SYARAT POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF UNDANG

UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN

Shinta Putri Maulidia Utomo, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

Dewa Gede Pradnya Yustiawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i06.p02

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini yakni untuk mengetahui pengaturan pernikahan poligami di Indonesia serta memiliki batasan syarat poligami terkhusus pada Pasal 4 ayat (2) poin (a) dan (b) yang batasannya sumir dan multitafsir. Penelitian ini menggunakan metode normative dengan melalui pendekatan perundang undangan serta pendekatan konsep hukum dengan bahan hukum yang digunakan yakni perundang undangan sebagai bahan hukum primer, jurnal hukum dan kamus hukum sebagai bahan hukum sekunder. Serta pada teknik penelusuran bahan hukum yang dipakai adalah teknik studi terhadap dokumen– dokumen yang ada serta analisis kajiannya merupakan analisis kualitatif. Hasil yang diperoleh bahwa pernikahan poligami diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, dan juga peraturan peraturan pelaksana lainnya batasan dari syarat pada pasal 4 ayat (2) poin (a) dan (b). Batasan mengenai syarat poligami terkhusus pada poin (a) dan (b) pada Pasal 4 ayat (2) tersebut merujuk pada kewajiban mengurus rumah tangga dengan baik serta ketidakmampuan istri untuk memenuhi kebutuhan biologis yang disebabkan karena faktor usia lanjut ataupun penyakit yang telah jelas diterangkan dengan surat keterangan medis atas adanya penyakit tertentu yang selanjutnya akan diperiksa oleh Pengadilan Agama. Rumusan syarat poligami harus dipertegas dalam peraturan perundang-undangan guna menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam pernikahan poligami.

Kata Kunci : Poligami, Hukum Perkawinan, Hukum Keluarga

ABSTRACT

The aim of this study is to determine the arrangement of polygamous marriages in Indonesia and to have polygamy requirements, especially in Article 4 paragraph (2) points (a) and (b), which are summarized and multiple interpretations. This study uses a normative method through a statutory approach and a legal concept approach with legal materials used, namely legislation as primary legal material, legal journals and legal dictionaries as secondary legal materials. As well as the legal material tracing technique used is the study technique of existing documents and the analysis of the study is a qualitative analysis. The results obtained are that polygamous marriage is regulated in the Marriage Law, as well as other implementing regulations. (2) points (a) and (b). The limitations regarding the requirements for polygamy especially in points (a) and (b) in Article 4 paragraph (2) refer to the obligation to take care of the household properly and the inability of the wife to fulfill biological needs due to factors of old age or disease that have been clearly explained by a medical certificate regarding the presence of certain diseases which will then be examined by the Religious Court. The formulation of the terms of polygamy must be emphasized in the laws and regulations to ensure legal certainty and justice for the parties involved in a polygamous marriage.

Keywords : Polygamy, Marriage Law, Family Law

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia sebagai negara welfare state menjaga dengan teguh kesejahteraan warganya sebagai bentuk legistimasi negara untuk menghadirkan kekuasaan yang sepenuhnya bertujuan untuk menjaga tiap-tiap hak serta kewajiban masyarakat agar selalu taat dan patuh terhadap hukum. Tidak hanya kehadiran negara mengurusi aspek publik yang bersifat horizontal namun juga negara turut memberikan kuasanya pada aspek yang bersifat privat. Berbicara mengenai hukum di Indonesia tidak terlepas dari adanya pengaruh kuat kolonialisasi yang dilaksanakan di Indonesia oleh Belanda. Penjajahan Belanda menyebabkan adanya pengaruh hukum yang dibawanya, salah satunya yakni dengan adanya dalil pemisahan hukum public dan privat. Perkawinan merupakan salah satu aspek yang diatur dalam hukum privat, salah satunya dilihat dengan diundangkannya Undang-Undang 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan).1 Dibandingkan dengan hukum yang lain dalam ranah keperdataan, hukum keluarga merupakan hukum yang paling awal dengan umur keberlakuan di masyarakat paling tua dibandingkan beberapa jenis hukum lainnya, hal ini dikarenakan pada pendekatan historis suatu hukum terbentuk bahwasannya keluarga adalah unit terkecil yang ada dalam lingkungan sosial masyarakat. Sehingga dalam unit terkecil pun hukum masuk dengan tujuan memberikan perlindungan bagi masyarakatnya. Hal ini sejalan dengan adagium ubi societas ubi ius yang dimaknai bahwa sesungguhnya hukum hadir dalam tatanan masyarakat karena dimana ada masyarakat disitu ada hukum.2

