Upaya Penegak Hukum Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Elektronik
on
UPAYA PENEGAK HUKUM DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA
PENCEMARAN NAMA BAIK MELALUI MEDIA
ELEKTRONIK
Anak Agung Dwi Tresna Agustini, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
I Gusti Ngurah Parwata, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]
DOI : KW.2021.v10.i05.p06
ABSTRAK
Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui upaya penanggulangan aparat penegakan hukum di Indonesia mengenai tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik menurut Hukum Positif di Indonesia dan untuk mengetahui kaitan antara Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang No 19 Tahun 2016 Perubahan atas Undang-Undang No 11 Tahun 2008 dengan kebebasan menyampaikan pendapat berdasarkan Pasal 28 UUD 1945. Penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normative yang mengkaji norma pada Hukum Positif di Indonesia dengan norma yang berasal dari teori hukum. Penulisan dalam jurnal ini menggunakan pendekatan konseptual (conseptual approach) yang dimana pendekatan ini berpacu pada pandangan dari para ahli (doktrin). Hasil dari penulisan jurnal ini membuktikan bahwa dalam kasus pecemaran nama baik peranan aparat penegak hukum tentang teknologi dan informasi sangat diperlukan agar bisa membedakan antara pencemaran nama baik yang ditinjau berdasarkan Pasal 27 ayat 3 UU No 19 Tahun 2016 Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 dan kebebasan menyampaikan pendapat dalam Pasal 28 UUD 1945.
Kata Kunci: Pencemaran Nama Baik, Aparat Penegak Hukum, Teknologi Informasi
ABSTRACT
The purpose of this journal's research is to tackle the handling of law enforcement in Indonesia regarding criminal defamation through electronic media according to positive law in Indonesia and to be vigilant also between Article 27 paragraph 3 of Law No. 19 of 2016 Amendments to Law No. 11 of 2008 with the freedom to express opinions based on Article 28 of the 1945 Constitution. The writing of this journal uses the normative legal research method that examines the norms of positive law in Indonesia with norms derived from legal theory. Writing in this journal uses a conceptual approach (conceptual approach) where this approach is based on the views of experts (doctrine). The results of this journal prove that in cases of defamation of law enforcement officials regarding technology and information, it is very necessary to differentiate between defamation reviewed based on Article 27 paragraph 3 of Law No. 19 of 2016 Amendments to Law No. 1 1 of 2008 and freedom of expression. opinion in Article 28 of the 1945 Constitution.
Keywords: Defamation, Law Enforcement Officials, Information Technology
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat sehingga di era saat ini seseorang dengan mudahnya untuk mendapatkan pertukaran informasi baik dari media sosial maupun internet. Adanya perkembangan tersebut tentu memberikan dampak terhadap masyarakat karena teknologi dapat menimbulkan akibat pada nilai yang terjadi di tengah masyarakat. Berdasarkan pengaplikasiaan secara nyata, media sosial maupun internet digunakan oleh masyarakat untuk media belajar dan mencari informasi, tetapi seiring berjalannya waktu media sosial tidak hanya dipergunakan untuk mendapatkan informasi melainkan untuk membuat kejahatan di dunia maya salah satunya adalah melakukan penghinaan atau bisa yang disebut juga pencemaran nama baik melalui media elektronik. 1 Banyak orang yang merasa kemudahan dengan adanya teknologi namun tentu banyak pula masalah yang timbul jika tidak ada peraturan yang kuat mengenai teknologi. Berbagai masalah terlihat dengan meningkatnya tindak pidana dunia maya.2 Faktor tersebutlah yang mendasari pentingnya pemerintah untuk mendukung peningkatan teknologi melalui prasarana hukum dan aturannya sehingga penggunaan teknologi dapat dilakukan secara baik dengan memperhatikan norma yang ada di dalam masyarakat.
