Validitas Klaim Sepihak Cina Atas Perairan Natuna Utara
on
VALIDITAS KLAIM SEPIHAK CINA ATAS PERAIRAN NATUNA UTARA
Ida Ayu Agung Rasmi Wulan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
Made Maharta Yasa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected].
DOI : KW.2021.v10.i05.p04
ABSTRAK
Studi ini bertujuan untuk menjabarkan lebih jelas mengenai kedaulatan pada Perairan Natuna dan konflik oleh Cina atas pelanggaran hak berdaulat pada Perairan Natuna beserta pelanggaran hukum internasional UNCLOS 1982. Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian normatif karena memuat ketentuan-ketentuan hukum internasional maupun nasional yang berhubungan dengan konflik yang sedang dibahas oleh penulis. Selebihnya lagi penelitian ini juga menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan yang memiliki arti menelaah peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dengan peristiwa hukum yang diangkat oleh penulis. Hasil studi ini meliputi Pelanggaran Cina yang melakukan klaim sepihak menggunakan peta nine dash line pada Perairan Natuna dan melakukan illegal fishing di yuridiksi Indonesia, sedangkan ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara pun telah mendapat pengakuan secara internasional berlandaskan keputusan UNCLOS tahun 1982. Dasar hukum yang digunakan atas tindakan pelanggaran hak berdaulat dan melanggar tersebut adalah konvensi Hukum Laut 1982.
Kata Kunci: UNCLOS 1982, Nine Dash Line, Illegal Fishing, Pelanggaran Hak Berdaulat
ABSTRACT
The purpose of the study is telling and explain further regarding sovereignty of Natuna Waters also reffering to the conflict in which offense of sovereign rights in Natuna Waters and offense of international law UNCLOS 1982 by China. The writing method that used in this study is a normative research method because it contains provisions of international law as well as national conflicts that are being discussed by the author. Furthermore, in this research also uses a legislation approach which means examining laws and regulations related to law case that developed by the author. The results of this study include China’s offense who has make unilateral claims using the nine dash line map on Natuna waters and carry out illegal fishing in Indonesian jurisdiction, while Indonesia's EEZ in the North Natuna Sea has also has acknowledgement based on the 1982 UNCLOS decision. The legal basis that used for offense of sovereign rights is the United Nations Convention on The Law of the Sea 1982 (UNCLOS).
Keywords: 1982 UNCLOS, Nine Dash Line, Illegal Fishing, Sovereign Rights Violation
-
I. Pendahuluan
-
1.1. Latar Belakang
-
Indonesia adalah negara maritim yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan laut. Diperkirakan bahwa luas wilayah lautnya sampai dengan batas territorial yaitu hingga 3,1 juta km2, lebih lanjut jika ditambahkan dengan zona ekonomi eksklusif (selanjutnya disebut ZEE) diperkirakan luas mencapai 5,8 Juta km2. Karena merupakan negara kepulauan maka secara kewilayahan berbatasan dengan negara-negara lainnya atau adanya batas dengan kawasan tersebut. Di laut Indonesia yang begitu luas ini terdapat sumber daya alam berharga dan tak ternilai yang dimiliki oleh Indonesia yang berpotensi untuk dimanfaatkan dan dipelihara sumber baharinya. Natuna dikenal sebagai penghasil minyak maupun gas yang menjadikan Natuna sebagai perairan dengan persedian gas terbesar di Asia Pasifik bahkan hingga dunia.1 Potensi sumber daya ikan yang mencakup Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina sangat melimpah hingga 767.126 ton.2 Hal ini menjadikan salah satu sumber penghidupan para nelayan tradisional Indonesia dengan memanfaatkan serta mengolah sumber daya yang ada secara maksimal tetapi dalam hal ini ekspoitasi dan eksplorasi belum dikelola secara