bersikap amanah, jujur, saksama,

independen, netral tanpa memihak kepada siapa pun dan melindungi kepentingan pihak pengguna jasanya adalah sikap yang wajib diamalkan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya. Seharusnya sikap jujur dapat dicerminkan dari tindakan Notaris yang berterus terang menyampaikan kepada para penghadap bahwa perjanjian nominee saham yang hendak mereka buat melanggar rumusan Pasal 33 ayat (1) UUPM serta berakibat perjanjian menjadi batal demi hukum, dalam artian sejak awal diantara mereka dianggap tidak pernah terjadi suatu perjanjian. Bersikap jujur juga akan melindungi kepentingan para penghadap agar terhindar dari kerugian yang ditimbulkan akibat perjanjian tersebut tetap dibuat yang bisa saja disebabkan karena ketidaktahuan mereka mengenai larangan pembuatan perjanjian nominee saham serta akibat hukumnya. Notaris hendaknya mengetahui dan memahami seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan tugas jabatannya termasuk UUPM yang secara tegas melarang praktik pembuatan perjanjian nominee saham. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi Notaris untuk tidak mengikuti keinginan para penghadap yang ingin menggunakan jasanya membuat perjanjian tersebut.

  • d.    Pasal 16 ayat (1) huruf e mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas

jabatannya pelayanan hukum wajib diberikan Notaris kepada pihak yang membutuhkan jasanya terkecuali apabila terdapat dalil-dalil untuk menolaknya, pemberian bantuan hukum ini harus tetap berpedoman pada apa yang diamanatkan dalam UUJN. Terlepas dari kewajibannya memberikan jasa

hukum di bidang kenotariatan untuk masyarakat yang membutuhkan bukti autentik, namun dalam keadaan tertentu dengan alasan yang jelas ia juga dapat menolak untuk memberikan jasanya. Notaris dapat menolak memberikan jasanya lantaran berbagai hal, pemberian jasanya mengakibatkan ia mengingkari sumpah/janjinya atau melanggar aturan hukum yang berlaku menjadi salah satu alasannya.21 Pembuatan akta perjanjian nominee saham yang diinginkan para penghadap hanya akan menyebabkan Notaris mengingkari sumpah/janjinya dan melanggar Pasal 33 ayat (1) UUPM.

Pelanggaran Terhadap Kode Etik Notaris :

  • a.     Pasal 3 angka 4 mengatur bahwa bersikap jujur, independen, netral tanpa

memihak kepada siapa pun, amanah, saksama, memiliki rasa tanggung jawab berlandaskan kepada peraturan perundang-undangan maupun muatan dari bunyi sumpah/janji jabatan Notaris harus diamalkan Notaris ataupun Notaris pengganti semasa melaksanakan tugas jabatan Notaris. Perjanjian nominee saham yang diinginkan para penghadap untuk dituangkan dalam bentuk akta Notaris dilarang Pasal 33 ayat (1) UUPM dan muatan sumpah/janji jabatan Notaris, maka dari itu ia harus bersikap jujur dan berterus terang menyampaikan kepada mereka tentang kebenaran perjanjian tersebut.

Adakalanya para pihak menghadap Notaris bermaksud untuk membuat akta perjanjian nominee saham tanpa mengetahui larangan dan konsekuensi hukum dari perjanjian yang hendak mereka buat. Notaris harus tegas menolak memberikan jasanya serta meluruskan kehendak para pihak agar nantinya tidak membuat perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang. Notaris yang memberikan jasanya membuat akta perjanjian nominee saham dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila timbul akibat hukum lantaran akta yang ia buat dan selama perbuatannya memenuhi unsur-unsur untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban.   Bentuk-bentuk pertanggungjawaban Notaris terkait

tindakannya membuat akta perjanjian nominee kepemilikan saham PT dapat ditemukan dari penelaahan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan dan Kode Etik Notaris.

