PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN AKIBAT IKLAN PRODUK MENYESATKAN YANG DILAKUKAN OLEH PELAKU USAHA

Ni Putu Mayra Erika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Made Dedy Priyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Putu Sudarma Sumadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i05.p03

ABSTRAK

Penulisan ini bertujuan untuk didapatnya pengetahuan lebih dalam mengenai bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen dari iklan yang menyesatkan serta untuk mengetahui bagaimanakah tanggungjawab pelaku usaha atas tayangan iklan yang menyesatkan. Jenis metode penelitian yang dimasukan dalam jurnal ini yaitu yuridis normatif, yaitu sebuah upaya atau prosedur yang dikuatkan untuk mengembangkan konsep masalah atas penelitian data sekunder dengan pendekatan menelaah asas- asas, peraturan dan konsep- konsep yang berkenaan dengan TanggungJawab Hukum Pelaku Usaha Atas sebuah tayangan Iklan Yang menyesatkan bagi Konsumen. Hasil penelitian yang didapatkan dalam jurnal ini yaitu perlindungan konsumen atas sebuah tayangan iklan yang menyesatkan telah diatur dibeberapa hukum positif di indonesia dan tata cara periklanan di indonesia akan tetapi belum ada pengaturan yang jelas mengenai siapakah yang bertanggung jawab mengenai hal tersebut. Akan tetapi jika merujuk pada penggunaan asas lex posterior Derogat Legi Priori maka yang bertanggung jawab adalah pihak media periklanan sesuai dengan UU No 18 Tahun 2012. Mengenai sanksi bagi pelanggar tersebut telah diatur secara jelas dalam Bab XIII Undang- Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

Kata kunci: tanggung jawab, perlindungan hukum, iklan menyesatkan

ABSTRACT

This writing aims to obtain deeper knowledge about how legal protection for consumers from misleading advertisements and to find out how the responsibility of business actors for misleading advertisements. The type of research method included in this journal is juridical normative, which is an effort or procedure that is strengthened to develop problem concepts for secondary data research with an approach of examining principles, regulations and concepts relating to the Legal Responsibility of Business Actors for an Ad impressions that are misleading for consumers. The research results obtained in this journal are that consumer protection for misleading advertisements has been regulated in several positive laws in Indonesia and the procedures for advertising in Indonesia, but there is no clear regulation regarding who is responsible for this. However, when referring to the use of the lex posterior principle of Derogat Legi Priori, the party responsible is the advertising media in accordance with Law No. 18 of 2012. Regarding sanctions for violators, it has been clearly regulated in Chapter XIII of Law No. 8 of 1999 concerning consumer protection.

Key words: responsible, legal protection, misleading advertising

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar belakang

Dewasa ini, sehubungan dengan kemajuan zaman dan semakin luasnya pasar nasional pemasaran suatu produk dari pelaku usaha sangatlah penting untuk dilakukan. Salah satu upaya pemasaran dari suatu produk yang dihasilkan tersebut adalah melalui iklan. Pentingnya iklan komersil untuk pemasaran suatu produk baik berupa barang ataupun jasa sangat berpengaruh. Iklan sebagai perantara bagi konsumen agar dapat diketahuinya barang dan atau sekaligus jasa yang diberikan oleh suatu pelaku usaha yaitu pengiklan. Konsumen menurut “pasal 1 ayat 2 ialah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”1

Dimasa ini iklan sangat berpengaruh karena merupakan suatu perantara dimana berasal atas pelaku usaha terhadap konsumennya. Hal tersebut dikarenakan iklan dianggap sebagai sarana atas produsen untuk memperkenalkan/memberitahukan produk mereka kepada para konsumen. Selain itu dengan adanya iklan, hal tersebut juga akan memudahkan konsumen untuk mendapatkan informasi mengenai produk yang diinginkan dan memudahkan pelaku usaha untuk memasarkan produk yang dijualnya. Tidak jarang juga ada beberapa oknum yang menyuguhkan informasi dan promosi yang berlebihan dari produk yang akan mereka tampilkan kepada masyarakat sehingga membuat masyarakat tertarik serta ingin memiliki produk yang mereka pasarkan tersebut. 2 Dapat dimanfaatkan pula sebagai sebuah kebutuhan atas suatu barang dan/atau sekaligus jasa yang didambakan sehingga dapat dipenuhinya keinginan, serta, keterbukaan yang masif kebebasan atas pencarian keaneka jenisan dan kualitas dari sebuah barang/jasa yang patut atas suatu kemauan dan kemampuan penggunanya. Di bagian lainnya, persoalan itu dapat juga berakibat ketidak seimbangan bagi pelaku usaha ataupun konsumen, sehingga konsumen tidak akan berada di posisi bagus.

Keuntungan yang melimpah bersumber dari konsumen atas pelaku usaha. Seringkali konsumen juga merasa dibohongi oleh pelaku usaha berkenaan atas sebuah produk yang diberikan tidaklah tepat dengan kenyataan yang ditawarkan. Sehingga konsumen merasa sangat dirugikan. Mengenai perihal tersebut di Indonesia sendiri sudah ada aturan mengenai perlindungan konsumen yaitu UU Nomor 8 Tahun 1999, selanjutnya disebut sebagai UUPK, dimana ditegaskan bahwa perlindungan konsumen “sesuai pada pasal 1 ayat 1 perlindungan konsumen ialah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.” Konsumen berhak atas setiap informasi yang sesuai kenyataan, jujur sebagai standar kesahihan suatu iklan.3 Maka dari itu, konsumen perlu mendapatkan perlindungan dari iklan- iklan yang tidaklah tepat dengan yang ditawarkan atau disebut dengan iklan yang menyesatkan.

