KONSEP MENGUASAI DALAM KETENTUAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG NARKOTIKA

Ida Ayu Mega Wangsa Putri, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gusti Ketut Ariawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i02.p08

ABSTRAK

Tujuan studi ini untuk mengetahui bagaimana konsep frasa “menguasai di dalam ketentuan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika selain itu juga untuk mengkaji dan menganalisis terkait dengan pertimbangan hakim dalam menafsirkan frasa “menguasai” dalam kasus penyelesaian tentang penyalahgunaan narkotika. Studi penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum secara normatif yang dilakukan dengan pendekatan berupa mengkaji suatu pokok permasalahan dari substansi peraturan perundang-undangan yang ada, dan juga dilakukan dengan pendekatan konseptual yang melihat dari doktrin-doktrin. Hasil studi dari penelitian ini menunjukan bahwa di dalam ketentuan Pasal 112 UU Narkotika tersebut tidak ditemukan penjelasan terkait dengan konsep frasa “menguasai” sehingga dari pada itu sangat diperlukan adanya suatu penafsiran dalam pelaksanaannya. Sementara itu pertimbangan dari hakim dalam menafsirkan frasa “menguasai” telah dapat dilihat dalam putusan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui amar Putusan Nomor 1386 K/Pid. Sus/2011 yang menyatakan bahwa penguasaan dari narkotika yang semata-mata untuk dipergunakan perlu untuk dipertimbangkan bahwa penguasaan atas narkotika tersebut harus dilihat maksud dan tujuannya.

Kata Kunci: Menguasai, Penafsiran, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

ABSTRACT

The aim of this study is to find out how the concept of the pharse “possess” in provisions of Article 112 of Act Number 35 of 2009 about Narcotics and to examine also to analyze judge’s consideration in interpreting the pharse of “possess” to realted cases about narcotics abuse. This study uses a normative legal research method with an approach that examine the fundamental issue with substance of legislation by behold from the doctrines. The result of this study shows that there no explanation was found about pharse “possess” in Article 112 of Act Number 35 of 2009 about Narcotics so it is necessary to have an interpretation in its practice. Meahwhile, the consideration of interpretation by the judge related to pharse “possess” can be seen in the decision of Supreme Court through Verdict Number 1386 K/Pid. Sus/2011 state that the possession of narcotics that solely for use need to be considered in terms of its aims and purpose.

Keywords: Possess, Interpretation, Act Number 35 of 2009 about Narcotics.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Penyalahgunaan dari keberadaan suatu narkotika atau yang lebih dikenal dengan narkoba akhir-akhir ini memang tengah marak dan menjadi permasalahan yang cukup serius terjadi khusunya di Indonesia. Permasalahan tersebut nyatanya bersifat kompleks dikarenakan keberadaanya yang mampu memberikan dampak negatif yang terbilang cukup besar. Narkotika atau narkoba itu sendiri merupakan obat-obatan yang berasal dari sebuah tanaman bahkan bukan tanaman yang memiliki bentuk baik berupa sintetis ataupun semisitentus yang dimana di dalam pengunaanya mampu untuk mengakibatkan suatu pengaruh-pengaruh misalnya dapat menyebabkan penurunan dan perubahan terhadap kesadaran diri, dapat pula mengurangi hingga bisa menghilangkan rasa nyeri pada tubuh dan juga dapat menyebabkan suatu ketergantungan yang cukup parah jika terus-menerus digunakan.1

Terdapat berbagai macam jenis zat-zat yang dapat digolongkan sebagai narkotika yaitu diantaranya adalah ganja, kokain, kodein, heroin, morfin ofium, pedited benzetidin dan turunan lainnya. Sehingga dari hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa narkotika merupakan sekelompok zat yang pada umumnya memiliki resiko yang cukup tinggi pemakaiannya.2 Ditegaskan kemudian pada pengaturan dari Pasal 7 UU No. 35 / 2009 tersebut bahwa narkotika dalam hal pengunaanya hanya bisa dipakai untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan juga untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan teknologi. 3 Akhir-akhir ini hal tersebut dipersalahgunakan terkait pemakainnya oleh masyarakat. Masyarakat cenderung menggunakan narkotika tidak sesuai dengan fungsinya yang diperuntukan bagi pelayanan kesehatan atau penelitian, masyarakat justrul menggunakan narkotika untuk konsumsi pribadinya sendiri. Badan Narkotika Nasional (BNN) melansir bahwa angka penyalahgunaan narkoba pada 2018 mencapai 2,29 juta orang pada rentang usia 15 sampai 35 tahun.4

Upaya penangangan terkait peredaran dan penyalahgunaan narkotika yang marak terjadi telah dilakukan oleh berbagai pihak seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Kepolisian. Pemerintah disini juga telah berperan serta dengan jalan mengelurakan suatu kebijakan pengaturan hukum dengan mengundagkannya peraturan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupkan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1977 tentang Narkotika5 akan tetapi keberadaan pengaturan-pengaturan yang telah dikeluarkan tersebut nyatanya masih belum bisa berjalan dengan baik, salah satunya yang dapat dilihat adalah dengan masih adanya kekaburan atau ketidakjelasan norma di dalam pengaturan tersebut.

