SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU GRATIFIKASI SEKS
on
SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU GRATIFIKASI SEKS
Oleh :
Amirotul Azizah
I Kt. Sandhi Sudarsana Hukum Pidana, Universitas Udayana
Abstract :
This paper entitled “Criminal Sanctions Against Sex Gratification Actors”. This paper uses the normative analytical method. Refers to the some cases of sexual gratification, is wasn’t easy to charge the doers with criminal sanction. That can be drawn from the issues, how the regulation of sex gratification in Indonesian criminal law, which is seen from the existing regulations there are still vacuum norm, and explains the criminal sanction that is applied to the doers of sex gratification that will provide a deterrent effect against doers. Sex gratification regulation perceived need specifically organize thoroughly and detailed as the existing regulations. Doers of sex gratification giver and receiver can be charged or indicted with the provisions of Act no. 20 Year 2001 on Eradication of Corruption, but the Act contains a provision not sanction against female doers of provider. Regulations with criminal sanction can be severe such as efforts to prevent of sex gratification, so the deterrent effect should be given to the doers of gratification in order not to repeat the offense again and prevent, which in this case in the form of criminal sanctions. The purpose of this writing is to analyze the regulation criminal law and sanction order to prevent the occurrence of Gratification Sex and contribute as well as discourse for legislators to establish a specifically for the regulation of Sex Gratification.
Keywords: Sex Gratification, Regulation, Criminal Sanction, Criminal Law.
Abstrak :
Makalah ini berjudul "Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Gratifikasi Seks". Metode penelitian yang digunakan dalam makalah ini adalah analisis normatif. Mengacu pada persoalan Gratifikasi Seks yang sebagian besar masih sulit dijerat dengan hukum pidana. Dari hal tersebut dapat ditarik permasalahan yang dibahas dalam makalah ini, yakni bagaimana pengaturan Gratifikasi Seks dalam hukum pidana di Indonesia, yang dilihat dari peraturan yang ada saat ini masih terdapat kekosongan norma. Di samping itu, makalah ini juga akan menjelaskan sanksi pidana yang dapat diberikan kepada pelaku Gratifikasi Seks yang akan memberikan efek jera terhadap pelaku. Gratifikasi Seks perlu dibuatkan aturan secara khusus karena peraturan yang ada belum memadai. Pelaku pemberi maupun penerima Gratifikasi Seks dapat dijerat atau didakwa dengan ketentuan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi UU tersebut belum memuat ketentuan sanksi terhadap pelaku perempuan pemberi layanannya. Peraturan dengan sanksi yang berat seperti pidana dapat dijadikan upaya mencegah dan dapat menanggulangi Gratifikasi Seks. Penulisan makalah ini bertujuan untuk menganalisis pengaturan hukum mengenai Gratifikasi Seks beserta sanksi pidananya demi mencegah terjadinya Gratifikasi Seks dan memberikan kontribusi serta
wacana bagi legislator untuk membentuk suatu peraturan khusus mengatur mengenai Gratifikasi Seks.
Kata Kunci : Gratifikasi Seks, Peraturan, Sanksi Pidana, Hukum Pidana.
-
I. Pendahuluan
-
A. Latar Belakang
Gratifikasi diartikan sebagai pemberian hadiah uang kepada pegawai di luar gaji yang ditentukan. Istilah gratifikasi sendiri sesungguhnya berasal dari Bahasa Belanda, gratifikatie yang kemudian diadopsi menjadi kata dalam Bahasa Inggris yang berarti hadiah. Istilah gratifikasi yang dalam bahasa Inggris disebut gratification adalah istilah yang muncul di negara-negara Anglo Saxon dan Eropa kontinental. Istilah gratification muncul karena sulitnya pembuktian mengenai suap (bribery),” sebelumnya gratification (gratifikasi) lebih banyak dikenal sebagai gift atau pemberian (dalam Bahasa Indonesia).1
Gratifikasi sering diidentikkan dengan bentuk uang. Namun, saat ini terdapat praktek Gratifikasi Seks dimana pelakunya berasal dari kalangan para pejabat atau penyelenggara negara di negeri ini yang pada akhir-akhir ini sedang hangat-hangatnya diperbincangkan.2 Ketentuan mengenai Gratifikasi Seks yang ada saat ini masih terjadi kekosongan norma, karena belum adanya pengaturan mengenai Gratifikasi Seks diatur secara jelas disertai sanksi yang berat serta belum adanya ketentuan sanksi bagi pelaku perempuan pemberi layanannya. Hal ini menjadi beberapa penyebab praktek Gratifikasi Seks tersebut masih merajalela dan sulit untuk ditindak lanjuti. Sehingga, banyak pelaku Gratifikasi Seks lepas dari jeratan hukum dan cenderung untuk mengulangi perbuatan tersebut.
Keadaan inilah yang menjadi latar belakang dari penulisan ini. Sebagaimana diketahui praktek gratifikasi tersebut bertentangan dengan nilai-nilai di masyarakat serta merugikan negara karena adanya hal-hal yang melatarbelakangi pemberian gratifikasi. Sehingga diperlukannya sanksi pidana guna menanggulangi fenomena tersebut.
-
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini, untuk menganalisis pengaturan hukum mengenai Gratifikasi Seks beserta sanksi pidananya demi mencegah terjadinya Gratifikasi Seks.
Selain itu diharapkan dapat memberikan kontribusi serta wacana bagi legislator untuk membentuk suatu peraturan khusus mengatur mengenai Gratifikasi Seks dan mempergunakan ketentuan hukum dalam penyelesaian suatu perkara.
