KEPASTIAN HUKUM DALAM UPAYA EKSEKUSI JAMINAN MELALUI AKTA JAMINAN FIDUSIA

I.G.A Ayu Astri Nadia Swari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

I Gede Agus Kurniawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i02.p01

ABSTRAK

Studi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana mekanisme eksekusi jaminan fidusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019 dan untuk mengkaji kepastian hukum mengenai bagaimana perumusan norma yang tepat dalam mengatasi kekosongan norma didalam eksekusi jaminan fidusia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa putusan MK tersebut tidak mengatur syarat-syarat minimal yang harus dicantumkan didalam akta jaminan fidusia dan bagaimana prosedur eksekusi jaminan fidusia sehingga terjadi kekosongan norma karena perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang dilakukan oleh perseorangan tidak ada peraturan yang mengatur dan berakibat pada perlindungan hukum bagi debitur yang tidak terjamin.

Kata Kunci: Kepastian hukum, Akta Jaminan Fidusia, Eksekusi Jaminan Fidusia

ABSTRACT

The study aims to find out how execution mechanism fiduciary security after the verdict of the constitutional court No.18/PUU-XVII/2019 and to assess legal certainty about how the formulation of norma is right to deal with the emptiness of the norm in the fiduciary security. The methodology used a method of normative legal research with the statue approach and conceptual approach. This research result indicates that the constitutional court ruling did not set a minimum requirements shall be stated in the fiduciary security certificate and how posedur execution fiduciary security so there were a vacancy norma because credit agreement with the fiduciary security committed by individuals there are no rules governing and led to legal protection for debtors who are not guaranteed.

Key Words: Legal Certainty, Fiduciary Gurantee Deed, Fiduciary Guarantee Execution

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Melaksanakan suatu hubungan hidup bermasyarakat dan bernegara membutuhkan sesuatu yang digunakan untuk menjadi kaidah dalam berperilaku. Kaidah yang dimaksud yakni hukum yang diimplementasikan sebagai sebuah aturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi. 1 Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut UUD NRI 1945) pasal 1 ayat (3) menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” makna yang

terkandung dari pernyataan ini adalah bahwa pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam melakukan suatu tindakan harus berlandaskan hukum. Roscoe Pound mengemukakan teori law as a tool of social engineering yang berisi mengenai sarana pengaturan tatanan kehidupan manusia yang berfungsi mengatur dan membatasi setiap perilaku manusia sebagai kewajiban mereka agar tidak melanggar hak-hak yang dimiliki orang lain, salah satunya adalah hukum perdata di Indonesia. 2

Ilmu hukum memiliki 2 ranah hukum, yaitu hukum publik dan hukum privat. Hukum publik merupakan hukum yang mengatur relasi antar Negara dan perseorangan sedangkan hukum privat ialah hukum yang mengatur relasi perseorangan bukan antar Negara.3 Dalam proses pembuatan hukum publik, eksekusi dan pengawasannya terhadap peraturan-peraturan tersebut, terdapat keterlibatan yang tinggi dari Negara, berbeda dengan proses pembuatan hukum privat, hukum privat bukan tidak adanya keterlibatan Negara, melainkan dikatakan hukum privat karena keterbatasan terlibatnya Negara. Meskipun hukum privat dirumuskan oleh Negara, (melalui lembaga legislatif atau lembaga lain yang memiliki kekuasaan membentuk Peraturan Perundang-Undangan), peran Negara dalam pelaksanaan hukum privat sangatlah terbatas mengingat maksud dari keberadaan hukum privat adalah untuk melaksanakan kepentingan para pihak yang terlibat diantaranya. Meskipun demikian, perlindungan terhadap hak-hak yang terikat kepada para pihak dalam hukum privat tidak akan terlepas dari otoritas atau izin dari Negara melalui Peraturan Perundang-Undangan, salah satunya adalah eksekusi jaminan suatu perjanjian utang-piutang melalui Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (untuk selanjutnya disebut UU Fidusia). Meskipun UU Fidusia termasuk suatu produk hukum yang dibuat pemerintah namun dalam pelaksanaannya termasuk ranah hukum privat karena dari sifat dan/atau keberadaannya dari UU fidusia yang lahir akibat adanya hubungan keperdataan antara pihak yang terlibat didalamnya yaitu perjanjian. Perjanjian jaminan fidusia lahir apabila adanya perjanjian utang-piutang antara pihak dimana salah satu pihak menjaminkan benda bergeraknya sebagai bentuk penegasan kepercayaan, perlindungan, dan pemberian rasa aman kepada pihak lain yang menerima jaminan dalam hal kemungkinan terjadinya wanprestasi atau kegagalan lainnya seperti keadaan kahar/keadaan memaksa. Membuat suatu kesepakatan merupakan suatu hubungan hukum. Ada hal-hal yang haus dilakukan dalam melaksanakan hal tersebut dan dilakukan oleh pelaksana hak dan kewajiban, yakni berupa orang maupun badan hukum.4