Hal ini menjurus pada ketentuan dari Pasal 112 UU No. 35 / 2009 yang mengatur mengenai penjatuhan sanksi pidana bagi perbuatan seseorang yang dalam hal ini diyakini sebagai pemilik serta juga sebagai oknum yang menyediakan, ditambah dalam hal terkait melakukan penyimpanan serta menguasai narkotika itu sendiri. Permasalahan yang terdapat dalam hal ini adalah terkait makna dari kata “menguasai”. Pengaturan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut tidak ditemukan dengan pasti penjelasan terkait kata “menguasai”, sehingga diperlukanlah suatu penafsiran terhadap kata “menguasai” tersebut.

Penafsiran disini tidaklah dapat dilakukan hanya secara tekstual atau dengan kata lain hanya dilakukan dengan membaca teksnya saja akan tetapi, harus dilakukan penafsiran secara kontekstual atau dalam artian dilakukan sebagaimana konteksnya yaitu dalam hal ini penguasaan tersebut harus dihubungkan terkait dengan barang itu akan dipakai sendiri atau akan diperjual belikan maupun diedarkan. Ini menjadi perhatian yang cukup serius mengingat bahwa jika terdapat adanya ketidakjelasan pengaturan dari hukum itu sendiri tentu akan menimbulkan penjatuhan hukuman yang tidak tepat sehingga dapat menyebabkab ketidakadilan dalam suatu penegakan hukum.

Sebelumnya telah terdapat penelitan serupa dengan isu yang akan dibahas di dalam penelitian ini, penelitian tersebut berjudul “Konsep Menguasai Dalam Tindak Pidana Narkotika (Study Kasus Putusan Nomor. 222/PID/2011/PT.PDG” oleh Ni Nyoman Ayu Sri Utari Cahyani. Persamaan dari penelitian ini adalah sama-sama membahas terkait dengan konsep frasa “menguasai” di dalam Pasal 112 ayat (1), sedangkan yang membedakan substansi dari penelitian ini adalah dimana pada penelitian sebelumnnya hanya terfokus terhadap bagaimana pengertian konsep “menguasai” tersebut dan juga hanya mengacu terhadap satu putusan saja. Sedangkan di dalam penelitian ini, mengenai konsep “menguasai” jangkauannya dibuat lebih luas dengan melihat doktrin-doktrin dari beberapa ahli dan juga melihat pada pertimbangan hakim dengan mengkaji lebih dari satu putusan. Penelitian terkait konsep “menguasai” dalam ketentuan pada UU Narkotika sangat menarik untuk dibahas, ini dikarenakan masih terdapat banyaknya kekeliruan dalam memahami makna “menguasai” dalam masyarakat. Maka dari pada itu penelitian ini diharapkan dapat berguna kedepannya sebagai pengetahuan tambahan.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan dari pembahasan serta isu-isu yang telah dikemukan diatas, maka dari pada itu dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

  • 1.    Bagimanakah konsep “menguasai” yang tertuang dalam ketentuan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika?

  • 2.    Bagaimana pertimbangan-pertimbangan dari hakim dalam menafsirkan kata “menguasai pada kasus penyalahgunaan narkotika?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penulisan di dalam penelitian ini memiliki tujuan untuk dapat mengetahui bagaimana pengertian dari konsep “menguasai” dalam ketentuan UU No. 35 / 2009 tentang Narkotika serta juga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yaitu hakim dalam menafsirkan kata “menguasai” terhadap kasus-kasus penyalahgunaan narkotika yang telah dilakukan oleh masyarakat.

  • 2.    Metode Penelitian

Penulisan dari penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum secara yuridis normatif atau yang dikenal juga sebagai penelitian hukum doktrinal. Metode yang digunakan ini mendasarkan pada suatu penelitian untuk mengkaji suatu penerapan norma hukum yang berlaku saat ini. Dalam menunjang penelitian dengan metode ini, dilakukan juga dengan menerapkan dua pendekatan diantaranya pendekatan terhadap suatu Undang-Undang dan juga pendekatan konseptual. Pendekakatan dengan suatu Undang-Undang (statue approach) merupakan suatu pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaji dan menganalisis bagaimana suatu ketentuan di dalam pengaturan yaitu Undang-Undang. Pendekatan konseptual (conceptual approach) merupakan suatu pendekatan yang dilakukan dengan cara melihat pendapat atau doktrin-doktrin oleh para ahli hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum dan analisis dalam penelitian ini menggunakan teknik kepustakaan yaitu dengan jalan melakukan penelusuran terhadap kumpulan peraturan perundang-undangan, norma-norma hukum, buku-buku serta jurnal-jurnal hukum yang terkait dengan permasalahan yang sedang dibahas.