Pencemaran nama baik merupakan kata atau kalimat yang menyinggung sebuah individu ataupun kelompok dengan melakukakan suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan harga diri atau martabat seseorang direndahkan yang diketahui oleh orang banyak.3 Apabila dipahami lebih lanjut berdasarkan KUHP, kejahatan yang berupa tindak pidana pencemaran nama baik dapat disebut juga sebagai maksud dari penghinaan, dalam hal lain penghinaan itu harus dilakukan dengan menuding seseorang telah melakukan perbuatan yang dengan maksud tudingan tersebut diketahui banyak pihak.4
Bentuk objektif dan subjektif merupakan dua bentuk yang dapat dikatakan bahwa perkataan yang menuding suatu perbuatan hingga disebut menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Ditinjau dari bentuk subjektif, kapan orang dapat dianggap terserang kehormatannya dan nama baik bergantung pada subjektivitas korban dimana orang tersebut merasa kepribadiannya tercemar. Jika, ditinjau dari bentuk objektif berdasarkan pada waktu dan tempat untuk mengukur bahwa suatu tindakan tersebut termasuk perbuatan yang merujuk pada kehormatan nama baik atau tidak. Faktor inilah yang mengakibatkan norma yang ada dalam masyarakat menjadikan tolak ukur. Pentingnya ketelitian aparat penegak hukum dalam mengambil norma-norma tersebut agar bisa membedakan
antara kebebasan berpendapat berdasarkan Pasal 28 UUD 1945 dengan pencermaran atau penghinaan nama baik.5
Mengacu pada kasus tindak pidana berupa kejahatan dunia maya melalui media elektronik yang telah diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang-No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dalam pasal tersebut menekankan pada "muatan pencemaran nama baik".6 Adanya Undang-Undang ITE ini menjadi landasan agar dalam mempergunakan media elektronik khususnya sosial media dengan baik sebagaimana mestinya dan tidak melanggar hukum yang berlaku. Meskipun sedang berada di posisi dunia maya, etika dalam menggunakan media sosial selalu diperhatikan agar tidak menyimpang dan merugikan orang lain.7 Negara Indonesia merupakan negara pemakai internet dan media sosial tertinggi di dunia maka dari itu, diperlukan adanya sebuah kesadaran hukum agar terhindar dari kejahatan.
Salah satu peristiwa yang terjadi pada media elektronik seperti yang dialami oleh musisi Indonesia yaitu Ahmad Dhani yang mana aktor tersebut membuat konten berisikan video dengan mengeluarkan kata "idiot" kepada Golongan Penolak Deklarasi 2019 Ganti Presiden yang dianggap telah menghina nama baik terdakwa peserta demo yang menginap. Musisi Ahmad Dhani dilaporkan oleh Koalisi Bela NKRI.8 Berdasarkan perbuatan musisi Indonesia tersebut Jaksa Penuntut Umum menjerat=Pasal 45 ayat 3 jo=Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE. Musisi Ahmad Dhani dinyatakan bersalah karena adanya unsur yang memenuhi "dengan sengaja tanpa hak mendistribusikan" dan menyebarkan akses informasi elektronik yang menimbulkan pencemaran nama baik. 9
Berdasarkan kasus tersebut pentingnya aparat penegakan hukum untuk menelaah lebih dalam mengenai unsur yang dapat dikatakan sebagai perbuatan pencemaran nama baik atau tidak di dalam peraturan perundang-undangan yang ada.
-
1. Bagaimanakah upaya aparat penegak hukum di Indonesia dalam menanggulangi tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik ditinjau dalam Hukum Positif di Indonesia?
-
2. Bagaimana kaitan antara Pasal-27 ayat-3 UU No 19 Tahun 2016 dengan kebebasan menyampaikan pendapat berdasarkan-Pasal 28 UUD 1945?
Tujuan dibuatnya jurnal ini yaitu untuk dapat mengetahui upaya yang dilakukan oleh aparat penegakan hukum di Indonesia dalam penanggulangan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik yang ditinjau
dalam Hukum Positif di Indonesia. Selain itu, agar mengetahui juga keterkaitan antara Pasal 27 ayat 3 UU No 19 Tahun 2016 dengan kebebasan berpendapat berdasarkan Pasal 28UUD 1945.