optimal.3 Di sisi lain, kawasan tersebut merupakan salah satu jalur strategis pelayaran internasional yang dilalui oleh negara lain yang memiliki kepentingan yang berbatasan langsung dengan laut bebas, dimana secara historis terdapat tiga etnis yang mendiami tiga wilayah tersebut, terdiri dari etnis melayu, etnis jawa, dan etnis Tionghoa. Karena merupakan wilayah perairan maka sebagian besar mereka memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Berdasarkan informasi pada 2019 telah terjadi penurunan produksi dimana hasil tangkapan hanya mencapai 1 ton ikan per pekan yang pada saat normal para nelayan umumnya mendapatkan 3 ton ikan selama per pekan. Hal tersebut disebabkan antara lain karena masuknya kapal asing dan penangkapan ikan dilakukan tanpa adanya izin di Perairan Natuna Utara.4
Kondisi di atas yang merupakan bagian dari isu internasional yang tentu akan mempengaruhi tata kelola wilayah perairan Indonesia seperti isu yang terjadi antara Cina dan Indonesia. Diawali pada tahun 2016, bahwa Cina sudah memulai aksi melanggar hak berdaulat di wilayah perairan Indonesia, Cina yang melakukan illegal fishing atas yuridiksi Indonesia. Pada saat itu, Cina mengklaim Perairan Natuna sebagai kawasan nine dash line, Sehingga Cina menganggap tindakannya legal atas penangkapan ikan di Perairan Natuna. Terbukti dengan kejadian tersebut bahwa salah satu kapal Cina telah ditangkap sedang menebar jaring di ZEE Indonesia wilayah yuridiksi Indonesia (Natuna Utara) didampingi dengan coast guard untuk melindungi kapal nelayan miliknya.5 Terdapat alasan mengapa setiap Cina melakukan penangkapan ikan illegal ia selalu membawa coast guard yaitu dikarenakan untuk menjaga kawasan yang dianggap itu milik mereka.
Jika diperhatikan pada Pasal 64 ayat (2) Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yaitu “kapal asing yang menangkap ikan atau dengan sadar melakukan illegal fishing di perairan Indonesia, maka negara pantai berhak hukumnya mengambil tindakan dan keputusan untuk menjaga sumber daya alam yang terkandung di perairan tersebut serta menggunakan yuridiksi Indonesia”. Dengan demikian merupakan sebuah larangan saat ditemukannya kapal asing melakukan pelanggaran terhadap wilayah hak berdaulat Republik Indonesia dengan illegal fishing yang dilakukan oleh pihak Cina di yuridiksi Indonesia. Kawasan di luar dari laut territorial ini dinamakan sebagai kawasan yuridiksi, dalam hal ini adalah termasuk ZEE dan dilindungi oleh hak berdaulat.6
Kedaulatan secara konstitusional adalah kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat7 sedangkan hak berdaulat adalah hak negara pantai untuk menggunakan dan mendayagunakan sumber daya alam yang berada didalamnya. 8 Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan memiliki kedaulatan dan hak berdaulat yang tentunya dipedomani oleh masing masing negara pantai untuk dikelola dan digunakan bagi kesejahtraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Dalam kasus yang telah berlangsung, kapal Cina ditemukan berada dalam wilayah ZEE Indonesia yang mengklaim bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan nine dash line Cina (Made Andi Arsana dalam talkshow Mata Najwa 8 Januari 2020). Secara definisi bahwa ZEE merupakan zona yang memiliki luas 200 mil dihitung dari garis dasar pantai dan merupakan bagian dari hak berdaulat dari suatu negara. Hak berdaulat melalui keamanan dan pertahanan laut merupakan hal penting untuk mencegah ancaman gangguan terhadap aktivitas penggunaan dan pemanfaatan laut oleh pihak yang tidak berwenang yang akan merugikan laut Indonesia. 9
Peran Indonesia pada saat ini tentunya sangat dibutuhkan dalam mempertahankan hak berdaulat dan kewenangan wilayah intregritas laut untuk mengelola dan mengatur bahkan memanfaatkan wilayah perairan yang disengketakan tersebut.
