STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PEMBINAAN BAGI NARAPIDANA NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

KELAS II A KEROBOKAN

Oleh:

I Nyoman Ganda Gunawan Sarjana

I Ketut Rai Setiabudhi

A.A.Ngr.Yusa Darmadi

Program Kekhususan: Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRACT

Drugs are substances that are beneficial to certain diseases according to the rules, but if misused will be a bad impact on society. Hence the need for Guidance System and appropriate Standard Operating Procedures in a correctional institution to overcome many drug cases. Within this study, using empirical normative and Historical Approach and The Statute Approach in order to understand and reduce bias in the case of narcotics in the community.

Key words: Drugs, Guidance Systems, Standard Operating Procedures

ABSTRAK

Narkotika merupakan zat yang bermanfaat bagi penyakit tertentu sesuai peraturan, akan tetapi jika disalahgunakan akan menjadi dampak buruk bagi masyarakat. Maka dari itu perlu adanya system pembinaan dan Standar Operasional Prosedur yang tepat di lembaga pemasyarakatan untuk mengatasi banyaknya kasus narkotika. Didalam penulisan ini menggunakan metode normative empiris dan pendekatan historis dan pendekatan perundang – undangan agar bias memahami dan mengurangi kasus narkotika di dalam masyarakat.

Kata kunci: Narkotika, Sitem Pembinaan, Standar Operasional Prosedur

  • I.    PENDAHULUAN

  • A.    Latar Belakang

Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan dan penyalahgunaan obat ialah penggunaan obat di luar tujuan medis, tanpa pengawasan dokter, terjadi berulang kali secara teratur, dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan, pendidikan, maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. 1

Jumlah narapidana atau tahanan yang paling banyak tetap saja karena kasus narkotika, entah karena pemakaian atau peredaran. Lebih dari 50 persen penghuni Lapas Kerobokan adalah karena kasus narkotika. Apalagi Lapas Kerobokan sudah melebih kapasitasnya. Per September 2013 sebanyak 975 orang yang seharusnya berkapasitas 323 orang, Kasus Narapidana Narkotika sendiri 603 orang. 2

Data ini membuktikan jumlah kasus narkotika di Lapas Kerobokan melebihi setengah dari kapasitas yang disediakan. Tidak hanya warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana narkotika, warga negara Asing pun saat ini turut melakukan tindak pidana narkoba di Indonesia.

Sistem pembinaan bagi narapidana narkotika dilakukan di dalam Lembaga pemasyarakatan, di mana Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu bentuk hukuman pidana (pidana penjara). Pidana penjara merupakan salah satu bentuk pidana perampasan kemerdekaan.3 Pidana penjara dilakukan di sebuah lembaga pemasyarakatan dimana orang yang melakukan tindak pidana tersebut harus mentaati segala peraturan yang terdapat di dalam lembaga pemasyarakatan tersebut. Ketentuan-ketentuan mengenai lembaga pemasyarakatan terdapat dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Penanggulangan kejahatan yang berhubungan dengan narkoba sudah dilakukan oleh berbagai pihak dengan banyak cara. Salah satu cara penanggulangan narkoba adalah memberikan sistem pembinaan bagi narapidana narkotika. Sistem pembinaan bagi narapidana narkotika ini dilakukan dengan maksud agar para narapidana narkoba yang telah melaksanakan sistem pembinaan akan terbebas sepenuhnya dari jerat bahaya narkotika dan dapat diterima kembali ke masyarakat.

  • B.    Tujuan

Sejalan dengan perumusan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Standar Operasional Prosedur di dalam melakukan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Denpasar.

  • II.    ISI MAKALAH

  • A.    Metode

Penulisan ini mengkaji permasalahan dari perspektif kajian hukum normatif empiris yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan mempelajari sumber data normatif serta perundang-undangan yang berhubungan erat dengan obyek penelitian baik yang diperoleh dari bahan hukum primer maupun dari bahan hukum sekunder.