II.Metode Penelitian
Jurnal ini menggunakan metode-hukum penelitian-normatif. Metode penelitian normatif adalah metode yang dirumuskan sama halnya seperti yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau tentang hal yang dituangkan dalam norma berupa cerminan perilaku manusia yang dianggap memadai. Penelitian hukum normatif dalam penulisan jurnal ini mengacu pada asas hukum dalam mengkaji norma pada Hukum Positif di Indonesia dengan norma yang berasal dari teori hukum. Penulisan dalam jurnal ini menggunakan pendekatan konseptual (conseptual approach) yang dimana pendekatan ini berpacu pada pandangan dari para ahli (doktrin) dalam ilmu hukum. Pendekatan ini memberikan suatu agrumentasi hukum yang memberikan kejelasan pada isu hukum yang berupa pengertian, ide ataupun asas dalam hukum.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Upaya Aparat Penegak Hukum Di Indonesia Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Elektronik Ditinjau Dalam Hukum Positif di Indonesia
-
Penegakan hukum merupakan aktivitas untuk melakukan dan mengimplementasikan hukum apabila terjadi suatu penyimpangan dan pelanggaran dalam masyarakat baik melalui langkah pengadilan ataupun mediasi dan langkah lainnya. Komponen penegak hukum merupakan salah satu penyebab banyaknya kejahatan di dunia maya. Perkara tersebut didasari karena kurangnya aparat penegak hukum yang mengetahui tentang persoalan teknologi informasi khususnya media sosial sehingga pada saat seseorang dinyatakan sebagai tersangka, aparat penegak hukum sulit menemukan alat bukti yang dapat dipakai menjerat tersangka.10
Penguasaan penegak hukum di dalam aspek teknologi informasi sangat sangat dibutuhkan dalam menangani kasus kejahatan di dunia maya. Sistem peradilan pidana yang terdiri atas kepolisian, kejaksaan dan pengadilan yang mengatasi tindak pidana kehatan di media sosial harus mempuyai keahlian khusus di bidang itu dan tidak diperbolehkan sama terhadap penegak hukum lainnya yang mengatasi tindak pidana biasa. Perilaku masyarakat selalu melibatkan hukum didalamnya dan tentu membutuhkan penegak hukum untuk melakukan batasan-batasan perilaku tersebut. Dimana diketahui bahwa hukum tidak bisa hidup tanpa adanya subjek hukum serta penegak hukum yang menjebataninya.
Upaya aparat penegak hukum dalam penanggulangan tindak pidana pencemaran nama baik ditinjau dari Hukum Positif di Indonesia dapat bersifat preventif dan represif. Upaya penegakan hukum preventif yaitu usaha mencegah kejahatan yang merupakan bagian dari politik kriminal yang merupakan suatu
pencegahan kejahatan, dimana dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi. Upaya penegakan hukum preventif dan represif yang dilakukan dapat berupa:
-
1. Non Penal
Upaya non-penal merupakan suatu pencegahan kejahatan, dimana dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi, sehingga upaya ini lebih dikenal dengan upaya yang sifatnya preventif atau pencegahan. Hal ini seharusnya harus lebih diutamakan daripada upaya yang sifatnya represif. Diadakan untuk mencegah agar tidak dilakukan pelanggaran hukum oleh masyarakat dan tugas ini pada umumnya diberikan pada badan eksekutif dan kepolisian. 2. Penal
Dilakukan apabila usaha preventif telah dilakukan tetapi masih juga terdapat pelanggaran hukum. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan adalah secara represif oleh aparat penega hukum yang diberi tugas yustisionil. Penegakan hukum represif pada tingkat operasional didukung dan melalui berbagai lembaga yang secara organisatoris terpisah satu dengan yang lainnya, namun tetap berada dalam kerangka penegakan hukum.11