Penulisan jurnal ini merupakan penuangan ide dalam bentuk tulisan yang orisinil dimana sepanjang pengamatan yang telah dilakukan belum ditemukan jurnal dengan judul yang sama dengan karya tulis ini. Namun demikian, tak dapat dipungkiri tentunya ada beberapa tulisan yang memiliki konsep yang serupa namun memiliki fokus kajian maupun permasalahan yang berbeda dengan tulisan ini. Contohnya seperti penelitian oleh Calvin Agasta tahun 2017 dengan judul “Hak berdaulat negara Kesatuan Republik Indonesia di Kepulauan Natuna (Studi khusus Indonesia terhadap klaim peta Nine-Dashed Line Cina di Kepulauan Natuna)”. Pada norma konflik tersebut memiliki keterkaitan yaitu membahas mengenai pengaturan hak berdaulat Indonesia di wilayah ZEEI kepulauan Natuna dan upaya pemerintah Indonesia dalam mempertahankan ZEEI di perairan kepulauan Natuna. Namun, terdapat perbedaan fokus permasalahan yang dibahas. Karya tulis penulis lebih
membahas mengenai peristiwa hukum yang menimbulkan konflik beserta point-point hukum yang dilanggar oleh Cina.
-
1.2. Rumusan Masalah
-
1. Bagaimana pelaksanaan kedaulatan pada perairan natuna utara oleh Indonesia?
-
2. Bagaimanakah validitas klaim sepihak Cina atas perairan natuna oleh hukum
internasional?
-
1.3. Tujuan Penulisan
Mengenai tujuan yang ingin diperoleh oleh penulis dari pengerjaan penelitian hukum ini ialah untuk menemukan jawaban atas isu hukum internasional saat ini yang melibatkan dua negara yaitu Cina dan Indonesia, sehingga dilakukanklah penelitian dalam bentuk jurnal yang dibuat oleh penulis. Pokok pembahasan yang diangkat dari penulisan jurnal ini ialah menjabarkan lebih detail yang dimulai dari aspek hukum internasional mengenai tindakan sewenang-wenang Cina melakukan klaim atas natuna utara yang telah menjadi bagian dari republik Indonesia dan diakui oleh hukum. Lebih lanjut, penulis akan menelaah secara rinci beberapa peraturan internasional maupun peraturan nasional sekalipun beserta point-point atas tindakan Cina yang dianggap melanggar hak berdaulat di Republik Indonesia. Penafsiran hak berdaulat kerap kali disalahartikan, sesungguhnya hak berdaulat adalah hak untuk memiliki dan sumber daya di dalam perairan tersebut oleh negara pantai. Untuk itu, hanya negara pantai ZEE itu saja yang diperkenankan untuk memanfaatkan sumber daya laut di dalamnya.
Penelitian merupakan suatu karya ilmiah dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Tujuan dari dibuatnya penelitian ini ialah untuk membahas dan memecahkan suatu kebenaran secara sistematis dan metodologis. Dengan dibuatnya proses penelitian perlu membuat analisa dan komposisi terhadap data yang dikumpulkan dan diolah oleh penulis. 10 Membuat suatu tulisan hukum tidak akan lepas dari penelitian hukum dan pemakaian metode penelitian, lantaran jika mengangkat suatu permasalahan diperlukan adanya penelitian dan metode untuk mengkaji persoalan yang akan diangkat. Metode yang akan dipakai oleh penulis dalam pembuatan jurnal ini yaitu metode penelitian normatif. Metode penelitian normatif pada intinya mengajarkan kita tentang pengetahuan bagaimana cara menganalisa, mempelajari sebuah kasus dan menggunakan dasar hukum pada persoalan yang akan dipelajarinya. Penelitian ini lebih lanjut memuat aturan-aturan yang bersifat mengikat atau dapat dikatakan sebagai aturan hukum yang mengkaji langsung dengan peristiwa hukum yang bersebrangan dengan hukum yang berlaku. 11 Metode Penelitian Normatif sering dikatakan sebagai penelitian hukum doktriner karena memuat pada peraturan tertulis yang kaitannya erat dengan perpustakan yaitu sumber peraturan tertulis dan data yang bersifat sekunder berkaitan dengan menggunakan ketentuan peraturan yang berhubungan dengan persoalan atau konflik hukum yang sedang diangkat oleh penulis. Dalam penelitian normatif terdapat kajian dari peristiwa hukum yang akan disangkut pautkan dengan peraturan hukum yang bisa ditarik kesimpulan dan melahirkan apakah
peristiwa tersebut selaras dengan hukum yang berlaku atau malah menyimpang dengan apa yang diharapkan oleh hukum yang telah dibuat.
Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan yang memiliki arti menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan peristiwa hukum yang diangkat oleh penulis.
Menurut JHA Logemann, kedaulatan negara merupakan kekuasaan bersifat mutlak dan tertinggi atas warga negara dan wilayah bumi beserta isi di dalamnya yang kepemilikannya jatuh pada sistem negara nasional yang berdaulat, 12 sedangkan hak berdaulat menurut hukum internasional merupakan kewenangan yang dimiliki negara pada suatu wilayah tertentu yang dalam pelaksanaanya harus tunduk pada aturan hukum yang dianut oleh masyarakat internasional. Hak berdaulat pada dasarnya merupakan hak memanfaatkan dan memperoleh segala sesuatu yang bersumber dari alam berada di sebuah kawasan wilayah maritim yaitu pada zona tambahan, ZEE, dan landas kontinen. Terkait hal tersebut, pemerintah Indonesia dalam memperkuat kedaulatan maupun hak berdaulat atas perairan Natuna pada 18 Mei 1956, secara sah Kepulauan Natuna telah di daftarkan menjadi wilayah kedaulatan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.13 Kebijakan tersebut ditindaklanjuti dengan diperolehnya pengakuan internasional melalui konvensi hukum laut PBB ke-3 , United Nation Convention On The Law Of The Sea 1982 (UNCLOS 1982) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang Undang No. 17 Tahun 1985.14 Dalam konvensi hukum laut PBB tersebut, ketentuan yang membahas terkait hak berdaulat pada suatu negara atas wilayah perairannya dapat dilihat di beberapa pasal yaitu (1). Pasal 56 ayat (1) menyatakan “dalam ZEE negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk keperluan ekplorasi dan eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber daya hayati dan non hayati dari perairan tersebut”, (2). Pada Pasal 57 menyatakan “ZEE tidak boleh lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur”. Dari penjelasan pasal-pasal tersebut secara jelas ditegaskan bahwa sebuah negara memiliki hak berdaulat atas wilayah maritimnya dan diakui oleh seluruh negara yang tunduk pada UNCLOS 1982, sehingga secara hukum internasional ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara telah diakui kebenarannya berlandaskan keputusan UNCLOS tahun 1982.15
Dengan terbitnya Undang - Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekskulsif Indonesia pada Pasal 4 ayat (1) huruf (a) : “ZEE Republik Indonesia mempunyai dan melaksanakan hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah dibawahnya serta air diatasnya dan kegiatan lainnya”. Kemudian pada Pasal 5 ayat (1) “barang siapa melakukan eksplorasi dan ekspoitasi sumber daya alam atau kegiatan lainnyadi ZEEI harus berdasarkan ijin pemerintah RI atau persetujuan Internasional dengan pemerintah RI”. Kondisi tersebut diperkuat kembali dengan lahirnya Undang - Undang No. 9 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, pada
ketentuan Pasal 2 ayat (2), “segala perairan di sekitar diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara RI, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara RI sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan NRI”. Dengan dijabarkan lebih lanjut pada Pasal 4 Ayat (1) huruf (a) secara prinsip menyatakan bahwa wilayah perairan tersebut merupakan wilayah kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia yang tidak bisa dilanggar maupun di klaim secara sepihak oleh negara lain. Dipertegas kembali melalui Undang-Undang No 43 tahun 2008 mengatur wilayah negara khususnya ketentuan pada Pasal 4, 5, 7 yang pada hakikatnya menyatakan wilayah negara itu merupakan wilayah kedaulatan Indonesia yang tidak diperbolehkan untuk dilanggar ataupun diklaim secara sepihak oleh pihak asing. Penetapan batas wilayah tersebut dilakukan melalui perjanjian antar pihak yang bersangkutan berdasarkan dengan ketentuan peraturan dan ketentuan peraturan internasional.