Saat ini di Indonesia sedang mengalami permasalahan yang cukup pelik mengenai konflik norma tentang pelaku usaha, hal tersebut dikarenakan terlalu banyaknya pihak yang terlibat dalam proses kegiatan periklanan, yang tentunya akan menyebabkan beberapa kendala- kendala seperti, pertama mengenai siapakah yang dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap pelaku usaha periklanan ini dan yang kedua yaitu mengenai seberapa besar tanggung jawab masing- masing pelaku usaha periklanan. Berlandaskan permasalahan tersebut, maka perlulah untuk meneliti lebih lanjut mengenai bagaimanakah perlindungan terhadap konsumen akibat iklan yang menyesatkan bagi konsumen dan bagaimanakah pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap iklan yang menyesatkan bagi konsumen.

Terdapat dua penelitian yang identik dengan penelitian ini, pertama berjudul “Perlindungan Hukum Terhaap Konsumen Terkait Iklan Yang Menyesatkan Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dan Kode Etik Periklanan Indonesia” oleh I Gusti Ayu Indra Dewi Dyah Pradnya Paramita yang bertitik fokus pada bentuk perlindungan hukum serta pertanggungjawaban pelaku usaha atas iklan yang menyesatkan berdasarkan UUPK dan Kode Etik Periklanan saja.4 Kedua berjudul Pertanggungjawaban Terhadap Konsumen Atas Iklan-Iklan Yang Menyesatkan Di Era Globalisasi oleh Anthon Fathanudien yang berfokus pada upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen untuk menanggulangi dampak dari penayangan iklan yang menyesatkan di media massa5, sedangkan penelitian saya berfokus pada bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen akibat iklan yang menyesatkan bagi konsumen dan bagaimanakah pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap iklan yang menyesatkan bagi konsumen, yang dimana kedua permasalahan tersebut ditinjau berdasarkan seluruh hukum positif di Indonesia yang membahas mengenai iklan yang menyesatkan.

  • 1.2    Rumusan Masalah

    • 1.2.1    Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen akibat iklan yang menyesatkan bagi konsumen?

    • 1.2.2    Bagaimanakah pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap iklan yang menyesatkan bagi konsumen?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Penulisan penelitian artikel ilmiah ini bertujuan untuk:

  • 1.3.1    Dapat mengetahui bagaimanakah perlindungan hukum atas konsumen dari iklan yang menyesatkan.

  • 1.3.2    Untuk mengetahui bagaimanakah tanggungjawab pelaku usaha atas iklan yang dirasa memberikan penyesatan.

  • II.    Metode Penelitian

Penulisan penelitian artikel ilmiah ini menggunakan suatu metode penelitian yuridis atas teori normatif, dimana sebuah upaya atau prosedur yang dikuatkan untuk mengembangkan konsep masalah atas penelitian data sekunder6, dengan pendekatan menelaah asas- asas, peraturan dan konsep-konsep yang berkenaan dengan TanggungJawab Hukum Pelaku Usaha Atas sebuah tayangan Iklan Yang mengelirukan bagi Konsumen.

  • III.    Hasil dan Pembahasan.

    • 3.1    Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Akibat Iklan Yang Menyesatkan Konsumen

Perlindungan hukum ialah salah satu unsur yang bertujuan memperbaiki aspek hukum bagi bangsa. Menurut Satjito Rahardjo bahwa “perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu Hak Asasi Manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.” Menurut Philipus M. Hadjon, “perlindungan hukum adalah perindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak- hak asasi manusia yang dimiliki oleh suubyek hukum berdasarkan ketentuan umum dari kesewangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal lainnya.” Beralaskan penjelasan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum ialah penguasahaan atas terjaminnya kepastian bagi hukum terhadap pihak- pihak yang bersangkutan, sehingga dapat terjadi ketertiban, keadilan, dan ketentraman antar sesama manusia.

Perlindungan hukum ditujukan dari negara bagi masyarakatnya yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas dalam banyak hal termasuk bidang hukum maupun ekonomi.7 Menurut R.La Porta, ” Journal of Financial Economics”, bentuk perlindungan hukum atas suatu bangsa mempunyai dua jenis, yakni keberpihakannya pada pencegahan (prohibited) serta tindakan yang sifatnya berdasar hukuman. Rupa dari perlidungan atas hukum ditandai atas terdapatnya sebuah institusi penegakan hukum, dimana kepolisian, lembaga non litigasi, dan pengadilan memegang peran kokoh. Soediman Kartohadiprodjo menyatakan bahwa “pada hakikatnya tuuan dari adanya hukum adalah untuk mencapai keadilan.” Oleh karena hal tersebutlah, salah satu upaya untuk tercapainya keadilan adalah dengan adanya perlindungan hukum.

Iklan merupakan sarana dari pelaku usaha kepada konsumen untuk menyampaikan produk yang dijual. Iklan sebagai salah satu upaya dalam mempromosikan suatu barang maupun jasa kepada masyarakat luas melalui media massa. Definisi iklan menurut Kriyantono bahwa “iklan merupakan bentuk komunikasi non personal yang menjual pesan- pesan secara persuasive dari sponsor yang jelas guna untuk mempengaruhi orang agar membeli produk dengan membayar media yang digunakan.”8 Rot zoil menjabarkan empat fungsi iklan diantaranya:

  • 1    fungsi “Precipitation”, dapat digunakan sebagai percepatan situasi pengambilan keputusan yang tepat dikarenakan pengetahuan yang lebih atas sesuatu yang dihasilkan.

  • 2    Fungsi “Persuasion”, dapat digunakan sebagai pembujuk konsumen untuk membeli suatu produk yang ditayangkan. Hal tersebut terjadi karena adanya pikatan dari suatu produk yang diiklankan tersebut.

  • 3    Fungsi “Reinforcement”, dapat mengukuhkan ketetapan yang diterima oleh konsumen.