Aspek sistem peradilan pidana yang terdiri dari aparat penegak hukum sangat besar eksistensinya untuk menentukan norma hukum yang hidup dalam masyarakat.12 Keberadaan norma tersebutlah hukum dapat ditegakkan di kalangan masyarakat dengan memberi keadilan pada masyarakat yang merasa dirugikan. Di samping itu, kesepahaman antara aparat penegak hukum yang satu dengan lainnya sangat dibutuhkan guna menyelesaikan kasus tindak pidana pencemaran nama baik tersebut karena dalam penindakan kejahatan media elektronik yang disebabkan oleh terbatasnya komptensi teknis mengenai informasi teknologi dan perlengkapan yang diperlukan dalam melaksanakan tracking aparat penegak hukum tidak dapat berdiri sendiri.13
Friedman mengatakan bahwa ada 3 unsur yang mengisyaratkan proses penegakan hukum yang meliputi substansi, struktural dan kultur (budaya). 14 Komponen substansi mewajibkan bahwa aturan harus jelas dan tidak mendatangkan multitafsir. Jadi, dalam pembuatan UU wajib memperhatikan 3 aspek yaitu filosofis, yuridis dan sosiologis. Substansi disini berarti sebuah integritas realita dalam kehidupan masyarakat yang bisa hidup di tengah-tengah masyarakat dapat disebut juga sebagai living law. 15 Struktural yang dimaksud disini yaitu berupa lembaga-lembaga yang berwenang menegakan hukum, seperti
kejaksaan, kepolisian dan pengadilan. Komponen struktural sangat ditentukan oleh aparat penegak hukumnya yang langsung berhadapan dengan pelaksanaan dan cara mempertahankan hukum dan jika Undang-Undang dapat memaksa berlakunya hukum. Penegak hukum harus bisa memahami aturan-aturan hukum yang ada baik itu berupa aturan tidak tertulis maupun aturan yang tertulis. Kekuatan sosial yang memastikan bagaimana cara hukum tersebut dapat digunakan, dijauhi ataupun disalahgunakan merupakan kultural hukum.
Ditemukan beberapa faktor yang memengaruhi penegakan hukum, yaitu:
-
1. Faktor Hukum
Implementasi penerapan hukum seringkali terjadi penyimpangan diantara kepastian dan keadilan, yang dimana hal tersebut dikarenakan oleh konsep keadilan yang merupakan suatu rumusan yang memiliki sifat nyata sedangkan kepastian yaitu suatu pedoman yang telahdiatur secara normatif. Suatu perbuatan yang didalamnya tidak sepenuhnya didasarkan oleh hukum dapat dibenarkan jika kebijakan itu tidak melawan dengan hukum. Pengaturan hukum sesungguhnya segala hal yang menyangkut keseimbangan antara fakta nilai dan pola perilaku guna bertujuan untuk mencapai ketentraman.
-
2. Faktor Penegakan Hukum
Mental dan kepribadian aparat penegak hukum sangat memiliki peran penting agar tidak timbulnya permasalahan dalam menyelesaikan suatu kasus. Jadi, mental dan kepribadian penegak hukum merupakan suatu kunci keberhasilan fungsi penegak hukum.
-
3. Faktor Sarana dan Fasilitas Pendukung
Salah satu contoh yang mencakup dalam sarana ini adalah pendidikan. Contohnya saja pendidikan yang diterima pihak kepolisian cenderung bersifat konvensional, sehingga tentu banyak hambatan yang dilalui pihak kepolisian yang diantaranya ilmu mengenai kejahatan dunia maya. Di dalam tindak pidana khusus wewenang yang tersebut masih dilimpahkan kepada pihak kejasaan karena pihak kepolisan dianggap belum mampu walaupun telah disadari bahwa wewenang seorang polisi sangat banyak dan luas.
-
4. Faktor Masyarakat
Tujuan dan maksud daripada aparat penegak hukum yang asalnya bermula masyarakat yaitu untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat. Tiap kelompok maupun individu pasti-memiliki-kesadaran hukum, namun permasalahan yang banyak terjadi yaitu kurangnya kedisiplinan yang ada dalam masyarakat untuk mematuhi aturan hukum. Jenjangan kedisiplinan yang hidup dalam masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu fungsi hukum.