Laut Natuna merupakan laut yang terhampar dari Kepulauan Natuna hingga kepulauan Lingga di Riau dengan perairan yang kaya akan sumber alamnya ini tercantum dalam peta ZEE Indonesia yang merupakan bagian dari hak berdaulat. Dengan berkembangnya isu bahwa Cina mengklaim Natuna dengan dasar Peta Nine Dash Line16 secara sepihak dan tidak pernah memberi penjelasan lebih lanjut mengenai nine dash line yaitu garis imajiner yang dimanfaatkan untuk mengklaim sebagian wilayah Laut Cina Selatan, timbulah konflik oleh beberapa negara di Asia yang berdampak pada wilayah ZEE Indonesia.
Mengacu pada Pasal 57 UNCLOS 1982 mengenai lebar ZEE yaitu untuk setiap negara pantai seharusnya “tidak melebihi dari 200 mil dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur”.17 Hal ini menjelaskan bahwa ZEE Indonesia telah mendapat pengakuan internasional berdasarkan ketentuan UNCLOS tahun 198218 yang kemudian diperkuat melalui pengakuan Undang Undang No. 5 Tahun 1983 Pasal 2 Tentang ZEE Indonesia “Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia”.
Selain mengklaim ZEE Indonesia, kapal Cina tertangkap basah melakukan penangkapan ikan illegal di wilayah ZEE Indonesia yang menjadi wilayah hak berdaulat Indonesia. Sesuai Pasal 56 UNCLOS 1982 “hak berdaulat adalah hak untuk memanfaatkan dan mengelola perairan yang terletak di zona ekonomi ekskuslif untuk kebutuhan eksplorasi dan ekploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam mulai dari hayati hingga non-hayati”. Terkait dengan pelanggaran yang dilakukan Cina, tentunya akan berhubungan dengan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, berkaitan dengan Pasal 73 ayat (1) UNCLOS 1982 “Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak kedaulatannya untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi, melestarikan, dan mengelola sumber daya hayati di zona ekonomi eksklusif, mengambil tindakan tersebut, termasuk
naik pesawat, inspeksi, penangkapan dan proses peradilan, yang diperlukan untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang diadopsi sesuai dengan Konvensi ini”. Dapat dipertegas ketentuan Pasal 73 (1) UNCLOS 1982 pada prinsipnya bahwa negara pantai dalam melangsungkan hak berdaulat di Zona ekonomi ekskuslif miliknya dan diijinkan untuk melakukan tindakan yang dianggapnya perlu seperti penangkapan untuk mempertahankan kepatuhan ketentuan perundang-undangan yang dibentuk oleh negara pantai yang selaras pada UNCLOS 1982.
Di tahun 2001 Food Agriculture Organization (FAO) mengatakan kejahatan pada aspek perikanan meliputi illegal fishing, unregulated fishing, dan unreported fishing. Kategori kejahatan di lingkup perikanan tersebut dibuat oleh FAO bersumber atas kasus yang terjadi dibelahan dunia, seperti contohnya tidak patuh pada ketentuan mengenai ZEE, tidak adanya pelaporan atas penangkapan ikan, baik operasional, maupun hasil tangkapan. Penangkapan ikan illegal di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia adalah sebuah tindakan pelanggaran hukum dikarenakan melanggar yuridiksi pada ZEE Indonesia, yang artinya kapal asing melakukan penangkapan ikan illegal tersebut melanggar yuridiksi pidana dikarenakan illegal fishing adalah sebuah kejahatan dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana.