  • 4    Fungsi “Reminder”, dapat difungsikan agar suatu merek perusahaan tetap diingat oleh masyarakat. Hal tersebut dapat menguatkan animo atas konsumen kepada produk.9

Bagi pembisnis atau pelaku usaha, iklan ditujukan sebagai pembentuk perilaku konsumen dan menarik perhatian konsumen. Media iklan dapat berupa majalah, brosur, surat kabar, radio, televisi, spanduk, baliho, internet, billboard, reklame, dan lain- lain. Iklan dianggap menguntungkan jika terjadi peningkatan pembelian produk yang ditawarkan melalui iklan tersebut. Iklan haruslah dibuat dengan jelas, informatif dan jujur, apa adanya dalam suatu bisnis sehingga iklan yang disampaikan tidak menyesatkan konsumen atau pembelinya. Iklan yang menyesatkan merupakan suatu informasi yang disajikan dalam media massa yang ditujukkan kepada masyarakat luas, namun isi dari berita tersebut tidak sepenuhnya jelas dan benar ataupun tidak pas antara barang yang ditawarkan atas barang yang diberikan. Menurut Sri Handayani, iklan yang dapat dikategorikan iklan menyesatkan diantaranya:

  • 1    Iklan tersebut tidak dibuat secara jujur dan terbuka mengenai kualitas barang, kegunaan barang, bahan, harga barang, garansi barang maupun jasa apabila pelaku usaha tidak dapat bertanggung jawab terhadap janjinya seperti yang disebutkan dalam iklan.

  • 2    klan yang memuat informasi secara keliru, salah dan tidak tepat tentang barang atau jasa;

  • 3    Iklan yang tidak memuat informasi tentang resiko pemakaian barang;

  • 4    Iklan yang mengekspolitasi tanpa ijin tentang suatu kejadian atau kegiatan seseorang;

  • 5    Iklan yang melanggar etika periklanan;

  • 6    Iklan yang melanggar peraturan tentang periklanan;

  • 7    Iklan yang melanggar etika dan peraturan (tehnis) periklanan. 10

Hal tersebut dapat menimbulkan dampak negatif berupa kerugian kepada konsumen. Sehingga konsumen perlu diberikan perlindungan hukum. Penggunaan sebutan perlindungan konsumen bertujuan agar dapat tergambarnya perlindungan hukum atas konsumen dimana kebutuhan akan banyak hal berpotensi mengganggu dirinya sendiri.

Perlindungan hukum terhadap konsumen diatur dalam UUPK. Dimana Pasal 1 angka 1 menyatakan “perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”11 pada masa ini sangat penting dilakukan agar terdorongnya pelaku usaha untuk dapat bersaing dalam menghasilkan barang maupun jasa dengan hasil yang elok. sehingga didapati meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas serta agar konsumen dapat memperoleh kepastian barang maupun jasa yang sesuai. Isi dari UUPK terhadap pelaku usaha memiliki arti sangat lapang bawasannya tidaklah bagi para pelaku usaha atas pemberian barang sekaligus jasa diharuskan patuh pada UU ini, namun termasuk pula rekan, distributor, agen, dan orang- orang yang turut menyelenggarakan proses penyebaran atas penawaran barang ataupun jasa kepada konsumen (masyarakat umum) sebagai pemakai barang maupun jasa tersebut. Kendati demikian, hukum yang dibuat untuk melindungi konsumen bukanlah bertujuan untuk mematikan bisnis pengusaha atau pelaku usaha, melainkan hukum yang mengatur tentang perindungan konsumen dapat mendorong pelaku usaha bersaing secara sehat dan tangguh dalam menghadapi derasnya arus persaingan sehingga pelaku usaha akan selalu terdorong untuk memberikan kualitas yang terbaik kepada konsumen baik dalam hal barang maupun jasa tanpa mengakibatkan kerugian kepada konsumen.

Bagi konsumen yang dirasa di sesatkan atas suatu tayangan iklan berhak diberikan perlindungan atas hukum, dimana di tetapkan dalam UUPK, Bab III dari Pasal 4 s/d Pasal 7 sehubungan kewajiban beserta haknya dari pelaku usaha dan konsumen. Dimana kewajiban yang ditetapkan, salah satunya terdapat di Pasal 7, dengan pemberian informasi yang benar, jelas, dan jujur atas segala hal barang sekaligus jasa dan diharuskan rinci atas tata pemeliharaan dan penggunaan. Berlandaskan akan asas- asas dimana tidaklah diperbolehkan bertentangan dengan hukum yang ditetapkan, serta tidaklah diperbolehkan pula memuat isu SARA. iklan haruslah dilandaskan dengan asas persaingan yang sehat. Pelaku usaha wajib memberi kompensasi atas kerugian terhadap produk yang dijual jika tidak sesuai dengan yang ditawarkan. Jelas dan jujur yang dimaksudkan dalam hal ini adalah kualitas produk maupun jasa. Apakah barang yang diperjual belikan asli atau imitasi, batu atau bekas, jenis produk, ukuran, keunggulan maupun kelemahan produk, dan penjelasan lainnya sesuai dengan produk yang ditawarkan. BAB IV UUPK, mengatur pula larangan atas pelaku usaha periklanan, dimana termuat jelas pada Pasal 9-Pasal 12, Pasal 13, serta Pasal 17. Pasal 17 menyatakan bahwa:

  • (1)    Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:

  • a.    “mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa”;

  • b.    “mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa”;

  • c.    “memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa”;

  • d.    “tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;

  • e.    mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan”;

  • f.    “melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. ”

  • (2)    “Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).”

Perlindungan konsumen dengan dibentuknya lembaga penunjang lainnya, ialah dengan terdapatnya Badan Perlindungan Konsumen Nasional, selanjutnya disebut BPKN, dimana terdapat pada Bab VII Pasal 31-Pasal 43 UUPK. Pasal 31 menetapkan bahwasanya BPKN mempunyai fungsi sebagai “memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.”

Bentuk Lembaga lainnya yang bertujuan melindungi konsumen adalah dengan dibentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang terdapat pada BAB VII Pasal 31 sampai dengan Pasal 43 Undang- Undang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 31 mengatur mengenai fungsi dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional diantaranya “memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.”