-
5. Faktor Kebudayaan
Konsep kebudayaan dalam penegakan hukum mencakup aturan untuk masyarakat agar dapat memahami bagaimana seharusnya sebagai masyarakat yang baik untuk bertindak serta berbuat dan menentukan perilaku yang seharusnya dilakukan jika berkomunikasi dengan orag lain. Kebudayaan merupakan salah satu faktor penting karena mencakup pola perilaku yang
menetapkan peraturan mengenai perbuatan apa yang semestinya dilakukan dan perbuatan apa yang harusnya dijauhi yang sifatnya melawan hukum.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai aparat penegak hukum, diketahui bahwa perbuatan yang dilarang pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE yaitu ada unsur-unsur di dalamnya yang dapat dijabarkan dibawah ini:
-
1. Unsur Setiap Orang
Adapun pengertian dari setiap orang disini yaitu mengindikasikan terhadap siapa orang harus bertanggungjawab atas tindakan yang didakwakan atau paling tidak memahami siapa orang yang harus dijadikan tersangka. Kata setiap orang dapat juga berarti barang siapa, dimana dalam pengadilan yang bersangkutan telah memberikan identitas dan semua isi surat dakwaan selanjutnya terdakwa menjawab pertanyaan yang diajukan Majelis Hakim maupun oleh Jaksa dengan lancar, maka terdakwa mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya sehingga alasan penghapus pidana berupa alasan pemaaf dan pembenar tidak ada. Menurut hukum unsur tersebut telah terbukti secara sah dan dapat meyakinkan.
-
2. Unsur Dengan Sengaja Tanpa Hak
Tanpa hak yang berarti melawan hukum untuk membuktikan sifat tidak sahnya suatu maksud. Untuk menunjukkan terbuktinya unsur ini, sebaiknya akan lebih efektif jika dapat dibuktikan terlebih dahulu dengan mengungkap fakta di pengadilan. Dengan fakta yang berupa apapun seperti tulisan maupun foto yang merugikan orang lain dan diketahui oleh banyak orang bisa dikatakan unsur ini sah.
-
3. Unsur mentransmisikan atau mendistribusikan dapat diaksesnya Informasi Elektronik yang berisi muatan pencemaran nama baik atau penghinaan
Unsur ini memiliki preferensi yang artinya jika suatu perbuatan telah dilakukan oleh tersangka yang memenuhi satu bagian yang diatur dalam unsur ini maka terwujud semua unsur yang dimaksud. Dimana tersangka melihat adanya niat untuk melakukan suatu perbuatannya untuk membuat efek jera pada saksi.
Adanya pembuktian kasus pencemaran nama baik, konten maupun konteks menjadi hal yang sangat penting untuk dipahami. Hanya individu ataupun kelompok yang merasa dirugikan merasa hal tersebut termasuk kedalam kejahatan dunia maya . Dimana halnya, secara subyektif hanya korban yang merasa dirugikan tersebut dapat menilai tentang konten bagian mana yang termasuk melanggar UU ITE (Informasi dan Teknologi Elektronik). Lembaga hukum memberikan perlindungan terhadap kehormatan seseorang dengan memberikan sanksi kepada siapapun yang telah menghina ataupun mencemarkan nama baik seseorang. Berdasarkan konteks obyektif dimana pemahaman ini lebih menekankan pada gambaran terhadap suasana perasaan yang timbul pada korban dan tersangka, apa tujuan dan maksud dari informasi yang telah disebarluaskan sehinga diketahui banyak orang dan kepentingan lainnya yang ada dalam konteks pendiseminasian konten.
Ditinjau berdasarkan Pasal 310 KUHP dengan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang ITE dapat dikatakan konsep penyebarluasannya tidak sama karena adanya unsur yang berbunyi "mendistribusikan atau mentransmisikan dapat
diaksesnya Informasi Elektronik yang berisi muatan penghinaan atau pencemaran nama baik" dan didalamnya berarti konsep Pasal 27 ayat 3 yang mengartikan bahwa media elektronik adalah batasan dari penyebaran.