Sejalan dengan rumusan pasal 1 Undang-Undang Perkawinan bahwa suatu ikatan lahir batin dalam pernikahan di Indonesia terjalin atas asas monogami yang hanya mengenal ikatan antara satu suami dan satu istri. Namun tak jarang dalam perjalanan suatu rumah tangga, ikatan lahir batin tersebut tak luput dari suatu pertikaian serta kekurangan kekurangan yang menyebabkan ikatan tersebut kurang sempurna diantara salah satu pihak yang kemudian atas dalil tersebut menjadikan salah satunya membuat ikatan yang tidak sah diluar perkawinan. Adanya asas monogamy tentu menyebabkan undang undang selalu mengupayakan pengaturan yang hanya mengatur satu hubungan saja.3 Namun disisi lain hukum harus pula bersifat dinamis seiring perkembangan penerapannya, hukum harus menjangkau hal-hal yang diperlukan oleh masyarakat untuk melindungi jalinan hubungan hukum, peristiwa hukum serta akibat hukum dari suatu perkawinan.4 Pemberlakuan Undang-Undang Perkawinan memiliki tujuan yang kuat dalam rangka unifikasi, namun dalam proses impelentasinya ditemui beberapa kekurangan yang fundamental berkaitan dengan aspek lain yang juga mengikat dengan perkawinan. Dengan tidak sempurnanya unifikasi tersebut maka terdapat beberapa hal tidak terorganisir dengan baik dalam setiap aspek yang diatur pada setiap Bab di Undang-Undang Perkawinan.

Pernikahan yang sah dihadapan hukum dan agama sangat diharapkan untuk dapat dilaksanakan dalam sekali waktu untuk selamanya, namun dalam perjalanannya

terdapat hal hal yang menyebabkan salah satu pasangan harus memilih menjalin hubungan lain diluar perkawinannya. Salah satunya yakni yang marak terjadi adanya perselingkuhan.5 Untuk menghindari zina, salah satu caranya yakni dengan melangsungkan poligami yakni melakukan ikatan pernikahan dengan lebih dari satu orang istri. Namun pada dasarnya sangat diskriminatif juga hanya menempatkan laki laki sebagai subyek hukum yang mampu melangsungkan ikatan pernikahan lebih dari satu ikatan, sehingga pada dasarnya terdapat dua jenis penamaan ikatan perkawinan yang diadakan oleh lebih dari dua orang, yakni polyandry yang berlaku sebagai perkawinan oleh sang istri dengan lebih dari satu orang suami dalam waktu yang bersamaan ataupun berbeda beda, sedangkan poligami tentu berlaku antara seorang suami yang beristri dengan lebih dari satu orang dalam ikatan perkawinan. Poligami telah diatur dan dilangsungkan di berbagai negara, salah satu yang membawa pengaruh kuat terhadap kebolehan poligami dilangsungkan adalah adanya hukum agama, terkhusus pada hukum islam yang secara terang pada dasarnya tidak memberikan larangan terhadap keberlakukan poligami selama hal tersebut tidak menjadikan rusaknya marwah suci perkawinan.