Pasal 11 UU Fidusia memformulasikan “Jaminan fidusia wajib didaftarkan paling lambat 1 bulan setelah dilakukannya perjanjian kredit” dan pasal 5 ayat (1) UU tersebut menyatakan “Sertifikat fidusia harus dibuat dihadapan notaris.” Apabila jaminan fidusia sudah didaftarkan sudah ada sertifikat fidusia, kreditur dengan mudah dapat melaksanakan eksekusi apabila debitur cidera janji. Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia menyatakan “Sertifikat jaminan fidusia sebagaimana dimaksud ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” dan ayat (3) menyatakan “apabila debitur

cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.” Formulasi pasal ini menguntungkan pihak kreditur dimana kreditur terlindungi dari debitur–debitur yang melakukan cidera janji dan dapat segera mengeksekusi jaminan fidusianya. Akan tetapi, dalam prakteknya banyak kreditur pada saat melakukan eksekusi jaminan fidusia tersebut tidak beritikad baik dan melakukannya dengan sewenang-wenang salah satunya apabila kreditur merupakan perseorangan atau bukan badan usaha yang bergerak di bidang keuangan.

Perkara dengan nomor 345/PDT.G/2018/PN.jkt.sel merupakan salah satu kasus dimana kreditur mengeksekusi dengan sewenang-wenang. Dalam kasus tersebut debitur sudah memenuhi kewajibannya untuk membayar kredit, namun tiba-tiba kreditur mengeksekusi objek jaminan fidusia dengan dalil wanprestasi. Dengan adanya permasalahan tersebut, Mahkamah Konstitusi melahirkan Putusan No.18/PUU-XVII/2019 berupa permohonan uji materiil terhadap pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Fidusia. Dimana dengan dikeluarkannya putusan tersebut dapat berimplikasi terhadap hukum khususnya bagaimana eksekusi jaminan fidusia setelah kedepannya.

Formulasi putusan tersebut hanya menegaskan bahwa kreditur dapat mengeksekusi melalui pengadilan negeri atau apabila debitur cidera janji dengan pembuktian adanya klausula wanprestasi dalam perjanjian objek jaminan fidusia maka kreditur dapat melakukan eksekusi sendiri atau parate eksekusi. Perlu diketahui dalam kenyatannya perjanjian utang-piutang dengan jaminan fidusia yang menjadi kreditur bisa saja perseorangan tidak hanya lembaga keuangan maupun lembaga pembiayaan saja. Dalam hal ini terdapat perbedaan syarat-syarat eksekusi pada jaminan fidusia yang krediturnya perseorangan dengan yang krediturnya merupakan lembaga keuangan. Pada umumnya lembaga keuangan sebagai kreditur sudah memiliki ketentuan baku dalam perjanjian kredit jaminan fidusia, sedangkan kreditur yang merupakan perseorangan belum tentu memiliki syarat tersebut. Ketimpangan tersebut pada akhirnya akan membawa ketidakpastian bagi debitur dan alhasil juga menimbulkan kerugian dimasa yang akan datang. Sehingga dalam hal ini dibutuhkan lah norma baru yang mewajibkan syarat-syarat minimal dalam pembuatan akta fidusia dan syarat-syarat eksekusinya untuk menjamin perlindungan hukum bagi debitur kedepannya.