  • 1)    Tanggung Jawab Notaris Secara Perdata

Notaris tidak melakukan hal-hal yang semestinya ia lakukan kepada para penghadap yang melakukan perbuatan hukum maupun pihak lain yang menyebabkan tidak terlindunginya kepentingan mereka dapat dituntut bertanggung jawab secara perdata. Misalnya Notaris seharusnya dapat melakukan penyuluhan hukum dan menolak memberikan jasanya apabila menghadapi situasi dimana substansi perjanjian yang ingin dibuat para penghadap untuk dituangkan pada akta dilarang peraturan perundang-undangan, walaupun ia hanya dilimpahkan tugas membuat akta autentik sedangkan para penghadap yang berhak menentukan perbuatan, kesepakatan dan penetapan yang ingin dituangkan dalam akta tersebut. Terhadap tindakan Notaris pertanggungjawaban secara perdata dapat terjadi apabila memenuhi unsur-unsur Pasal 1365 KUH Perdata yang menentukan kapan seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya, dalam hal ini Notaris wajib mengganti kerugian manakala ia melakukan perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan para penghadap maupun orang lain menderita kerugian.

Pertanggungjawaban perdata dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga yang diberikan untuk para penghadap yang menderita kerugian sebagai konsekuensi dari tuntutan mereka lantaran akta dinyatakan batal demi hukum atau kekuatan pembuktiannya mengalami penurunan (degradasi) menjadi hanya memiliki kekuatan pembuktian layaknya akta dibawah tangan. 22 Terhadap perbuatan melanggar hukum pemberian ganti rugi tidak hanya sebatas berupa uang, akan tetapi apabila penggugat yang menghendaki dan hakim memandangnya sesuai pemberian ganti rugi dapat diberikan dalam bentuk lain23. Hal ini dapat ditemukan pada pertimbangan hukum Hoge Raad yang menyatakan bahwa “Pemberian ganti rugi berupa uang kepada pihak yang mengalami kerugian merupakan suatu hukuman yang dapat dijatuhkan bagi seseorang yang melakukan perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian itu, namun terdapat juga hukuman berupa pemenuhan prestasi lain untuk kepentingan pihak yang mengalami kerugian apabila mereka mengajukan tuntutan ganti rugi dalam bentuk lain serta hakim memandangnya sesuai untuk menghapus kerugian yang dialaminya”.24

Berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum Notaris lantaran membuat akta perjanjian nominee saham maka dalam aspek keperdataan akan melahirkan sanksi tanggung gugat kepada Notaris yang bersangkutan, dalam hal ini ganti rugi yang harus dibayar Notaris dilandasi dari adanya hubungan hukum yang terjadi antara ia dan penghadapnya yaitu Warga Negara Asing dalam membuat akta sebagai bentuk daripada sanksi tanggung gugat yang akan diterimanya.25 Pelanggaran hukum Notaris atas pemberian jasanya membawa kerugian kepada para penghadap terutama pihak beneficiary selaku pemilik asli saham karena akta telah batal demi hukum. Dengan demikian, suatu akta dinyatakan batal demi hukum memberikan hak kepada para penghadap yang mengalami kerugian untuk menggugat secara perdata dan mengajukan tuntutan ganti rugi kepada Notaris yang bersangkutan ke pengadilan untuk selanjutnya diproses hukum. Apabila berdasarkan putusan pengadilan Notaris terbukti bersalah, maka ia harus memberikan ganti rugi kepada para penghadap yang mengalami kerugian akibat dari pemberian jasanya tersebut.

  • 2)    Tanggung Jawab Notaris Secara Pidana

Membuat, mencantumkan atau memerintahkan mencantumkan keterangan palsu ke dalam akta autentik dikualifikasi menjadi tindak pidana pemalsuan surat yang erat relasinya dengan tugas jabatan seorang Notaris. Andaikata Notaris melakukan perbuatan pidana berkenaan dengan pemalsuan surat ia dapat dijerat berdasarkan Pasal 263, 264 atau 266 KUHP. Notaris dapat dipanggil ke pengadilan atas dugaan keterlibatannya dan dimintakan pertanggungjawaban apabila perbuatannya terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana tersebut. Salah satu pasal terkait tindak pidana pemalsuan surat yaitu Pasal 266 ayat (1) KUHP dimana secara garis besar

mengatur mengenai ancaman hukuman penjara paling lama tujuh tahun bisa dikenakan kepada seseorang yang memerintahkan mencantumkan keterangan palsu untuk dinyatakan dalam akta autentik sehingga penggunaannya mengakibatkan suatu kerugian, dalam hal ini perbuatannya dilakukan dengan maksud menggunakan seakan-akan yang dinyatakan dalam akta benar adanya. Terhadap tindak pidana pemalsuan surat unsur kesengajaan pada saat terdakwa melakukan perbuatan harus dapat dibuktikan dalam proses pembuktian di pengadilan. Mengenai pembuktian seseorang yang diduga melakukan tindak pidana pemalsuan surat dinyatakan bersalah apabila telah ada bukti-bukti mengenai :26

  • 1.    Terdakwa sejak awal mempunyai “kehendak” memerintahkan pihak lain

untuk memasukkan keterangan yang tidak benar (palsu) agar dituangkan dalam akta autentik yang seharusnya menyatakan hal-hal sesuai kebenaran.