Serta dalam pendekatan hukum historisnya dapat dilihat dalam Pasal 163 IS bahwasannya pada zaman keberlakuan peraturan ini, berbarengan dengan keberlakuan hukum adat yang sangat kental bagi pribumi yang pada masa itu yang paling kuat pengaruhnya adalah hukum islam sehingga kelak dalam prosesnya tercetus Burgerlijk Wet Boek yakni dikenal dengan Kitab Undang Undang Hukum Perdata sebagai kesejajaran atas aturan keperdataan yang ada di Indonesia. Serta tertuang lebih lanjut aturan mengenai perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Terdapat syarat-syarat poligami yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, namun banyak pihak menilai syarat tersebut terkhusus pada poin (a) dan (b) tidak memiliki batasan yang tegas sehingga sangat berpotensi memberikan ketidakadilan bagi istri karena dianggap tidak mampu melaksanakan kewajibannya sebagai istri ataupun mengidap penyakit atau cacat badan yang tidak dapat sembuh dan menjadikan suami perlu untuk mencari wanita lain untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang istri. Pada dasarnya tindakan poligami adalah suatu tindakan yang masih tabuh dimasyarakat secara umum, hal ini dikarenakan Indonesia sebagai negara yang berketuhanan menjaga penuh amanat serta ajaran agama berkaitan dengan bagaimana sucinya perkawinan. Banyak pihak yang menentang poligami, banyak pro dan kontra terhadap keberadaan dan kelangsungan poligami yang dinilai tidak jarang hanya menyisakan dampak diskriminatif kepada istri pertama yang dengan terang tentu terdapat hal yang di dalam dirinya menyebabkan sang suami menikah lagi. Salah satu contoh yang dapat diangkat dan sesuai dengan latar belakang penulis mengemukakan adanya urgensi pencantuman batasan-batasan ataupun kriteria syarat poligami yang lebih jelas yakni pada Putusan Nomor 4517/Pdt.G/2017/PA.Clp yang sangat perlu dikasi sebagai bagian dari contoh nyata bagaimana hakim dengan subyektifitasnya kemudian memberikan izin kepada suami selaku pemohon untuk melangsungkan ikatan perkawinan lagi dengan wanita lain dikarenakan telah terjadi ba’da dukhul yang menyebabkan ikatan perkawinan yang dalam pandangan agama islam telah terjadi talak, namun dalam kasus tersebut pasangan itu telah dikaruniai keturunan. Sehingga alasan ba’da dukhul sangatlah berbeda dengan alasan dan dalil yang tertuang secara yuridis dalam Undang-Undang Perkawinan. Pada putusan tersebut pula, diuraikan bahwa kekuatan suatu izin istri

sangat menentukan dan memiliki kedudukan penentu yang paling penting dalam suatu poligami, sehingga dibenarkan dan dikabulkan permohonan tersebut dikarenakan isri dari sang suami telah menyetujui poligami. Sehingga dalam hal ini, terdapat beberapa kondisi, ataupun situasi yang dapat membenarkan tindakan suami meskipun membentur beberapa aturan hukum atas dasar bahwa suatu perkawinan sangatlah bersifat privat dan dalam keperdataan, hakim hanya bersifat pasif, tidak berhak menentukan lebih dari apa yang selayaknya diputuskan atau dimohonkan. Sehingga dalam hal ini, kedudukan perempuan dalam hukum kurang diakomodir dengan baik dikarenakan luasnya ketentuan syarat-syarat poligami tersebut.

Pembahasan berkaitan dengan poligami telah dikaji pada penulisan sebelumnya oleh Miptahudin dengan judul “Poligami Dalam Undang Undang Perkawinan Di Indonesia Dalam Prespektif Fikih Islam”. Pada penulisan tersebut menguraikan factor yang menjadikan prosesi poligami yang diatur pada Undang-Undang Perkawinan menjadi dipersulit serta menguraikan alasan diperbolehkannya suatu poligami dalam ajaran fikih islam. Sedangkan pada penulisan kali ini, penulis lebih menguraikan syarat syarat poligami yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan serta batasan dari pengaturan tersebut yang masih belum dijelaskan secara lugas dalam Undang-Undang Perkawinan dan akan berdampak pada ketidakpastian hukum serta memberikan ruang yang luas dalam menjalankan poligami bagi pihak suami.Sehingga dalam hal ini penulis tertarik mengkaji topik berkaitan dengan “Tinjauan Yuridis Syarat Poligami Pada Prespektif Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan pernikahan poligami dalam prespektif hukum perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan?

  • 2.    Bagaimana batasan ketentuan syarat poligami yang diatur pada Undang-Undang Perkawinan terhadap kedudukan istri maupun suami yang terdapat dalam ikatan poligami?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

  • 1.    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan poligami dalam prespektif hukum perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.

  • 2.    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui batasan ketentuan pada rumusan pasal 4 ayat (2) huruf (a) serta huruf (b) pada Undang-Undang Perkawinan terhadap kedudukan istri maupun suami yang terdapat dalam ikatan poligami.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang mengkaji dari aspek studi kepustakaan.6 Beranjak dari hal itu, penulis melihat terdapat adanya kekaburan norma dari batasan syarat poligami yang tertuang dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dan b. Sehingga penulis pada penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep hukum, pendekatan kasus dalam menelaah kajian ini. Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yakni perundang undangan sebagai bahan hukum primer, jurnal hukum dan kamus hukum sebagai bahan hukum skunder. Serta pada teknik penelusuran bahan hukum yang dipakai adalah teknik studi

terhadap dokumen–dokumen yang ada serta analisis kajiannya merupakan analisis kualitatif.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Poligami Dalam Prespektif Hukum Perkawinan Yang Diatur Dalam Undang-Undang Perkawinan