Berkaitan dengan hal diatas, penulis ingin mengkaji melalui tulisan dengan judul “KEPASTIAN HUKUM DALAM UPAYA EKSEKUSI JAMINAN DENGAN AKTA JAMINAN FIDUSIA.” Sebelumnya, terdapat 2 penelitian yang berjudul “Eksekusi dan Pendaftaran Objek Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang – Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia” yang ditulis oleh Ni Putu Theresia Putri Nusantara dan “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 Terhadap Pelaksanaan Perjanjian yang Berobjek Jaminan Fidusia”yang ditulis oleh Jazau Elvi Hasani, Fitri Agustina Trianingsih, dan Nadiya Ayu Rizky Saraswati. Penelitian pertama hanya menjabarkan mengenai bagaimana eksekusi jaminan fidusia berdasarkan UU Fidusia dan penelitian kedua menjabarkan mengenai isi putusan mahkamah kontitusi tersebut dan bagaimana implikasinya dengan eksekusi jaminan fidusia kedepannya, sedangkan penulis disini mengkaji norma kosong yang belum ada aturanya yakni mengenai syarat-syarat minimal yang harus dimuat pada akta jaminan fidusia sebagai syarat prosedur eksekusi jaminan fidusia yang krediturnya perseorangan bukan lembaga keuangan.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana mekanisme eksekusi jaminan fidusia pasca putusan mahkamah konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019?

  • 2.    Bagaimana perumusan norma yang tepat dalam mengatasi kekosongan norma dalam hal mekanisme eksekusi jaminan fidusia?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Tujuan daripada penulisan jurnal ini adalah untuk memahami mekanisme eksekusi jaminan fidusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 dan mengkaji kepastian hukum mengenai bagaimana perumusan norma yang tepat dalam mengatasi kekosongan norma didalam mekanisme eksekusi jaminan fidusia.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipakai merupakan metode penelitian hukum normatif dikarenakan dalam pembahasan ini menunjukan norma kosong didalam UU Fidusia maupun pada putusan MK No.18/PUU-XVII/2019 dan berobjek pada peraturan perundang-undangan, putusan mahkamah konstitusi dan UU Fidusia. Pendekatan yang dipakai merupakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) karena menggunakan pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum. Sumber bahan hukum daripada penelitian ini adalah bahan hukum primer yakni perundang-undangan dan bahan hukum sekunder seperti buku-buku, karya ilmiah, maupun artikel ilmiah yang berhubungan dengan topik pembahasan.

  • III    .Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Mekanisme Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019

Kata fidusia didefinisikan sebagai penyerahan hak milik dengan kepercayaan. Istilah fidusia yang diartikan sebagai kepercayaan bawasannya memiliki makna bahwa pemberi jaminan percaya kepada penerima jaminan untuk menyerahkan hak milik namun tidak dimaksudkan kedalam arti benar-benar memiliki jaminan tersebut.5 Pemberi jaminan percaya meskipun objek dikuasai oleh penerima jaminan, penerima jaminan tidak akan bertindak hal yang mengakibatkan pemberi jaminan menjadi rugi.6 Pasal 1 UU Fidusia menyatakan “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya ditiadakan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu.” Sementara itu jaminan fidusia adalah “hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.” Perjanjian jaminan fidusia melahirkan kewajiban untuk memenuhi prestasi

antara pihak dan mengikuti perjanjian pokoknya sebagai jaminan ikutan sebagaimana yang dicantumkan pada pasal 4 UU Fidusia. Didalam perjanjian, debitur tidak selalu dalam keadaan dapat memenuhi prestasi sebagaimana keadaan itu disebut dengan wanprestasi.

Apabila debitur diyakini tidak memiliki kemampuan dan/atau itikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya untuk membayar kredit, maka langkah terakhir yang dilakukan kreditur adalah mengeksekusi objek jaminan fidusia tersebut. Kredit macet yang dialami oleh debitur dapat disebabkan oleh beberapa alasan seperti meningkatnya kebutuhan yang harus dipenuhi atau gagalnya usaha yang dimiliki debitur sehingga sumber pendapatan berkurang. Subekti dalam bukunya menyatakan, eksekusi adalah cara dari suatu pihak yang didalam proses pengadilannya dimenangkan oleh pihak tersebut untuk mendapatkan haknya sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga pihak yang kalah harus melaksanakan hasil putusan pengadilan.7 Pasal 29 UU Fidusia yang menyatakan “Jika debitur tidak menepati janji maka pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan pelaksanaan eksekutorial oleh kreditur dan berhak menjual melalui pelelangan umum dan hasil penjualannya diambil sebagai bentuk pelunasan, kemudian pemberi dan penerima fidusia berdasarkan kesepakatan dapat melakukan penjualan dibawah tangan agar memperoleh harga tertinggi yang menunguntungkan kedua belah pihak. Selanjutnya, pasal 30 UU Fidusia menyatakan “debitur wajib menyerahkan objek jaminan untuk melaksanakan eksekusi jaminan fidusia.”8 Namun, UU Fidusia terkadang menimbulkan polemik dimasyarakat.