Selain dalam UUPK, dapat pula ditemukan beberapa peraturan yang berhubungan dengan periklanan tersebut, diantaranya:

  • 1.    Dalam KUHPerdata. Jika dilihat dalam KUHPerdata dan dalam KUHD tidak adanya pengertian secara khusus mengenai kaidah- kaidah dalam periklanan. Namun, dalam KUHPerdata dapat digunakan Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melanggar hukum dan ketentuan mengenai wanprestasi (ingkar janji) selama iklan tersebut menyebabkan kerugian pada pihak lain. Terdapat beberapa pasal dalam KUHPerdata yang menjadi dasar hukum dalam masalah periklanan. Antara lain Pasal 1233, Pasal 1234, Pasal 1320, 1321, 1328, 1367, 1372 sampai dengan Pasal 1380, selanjutnya Pasal 1473, 1474, 1491, 1501, 1504, 1601, sampai dengan Pasal 1603 KUHPerdata. Pada pasal tersebut memiliki keterkaitan mengenai perikatan yang dapat menjadi dasar tuntutan untuk meminta pertanggung jawaban pelaku usaha.

  • 2.    Dalam KUHP. Apabila dilihat pada Bab XXV KUHP, dijelaskan tentang perbuatan curang atau biasa disebut penipuan. Penipuan yang dimaksud diantaranya, persaungan curang, penipuan kepengacaraan, penipuan atas asuransi, dan penipuan atas jual beli. Pemberian informasi yang tidak benar antar sesame pelaku usaha dapat dikatakan sebagai persaingan curang yang ditetapkan pada Pasal 382 KUHP. Bila dilihat dari tindakan pelaku usaha atas konsumen dalam pemberian info yang tidak sesuai dapat dikatakan sebagai penipuan dalam transaksi perjualbelian yang ditetapkan dalam Pasal 378 KUHP.

Di Indonesia sendiri, periklanan mempunyai etiket atau tata caranya yang kemudian ditetapkan dalam beberapa Per UU an dengan sifatnya adminisratif, antara lain: etiket atau tata cara periklanan di Indonesia juga diatur dalam beberapa Peraturan Perundang- undangan yang bersifat administarif, diantaranya:

  • 1.    Undang- undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

Pada Pasal 46 ayat (3) UUP dijelaskan Batasan- Batasan kepada penyelenggara kegitaan penyiaran. Antara lain, iklan tidak boleh mengandung unsur SARA, tidak boleh mempromosikan minuman keras maupun bahan zat adiktif, tidak diperkenankan mempromosikan rokok yang menunjukan wujud rokok, iklan tidak boleh bertentangan dengan nilai

agama dan kesusilaan masyarakat, serta iklan tidak boleh mengeksploitasi anak dibawah umur 18 tahun. UUP tidaklah dengan gamblang memberi intruksi larangan menyampaikan iklan yang mengelirukan. Namun, jika dilihat dari dampak penayangan iklan yang menyesatkan tentu merugikan sebagian masyarakat, oleh karena hal tersebutlah, penggolongan iklan sebagai tindakan yang tidak pas akan kesusilaan dan krama dalam masyarakat. maka iklan tersebut digolongkan sebagai perbuatan yang menyalahi aturan kesusilaan dan nilai- nilai dalam suatu masyarakat. Pasal 26 UUP, menyebutkan bahwa dalam menyelenggarakan siarannya, Lembaga penyiaran berlanggaran haruslah:

a  “melakukan sensor internal terhadap semua isi siaran yang akan

disiarkan dan/atau disalurkan”;

b “menyediakan paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari kapasitas kanal saluran untuk menyalurkan program dari Lembaga Penyiaran Publik dan Lembaga Penyiaran Swasta”; dan

c “menyediakan 1 (satu) kanal saluran siaran produksi dalam negeri berbanding 10 (sepuluh) siaran produksi luar negeri paling sedikit 1 (satu) kanal saluran siaran produksi dalam negeri.”

  • 2.    Undang- undang No 40 Tahun 1999 tentang PERS

Dalam Pasal 13 UUPERS diatur mengenai larangan muatan iklan . diantaranya, iklan tidak boleh merendahkan suatu suku, agama, maupun terganggunya kedamaian antar umat dan menyalahi kesusilaan dalam masyarakat. Iklan dilarang mempromosikan NAPZA dan miras. mempromosikan rokok dengan wujudnya. Dalam UU ini masih sangat minim tentang periklanan yang diatur dan belum diatur larangan iklan yang menyesatkan konsumen sehingga perlu dipikirkan untuk menyempurnakan dan memasukan larangan materi informasi yang menyesatkan pada UU PERS selanjutnya. Dalam Pasal 6 menyebutkan “Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:

  • a.    memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;

  • b.    menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebinekaan;

  • c.    mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar;

  • d.    melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;

  • e.    memperjuangkan keadilan dan kebenaran.”

  • 3.    Undang- undang No 18 Tahun 2012 tentang Pangan

Pasal 44 ayat (1) ditegaskan bahwasanya iklan atas pangan diharuskan terkandungnya kerincian pangan yang tidak disesatkan serta benar adanya. Berupa visual ataupun audio, serta konsep lainnya. Ayat (2) menentukan bahwasanya iklan atas pangan tidaklah diperbolehkan menyalahi kesusilaan serta ketertiban umum. Pada Pasal 45 ayat (2) disebutkan bahwa pihak yang ikut bertanggung jawab dalam iklan yang menyesatkan adalah penerbit,

pencetak, pemegang izin televisi maupun radio, maupun agen lainnya yang digunakan untuk menyebarkan iklan.

  • 4.    Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan Pasal 104 berkenaan label dan iklan menegaskan kewajiban dari periklanan untuk menyediakan informasi yang tidaklah disesatkan, jujur, dan benar. Pemerintah telah menunjuk Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk mengiringi serta pengawasan atas setiap iklan yang diedarkan kepada masyarakat.

  • 5.    Surat keputusan Menteri yang mengatur pengawasan kegiatan periklanan Dalam PERMENKES No. 246/Menkes/Per/V/1990 tentang izin usaha industri obat tradisional dan pendaftaran obat tradisional telah ditetapkan pengawasan periklanan.   Dan   dalam PERMENKES No.