Mayoritas negara dengan beragama Muslim menjadikan terdapat beberapa aspek yang tentu akan memberikan dampak dapat berupa adanya perpaduan budaya ataupun hukum serta selain itu juga erat dengan adat istiadat lainnya menyebabkan timbul pro kontra antara bagaimana sebaiknya hukum yang berkaitan dengan poligami diatur dalam hukum nasional untuk tetap menjaga marwah perkawinan yang suci.7 Poligami dapat timbul dari berbagai sebab, salah satunya yakni tidak terpenuhinya kewajiban salah satu pihak dalam suatu ikatan perkawinan. Namun kebanyakan tindakan poligami dilakukan oleh pihak suami kepada istrinya. Undang-Undang Perkawinan menerjemahkan tendensi tersebut dengan memberikan aturan hukum yang diatur dalam undang undang tersebut.

Polus merupakan dasar kata poligami dalam makna etimologis yang ditemukan dengan menelaah kebahasaan dalam Bahasa Yunani diartikan sebagai lebih dari satu dan bersifat gamein dan gamein diartikan sebagai kawin sedangkan KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indoensia menyatakan frase poligami dimaknai sebagai suatu sistem ikatan perkawinan yang mengizinkan adanya lebih dari satu ikatan dalam hal ini terkhusus pada ikatan lebih dari 1 istri yang dilakukan oleh suami. Sehingga poligami yakni ikatan yang terjalin dalam bahligai perkawinan yang dijalani beberapa orang. Ta’duiiduz zaujaat yakni berbilangan pasangan dalam Bahasa Arab juga diartikan sebagai poligami. Serta dalam Bahasa Indonesia poligami disebut permaduan.8 Pandangan lain menurut Siti Musdah Mulia menyebutkan bahwasanya tindakan memiliki ikatan perkawinan yang diselenggarakan lebih dari satu ikatan perkawinan ataupun adanya ikatan lain tersebut tidak dalam waktu yang bersamaan diselenggarakannya digolongkanlah sebagai poligami.9 Lain halnya dengan pengaturan poligami yang dibentuk secara ketat dalam Undang-Undang Perkawinan yang didasari pula oleh sedikitnya ilmu-ilmu perkawinan dalam hukum islam. Namun dalam Undang-Undang Perkawinan dengan keberlakuan secara nasional menempatkan suatu perkawinan hanya dilangsungkan ataupun dijalani oleh 1 pasangan dengan 1 istri serta suami. Pengecualian dari asas monogamy tersebut diatur sebagai bagian dari diadakannya aturan berkaitan dengan syarat berhubungan poligami yang termaktub dalam Undang-Undang Perkawinan. Mengenai poligami, izin secara detailnya termaktub dalam Pasal 3, 4 dan 5 Undang-Undang Perkawinan.

Jelas disebutkan dan dimaktub dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa terdapat pun asas yang kuat memposisikan pria dan wanita dalam suatu perkawinan hanya dapat mengikatkan diri satu sama lain pada satu ikatan perkawinan saja, sehingga konsekuensi yuridis dari pengaturan tersebut yakni timbul hak dan kewajiban dari hubungan hukum tersebut untuk saling memenuhi hak dan kewajiban masing masing pasangan. Dilangsungkannya suatu perkawinan dapat menimbulkan akibat hukum atas hak dan kewajiban suami maupun istri, status hukum

suami maupun istri.10 Penyimpangan dari asas tersebut dapat dimohonkan ke Pengadilan kepada suami yang akan memiliki istri lebih dari seorang dengan pertimbangan-pertimbangan layak ataukah suami tersebut membentuk ikatan lain dan beristri lebih dari seorang. Dari beberapa jenis serta kewenangan yang dimiliki oleh Lembaga Peradilan di Indonesia, adapun yang diberikan kewenangan berdasarkan pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan bahwa atas kewenangannya tersebut Pengadilan Agama lah yang memutus suatu perkara perdata berkaitan dengan permohonan izin poligami yang diajukan oleh suami.

Berkaitan dengan syarat poligami termaktub dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan, syarat poligami yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan termasuk pada syarat yang cukup berat. Suami hanya dapat diberikan izin untuk melangsungkan ikatan perkawinan yang sah dimata hukum dan agama jika telah memenuhi salah satu syarat dari dilangsungkannya poligami sebagai jalan keluar untuk memberikan kebahagian ataupun mengisi hal hal yang kurang dan tidak dapat dipenuhi oleh istri pertamanya.

Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan pada intinya yakni :

  • 1.    Adalah bagian dari kewajiban suami yang dengan kehendaknya ingin untuk menjalin ikatan perkawinan dengan wanita lain sebagai istrinya dengan diajukannya oleh suami sebagai pihak yang paling menginginkan adanya poligami ke pengadilan daerah tempat tinggalnya.

  • 2.    Hanya jika seorang istri dengan alasan alasan :

  • a.    Tidak dapat menjalankan kewajibannnya sebagai istri;

  • b.    Istri mendapat cacat badan maupun penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

  • c.    Istri memiliki kekurangan yakni tidak dapat melahirkan keturunan.

Maka Pengadilan Agama akan menelaah apakah ada alasan tersebut dalam mahligai perkawinan si pemohon .Sehingga jika suami mungkin memiliki alasan alasan yang kuat datang dari sikap batinnya namun alasan tersebut tidak bagian dari Pasal 4 yakni alasan yang telah ditentukan, diatur selanjutnya dalam Pasal 5 pada pokoknya mengatur bahwa syarat tersebut harus terpenuhi yakni adanya persetujuan dari istri/istri sebagai bagian dari syarat formil pengajuan izin permohonan poligami ke Pengadilan Agama.

Selain pada instrumen hukum lainnya seperti yang termaktub pada Undang-Undang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1999 tentang Kompilasi Hukum Islam. Diatur dalam ius consitutum bahwa pengadilan sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan berwenang memberi izin pada suami yang ingin beristri lagi. Dalam menilai apakah syarat poligami tersebut telah terpenuhi atau tidak ,maka diperlukan adanya pemaparan lebih lanjut berkaitan dengan batasan dari syarat syarat poligami yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf (a) dan huruf (b) untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi pihak pihak yang terlibat dalam perkawinan poligami.

  • 3.1    Batasan Ketentuan Pada Rumusan Pasal 4 Ayat (2) Huruf (a) Serta Huruf (b) Pada Undang-Undang Perkawinan Terhadap Kedudukan Istri Maupun Suami Yang Terdapat Dalam Ikatan Poligami

Hukum dengan fungsinya hadir untuk mengontrol masyarakat dan memberikan batasan batasan hal mana yang dapat dilakukan maupun tidak. Manusia sebagai makhluk sosial zoon politicon selalu berkeinginan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sebagai bentuk sosialisasi. Namun ketika individu telah terikat pada suatu hubungan hukum dalam ranah perkawinan maka terikat pula dirinya oleh hak dan kewajiban di dalam ikatan tersebut.11 Sehingga untuk kembali membentuk ikatan perkawinan baru dalam hukum dibentuk syarat-syarat yang ketat, terkhusus dalam Undang-Undang Perkawinan diatur dalam Pasal 4 ayat (2) terdapat empat syarat untuk dapat dikabulkannnya suatu permohonan poligami yakni adanya keadaan yang menyebabkan sang istri tidak mampu ataupun kurang mampu menjalankan apa yang seharusnya disunnahkan pada istri yakni kewajiban-kewajiban istri yang tidak ditunaikan dengan baik, ataupun sebab lain seperti tidak dapatnya istri memberikan keturunan yang memang dibuktikan dengan keterangan lebih lanjut dari pihak medis berkaitan dengan ketidakmampuan istri tersebut, hal ini penting dikarenakan secara biologis terdapat pula kemungkinan suami yang tidak mampu menunaikan kewajiban biologisnya, selain itu adapun istri mengalami cacat badan, dalam hal ini tentu pada harfiahnya adalah kewajiban suami untuk saling menjaga dan merawat istri jika dalam keadaan susah, namun tak jarang faktor ini juga menurut suami dapat menghambat kewajiban istri sehingga kembali pada alasan awal bahwa kekurangan tersebut berpengaruh terhadap bagaimana kedudukan istri dalam melakukan kewajibannya.12

Menelaah kembali pada syarat poligami dalam Undang-Undang Perkawinan teerkhusus pada huruf (a) dan huruf (b) rumusan pasal yang berkaitan dengan syarat poligami tersebut, maka menurut penulis terlalu luas batasan kewajibannya, karena ketika berbicara hak dan kewajiban secara umum maka seharusnya terdapat batasan yang diatur dalam peraturan perundang undangan, karena poligami bertendensi untuk memberikan kedudukan superioritas pada sang suami dan kedudukan istri menjadi lebih rendah dari suami padahal seharusnya suatu ikatan perkawinan memiliki kedudukan yang sama dalam hal consent ataupun kesepakatan dalam melakukan sesuatu.

Tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata kewajiban yaitu dengan arti sesuatu yang wajib dilakukan, keharusan ataupun tugas. Kewajiban merupakan sesuatu atau hal yang harus dikerjakan dengan tanggung jawab. Dalam Undang-Undang Perkawinan memang diatur yaitu tentang hak serta kewajiban sebagai pasangan suami istri namun hal tersebut hanya membahas secara umum dan kurang spesifik dalam membahas kewajiban seorang istri terkait dengan Pasal 4 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Perkawinan mengenai istri dikatakan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Jika melihat pada beberapa rumusan pasal berkaitan dengan kewajiban kedua belah pihak, maka diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan bahwa suami dan istri bersama sama mengemban kewajiban dalam rumah tangga. Serta diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa bahwa istri berkewajiban untuk

mengatur serta mengurus keluarga dengan baik. Lain hal dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dan b maka pada penulisan ini penulis mencoba menelaah dalam aspek batasan huruf (a) dan (b) dari para ahli, seperti :

  • a.    Istri telah berusia lanjut sehingga mempengaruhi kesehatan lahir dan batinnya yang menyebabkan ia tidak dapat beraktvitas seperti sedia kala.

Sejalan dengan Abdul Rahman I yang mengemukakan dalam buku Pengantar Hukum Perdata bahwa tolak ukur yang dapat dijadikan batu landasan dari penafsiran atas frasa kewajiban tersebut adalah ketika istri telah berumur atau telah lanjut usia maka tentu pada siapapun orang akan merasakan penurunan terhadap mobilitas tubuh dan gerak yang biasanya berjalan optimal, hal ini lah yang dapat pula menjadikan istri tidak dengan maksimal menjalankan kewajibannya.13 Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang dilontarkan oleh Hakim H Samaratul Janniah yang setelah menimbang beberapa permohonan poligami maka secara garis besar dan menarik benang merah dari kasus tersebut bahwa memang nyata bahwa istri berkewajiban penuh memenuhi kebutuhan suami (dalam arti immateril) sehingga anggapan bahwa tidak terpenuhinya kebutuhan suami dikarenakan istri lalai menjalankan kewajibannya terhitung saat awal ikatan tersebut terjalin hingga nanti, dalam masa masa tua walaupun istri telah kehilangan kemampuan untuk beraktfiitas secara aktif namun tetap saja terdapat kewajiban yang diembannya. Sejalan dengan itu apabila lanjut usia sang istri yang tak dapat dipungkiri akan sulit beraktivitas maka tetap saja istri dikatakan lalai. Terdengar begitu tidak adil namun pada faktanya telah terputus dengan menilik dan menelaah kembali Putusan Nomor 009/Pdt.G/2015/PA.Tjg yang dengan tegas setelah memeriksa, menimbang dan memutuskan bahwa usia bukanlah dasar untuk tidak dilaksanakannya poligami walaupun dari pihak istri tidak mengindahkan hal tersebut karena usia adalah bersifat kodrati namun suami memiliki hak untuk mencari ataupun mengikatkan diri pada ikatan perkawinan yang sah dan berpoligami atas alasan tersebut.14

  • b.    Istri sudah tidak mampu saling memenuhi kebutuhan biologis.

Kebutuhan biologis, batin ataupun kebutuhan yang secara jelas dapat terlihat seperti kebutuhan materi menjadi hal yang oleh kedua pihak dalam perkawinan harus dipenuhi karena menurut Imam Al Ghazali itulah hakekat perkawinan. Sehingga akan ditakutkan terjadilah perzinahan ataupun perselingkuhan akibat ketidapuasan salah satu pihak, terkhusus pada pihak suami dalam hukum diberikan kedudukan untuk menjalankan poligami untuk mengatasi hal yang tidak diindahkan hukum dan agama tersebut. Prof. Dr. Hazairin juga membenarkan hal tersebut.15

Pada poin (b) menyebutkan alasan selanjutnya yakni istri yang memiliki penyakit tertentu yang tidak sembuh, yang dapat diartikan bahwa :

  • a.    Diketahui dan dapat dibuktikan bahwa istri mengidap suatu penyakit yang dalam beberapa kesempatan ataupun secara keseluruhan akan mengganggu hubungan kedua belah pihak.