Pernyataan pada pasal 15 ayat (2) dan (3) tersebut merugikan salah satu pihak yakni debitur dalam situasi dimana ketika debitur sudah memenuhi kewajibannya untuk memenuhi prestasi, tetapi tiba-tiba objek jaminan dieksekusi dengan alasan wanprestasi. Perkara dengan nomor 345/PDT.G/2018/PN.jkt.sel adalah salah satu contoh perbuatan melawan hukum dari keadaan eksekusi jaminan fidusia yang merugikan salah satu pihak. Awal mula terjadinya kasus tersebut adalah penggugat membeli satu unit mobil dengan melakukan perjanjian multiguna. Kemudian suatu hari tanpa adanya peringatan atau apapun kepada penggugat, tergugat mengambil objek jaminan dengan dalil debitur tidak menepati janji, padahal penggugat sudah memenuhi kewajibannya dalam memenuhi prestasi. Kemudian kasus ini dimenangkan oleh penggugat dan tergugat dinyatakan terbukti telah melakukan eksekusi yang tidak berdasar pada UU Fidusia. Tetapi, meskipun telah ada putusan pengadilan tergugat mengabaikannya dan tetap mengeksekusi objek jaminan fidusia dengan dasar sertifikat fidusia berkekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan. Karena merasa sangat dirugikan, penggugat akhirnya mengajukan permohonan pengujian UU Fidusia ke Mahkamah Konstitusi.

Pemohon mendalilkan bahwa kata “kekuatan eksekutorial” dan kata “sama dengan putusan pengadilan” pada pasal 15 ayat (2) UU fidusia dianggap sudah memberikan keuntungan kepada kreditur karena kreditur mempunyai kekuasaan untuk langsung melaksanakan eksekusi. Pasal tersebut sebenarnya melindungi

kreditur apabila ada debitur melakukan wanprestasi, akan tetapi dalam prakteknya di masyarakat, seringkali mekanisme eksekusi jaminan fidusia dilakukan sewenang-wenang oleh kreditur. Pemohon menyatakan seharusnya eksekusi jaminan fidusia harus melalui proses hukum di pengadilan sehingga debitur mendapatkan perlindungan kepastian hukum. Pemohon juga mendalilkan bahwa kata “cidera janji” pada pasal 15 ayat (3) tidak jelas karena tidak ada ketentuan indikator dan penilaiannya. Tidak ada ketentuan yang mengatur juga mengenai siapa yang berwenang menentukan penilaian cidera janji sehingga adanya penilaian yang sepihak oleh kreditur. Ketentuan kedua pasal tersebut dianggap tidak sejalan dengan UUD NRI 1945.

Sehingga akhirnya putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 menyatakan menerima sebagian permohonan dan menyatakan apabila debitur diyakini melakukan wanprestasi, kreditur tidak bisa mengeksekusi secara sepihak hanya berdasar dengan sertifikat jaminan fidusia saja, tetapi harus mengajukan permohonan ke pengadilan negeri. Pengadilan yang memutuskan apakah debitur terbukti melakukan wanprestasi atau tidak, jika terbukti maka debitur tidak bisa menghindar dan berkewajiban untuk memenuhi putusan pengadilan tersebut dengan menjual objek jaminan fidusia untuk melunasi hutangnya. Namun, kreditur masih dapat mengeksekusi tanpa melalui pengadilan negeri apabila diperjanjian awal terdapat klausul cidera janji dan debitur dengan sukarela memberikan objek jaminan kepada kreditur dan membenarkan telah terjadi wanprestasi.9