  • 2.     Terdakwa telah “mengetahui” akta autentik dijadikan alat untuk melakukan

tindak pidana, dan

  • 3.    Terdakwa “bermaksud” memakai maupun memerintahkan kepada pihak lain

untuk memakainya seakan-akan keterangan palsu yang tertera dalam akta sesuai kebenaran.

Dalam hal pertanggungjawaban pidana sehubungan pemberian jasa Notaris membuat akta perjanjian nominee saham, seorang Notaris disebut melakukan tindak pidana sebagaimana dirumuskan Pasal 266 ayat (1) KUHAP apabila telah dapat dibuktikan secara sah memerintahkan atau menganjurkan membuat perjanjian nominee yang berisikan keterangan-keterangan tidak benar (palsu) kepada para penghadap. Perjanjian nominee tersebut mencantumkan keterangan tidak benar (palsu) dengan maksud memakainya seakan-akan yang tertera dalam perjanjian benar adanya, namun sebenarnya pembuatan perjanjian dilatarbelakangi kepentingan Warga Negara Asing untuk dapat menguasai saham PT maupun terhindar dari pembatasan-pembatasan yang ditentukan Pemerintah di bidang investasi. Berkenaan dengan kebenaran materiil akta, apabila para penghadap yang melakukan pemalsuan tidak ada keterlibatan Notaris secara materiil maka pertanggungjawaban secara pidana tidak dapat dikenakan terhadap Notaris, kecuali terdapat itikad buruk dari para penghadap dalam membuat akta atau lewat akta itu berpotensi menyebabkan suatu tindak pidana dimana semua hal itu diketahui oleh Notaris.27

  • 3)    Tanggung Jawab Notaris Secara Administratif

Tugas, wewenang, kewajiban dan larangan Notaris menjalankan profesinya secara eksplisit diatur dalam UUJN termasuk mengenai penjatuhan sanksi bilamana hal-hal yang sudah ditetapkan secara limitatif dalam undang-undang tersebut tidak dilaksanakan dengan baik. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1), 16, 17, 19, 32, 37, 54, 58 dan 59 menyebabkan Notaris dapat dijatuhkan sanksi administratif. Pengaturan mengenai sanksi administratif ditemukan dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2), 16 ayat (11), 16 ayat (13), 17 ayat (2), 19 ayat (4), 32 ayat (4), 37 ayat (2), 54 ayat (2) dan 65A. Sebagaimana ditentukan pasal-pasal tersebut, beberapa bentuk sanksi administratif yang bisa dikenakan kepada Notaris yaitu :

  • a.     Peringatan secara tertulis;

  • b.     Diberhentikan sementara;

  • c.     Diberhentikan dengan hormat; ataupun

  • d.    Diberhentikan dengan tidak hormat.

Penerapan sanksi diberlakukan bertahap diawali dari sanksi yang ringan berupa peringatan tertulis yang diberikan oleh Majelis Pengawas Notaris, namun apabila yang diperintahkan tidak dilaksanakan dilanjutkan penjatuhan sanksi berupa pemberhentian sementara sebagai Notaris. Penjatuhan sanksi administratif dapat langsung dilakukan tidak perlu secara bertahap bilamana Notaris melakukan pelanggaran berat terhadap pasal-pasal yang telah disebutkan. Terkait pemberian jasanya dalam membuat akta perjanjian nominee saham, Notaris dapat dikenakan sanksi administratif karena perbuatannya melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf a dan 16 ayat (1) huruf e UUJN.