Kuatnya kedudukan hubungan biologis yang dicapai ataupun dijalin dalam suatu ikatan perkawinan sebagai tujuan perkawinan itu sendiri yang senada juga dalam pemikiran Prof. Hazairin, S.H yang pada pokoknya menyebutkan bahwa dengan tidak adanya kemampuan istri memenuhi hak biologis suami maka dapatlah istri di poligami karena hal tersebut adalah esensi perkawinan yang sudah sepatutnya dapat dicapai. Hakim Drs. H Juhri Asnawi juga senada dengan argumen tersebut bahwa kebutuhan biologis menduduki posisi terpenting dalam jalinan perkawinan.16

  • b.    Diketahui dan dapat dirasakan bahwa dengan tidak atau kurang berfungsinya bagian anggota tubuh istri menyebabkan istri tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai istri.

Sejalan dengan uraian sebelumnya, cacat badan atau kurang optimalnya salah satu fungsi badan atau anggota tubuh tentu sangat menyulitkan bagi sebagian orang, dikeluarkannya putusan Nomor 409/Pdt.G/2014/PA.Tjg yang didalam putusannya mengilhami dasar dari tindakan suami yang atas keinginan sadarnya ingin mempersunting wanita lain untuk dijadikannya istri dikarenakan karena sang istri mengidap penyakit kanker yang akan menghambat beberapa aspek kehidupan rumah tangga sehingga berdasar hal tersebut diperbolehkanlah suami untuk beristri lagi. Selain itu juga termaktub dalam analisa terhadap amar putusan dari Putusan Nomor 0345/Pdt.G/2015/PA.Tjg disebutkan bahwa alasan istri yang terkena stroke juga dapat dijadikan dalil perkawinan poligami oleh sang suami.

  • c.    Adanya sebuah penyakit yang telah dinyatakan secara medis adalah penyakit yang sulit, memakan waktu panjang ataupun tidak mampu disembuhkan setelah berbagai pengobatan dijalani.

Didukung oleh pengamatan dari Riduan Syahrani dan Abdurrahman yang dihimpun pendapatnya pada buku “Masalah Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia” dengan lugas menyebutkan bahwa kedudukan dokter ataupun perangkat medis lainnya lah satu satunya yang dapat memberikan keterangan yang sah dimata hukum berkaitan dengan status penyakit dari sang istri.17 Hal ini disebabkan karena menurut Satjipto Raharjo bahwa dalam setiap dalil yang diajukan harus memuat fakta-fakta yang sarat akan kepastian dalam hal ini disebut kepastian hukum, adanya

kepastian hukum tentu menjadi payung keadilan bagi istri agar tidak diperlakukan diskriminatif oleh suami yang ingin berpoligami.

Namun kepastian hukum yang diharapkan hadir di tengah masyarakat tak serta merta menjadikan setiap produk hukum juga berkepastian hukum, salah satu contohnya yakni pada pengaturan syarat poligami yang batasannya sangat luas sehingga rentan akan diskriminatif, lain hal dengan syarat-syarat yang diuraikan itu juga tidak diimbangi dengan kedudukan sanksi jika sang suami tidak berkeadilan ataupun menyimpang dari marwah perkawinan.18 Selengkapnya untuk memahami hal tersebut dapat dilihat pada uraian menurut Hans Nawiasky:19 Posisi pada kelompok 1 yang menaungi norma fundamental negara yang dalam tatanannya tidak ditemukan norma yang dapat disandingkan untuk dipersamakan dengan pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Selanjutnya pada kelompok dasar/pokok negara hukum menurut Maria Farida Indrati bahwasannya atas kriteria-kriteria itu seharusnya pasal 4 ayat (2) memuat batasan yang jelas dalam peraturan perundang undangan untuk dimuat. Senada dengan hal itu Drs. Juhri Asnawi menyatakan bahwa dapat dilakukan perubahan untuk membentuk konsepsi peraturan yang lebih berkepastian hukum.Pada aspek historisnya peraturan perkawinan ini telah lama diundangkan dan sangat layak untuk kembali dibahas dan diperbaharui untuk memberikan regenerasi hukum yang dinamis. Ungkapan Dr. Moh Fadli sebagai pakar hukum juga senada dengan urgensi dari penelitian ini sebagai bentuk kajian dari pentingnya untuk kembali mempertegas dengan mengatur lebih lanjut batasan tersebut dalam peraturan perundang-undangan.