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa eksekusi objek jaminan fidusia sebelum dikeluarkannya putusan MK, dilaksanakan sesuai pasal 29-30 UU Fidusia yakni kreditur dapat melakukan parate eksekusi secara langsung, sedangkan eksekusi jaminan fidusia sesudah dikeluarkannya putusan MK, kreditur tidak dapat mengeksekusi hanya dengan sertifikat jaminan fidusia saja, tetapi harus ada klausul cidera janji yang disepakati kedua belah pihak yakni kreditur dan debitur, apabila ada klausul cidera janji maka kreditur dapat mengeksekusi sendiri, tetapi apabila tidak ada klausul cidera janji yang disepakati dan debitur keberatan dalam memberikan objek jaminan fidusianya, kreditur tidak dapat mengeksekusi sendiri tetapi harus melalui putusan pengadilan yang sudah inkrah dengan tujuan kreditur tidak dapat mengeksekusi secara sewenang-wenang yaitu hanya dengan sertifikat jaminan fidusia saja tanpa memperhatikan klausul cidera janji yang disepakati antara kreditur dan debitur.

Berikut merupakan bagan eksekusi jaminan fidusia berdasarkan UU Fidusia sebelum dikeluarkanya putusan MK dan pasca putusan MK.

  • 1.    Eksekusi jaminan fidusia berdasarkan UU Fidusia (Pasal 29-30) sebelum dikeluarkannya putusan MK

  • 2.    Eksekusi jaminan fidusia pasca putusan MK

  • 3.2    Perumusan Norma yang Tepat untuk Mengatasi Kekosongan Norma Dalam Hal Mekanisme Eksekusi Jaminan Fidusia

Putusan MK No.18/PUU-XVII/2019 tidak menjelaskan mengenai apa saja yang perlu dimuat didalam perjanjian dan bagaimana prosedur eksekusi jaminan fidusia. Kreditur yang bukan bank seperti perseorangan belum mempunyai aturan khusus mengenai apa saja yang harus dimuat didalam perjanjian jaminan fidusia dan bagaimana posedur eksekusinya. Mengacu pada adagium hukum yang berbunyi expressio unios est exclusion alterius yang berarti sesuatu yang tidak disebut dalam rincian norma dianggap tidak pernah ada.10 Dalam melakukan perjanjian kredit objek jaminan fidusia, para pihak membuat akta autentik didepan notaris sebagai akta jaminan fidusia dalam bentuk kesepakatan antar pihak bahwa benda yang dijaminkan fidusia berfungsi sebagai pelunasan utang untuk melindungi kepentingan para pihak.11 Pasal 6 UU Fidusia mengatur mengenai hal-hal yang perlu dimuat didalam akta jaminan fidusia yakni “identitas, perjanjian pokok dengan jaminan fidusia, perincian objek jaminan fidusia, nilai penjaminan, dan nilai benda objek jaminan fidusia.”

Perjanjian kredit fidusia jika dilakukan antar perseorangan dalam proses pembuatannya memakai asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Kebebasan berkontrak artinya para pihak bebas menentukan isi perjanjian dan terlibat dengan siapa dalam mengadakan pejanjian.12 Berbeda jika dilakukan dengan bank, dalam proses pembuatan perjanjian kredit dengan bank menggunakan perjanjian baku (standard contract) dimana perjanjian sudah ditentukan secara baku oleh bank sebagai kreditur. Selain asas kebebasan berkontrak, dalam proses pembuatan perjanjian kredit juga harus menggunakan asas-asas lain seperti asas keseimbangan, asas moral dan asas kepatutan didalam memperhatikan kedudukan para pihak. 13