Tempat berlakunya hak berdaulat ini dikenal dengan sebutan yuridiksi yang berlandaskan pada Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang wilayah negara pada Pasal 1 ayat (3) bahwa “wilayah yuridiksi adalah wilayah yang terdiri dari ZEE, landas kontinen dan Zona tambahan”. Artinya ZEE Indonesia dikatakan sebagai wilayah yuridiksi bagian dari hak berdaulat. (Talkshow I Made Andi, pada Mata Najwa nine dash line). Dikarenakan bagan dari hak berdaulat, maka penangkapan ikan di Wilayah ZEE oleh pihak asing dalam bentuk apapun tanpa adanya ijin terlebih dahulu dianggap sebagai pelanggaran hak berdaulat, seperti apa yang telah dilakukan Cina. Oleh sebab itu, merupakan tindakan terlarang jika Cina melakukan illegal fishing tanpa adanya ijin dari pihak Indonesia dan sebagai negara yang telah meratifikasi UNCLOS 1982 sudah seharusnya Cina juga tidak melanggar hukum aktif yang sudah ditetapkan tersebut. Jadi prinsipnya pihak Indonesia yang sudah meratifikasi konvensi laut ini melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 demikian Cina wajib tunduk pada UNCLOS 1982.
Terkait dengan keberadaan Permanent Court of Arbitration (PCA) dalam memediasi persoalan yang pernah terjadi antara Filipina dengan Cina, dengan kasus yang serupa menggunakan dasar klaim nine dash line. Hal yang sama pula dilakukan atas kasus Cina pada perairan Indonesia dengan dasar Peta Nine dash Line.19 Permanent Court of Arbitration atau sering diistilahkan dengan PCA menyatakan klarifikasi bahwa nine dash line adalah dasar klaim yang bersifat kontradiktif dengan UNCLOS 1982. Reaksi Cina dengan tegas menolak dan tidak menanggapi putusan yang dibuat oleh PCA. 20 Hasil dari surat keputusan arbitrase bersifat final dan mengikat memiliki arti mutlak dan tidak dapat dilakukan upaya hukum.21 Oleh karena itu secara tegas dinyatakan bahwa dasar nine dash line tidak dapat disetujui pada kasus Natuna ini.
Di sisi lain ketika Cina melakukan aktivitas illegal fishing didukung dengan pasukan coast guard jika dicermati dari aspek hukum Nasional yang tertuang pada Undang-
undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dalam Pasal 1 ayat (59) mengemukakan bahwa “Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) adalah lembaga yang melaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri”. Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 276 ayat (1) “terkait pelaksanaan fungsi penjaga laut dan pantai melaksanaan koordinasi untuk : tindakan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan jika terjadi ketidaktaan pada hukum yang berlaku serta keamanan pelayaran dan keamanan kegiatan masyarakat dan pemerintah di wilayah perairan Republik Indonesia”. Kehadiran kapal Cina lengkap dengan coast guardnya di wilayah ZEE Indonesia dikaitkan dengan ketentuan tersebut merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum nasional Indonesia, karena tidak sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya dalam menjaga dan penegakkan hukum. 22
Maka dari itu, terdapat banyak sekali pelanggaran yang telah diperbuat oleh Cina jika dianalisis dengan payung hukum serta ketentuan peraturan internasional maupun nasional sekalipun yang berlaku atas sikap sewenang-wenang Cina.