-
3.2 Kaitan-Pasal 27 Ayat 3 UU No 19 Tahun 2016 Dengan Kebebasan
Menyampaikan Pendapat Berdasarkan Pasal 28 UUD 1945
Kebebasan menyampaikan pendapat yaitu hak yang dimiliki setiap orang yang secara bebas tanpa adanya pembatasan untuk menyampaikan ide-idenya. Batasan yang dimaksud agar dalam kebebasan tersebut tidak ada kata ataupun kalimat yang menebarkan ujaran kebencian ataupun menyerang kehormatan seseorang. Setiap orang berhak mendapatkan kebebasan menyampaikan pendapat yang mana hal ini tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945, dimana pasal ini sangat menjamin hak warga negaranya untuk mendapatkan kebebasan berargumen. Teknologi Informasi internet di era sekarang sangat memiki peran penting dalam kehidpan bermasyarakat karena dengan internet seseorang bisa berkomunikasi dan melakukan pekerjaan maupun mencari informasi. Selain memiliki sisi positif, internet juga bisa menimbulkan sisi negatif yaitu adanya penyimpangan yang dilakukan oleh orang dengan menyampaikan informasi yang tidak benar ataupun menghina kehormatan seseorang melalui media sosial.
Adapun permasalahan-permasalahan tersebut lantas dikeluarkannya Undang-Undang tentang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. UU itulah diharapkan mampu menyelesaikan masalah akibat dari informasi yang keliru sehingga dapat merugikan masyarakat. Penegak hukum yang berwenang dalam permaslahan teknologi informasi sangat terbantu dengan adanya UU ITE dalam menjerat tersangka kejahatan dunia maya. Namun, dalam=pasal tersebut banyak menimbulkan kontreversial dimana dalam dalam=Pasal 28 UUD 1945 telah menjamin kebebasan berpendapat tiap warga negaranya. Harus ada langkah yang diambil untuk memastikan bahwa kebebasan tersebut tidak merugikan hak dan kewajiban orang lain dalam artian kebebasan menyampaikan pendapat tentu ada batasannya.
Hak konstitusional secara eksplisit tiap warga negara untuk menyampaikan pendapat berdasarkan=Pasal 28 UUD 1945 harus dimaknai dengan benar dimana dalam hal ini kebebasan yang dimaksud harus berpedoman pada Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Itulah dasar yang perlu ditekankan antara kebebasan menyampaikan pendapat dengan hak warga negara. Setiap orang juga harus tunduk terhadap pembatasan yang telah dibuat oleh peraturang yang dibuat lembaga ataupun aturan aturan lainnya dalam menjalankan hak serta kebebasannya.
Pengaturan mengenai kebebasan berpendapat secara rinci belum diatur dalam UU ITE, sebab peraturan yang berhubungan dengan hal tersebut hanya terdapat pada=Pasal 27 ayat (3) yang menyatakan sebuah pantangan untuk melakukan penghinaan nama baik atau ujaran kebencian. Pengaturan dalam pasal itulah yang memperoleh tantangan dari banyak pihak karena pasal tersebut telah dianggap mengekang suatu kebebasan yang menjadi=hak daripada subjek hukum sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya dilindungi. Pasal ini mengandung unsur "setiap orang" sebagai contoh kasus Agus Salim pada tahun 2017 mengenai kemarahan
kecil Agus Salim yang meminta hutang kepada kerabatnya Suprianto dituliskan dalam sebuah jalur media sosial yaitu pesan di Facebook yang ternyata sampai dilaporkannya Agus Salimoleh Penasihat Hukum Suprianto. Hal ini menuai multitafsir dimana dengan gampangnya penyidik menetapkan bahwa perbuatan yang dilakukan Agus Salim merupakan tindak pidana sehingga Agus Salim dinuai sebagai tersangka. Disini dikatakan bahwa Penasihat Hukum Suprianto yang telah melaporkan Agus Salim padahal sebenarnya Suprianto telah "cakap hukum", namun dengan adanya pernyataan tambahan kalimat "setiap orang dan tanpa hak", kalimat tanpa hak disinilah yang mendapat kritikan signifikan dimana diberikannya hak oleh Suprianto untuk penasihat hukumnya melaporkan Agus Salim, maka penasihat hukumnya pun berhak melaporkan. Selain unsur tersebut, adapula unsur mendistibususikan atau mentransmisikan dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik, padahal sudah tertera jelas pesan yang dikirim oleh Agus Salim ditujukan via personal melalui pesan di Facebook yang berarti tidak adanya unsur publik karena pesan tersebut hanya dapat dilihat oleh kedua belah pihak.