Kebebasan berkontrak memang merupakan hak daripada para pihak, namun dibatasi dengan klausul suatu sebab yang halal sebagaimana yang tercantum pada pasal 1320 KUHPer mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Dengan demikian, perlu adanya aturan yang mengatur mengenai isi perjanjian kredit dan prosedur eksekusi jaminan fidusia yang dapat digunakan oleh perseorangan yang tidak ada aturan yang mengatur sehingga terjaminnya kepastian hukum apabila terjadi hubungan kreditur dan debitur antar perseorangan. Pada umumnya dalam perjanjian kredit biasanya pada pasal terakhir mencantumkan klausula penyelesaian sengketa guna menjamin kepastian hukum apabila terjadi sengketa. Pasal penyelesaian sengeketa berisi mengenai hal-hal yang dianggap permasalahan dalam perjanjian tersebut dan diselesaikan dengan dua cara yakni non itigasi dan litigasi. Non litigasi merupakan sengketa yang diselesaikan tidak melalui pengadilan melainkan dengan cara negoisasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase. Apabila dengan cara tersebut tidak tercapai kata damai,

maka digunakan jalur litigasi yakni jalur melalui pengadilan negeri sebagai wujud dari prinsip keadilan agar kedua belah pihak dapat menyelesaikan sengketa dengan hasil yang seadil-adilnya.14

Pasal 29-Pasal 34 UU Fidusia mengatur mengenai eksekusi jaminan fidusia tetapi hanya mengatur hak kreditur saja dalam mengeksekusi, sedangkan dalam pasal tersebut tidak dijelaskan mengenai prosedur eksekusi jaminan fidusia. Tidak semua orang dapat mengajukan peminjaman kredit kepada bank, karena bank memiliki ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi untuk menjadi debitur. Bank sebagai lembaga keuangan yang berfungsi memberikan fasilitas kredit mempunyai kepastian hukum dalam menjalankan hubungan perjanjian utang-piutang dengan debitur karena sudah ada ketentuan yang mengatur. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan “bank umum berkewajiban melakukan analisis yang mendalam ketika memberikan kredit serta meyakini itikad dan kesanggupan nasabah debitur dalam menulasi utangnya atau pengembalian biaya sesuai dengan perjanjian.”

Dalam memberikan fasilitas kredit, bank sudah mempunyai ukuran yang menjadi standar penilaian debitur yang mengajukan permohonan kredit. 15Analisis kredit yang dilakukan bank merupakan langkah awal kredit yang sehat dalam mencegah risiko kredit. Berbeda dengan perjanjian utang-piutang dengan perseorangan, bank mempunyai prosedur dalam memberikan fasilitas kredit dimulai dari analisis, persetujuan, pengikatan, penarikan sampai dengan penulasan. Bank mempunyai peraturan terhadap langkah-langkah yang dapat dilakukan apabila debitur cidera janji, yaitu :16

  • 1)    Negoisasi antar bank dengan debitur. Disini bank melakukan peninjauan kembali dan melihat permasalahan yang dialami oleh debitur sehingga terjadi kredit macet

  • 2)    Apabila jangka waktu pembayaran yang telah ditentukan habis, maka bank memberikan surat tagihan

  • 3)    Resecheduling yaitu bank memperpanjang jangka waktu kredit dan/atau angsuran 4) Reconditioning yaitu bank meringankan persyaratan angsuran dan/atau suku bunga

  • 5)    Restructuring yaitu konversi bunga menjadi pokok atau pinjaman menjadi penyertaan modal

  • 6)    Pembebasan bunga. Bank memberikan pembebasan bunga kepada debitur jika debitur tidak sanggup melunasi kredit tersebut namun pembayaran pokok pinjaman tetap wajib dilakukan oleh debitur

  • 7)    Debitur dinyatakan tidak mampu membayar kredit sehingga menjadi kredit macet karena bangkrut

  • 8)    Bank melakukan eksekusi berupa penyitaan jaminan. Langkah ini termasuk teknik pengendalian dan penyelesaian kredit macet yang terakhir

Bank selaku pemberi kredit sudah mempunyai aturan yang berlaku ketika membuat hubungan perjanjian jaminan fidusia sehingga bank wajib mengikuti aturan