Dan menggunakan pendekatan historis (Historical Approach) dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.4 Serta pendekatan peraturan perundang-undangan (The Statute Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.5

  • B.    Hasil dan Pembahasan

    1.    Dasar hukum pembinaan Pecandu Narkotika

Peraturan mengenai perundang-undangan yang dipergunakan sebagai dasar hukum untuk melakukan pembinaan narapidana ialah : UU No. 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2006 tentang perubahan pertama peraturan pemerintahan No. 32 tahun 1999, Peraturan Pemerintahan No. 99 tahun 2012 tentang perubahan kedua peraturan pemerintahan no. 32 tahun 1999, Peraturan Menteri Hukum san HAM RI No.M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan asimilasi, Pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat.6

  • 2.    Standar Operasional Prosedur (SOP) Pembinaan

Mengingat belum adanya peraturan khusus tentang pembinaan yang harus diberikan kepada para penyalahguna narkotika yang dihukum dipenjara Lapas Narkotika, maka untuk sementara pembinaan yang diberikan baik itu di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika ataupun bukan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika tetap

berpedoman pada peraturan yang berlaku antara lain undang-undang Pemasyarakatan dan peraturan pelaksana lainnya di bidang pembinaan.

Standart Operasional Prosedur (SOP) dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana pecandu narkotika di Lembaga Pemasayarakatan Kelas II A Kerobokan yang terdiri dari 3 tahap,yaitu :

  • 1.    Pembinaan Tahap awal, administrasi dan orientasi (maksimum security) sejak 0 s/d 1/3 (sepertiga) masa pidana yang sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Sebelum dimulainya pembinaan atau proses pemasyarakatan, narapidana terlebih dahulu menjalani proses penerimaan, pendaftaran dan penempatan. Proses ini selain dilaksanakan untuk kepentingan administrasi dan kelancaran proses pemasyarakatan, hal ini menyangkut juga usaha untuk perlindungan dan penegakan hak asasi Narapidana, karena proses ini sangat berpengaruh dalam perlakuan dan pembinaan yang dijalankan serta pemenuhan hak-hak Narapidana. Proses ini dilakukan sebelum Narapidana menjalani tahap-tahap pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara.

  • 2.    Pembinaan Tahap lanjutan (medium security) sejak 1/3 (sepertiga) s/d 1/2 (setengah) masa pidana.

Setelah menjalani masa tahap awal dan berdasarkan hasil Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) lembaga pemasyarakatan, maka narapidana akan dialihkan pembinaannya ketahap lanjutan. Dalam pembinaan tahap lanjutan ini pembinaannya dibagi dalam dua tahap yang meliputi :

  • a.    Tahap lanjutan pertama (medium security), yang dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap awal atau 1/3 sampai dengan setengah 1/2 dari masa pidana.

  • b.    Tahap lanjutan kedua (medium security) dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidana (1/2 sampai 2/3 masa pidana).

  • 3.    Pembinaan tahap akhir dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan (+ 2/3 masa pidana) narapidana telah memenuhi syarat-syarat pembebasan (pengembalian ke tengah-tengah masyarakat), yang meliputi : program integrasi seperti Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Cuti Bersyarat (CB). Dimana bimbingannya dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan dan pengawasannya dari Kejaksaan Negeri. 7

III KESIMPULAN

Dasar hukum yang digunakan dalam pembinaan adalah UU No. 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2006 tentang perubahan pertama peraturan pemerintahan No. 32 tahun 1999, Peraturan Pemerintahan No. 99 tahun 2012 tentang perubahan kedua peraturan pemerintahan no. 32 tahun 1999, Peraturan Menteri Hukum san HAM RI No.M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan asimilasi, Pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat.

Dan pembinaan narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kerobokan untuk saat ini belum dikhususkan. Standar Operasional Prosedur (SOP) Terdiri dari tiga tahap, yaitu : tahap awal yang dimana narapidana masuk tahap pengenalan dan administrasi, berikutnya tahap lanjutan yang dimana dalam tahap ini juga dibagi du tahap yakni Tahap lanjutan pertama (medium security), yang dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap awal atau 1/3 sampai dengan setengah (1/2) dari masa pidana dan Tahap lanjutan kedua (medium security) dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidana (1/2 sampai 2/3 masa pidana). Dan terakhir ialah tahap akhir dalam pembinaan yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan (+ 2/3 masa pidana) narapidana telah memenuhi syarat-syarat pembebasan (pengembalian ke tengah-tengah masyarakat).

DAFTAR PUSTAKA

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, h. 467

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta

Serikat Putra Jaya, Nyoman, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas

Diponegiro, Semarang,

5