Sesuai dengan kasus diatas dimana Pasal 27 ayat 3 dianggap oleh banyak pihak belum jelas yang nyatanya kasus tersebut tidak terpenuhinya unsur sebagaimana dituangkan dalam=Pasal-27 ayat=3 UU ITE tetapi masih bisa dilaporkan kepada pihak berwajib. Jika dikaitkan dalam=UUD=1945 khususnya pada Pasal 28e ayat 3 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas mengeluarkan pendapat, dimana dalam pasal tersebut mengandung sebuah makna bahwa siapapun memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat dalam pikirannya dengan bebas. Sekalipun dengan bebas tetapi ada batasannya yang tercantum dalam Pasal 28J Ayat 2 UUD 1945 yang dimana semata-mata bahwa tiap orang wajib tunduk terhadap batasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
Pada UU ITE saat ini yang telah di revisi terdapat beberapa poin penting yang membedakan dari UU sebelumnya yaitu: Terdapat perubahan dengan ditambahkannya penjelasan tentang istilah mendistribusikan pada Pasal 27 ayat (3), dapat diaksesnya informasi elektronik dan mentransmisian serta ditegaskan bahwa aturan tersebut merupakan delik aduan bukan delik umum dan diperjelas dengan adanya unsur pidana pada ketentuan yang mengacu pada pencemaran nama baik yang diatur dalam KUHP. Melalui hasil revisi tersebut, pemerintah diberikan wewenang untuk memutus akses informasi yang telah dianggap melanggar hukum. 16
Sistem norma hukum Indonesia membentuk bangunan piramida, norma hukum yang berlaku berada dalam suatu sistem yang berjenjang-jenjang, berlapis-lapis, sekaligus berkelompok-kelompok. Dalam arti bahwa norma hukum tersebut berlaku, bersumber dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi, dan norma hukum yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi pula, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara Indonesia, yaitu: Pancasila (cita hukum rakyat Indonesia, dasar dan sumber bagi semua norma hukum di bawahnya).
Bangunan piramida hukum ini untuk menentukan derajat norma masingmasing susunan norma hukum yang lebih tinggi dan norma yang lebih rendah. Konsekuensi bangunan piramida hukum adalah jika terdapat norma hukum/ peraturan yang saling bertentangan (pertentangan norma), maka yang dinyatakan berlaku adalah yang derajatnya lebih tinggi. Dalam konteks ini berlaku asas hukum lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang derajatnya lebih tinggi mengesampingkan hukum yang derajatnya lebih rendah).