  • 4)    Tanggung Jawab Notaris Secara Kode Etik

Notaris dalam melaksanakan tugasnya harus tetap berpegangan pada kaidah moral yang disebut Kode Etik Notaris dalam bersikap dan bertingkah laku. Dewan Kehormatan Notaris memegang amanah untuk mengemban tugas menegakkan Kode Etik terutama menindak Notaris yang melanggar nilai-nilai etika atau ketentuan-ketentuan yang telah diatur sedemikian rupa oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI). Penegakan hukum dilakukan dengan jalan menelusuri kebenaran-kebenaran beserta bukti-bukti dugaan pelanggaran Kode Etik, melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi kepada Notaris yang bersangkutan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ia terbukti bersalah. Penjatuhan sanksi sifatnya internal sebatas dalam ruang lingkup organisasi profesi Notaris. Bentuk-bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan apabila terbukti bersalah melakukan pelanggaran Kode Etik tercantum pada Pasal 6 ayat (1) Kode Etik Notaris antara lain :

  • a.     Teguran;

  • b.     Peringatan;

  • c.     Diberhentikan sementara (schorsing) dari anggota organisasi Ikatan Notaris

Indonesia;

  • d.    Diberhentikan dengan hormat dari anggota organisasi Ikatan Notaris

Indonesia; atau

  • e.     Diberhentikan dengan tidak hormat dari anggota organisasi Ikatan Notaris

Indonesia.

Pemilihan bentuk sanksi yang tepat dijatuhkan terhadap Notaris yang terbukti bersalah melanggar Kode Etik dilihat berdasarkan jumlah dan tingkat pelanggaran. Mengenai pemberian jasanya membuat akta perjanjian nominee saham secara langsung Notaris telah mencerminkan sikap dan perilaku yang bertentangan dengan Pasal 3 ayat (4) Kode Etik Notaris. Atas perbuatannya pertanggungjawaban secara Kode Etik dapat dikenakan terhadap Notaris berupa penjatuhan sanksi yang mengacu pada Pasal 6 ayat (1) Kode Etik Notaris.

4.    Kesimpulan

Akibat hukum akta perjanjian nominee kepemilikan saham PT yang dibuat Notaris terhadap akta yang bersangkutan adalah akta dinyatakan batal demi hukum. Hal ini disebabkan lantaran substansi perjanjian melanggar Pasal 33 ayat (1) UUPM yang mempunyai akibat hukum yang tercantum pada Pasal 33 ayat (2) bahwa perjanjiannya dinyatakan batal demi hukum, serta tidak memenuhi syarat objektif untuk sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata yaitu adanya kausa/sebab yang tidak terlarang. Kendati demikian, penggunaan akta perjanjian nominee saham dalam suatu PT tidak memberikan akibat hukum terhadap PT itu sendiri. Sementara

itu, akta perjanjian nominee saham menimbulkan akibat hukum yang merugikan terhadap pihak beneficiary, nominee maupun Notaris. Akta yang batal demi hukum menyebabkan pihak beneficiary dapat kehilangan atau tidak mendapatkan hak atas saham nominee, pihak nominee harus menanggung kerugian yang ditimbulkan dari tindakan-tindakan hukum yang diambil beneficiary terkait kepemilikan saham, serta pihak Notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban atas akibat hukum yang ditimbulkan dari akta yang dibuatnya termasuk menurunnya kepercayaan masyarakat karena akta menyebabkan ketidakpastian hukum. Notaris yang memberikan jasanya untuk membuat akta perjanjian nominee saham juga telah melakukan pelanggaran terhadap UUJN dan Kode Etik Notaris. Maka dari itu, Notaris bisa dimintakan pertanggungjawabannya secara perdata, pidana, administratif dan Kode Etik atas pembuatan akta maupun akibat hukum dari akta yang dibuatnya asalkan memenuhi unsur-unsur untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban. Terhadap Notaris diharapkan agar melaksanakan isi sumpah/janji jabatan maupun menjunjung tinggi Kode Etik sehingga dalam menangani para penghadap yang meminta untuk dibuatkan akta selalu menerapkan prinsip kehati-hatian dan mematuhi aturan hukum yang ada. Notaris dapat memilah mana akta yang boleh ataupun tidak boleh untuk dibuat. Dalam hal ini, Notaris seharusnya dengan tegas menolak memberikan jasanya apabila para pihak yang menghadap bermaksud untuk membuat akta perjanjian nominee. Terhadap Pemerintah yang berwenang membuat undang-undang diharapkan menetapkan aturan hukum yang baru terkait larangan membuat perjanjian nominee dengan tegas beserta sanksi yang dapat dikenakan terhadap para pihak yang melanggar aturan tersebut. Diperlukan juga adanya pengawasan terhadap Notaris oleh Majelis Pengawas Notaris untuk meminimalisir setiap pelanggaran yang mungkin dilakukannya selama bertugas.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum (Jakarta, Prenada Media Group, 2016).