Indonesia yang dikenal negara yang memiliki wilayah laut yang begitu luas serta berbatasan dengan beberapa negara kerap menimbulkan sengketa atau klaim antar negara tetangga. Dari hasil penelusuran secara normatif dengan pembahasan yang telah dijelaskan diatas maka konklusi dari penulisan diatas adalah bahwa perbuatan anarkis Cina menggunakan peta sembilan titik garis perairan laut dikenal dengan sebutan Nine Dash Line dan illegal fishing telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Cina beberapa kali telah melakukan illegal fishing di wilayah yuridiksi Indonesia yang tentunya peristiwa tersebut telah melanggar hak berdaulat Indonesia. Cina pada saat itu mengeluarkan klaim yang dapat dikatakan bersifat unilateralisme atau mendukung tindakan sepihak. Sangat tegas tindakan Cina merupakan pelanggaran hukum internasional khususnya UNCLOS 1982. Cina dengan klaimnya yang tidak mendasar tersebut tetap bersikeras dijadikan alasan tetap mempertahankan Perairan Natuna Utara yang notabennya merupakan wilayah hak berdaulat Indonesia, bahkan ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara pun telah mendapat pengakuan secara internasional berlandaskan keputusan UNCLOS tahun 1982.23 Adanya penegakan hukum secara tegas sangat dibutuhkan mengingat kejadian ini telah merugikan banyak pihak terutama kerugian ekonomi yang ditimbulkan atas kegiatan illegal tersebut
Terkait dengan kesimpulan diatas, dapat disarankan bahwa atas tindakan anarkis Cina tersebut Indonesia harus meningkatkan proteksi hukum atas wilayah Indonesia untuk menjaga Kedaulatan dan hak berdaulat Republik Indonesia. Seperti tertuang pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3. Seringnya terjadi pelanggaran pada yuridiksi Indonesia di Natuna Utara dikarenakan ketentuan peraturan yang belum memadai mengenai hak berdaulat dan illegal fishing. Menempuh jalur diplomasi bisa dipertimbangkan dengan membangun hubungan dengan negara lain dan menuntun semua pihak untuk mencapai tujuan atau kepentingan bersama
yang disepakati oleh semua pihak.24 Diplomasi hakikatnya merupakan sebuah usaha dari beberapa pihak yang terlibat di dalamnya dan upaya untuk membenarkan upaya kita yang diganti dengan negosiasi25 seperti hubungan yang menguntungan kedua belah pihak tanpa adanya tekanan dan mencapai pada kesepakatan dan kepentingan negara yang terlibat. Dengan diadakannya jalur diplomasi, maka akan dapat mencegah potensi konflik terjadi antara Cina dan Indonesia.
Alternatif lainnya dengan membicarakan masalah ini dalam ruang lingkup ASEAN karena salah satu tugas utama ASEAN adalah menjaga perdamaian26 dan menjunjung kerja sama yang bersifat aktif diiringi dengan membantu satu sama lain di dalam menangani konflik bersama yang menyangkut berbagai bidang. Konflik yang ditimbulkan oleh Cina mengenai klaim sepihak tentunya memunculkan sebuah perseteruan di beberapa negara yang terlibat khususnya anggota ASEAN. Mengambil tindakan berupa kerjasama untuk menjaga hak berdaulat negara masing masing, untuk mengurangi pertikaian perbatasan laut antara-negara anggota ASEAN hingga saat ini belum menemukan solusi yang maksimal. Tertera pada Pasal 2 Piagam ASEAN bahwa dalam hal ini harus mengendapankan asas perdamaian dan tentunya keamanan disetiap perbatasan tanpa adanya agresi dan apapun bentuk ancaman yang merugikan dan melanggar regulasi internasional. Opsi terakhir yaitu bekerja sama dengan PBB, karena fungsi dari United nations atau PBB adalah menciptakan kedamaian antar negara mengingat negara yang terlibat dalam perselihan nine dash line antara lainnya adalah Indonesia, Cina, Filiphine, Malaysia, Vietnam adalah sebagai anggota PBB dan mengambil menempuh jalur perdamaian demi untuk penyelesaian sengketa. 27 Pada Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB secara pinsip bahwa “negosiasi merupakan cara paling utama untuk menyelesaikan perkara” yang dapat ditemukan pada sebagian perjanjian internasional bahwa apabila terdapat suatu perselihan sebaiknya ditempuh jalur dan solusi yang aman.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Fajar,Mukti Fajar dan Achmad. Yulianto. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2017)
Marbun, SF. Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. (Yogyakarta : UII Press, 2003), h. 26.
Soekanto, Soejono. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2014)
Stefanus, Dicky, and Eko Adiyanto. Komando Pengendalian Keamanan dan Keselamatan Laut. (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2015)
Jurnal Ilmiah
Agasta, Calvin, and Peni Susetyorini. "Hak Berdaulat Negara Kesatuan Republik Indonesia Di Kepulauan Natuna (Studi Khusus Indonesia Terhadap Klaim Peta Nine-dashed Line China Di Kepulauan Natuna)." Diponegoro Law Journal 6, no. 2 (2017)
Kanan, Nurliwedie Nurdin, and Rira Nuradhawati. "Optimalisasi sentralitas ASEAN dalam rangka menghadapi isu keamanan kawasan saat ini dan di masa depan." Jurnal Academia Praja 3, no. 02 (2020).