  • 4. Kesimpulan

Pengaturan berkaitan dengan poligami dalam hukum di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, walapun pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogamy yakni hanya menjalin ikatan dengan satu orang suami ataupun istri namun terdapat pengecualian yang memberikan peluang pada khususnya suami untuk melakukan pernikahan lagi atau poligami dengan ketentuan syarat dasar tindakan suami berpoligami sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 ayat (2) serta dengan terpenuhinya alasan tersebut kemudian suami dapat mengajukan permohonan poligami yang sah dihadapan hukum dengan dikeluarkannya putusan untuk melaksanakan poligami yang merupakan wewenang dari Pengadilan Agama. Syarat poligami yang tertuang dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Perkawinan menurut Prof. Hazairin pokoknya menyebutkan bahwa tidak lagi terpenuhi kewajiban untuk mengurus rumah tangga dengan baik karena faktor usia yang telah lanjut serta tidak adanya kemampuan istri memenuhi hak biologis yang merupakan kewajiban istri. Luasnya batasan syarat poligami tersebut haruslah lebih dipersempit maknanya dengan membentuk suatu ketentuan oleh pembentuk undang undang atau lembaga legislative untuk menjamin kepastian hukum dalam mengatur batasan dari syarat poligami.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Mulia, Musda, Islam Menggugat Poligami, Gramedia Pustaka Utama, 2004

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2002

Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia. Ghalia Indonesia, 1976

Jurnal Ilmiah

Andriati, Syarifah Lisa, And Tri Murti Lubis. "Penyuluhan Hukum Poligami Dan Nikah Siri Menurut Undang-Undang Perkawinan." Abdimas Talenta: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat 2, No. 2 (2017): 120-124 (https://doi.org/10.32734/abdim)

Ardhian, dkk, "Poligami Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif Indonesia Serta Urgensi Pemberian Izin Poligam Di Pengadilan Agama." Privat Law Ii 3, No. 2 (2015).

Atabik, Ahmad, And Khoridatul Mudhiiah. "Pernikahan Dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam." Yudisia: Jurnal Pemikiran Hukum Dan Hukum Islam 5, No. 2 (2016) (http://dx.doi.org/10.21043/yudisia.v5i2.703)

Darmawijaya, Edi. "Poligami Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif (Tinjauan Hukum Keluarga Turki, Tunisia Dan Indonesia)." Gender Equality: International Journal Of Child And Gender Studies 1, No. 1 (2015): 27-38.( http://dx.doi.org/10) Dewi, Putu Ikko Suar Agung, and Ida Bagus Putra Atmadja. "Pengaturan Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Terjadinya Perkawinan Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol. 01, No. 10, Oktober 2013

Erwinsyahbana, Tengku. "Sistem Hukum Perkawinan Pada Negara Hukum Berdasarkan Pancasila." Jurnal Ilmu Hukum 3, No. 1 (2012).

Hafidzi, Anwar. "Prasyarat Poligami Dalam Kitab Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam Perspektif Maslahah Mursalah." Al-Daulah: Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam 7, no. 2 (2017): 366-392.

Kholis, Nur, dkk "Poligami Dan Ketidakadilan Gender Dalam Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia." Al-Ahkam 27, No. 2 (2017): 195-212. (http:// 10.21580/ahkam.2017.27.2.1971)

Mahfudin, Agus, Khoirotul Waqi'ah, "Pernikahan Dini Dan Pengaruhnya Terhadap Keluarga Di Kabupaten Sumenep Jawa Timur." Jurnal Hukum Keluarga Islam 1, No. 1 (2016): 33-49.

Rajafi, Ahmad. "Sejarah Pembentukan Dan Pembaruan Hukum Keluarga Islam Di Nusantara." Aqlam: Journal Of Islam And Plurality 2, No. 1 (2018).

Sunaryo, Agus. "Poligami Di Indonesia (Sebuah Analisis Normatif-Sosiologis)." Yinyang: Jurnal Studi Islam Gender Dan Anak 5, No. 1 (2010): 143-167.

Wartini, Atik. "Poligami: Dari Fiqh Hingga Perundang-Undangan." Hunafa: Jurnal Studia Islamika 10, No. 2 (2013): 237-268. (https://doi.Org/10.24239/jsi.v10i2.8)

Peraturan Perundang Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [Lembaran Negara Republik Indonesia 1974 Nomor 1]

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan [ Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12]

Jurnal Kertha Wicara Vol. 10 No. 6 Tahun 2021, hlm. 397-408