Konsekuensi bangunan piramida hukum tersebut adalah adanya harmonisasi antar berbagai lapisan hukum (misalnya setingkat Undang-Undang), dalam arti bahwa antar norma hukum dalam lapisan/ jenjang yang sama tidak boleh saling bertentangan. Untuk menilai pertentangan norma hukum setiap negara memiliki skema yang berbeda. Setelah amandemen UUD 1945, di Indonesia kewenangan pengujian norma dipusatkan pada kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Agung (menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang) dan Mahkamah Konstitusi (menguji Undang-Undang terhadap UUD). Pengujian norma hukum/Undang-Undang terhadap UUD oleh Mahkamah Konstitusi merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas Undang-Undang (constitutionality of law), yang mana konsekuensinya harus ada mekanisme yang dapat menjamin bahwa Undang-Undang yang dibuat oleh pembentuk UndangUndang itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dan analisis diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam menangani kasus pencemaran nama baik melalui media sosial diperlukan adanya penguasaan informasi dan teknologi informasi daripada aparat penegak hukum agar tidak terjadi kekeliruan dalam mengatasi kasus tersebut. Selain itu, dibutuhkan kesepahaman antara penegak hukum agar proses di pengadilan ataupun proses diluar pengadilan bisa berjalan dengan baik. Kesepahaman yang dimaksud tersebut agar para penegak hukum bisa sejalan membedakan yang mana termasuk dalam kejahatan pencemaran nama baik dan kebebasan menyampaikan pendapat yang ada dalam Pasal 28 UUD 1945. Pada pasal tersebut dinyatakan bahwa setiap orang bebas dalam menyampaikan pendapatnya, dan dilihat tidak ada batasan dalam menyampaikan pendapat di dalam Pasal 28 UUD 1945 tersebut. Jadi, Pasal 27 ayat 3 UU No 19 Tahun 2016 Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 harus dijadikan batasan setiap orang dalam menyampaikan asumsi maupun pikiran agar tidak merugikan individu maupun banyak orang.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adami Chazawi, Ardi Ferdian. "Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik." (2011).
Arief, Barda Nawawi. "Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana." Citra Aditya Bakti, 1998.
Jurnal Ilmiah
Adhi, I. Putu Krisna, And Made Nurmawati. "Legalitas Personal Chat Pada Social Media Sebagai Alat Bukti Di Pengadilan." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum.
Ali, Mahrus. "Pencemaran Nama Baik Melalui Sarana Informasi dan Transaksi Elektronik (Kajian Putusan MK No. 2/PUU-VII/2009)." Jurnal Konstitusi 7, no. 6 (2016)
Anggara, Bayu, And I. Nyoman Darmadha. "Penegakan Hukum Kejahatan Dunia Maya (Cybercrime) Yang Dilakukan Anak Di Bawah Umur." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum.
Dhamayanti, Ni Gusti Ayu Agung Novita, and Anak Agung Ngurah Wirasila. "Perlindungan Hukum Terhadap Identitas Anak Sebagai Korban Tindak Pidana di Media Elektronik." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum 8, no. 12 (2019).
Lompoliuw, Brian Obrien Stanley. "Analisis Penegakan Hukum Pidana Tentang Penghinaan Di Media Sosial Ditinjau Dari Undang-Undang Ite Dan Kuhp." Lex Crimen 8, No. 12 (2020).
Sistawan, Agung Yundi Bahuda. "Kebebasan Berekspresi Menurut Pasal 27 Ayat (3) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik." JUSTITIA JURNAL HUKUM 3, no. 1 (2019).
Sonbai, Alexander Imanuel Korassa, And I. Ketut Keneng. "Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial Dalam Hukum Pidana Indonesia." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum.
Suantra, I. Nengah, and Made Nurmawati. "Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran atas Ketentuan Perizinan Toko Swalayan di Wilayah Provinsi Bali." Jurnal Magister Hukum Udayana(Udayana Master Law Journal) 8, no. 2 (2019)
Sutrisno, Bambang, And Fx Bhirawa Braja Paksa. "Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Menurut Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Uu Ite)." Mizan: Jurnal Ilmu Hukum 8, No. 1 (2019)
Suparman, H. Asep. "Penegakan Hukum terhadap penyelenggaraan pelayanan publik." Jurnal Wawasan Yuridika 31, no. 2 (2016).
Panji Jayawisastra, Komang; Sugama, I Dewa Gede Dana." Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap Ditinjau Dari Sistem Peradilan Pidana." Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum No.9 (2020)
Wiraprastya, Shah Rangga, and Made Nurmawati. "Tinjauan Yuridis Mengenai Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum (2016).
Website
URL:
https://www.kompasiana.com/andinifebriyanti/5e7741b4097f36226e1e15c3/pencem aran-nama-baik-yang-sering-terjadi-di-sosial-media. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2020
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesa Tahun 1945
Undang-Undang No 19 Tahun 2016 Perubahan atas Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No.5 Tahun 2021, hlm.352-362
Discussion and feedback