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis penelitian hukum normatif, yang beranjak dari adanya kekosongan norma mengenai Gratifikasi Seks karena belum adanya peraturan yang mengatur secara jelas dan terperinci.. Pemecahan masalah dalam penulisan ini didasarkan pada literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
Menurut Prof. Satochid Kartanegara, SH., secara sederhana dapat dikemukakan bahwa hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku.3 Selain tindak pidana umum, dikenal pula tindak pidana khusus yang diatur diluar KUHP, misalnya tindak pidana korupsi, tindak pidana ekonomi, dan lain-lain.4
Pengaturan mengenai Gratifikasi di Indonesia diatur dalam undang-undang tersendiri di luar KUHP, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yakni pada Pasal 12 B Ayat (1). Di dalam Undang-Undang tersebut tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa gratifikasi dapat dilakukan dengan pemberian layanan seksual dan menyebut Gratifikasi Seks sebagai salah satu bentuk gratifikasi yang dapat dituntut secara hukum. Sehingga, Undang-Undang Tipikor yang berlaku saat ini dirasa kurang memadai karena belum mampu mengatur secara terperinci seluruh aspek Gratifikasi Seks, yang dalam hal ini masih terjadi adanya kekosongan norma.
Sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Indonesia adalah Negara hukum, dimana penting adanya suatu aturan sebagai alat dari penegakan hukum di Indonesia. Pengaturan mengenai Gratifikasi Seks memang belum ada yang mengaturnya secara khusus dalam suatu peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Namun bila lebih dikaji sebenarnya sangat perlu adanya aturan hukum yang lebih mengkhusus terhadap tindak pidana Gratifikasi Seks. Mengenai kekosongan norma yang terjadi terhadap tindak pidana Gratifikasi Seks sangat diperlukannya suatu aturan khusus yang mampu mengatur secara menyeluruh dan terperinci serta mampu mengatur seluruh aspek dalam Gratifikasi Seks.
Menurut Simons yang dikutip dari buku E. Utrecht merumuskan strafbaar feit atau delik sebagai “Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.”5 Gratifikasi dalam hal ini merupakan tindak pidana. Gratifikasi seperti konstruksi dalam Pasal 12 B dan 12 C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) baru dianggap sebagai tindak pidana, dalam hal ini dipersamakan dengan suap, apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Tegasnya, jika gratifikasi tidak berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, gratifikasi tersebut adalah perbuatan yang sah menurut hukum.
Pelaku Tindak Pidana Korupsi “Gratifikasi Seks”, baik pelaku pemberi maupun penerima Gratifikasi Seks dapat dijerat atau didakwa dengan ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yakni denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).6
Undang-undang Tipikor mengatur tentang ketentuan sanksi terhadap pelaku pemberi dan penerima gratifikasi, akan tetapi belum memuat ketentuan sanksi terhadap pelaku perempuan pemberi layanannya. Di rasa perlu menerapkan sanksi hukum bagi perempuan pemberi layanan seksual ini, karena ia dikategorikan sebagai pihak yang turut serta dalam tindak pidana Gratifikasi Seks yang telah ikut serta mendukung dan merusak citra bangsa ini.
Peraturan dengan sanksi yang berat seperti pidana dapat dijadikan upaya mencegah dan dapat menanggulangi fenomena Gratifikasi Seks tersebut. Gratifikasi Seks merupakan perbuatan yang tidak sesuai norma dan dapat merusak moral bangsa serta mencoreng citra bangsa dan merugikan Negara. Sehingga efek jera perlu diberikan kepada pelaku gratifikasi agar tidak mengulangi perbuatannya lagi dan mencegah perbuatan yang sama, dimana dalam hal ini berupa sanksi pidana.
-
III. Kesimpulan
-
1. Undang-Undang Tipikor yang berlaku saat ini dirasa kurang memadai karena belum mampu mengatur secara terperinci seluruh aspek Gratifikasi Seks, sehingga dari hal tersebut dapat dikatakan masih terjadi adanya kekosongan norma. Gratifikasi Seks perlu dibuatkan aturan secara khusus yang mampu mengatur secara menyeluruh dan terperinci.
-
2. Adapun sanksi pidana yang tepat dapat diberikan kepada para pelaku Gratifikasi Seks, baik pelaku pemberi maupun penerima Gratifikasi Seks dapat dijerat atau didakwa dengan ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yakni denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), akan tetapi dalam UU Tipikor belum memuat ketentuan sanksi terhadap pelaku perempuan pemberi layanannya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
-
E. Utrecht, 1958, Hukum Pidana I, Universitas, Jakarta.
Hamzah, Andi, 2005, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Waluyo, Bambang, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Internet
Eddy OS Hiariej, 2011, “Memahami Gratifikasi”, URL : http://nasional.kompas.com/ read/2011/ 06/13/03392292, Diakses pada tanggal 14 Agustus 2013.
Rusman Paraqbueq, 2013, “Gratifikasi Seks Makin Marak”, URL : http:
//www.tempo.co/read/new s/2013/06/ 21, Diakses pada tanggal 24 Juni 2013.
Anonim, 2013, “Gratifikasi Seks dapat dijerat UU Tipikor”, URL : http://
m.hukumonline. com/berita/baca/lt51a72dfed1d6d, Diakses pada tanggal 24 Juni 2013.
5
Discussion and feedback