329/Menkes/Per/XXI/76 tentang Produksi dan Peredaran Makanan serta Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 79/Menkes/Per/II/78 tentang label dan periklanan makanan telah mengawasi periklanan yang berkaitan dengan produk makanan. Dalam peraturan Menteri tersebut telah ditetapkan keharusan agar iklan memuat informasi yang benar dan sesuai pada kenyataannya dan makanan tersebut sudah memenuhi perUU yang belaku dan tidak menyesatkan serta timbulnya interpretasi yang tidaklah benar mengenai mutu, kegunaan, isi, manfaat dan komposisi.

  • 3.2 Tanggung jawab pelaku usaha terhadap iklan yang menyesatkan konsumen.

Pelaku usaha atas suatu tayangan iklan bertanggungjawab terhadap konten yang dirasa menyesatkan bagi konsumen sangatlah diperlukan, mengingat konsumen telah mengalami kerugian atas hal tersebut. Dalam kasus konsumen yang telah mengalami kerugian, dibutuhkan suatu ketelitian untuk menganalisis dan menentukan siapakah yang harus bertanggungjawab serta besaran tanggungjawab yang bisa diberikan terhadap pihak terkait yang melakukan pelanggaran.12

Umumnya, pertanggungjawaban akan hukum mempunyai prinsip dimana terdapat pembedaan dalam beberapa hal, yakni:

  • 1 . Pertanggungjawaban beralaskan unsur kesalahan “strict based on fault”, dimana prinsip tersebut terlahir apabila terdapat unsur- unsur penguat keasalahan, sehingga suatu kesalahan dapat dijadikan salah satu acuan agar terciptanya tanggung jawab yang dijabarkan pada Pasal 1365 KUHPer. Unsur- unsur yang harus ada didalam suatu gugatan tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan antara lain: yang pertama, pihak tergugat telah melakikan perbuatan melawan hukum; kedua, tindakan tersebut bakal dipersalahkan padanya; ketiga, terdapat kerugian akibat dari perbuatan tergugat yang diderita penggugat. 13

  • 2 . Pertanggungjawaban beralaskan usnur praduga untuk selalu bertanggungjawab “presumption of liability principle”, dimana prinsip tersebut berada pada tingkatan ketika tergugat senantiasa diharuskan bertanggung jawab sampai dengan dibuktikannya bahwa tidaklah bersalah.

  • 12    Laila, Khotbatul. "Perlindungan hukum terhadap konsumen atas iklan yang melanggar tata cara periklanan." Jurnal Cakrawala Hukum 8, no. 1 (2017): 64-74.

  • 13    Ruhaeni, Neni. "Perkembangan Prinsip Tanggung Jawab (Bases Of Liability) dalam Hukum Internasional dan Implikasinya terhadap Kegiatan Keruangangkasaan." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 21, no. 3 (2014), 335-355.

  • 3.    Pertanggungjawaban beralaskan praduga tidak bersalah “presumption of nonliability” dimana prinsip tersebut berada pada tingkatan ketika tergugat tidak senantiasa diharuskan memberi pembuktian bahwasanya dirinya tidaklah bersalah.

  • 4.    Pertanggungjawaban mutlak “strict liability”, dimana prinsip tersebut beralaskan ketika seseorang diharuskan melakukan pertanggungjawaban secara menyeluruh atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Strict liability sering kali disamakan dengan absolute liability atau prinsip tanggung jawab absolut. Namun ada juga yang membedakannya. Perbedaannya adalah dalam tanggung jawab mutlak kesalahan bukanlah satu- satunya faktor untuk ditentukannya tanggungjawab, meskipun begitu, terdapat eksepsi dimana memungkinkan untuk dibebaskannya tanggungjawabnya, sebagai contoh, situasi darurat. Sedangkan, tanggungjawab absolut ialah pertanggungjawaban tanpa diadakannya eksepsi.14

  • 5.    Pertanggungjawaban beralaskan pembatasan “limitation of liability”. Dalam hal ini pelaku usaha bertanggung jawab secara terbatas untuk mengganti kerugian. Perlaku usaha sering kali mencantumkan klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang ia buat sehingga saat terjadi kerugian terhadap konsumen, pihak pelaku usaha hanya akan mengganti kerugian secara terbatas sesuai dalam perjanjian standar yang telah dibuatnya.

Pasal 1 angka 3 UUPK, pelaku usaha merupakan “setiap orang perseorangan maupun badan usaha, baik berupa badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum yang dibuat, melakukan, dan berkedudukan di dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri ataupun bersama dengan perjanjian mengadakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.” Dalam UUPK, kemungkinan dalam hal meminta suatu pertanggungjawaban terhadap para pihak kegiatan periklanan disebutkan pada Pasal 19 yang menyatakan bahwa:

  • (1)    “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”

  • (2)    “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau setara lainnya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.”

  • (3)    “Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.”

  • (4)    “Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.”

  • (5)    “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.”

Dapat disimpulkan dalam pasal ini jikalau konsumen memikul kerugian dalam hal kesehatan, keruskan barang, pencemaran, maupun kerugian finansial, pelaku usaha wajib mengganti kerugian yang dialami oleh konsumen tersebut baik berwujud santunan tunai, perawatan, barang baru dan lainnya setidak- tidaknya tujuh hari

semenjak dilakukannya transksi. Banyaknya ganti rugi yang dibebankan tidaklah menutup peluang terdapatnya gugatan pidana kepada pelaku usaha atas pembuktian terhadap terjadinya unsurr kesalahan. itu mengindikasikan bawasannya tanggungjawab pelaku usaha yang melaksanakan kesalahan dapat berupa tanggung jawab berdasar pidana maupun perdata. Sekalipun begitu, ketetapan tersebut tidaklah memainkan peran apabila pelaku usaha bisa membeberkan bukti jika kelalaian itu adalah kelalaian yang dilakukan oleh pihak konsumen. Dan untuk perusahaan periklanan atau media iklan mengenai pertanggung jawaban pelaku usaha terdapat di Pasal 20 dimana menyatakan bahwa “Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut”.