tersebut sesuai yang berlaku pada peraturan perundang-undangan berbeda dengan perseorangan yang belum ada peraturan yang mengatur. Eksekusi jaminan fidusia didalam UU Fidusia tidak mengatur mengenai prosedur kreditur dalam hal mengeksekusi. Akta jaminan fidusia perlu mencantumkan prosedur atau syarat-syarat eksekusi jaminan fidusia. Syarat batal perlu dicantumkan dalam akta jaminan fidusia karena sesuai pasal 1266 dan pasal 1267 KUHper yang mengatur mengenai syarat batal, dimana jika mengesampingkan kedua pasal itu dapat menimbulkan permasalahan hukum karena pasal 1266 menyebutkan bahwa harus melalui prosedur pengadilan apabila terjadi wanprestasi dan ingin membatalkan perjanjian, maka apabila dikesampingkan, akan menguntung pihak kreditur karena dapat melakukan tindakan tanpa melalui putusan pengadilan. Sedangkan apabila mengesampingkan pasal 1267 KUHper maka debitur tidak berhak meminta bentuk ganti rugi melalui pengadilan atas tindakan kreditur yang merugikan debitur.17 Jaminan fidusia minimal harus memuat syarat batalnya perjanjian yang apabila dipenuhi maka kreditur akan dapat menggunakan haknya untuk mengeksekusi harta jaminan, disisi lain hal ini akan memberikan kejelasan bagi debitur karena adanya pengaturan yang jelas dan nyata bahwa dengan terpenuhinya syarat batal tersebut, maka ia akan kehilangan hartanya yang sudah dijaminkan. Salah satu contoh seperti perjanjian kredit motor, apabila debitur sudah lalai sebanyak 6 bulan tidak membayar cicilan dan bunga dan setelah mendapat teguran tetap tidak menunjukan itikad baik untuk membayar, maka jaminan dapat dieksekusi. Demikian pentingnya syarat batal yang diwajibkan untuk ada dalam akta fidusia dengan tujuan memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi pihak yang bersangkutan.

Atas dasar hal tersebut, pasal 6 UU Fidusia perlu diperbaharui agar perlindungan hukum bagi debitur lebih terjamin di masa yang akan datang (ius constituendum) setidaknya akta jaminan fidusia harus memuat hal-hal sebagai berikut: 1 Fasilitas dan tujuan penggunaan kredit

Mencantumkan tujuan pengunaan kedit dalam perjanjian sangat penting bagi kreditur untuk menganalisis debitur yang akan diberikan fasilitas kredit.

  • 2    Jangka waktu kredit

Jangka waktu kredit berisi mengenai kapan berlakunya perjanjian kredit, dan kapan berakhirnya perjanjian kredit. Dengan demikian pihak kreditur tidak dapat menghentikan/mengakhiri sepihak apabila jangka waktu kredit belum berakhir

  • 3    Syarat batal perjanjian

Apabila debitur megalami kredit macet, maka sebelum eksekusi kreditur menegur terlebih dahulu menggunakan surat peringatan dengan jangka waktu tertentu, apabila debitur tidak menunjukan itikad baik barulah kreditur dapat mengeksekusi

  • 4    Pemeliharaan dan pengalihan barang agunan

Pada bagian ini berisi mengenai bahwa debitur wajib untuk memelihara barang agunan dan tidak diperkenankan untuk menjual, menyewakan, melarikan, memindahtangankan, mengadaikan, memindahkan hak dan/atau menjaminkan jaminan kreditnya kepada pihak lain tanpa persetujuan kreditur

  • 5    Keadaan ingkar janji

Seperti peraturan pada putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 dalam perjanjian kredit harus dicantumkan hal-hal apa saja yang termasuk kedalam ingkar janji 6 Kepastian debitur

Bahwa debitur pada saat ini tidak tersangkut dalam perkara/sengketa berupa apapun dimuka pengadila yang dapat megancam kemampuan debitur untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang termaksud didalam perjanjian kredit

Hal-hal diatas yang perlu dicantumkan dalam UU Fidusia sebagai norma bagi kreditur perseorangan dalam memberikan fasilitas kredit kepada debitur untuk mewujudkan kepastian hukum dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia.