Ishaq. Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, serta Disertasi (Bandung, Alfabeta, 2017).

Suratman dan Dillah, Philips. Metode Penelitian Hukum Dilengkapi Tata Cara & Contoh Penulisan Karya Ilmiah Bidang Hukum (Bandung, Alfabeta, 2015).

Jurnal Ilmiah

Azhari, M. Edwin, and Djauhari, Djauhari. “Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Nominee Dalam Kaitannya Dengan Kepemilikan Tanah Oleh Warga Negara Asing Di Lombok.” Jurnal Akta 5, No. 1 (2018). (http://dx.doi.org/10.30659/akta.v5i1.2530)

Indriani, Iin. “Perkembangan Hukum: Perseroan Terbatas Dan Praktik Penggunaan Nominee Oleh Investor Asing.” In Proceedings 2, No. 1. (2017).

Iriantoro, Agung. “Upaya Preventif Notaris Dalam Membuat Akta Agar Terhindar Tindak Pidana Pencucian Uang.” Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik) 5, No. 1 (2019). (https://doi.org/10.35814/selisik.v5i1.1281)

Kaeng, Reskyel Steviano. “Kajian Hukum Perjanjian Nominee/Trustee Atas Pemberian Kuasa Penanam Modal Asing Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.” LEX ET SOCIETATIS 7, No. 5 (2019).

Lesmana, Chandra. “Tanggung Jawab Hukum Notaris Terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Nominee Saham.” Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan 5, No. 1 (2018).

Putrayasa, Maharani, and Ketut Sukranatha. “Keberadaan Nominee Agreement Kepemilikan Saham Oleh Orang Asing Dalam Perseroan Terbatas.” Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 7, No. 2 (2019).

Pahlevi, Kevin, Paramita Prananingtyas, and Sartika Nanda Lestari. “Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Saham Pinjam Nama (Nominee Arrangement) Ditinjau Dari Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia.” Diponegoro Law Journal 6, No. 1 (2017).

Pertiwi, Endah. “Tanggung Jawab Notaris Akibat Pembuatan Akta Nominee Yang Mengandung Perbuatan Melawan Hukum Oleh Para Pihak.” Jurnal Ius 6, No. 2 (2018). (http://dx.doi.org/10.29303/ius.v6i2.559)

Rismadewi, Avina. “Tanggungjawaban Perusahaan yang Bergerak di Bidang Legal Consulting dalam Dimensi Nominee.” Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan 4, No. 3 (2019). (https://doi.org/10.24843/AC.2019.v04.i03.p01)

Triwis, Sigit Teteki. “Analisis Kekuatan Perjanjian Nominee Saham dalam Perseroan Terbatas Penanaman Modal Asing (Pt. Pma).” Acta Comitas 1, No 1 (2016). (https://doi.org/10.24843/AC.2016.v01.i01.p02)

Tanjaya, Hendrik. “Tinjauan Yuridis Terhadap Struktur Nominee Pemegang Saham (Nominee Structure) Dalam Suatu Perseroan Terbatas.” Premise Law Journal 7 (2016).

Triyono, Triyono. “Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Dan Implikasi Hukumnya Bagi Masyarakat Umum.” Al Qodiri: Jurnal Pendidikan, Sosial dan Keagamaan 17, No. 2 (2019).

Yusa, I. Gede, dkk. “Akibat Hukum Akta Perjanjian Nominee terhadap Pihak Ketiga.” Acta Comitas:   Jurnal Hukum Kenotariatan 1, No. 2   (2016).

(https://doi.org/10.24843/AC.2016.v01.i02.p02)

Tesis

Silaban, Josmar. “Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta Pinjam Nama (Nominee Arrangement) Oleh Warga Negara Asing Dikaitkan Dengan Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Di Indonesia.” PhD diss., Program Studi Kenotariatan Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan, (2019).

Tanjaya, Hendrik. “Tinjauan Yuridis Terhadap Struktur Nominee Pemegang Saham (Nominee Strukture) Dalam Suatu Perseroan Terbatas.” Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, (2015).

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara RI Tahun 1981 Nomor 76).

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 67).

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 106).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara RI Tahun 2014 Nomor 3).

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 25 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, Pemberhentian, dan Perpanjangan Masa Jabatan Notaris.

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.7 Tahun 2021, hlm. 550-565