Dikarenakan terlalu banyaknya pihak yang terlibat dalam proses kegiatan periklanan tersebut. Tentu saja ada beberapa kendala-kendala yang akan timbul seperti permasalahan mengenai tumpang tindihnya kewenangan antar departemen/instansi Teknik terkait, mengenai kurangnya koordinasi antar Lembaga-lembaga yang turut ikut dalam kegiatan periklanan. Sehingga akan timbul dua problem. Yang pertama mengenai siapakah yang dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap pelaku usaha periklanan ini dan yang kedua yaitu mengenai seberapa besar tanggung jawab masing- masing pelaku usaha periklanan.

Perlindungan konsumen secara luas dalam bidang hukum, seseorang bertanggung jawab jika terjadi kerugian berdasarkan dua hal, yakni:

  • 1.    Berdasarkan Kewajiban Kontraktual Pelaku. Pada Bab I KUHPerdata Pasal 1338 adanya kebebasan untuk mengadakan perjanjian berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Dengan artian setiap orang bebas untuk melakukan perjanjian dengan siapapun, tentang apapun baik berupa tulisan maupun lisan selama tidak bertentangan dengan itikad baik. Dalam hal ini, apabila seseorang meraasa dirinya dirugikan, maka orang tersebut harus membuktikan memiliki hubungan kontrak dengan pelaku, serta dapat membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya terjadi karena kelalaian pihak lawan dalam suatu kontraknya. Dan sebagaimana pada Pasal 1601 KUHPer disebutkan “selain persetujuan-persetujuan untuk melakukan sementara jasa jasa yang diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, dan jika itu tidak ada oleh kebiasaan, maka adalah dua macam persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak yang lainnya dengan menerima upah persetujuan perburuhan dan pemborongan kerja. Yang berarti bahwa di dalam kontrak agenan bahwa antara kedua belaj pihak telah diatur mengenai hak, kewajiban serta pertanggungjawaban atas karya iklan yang telah mereka buat.

Pada pasal 1473 sampai dengan Pasal 1512 KUHPerdata hanya memberi perlindungan terhadap pembeli atau pihak yang terikat pada suatu perjanjian (1320 sampai dengan 1328) KUHPerdata. Pada awalnya korban dapat mengajukan ganti rugi apabila memiliki ikatan kontrak dengan pelaku. Namun pada kenyataannya, dijaman sekarang jarang konsumen berhubungan langsung dengan produsen. Sehingga tidak semua orang yang dirugikan memiliki ikatan kontrak dengan pelaku.

  • 2.    Berdasarkan Kewajiban Hukum Yang Berlaku Karena Adanya Perbuatan Melawan Hukum. Menurut Pasal 1365 KUHPerdata kewajiban utama dari konsumen adalah dapat memuktikan adanya perbuatan melawan hukum dan kelalaian yang dilakukan produsen. Kedua hal tersebut harus dipenuhi

agar pelaku usaha dapat mempertanggung jawabkan perbuatan melawan hukum yang telah dilakukannya. Namun banyak pelaku usaha yang sulit dimintai pertanggung jawaban karena sulit untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha.

Adapun aturan- aturan yang mengatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha terkait iklan yang menyesatkan diantarantaranya:

  • 1.    Dalam praktek periklanan, Pasal 45 PP Nomor 69 Tahun 1999 menyebutkan:

  • a.    “Setiap orang yang memproduksi dan atau memalsukan ke dalam wilayah Indonesia pangan untuk diperdagangkan, dilarang memuat pernyataan dan atau keterangan yang tidak benar dan atau yang dapat menyesatkan dalam iklan.”

  • b.    “Peneribit, pencetak, pemegang izin siaran radio atau televisi, agen dan atau medium yang dipergunakan untuk menyebarkan iklan, turut bertanggung jawab terhadap iklan yang tidak benar, kecuali yang bersangkutan telah mengambil yang diperlukan untuk meneliti kebenaran isi iklan yang bersangkutan.”

Dalam pasal ini sama sekali tidak adanya aturan terhadap tanggung jawab pengiklan maupun biro iklan. Padahal kedua pihak ini sangat memegang peran terhadap disiarkannya suatu iklan tersebut. Pada pasal ini hanya mengatur mengenai ikut sertanya pihan pencetak, penerbit, pemegang izin siaran radio atau televisi yang bertanggung jawab terhadap iklan yang tidak sesuai. Sepertinya, PP mengenai label dan pangan ingin menjangkau pihak media periklanan untuk turut memikul tanggung jawab bersama dengan perusahaan pengiklan atas informasi yang menyesatkan konsumen, kecuali pihak media periklanan telah melakukan pengecekan terhadap isi iklan tersebut. Atau setidaknya media iklan hanya akan menayangkan iklan yang telah lulus sensor dari LSF.

  • 2.    Pada UU No. 40 Tahun 1999 tentang PERS, terdapat pula larangan perusahaan iklan pada Pasal 13, sekalipun begitu, pertanggungjawaban iklan tidaklah dijabarkan. Pasal 12 UUPERS dijelaskan yang bertanggungjawab ialah penanggungjawab dimana termasuk bidang usaha serta redaksi.15

  • 3.    Dalam pasal 105 UU No 18 Tahun 2012 tentang pangan menyebutkan:

  • (1)    “Setiap orang yang menyatakan dalam iklan bahwa Pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan wajib bertanggung jawab atas kebenarannya.”

  • (2)    “Setiap Orang yang menyatakan dalam iklan bahwa Pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan klaim tertentu wajib bertanggung jawab atas kebenaran klaim tersebut.”

Dalam pasal ini belum jelas disebutkan siapa setiap orang yang dimaksud. Namun setiap orang dalam pasal ini dapat dipersamakan dengan pelaku usaha dan juga sebagai media penyiar iklan.

  • 4.    Sehubungan dengan praktek periklanan, pada Pasal 20 UUPK menekankan bahwa pelaku usaha bertanggungjawab berkenaan atas iklan dimana dihasilkannya dengan seluruh pengaruh yang terjadi pada iklan tersebut.

Pada bidang periklanan, dikenal tiga jenis pelaku usaha yang memegang fungsi dan perannya masing- masing. Yakni:

  • a.    Pengiklan, merupakan produsen, distributor, supplier. Pengiklan merupakan pihak yang berinisiatif 7mengiklankan suatu produknya.