  • IV. Kesimpulan

Prosedur eksekusi jaminan fidusia sesudah dikeluarkannya putusan MK, harus ada klausul cidera janji yang disepakati, apabila ada klausul cidera janji maka kreditur dapat mengeksekusi sendiri, tetapi apabila tidak ada klausul cidera janji, maka kreditur tidak dapat mengeksekusi sendiri tetapi harus melalui putusan pengadilan yang inkrah. Pasal 6 UU Fidusia perlu diperbaharui, setidaknya akta jaminan fidusia harus berisi fasilitas dan tujuan penggunaan kredit, jangka waktu kredit, syarat batal perjajian, pemeliharaan dan pengalihan barang agunan, keadaan ingkar janji dan kepastian debitur untuk mewujudkan kepastian hukum perjanjian kredit dengan jaminan fidusia. Saran dari penulis dari apa yang sudah dipaparkan sebelumnya adalah Pemerintah Republik Indonesia diharapkan memperbaharui UU Fidusia agar dapat aturan khusus syarat minimal membuat akta jaminan fidusia sebagai bentuk prosedur eksekusi jaminan fidusia sehingga apabila terjadi wanprestasi, sudah ada payung hukum yang mengatur untuk mewujudkan keseimbangan kedudukan antara debitur dan kreditur yang dan dalam melakukan perjanjian jaminan fidusia non perbankan, perlindungan hukum bagi debitur juga akan lebih terjamin.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Diantha, I Made Pasek, Ni Ketut Supasti Dharmawan, dan I Gede Artha. Metode

Penelitian Hukum dan Penulisan Disertas. (Denpasar, Swasta Nulus, 2018).

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. (Bandar Lampung, PT. Citra Aditya Bakti, 2014).

Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta, Sinar Grafika, 2016).

Disertasi:

Sutrawaty, Laras. "Force Majeure Sebagai Alasan Tidak Dilaksanakan Suatu Kontrak Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perdata. " PhD diss., Tadulako University.

Jurnal Ilmiah:

Adnyaswari, Ni Nyoman Ayu. “Kekuatan Hukum Akta Jaminan Fidusia yang Tidak Didaftarkan.” Jurnal Kertha Semaya 6, No.12 (2018): 4.

Ambar, Rocky Marciano, Budi Santoso, and Hanif Nur Widhiyanti. "Kajian Yuridis Pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata    Sebagai Syarat    Batal Dalam Perjanjian Kredit

Perbankan." Perspektif       Hukum 17, no. 1 (2018): 68.

Danari, Excel Leonardo. "Penyelesaian Sengketa Kontrak Fidusia Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. " Lex Privatum 8, no. 2 (2020): 102-103.

Hasani, Jazau Elvi, Fitri Agustina Trianingsih dan Nadiya Ayu Rizky Saraswati. “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi 18/PUU-XVII/2019 Terhadap Pelaksanaan Perjajian Yang Berobjek Jaminan Fidusia.”Jurnal Hukum Magnum Opus 3, No.2 (2020): 231-232.

Jamilah, Lina. "Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Standar Baku. " Syiar Hukum 14, no. 1 (2012): 229.

Lathif, Nazaruddin. "Teori Hukum Sebagai Sarana Alat Untuk Memperbaharui Atau Merekayasa Masyarakat. " Pakuan Law Review 3, no. 1 (2017): 79.

Nusantara, Ni Putu Theresia Putri. “Eksekusi dan Pendaftaran Objek Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.” Jurnal Kertha Semaya 2, No.2 (2014): 8.

Roesli, M., Bastianto Nugroho Sarbini, and Bastianto Nugroho. "Kedudukan Perjanjian Baku Dalam Kaitannya Dengan Asas Kebebasan Berkontrak. " DiH: Jurnal Ilmu Hukum 15, no. 1 (2019): 1.

Saroinsong, Andrew N. "Fungsi Bank Dalam Sistem Penyaluran Kredit Perbankan." Lex Privatum 2, no. 3 (2014): 132.

Tinus, Mario Alberto. "Proses Eksekusi Jaminan Perbankan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan." Lex Privatum 4, no. 8 (2016): 46.

Virgryanti, Ni Putu Cintya. “Akibat Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Kekuatan Hukum Sertifikat Jaminan Fidusia yang Diterbitkan Oleh Kantor Pendaftaran Fidusia.” Jurnal Kertha Semaya 2, No.2 (2014): 2.

Yasir, Muhammad. "Aspek Hukum Jaminan Fidusia. " SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 3, no. 1 (2016): 77.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buergerlijke Wetboek, 2004, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Pradnya Paramitha, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168; Tambahan LembaranNegara Republik Indonesia Nomor 3889.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790.

Jurnal Kertha Wicara Vol. 10 No. 2 Tahun 2021, hlm. 105-116