Lasabuda, Ridwan. "Pembangunan wilayah pesisir dan lautan dalam perspektif Negara Kepulauan Republik Indonesia." Jurnal Ilmiah Platax 1, no. 2 (2013).
Massie, Monica Theresia. "Implementasi hak-hak berdaulat negara di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia menurut UU No. 5 tahun 1983 tentang zee indonesia." LEX ET SOCIETATIS 5, no. 1 (2017).
Matompo, Osgar S. "Penanganan Praktik Pencurian Ikan Illegal Di Perairan Indonesia." Legality: Jurnal Ilmiah Hukum 26, no. 1 (2018).
Mulyana, Imam. "Peran Organisasi Regional Dalam Pemeliharaan Perdamaian dan Keamanan Internasional." Jurnal Cita Hukum 2, no. 2 (2015)
Nurika, Rizki Rahmadini. "Peran Globalisasi di Balik Munculnya Tantangan Baru Bagi Diplomasi di Era Kontemporer." Sospol: Jurnal Sosial Politik 3, no. 1 (2017).
Pujiyono, Pujiyono. "Kewenangan absolut Lembaga Arbitrase." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 7, no. 2 (2018).
Purwatiningsih, Annisa. "Eksplorasi dan Eksploitasi Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Laut Natuna Bagian Utara Laut Yuridiksi Nasional Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Kepulauan Natuna." Reformasi: Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2, no. 2 (2012).
Putranti, Ika Riswanti. "Pelanggaran Terhadap Hak Berdaulat Indonesia: Studi Kasus Tiongkok di Laut Natuna Utara." Journal of International Relations 4, no. 4 (2018).
Risdiarto, Danang. "Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Wilayah Udara Yurisdiksi Indonesia Oleh Pesawat Terbang Asing Tidak Terjadwal." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 5, no. 1 (2016).
Rumokoy, Nike K. "Kedaulatan dan Kekuasaan Dalam UUD 1945 Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia." Jurnal Hukum Unsrat 17, no. 1 (2017).
Sudarsono, Budyanto Putro, Jonni Mahroza, and D. W. Surryanto. "Diplomasi pertahanan Indonesia dalam mencapai kepentingan nasional." Jurnal Pertahanan & Bela Negara 8, no. 3 (2018).
Tampi, Butje. "Konflik Kepulauan Natuna Antara Indonesia Dengan China (Suatu Kajian Yuridis)." Jurnal Hukum Unsrat 23, no. 10 (2018).
Wangke, Humphrey. “Menegakkan Hak Berdaulat Indonesia Di Laut Natuna Utara”, Jurnal Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI 12, no.1 (2020)
Internet
Arsana, I Made Andi. Mata Najwa pembahasan pelanggaran China atas dasar Nine dash line. Retrieved from https://www.narasi.tv/mata-najwa/mengapa-laut-china-selatan-selalu-jadi-rebutan
Florene, Ursula. Indonesia tuntut penjelasan tiongkok yang melanggar perairan Natuna. 2016.
Retrieved from https://rappler.com/world/indonesia-tuntut-penjelasan-
Foreign Ministry Spokesperson Lu Kang's Remarks on Statement by Spokesperson of
US State Department on South China Sea Arbitration Ruling http://www.fmprc.gov.cn/nanhai/eng/fyrbt_1/t1380409.htm
Gumilang, Prima. Komando Armada RI: Kapal Nelayan China selalu dibentengi. 2016. Retrieved from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160627163356-20-141297/komando-armada-ri-kapal-nelayan-china-selalu-dibentengi
Peraturan Internasional
United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982 (UNCLOS 1982)
Peraturan Perundang- Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983)
Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 64)
Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073)
Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925)
Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.5 Tahun 2021, hlm.330-340
Discussion and feedback