  • b.    Biro iklan, merupakan perusahaan yang menjual jasa periklanan (pembuat iklan). Biasanya biro iklan juga merupakan pihak yang mempertemukan antara pengiklan dengan media pengiklanan.

  • c.    Media periklanan, merupakan media komunikasi yang dapat berupa media elektronik yakni televisi, radio, maupun non elektronik yang berupa surat kabar, majalah, pamphlet, spanduk dan lainnya.

Pertanggungjawaban dari masing- masing pelaku usaha diatas yakni:

  • a.    Pengiklan, bila iklan yang ditayangkan merupakan permintaan pengiklan merujuk pada bentuknya maupun substansinya, sehingga dapat dikatakan bahwa suatu biro periklanan dan media yang mengiklankan cenderung pasif karena diharuskannya pembuatan iklan cocok dengan kemauan pengiklan. Maka yang bertanggung jawab akan hal tersebut secara keseluruhan ialah pihak pengiklan.

  • b.    Biro iklan, apabila brio iklan yang mendesgin bentuk maupun isinya, maka pihak pengiklan dan media bersifat pasif. Sehingga yang bertanggungjawab ialah biro iklannya.

  • c.    Media periklanan, jikalau ketika mengiklankan pihak pengiklan dan biro iklan telah menetapkan bentuk maupun isinya, namun pada penayangannya terjadi perubahan yang dilakukan oleh media perikanan, maka yang berhak bertanggung jawab adalah pihak dari media periklanan tersebut

Namun dalam Pasal 20 UUPK ini belum jelas siapa pelaku usaha periklanan yang dimaksud. Menurut Ari Purwadi mengartikan bahwa pelaku usaha periklanan tersebut merupakan biro iklan (perusahaan periklanan). Apabila pelaku usaha periklanan diartikan hanya merupakan biro iklan, maka UU PK hanya mengatur tanggung jawab biro iklan saja. Sebaliknya, A.Z Nasution, apabila berpaku akan tata krama sekaligus tata cara pengiklanan yang dimaksud dengan pelaku usaha pengiklanan yakni pengiklan, biro iklan, dan media baik radio, televisi, surat kabar dan lainnya yang turut menyiarkan iklan tersebut. Dan ini mengartikan pelaku usaha periklanan lebih luas.

Dalam Pasal 6 UUPERS, ditetapkan akan kewajiban media iklan untuk melakukan mekanisme kontrol. Diberlakukannya Undang- Undang PERS terhadap perusahaan periklanan dikarenakan perusahaan periklanan termasuk dalam kategori perusahaan PERS, dimana tugas pembinaannya dilaksanakan oleh Depkominfo.

Lembaga penyiaran memiliki kewajiban melakukan pengawasan informasi iklan yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2002. Selain dalam UU tersebut, kewajiban melakukan pengawasan dan koreksi media iklan juga diatur dalam RUU Periklanan Bab IV perusahaan periklanan. Dalam ayat (1) ditekankan bahwa perusahaan periklanan wajib untuk memberi notifikasi pengiklan terhadap hal diluar dari etiket periklanan. kemudian, pada ayat (2) bahwa perusahaan periklanan yang sudah menyelenggarakan berkewajiban sesuai dengan aturan bisa membebaskan diri dari gugatan tuntutan.

Dengan merujuk ketentuan diatas, bagaimana jika pelaku usaha periklanan tidak tahu menau apapun akan hal pesanan iklan? Sesuai asas yang berlaku, ketika

tindakan curang pengiklan tidak diketahuinya oleh pelaku usaha tidaklah seharusnya mendapatkan sanksi berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat 1 uupk. Pihak yang diharuskan dimintai pertanggungjawaban terhadap kerugian konsumen yang menjadi korban iklan menyesatkan adalah pelaku usaha pemesan iklan (pengiklan).

Akan tetapi jika dianalisis dengan asas Lex Posterior Derogat Legi Priori maka yang bertanggung jawab ialah pihak media periklanan hal itu disebabkan karena UU pangan sebagai suatu aturan yang baru akan hal periklanan. Kalaupun begitu, peran dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Pengadilan yang menentukan seberapa besar tanggungjawab para pihak terhadap iklan yang menyesatkan dan dengan melihat sesuai dengan tanda tangan suatu perusahaan dimana terdapat dalam draft akhir iklan yang ditayangkan ke media massa. Pihak yang bertanda tangan itu yang dianggap sebagai pelaku usaha yang paling harus bertanggungjawab. Jika diklasifikasikan berdasarkan jenis-jenis pertanggung jawaban maka dapat diketahui bahwasannya seluruh aturan mengenai pertanggungjawaban diatas menganut jenis pertanggungjawaban berdasarkan unsur kesalahan yang dimana dari segala aturan tersebut dapat menyatakan bahwa siapapun yang melakukan kesalahan dan dapat dibuktikan kesalahan dilakukan olehnya, maka dialah yang bertanggung jawab. Demikian sebaliknya, ia tidak dapat dipertanggungjawabkan apabila kesalahan tidak ada pada dirinya. Walaupun demikian, semua tergantung pada penilaian hakim terhadap perkara yang dihadapkan kepadanya atas suatu perbuatan periklanan yang menyebabkan kerugian.

Merujuk dari penjelasan diatas, penulis cendrung menafsirkan bahwa pertanggung jawaban yang paling strategis berada di pihak pengiklan karena hasil penayangan suatu iklan harus dengan persetujuan pihak pengiklan. Sepanjang pihak biro iklan dan media periklanan telah bekerja sesuai dengan permintaan pengiklan seperti yang sudah disepakati. Selain itu, biro iklan dan media periklanan bisa terhindar untuk bertanggungjawab sepanjang dalam proses pembuatan sampai penayangan iklan tersebut ke media massa telah mengikuti prosedur untuk menyaring informasi yang diterima dari pihak pengiklan atau telah memiliki kartu lulus sensor yang didapat dari LSF.

Sanksi yang dapat diterapkan pada pelanggaran yang telah dilakukan oleh pelaku usaha tercantum dalam Bab XIII dari Pasal 60 ayat (2), Pasal 62 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 63 UUPK. Sanksi yang dapat diberikan antara lain:

  • 1.    Sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 60 Ayat 2 jo Pasal 60 Ayat 1 UUPK. Sanksi yang dijatuhkan berupa ganti rugi setinggi- tingginya Rp. 200.000.000,- terhadap pelaku usaha yang terbukti melakukan pelanggaran. Sanksi dijatuhkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen terhadap pelaku usaha .

  • 2.    Sanksi Pidana Pokok. Pelaku usaha dapat dikenakan sanksi pidana oleh tuntutan jaksa umum ataupun pengadilan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha.

  • 3.    Sanksi Pidana Tambahan. Diatur dalam Pasal 63 UUPK.

Atas tercantumnya aturan dan sanksi yang ditetapkan, diharapkan pelaku usaha di Indonesia lebih berhati- hati untuk memproduksikan barang yang akan dijual kepasaran sehingga masyarakat tidak ragu untuk membeli produk yang ditawarkan. Dan diharapkan pula para pelaku usaha jera serta memahami seberapa krusialnya penjagaan kualitas sebuah produk yang dihasilkan agar dapat meningkatkan kepercayaan pembeli dan tidak merugikan konsumen.

  • IV. Kesimpulan

Dari beberapa hal yang dijabarkan diatas, perihal mengenai perlindungan hukum terhadap iklan yang menyesatkan tersebut telah diatur dibeberapa hukum positif di Indonesia salah satunya yaitu KUHPerdata, UUPK, UU No 32 Tahun 2002 tentang penyiaran, UU No. 40 th 99 tentang Pers UU NO. 18 Tahun 2012 tentang pangan, PP No. 69 ttg label dan iklan pangan, dan dibeberapa peraturan lainnya yang telah disebutkan di hasil dan pembahasan diatas. Mengenai tanggung jawab pelaku usaha terhadap iklan yang menyesatkan dengan menggunakan asas Lex Posterior Derogat Legi Priori maka yang bertanggung jawab adalah pihak media periklanan hal itu disebabkan karena UU No 18 Tahun 2012 tentang pangan merupakan suatu aturan atau hukum yang baru mengenai periklanan. Namun pada akhirnya, peran dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Pengadilan yang menentukan seberapa besar tanggungjawab masing- masing pihak terhadap iklan yang menyesatkan dan dengan melihat sesuai dengan tanda tangan perusahaan mana yang ada dalam draft akhir iklan yang disiarkan ke media massa. Pihak yang bertanda tangan tersebut yang dianggap sebagai pelaku usaha yang paling harus bertanggungjawab.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amiruddin, Zainal Asikin, 2016, Pengantar Metode Penelitian Penelitian Hukum, Cet.

  • 9,    Rajawali Pers, Jakarta.

Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Jurnal Ilmiah

Dimyati, Hilda Hilmiah. "Perlindungan hukum bagi investor dalam pasar modal." Jurnal Cita Hukum 2, no. 2 (2014), 1-14.

Dyah, I. Gusti Ayu Indra Dewi, Pradnya Para, and Desak Putu Dewi Kasih. "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Terkait Iklan Yang Menyesatkan Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dan Kode Etik Periklanan Indonesia." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 5, no. 2 (2017): 1-5.

Fathanudien, Anthon. "Pertanggungjawaban Terhadap Konsumen Atas Iklan-Iklan Yang Menyesatkan Di Era Globalisasi." UNIFIKASI: Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 2 (2015),1-30.

Handono, Adi. "Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terhadap Informasi Iklan Barang dan Jasa yang Menyesatkan." (2011).

Laila, Khotbatul. "Perlindungan hukum terhadap konsumen atas iklan yang melanggar tata cara periklanan." Jurnal Cakrawala Hukum 8, no. 1 (2017): 64-74.

Mayadianti, I. Gusti Agung, and I. Ketut Wirawan. "Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Periklanan Yang Merugikan Pihak Konsumen." Jurnal Kertha Semaya Fakultas Hukum Universitas Udayana 6, no. 7 (2017).

Pradnyana, I. Made Budi, and I. Made Sarjana. "Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pengguna Rokok Elektrik Yang Mengandung Zat Adiktif." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 3: 48-59.

Purnamasari, I. Gusti Ayu Ratih, and I. Nyoman Darmadha. "Tanggungjawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Atas Tayangan Iklan Di Televisi Yang Menyesatkan." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 4, no. 2 (2016): 1-15.

Ruhaeni, Neni. "Perkembangan Prinsip Tanggung Jawab (Bases Of Liability) dalam Hukum Internasional dan Implikasinya terhadap Kegiatan Keruangangkasaan." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 21, no. 3 (2014), 335-355.

Santoso, Erica Delia, and Novia Larasati. "Benarkah Iklan Online Efektif untuk DIgunakan dalam Promosi Perusahaan." Jurnal Ilmiah Bisnis Dan Ekonomi Asia 13, no. 1 (2019): 1-9. Solihin, Olih. "Terpaan iklan mendorong gaya hidup konsumtif masyarakat urban." JIPSI-Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi UNIKOM 5, no. 2 (2016), 1-10.

Solihin, Olih. "Terpaan iklan mendorong gaya hidup konsumtif masyarakat urban." JIPSI-Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi UNIKOM 5, no. 2 (2016), 1-10.

Utomo, Ayub A. "TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN TENTANG PRODUK CACAT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN." LEX PRIVATUM 7, no. 6 (2020): 1-9.

Windari, Ratna Artha. "Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liability) Dalam Hukum Perlindungan Konsumen." Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) 1, no. 1 (2015),1-11.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Hukum Acara Pedrata dan Kitab Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang- Undang No 40 Tahun 1999 tentang PERS

Undang- Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

Undang- Undang No 18 Tahun 2012 tentang Pangan

Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan

Surat keputusan Menteri yang mengatur pengawasan kegiatan periklanan

Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999

Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.5 Tahun 2021, hlm.314-329