  • 3. Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Konsep Menguasai Dalam UU Narkotika

Akhir-akhir ini memang tengah hangat diperbincangkan kasus penyalahgunaan narkotika di kalangan masyarakat. Penyalahgunaan terkait dengan keberadaan narkotika ini kerap disebut juga sebagai suatu kejahatan. Kejahatan narkotika dalam hal ini merupakan suatu kejahatan yang bersifat international (International Crime), dimana juga kerap disebut sebagai kejahatan yang terorganisir (Organize Crime)6 yang mana keberadaanya mempunyai jaringan-jaringan yang cukup luas, serta dapat dilakukan dengan metode-metode yang canggih seiring dengan berkembangnya ilmu dan teknologi saat ini.

Berangkat dai maraknya permasalahan tersebut maka pemerintahpun mengeluarkan kebijakan secara yuridis untuk dapat menangani kasus terkait penyalahgunaan narkotika tersebut. Kebijakan yang telah dilakukan sudah berlangsung cukup lama yaitu sejak diberlakukannya gerakan Ordonasi Obat Bius (Vedoovende Middelen Ordonnantie, staatsblaad Nomor 278 jo. 536 Tahun 1972) yang kemudian pada perkembangan-perkembangan selanjutnya Ordonasi ini telah digantikan oleh Undang-Undang Nomor 1976 tentang Narkotika dan kemudian dilakukan perubahan lagi hingga saat ini sudah dilakukan dua kali perubahan, perubahan yang terakhir dan yang masih diberlakukan hingga saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.7 Selain itu tidak hanya sebatas kebijakan-kebijakan terkait perundang-undang yang dikeluarkan, selanjutnya pemerintah mengeluarkan kebijakan lain yaitu dengan dibentuknya Badan Narkotika Nasional (BNN) yang dipercaya sebagai lembaga dalam memberantas kasus penyalahgunaan narkotika yang sedang terjadi, lembaga ini dipandang sebagai lembaga pemerintahan non kementerian yang kedudukannya berada dibawah Presiden.8

Kebijakan-kebijakan pengaturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam menangangi kasus penyalahgunaan narkotika tersebut nyatanya masih terdapat permasalahan terkait dengan aturan yang berada di dalamnya, permasalahannya berada pada ketidakjelasaan atau dengan kata lain kekaburan terhadap pengaturan dari kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, ini merujuk pada ketentuan Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 / 2009. Ketentuan Pasal tersebut menentukan penjatuhan sanksi pidana bagi setiap orang yang diyakini sebagai orang yang melawan hukum dan orang yang tanpa hak untuk memilki, menyediakan dan menyimpan suatu narkotika golongan I serta juga menguasai dari narkotika itu sendiri. Setiap orang dalam ketentuan Pasal tersebut dimaksudkan sebagai subyek tindak pidana atau yang lebih dikenal sebagai pelaku dari tindak pidana itu sendiri. Untuk dapat dilakukannya suatu pertanggungjawaban secara hukum pidana bagi pelaku tersebut maka harus dilihat sesuai dengan makna asas tiada pidana tanpa kesalahan dan juga pada asas tiada pidana dalam sifat melawan hukum. Pengertian lain berarti bahwa dalam membuktikan subyek tindak pidana tersebut diyakini untuk memiliki atau menguasai narkotika yang tanpa hak atau melawan hukum tidak hanya dilakukan dengan sebatas membuktikan itu benar atau tidak, perlu dilakukan tindakan lainnya berupa pembuktian dari ada atau tidaknya kesalahan dalam diri pelaku melihat pada apa dan bagaimana cara suatu narkotika itu bisa berada dibahwa kepemilikan atau penguasaan dalam diri pelaku yang dikenakan sebagai suatu alat bukti atas terpenuhinya atau tidaknya unsur secara tanpa hak atau melawan hukum.

Kemudian pembahasan mengenai tanpa hak atau melawan hukum dalam ketentuan Pasal tersebut yaitu tanpa hak merupakan bagian dari melawan hukum itu sendiri. Melawan hukum disini diartikan sebagai setiap perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum baik itu berupa hukum tertulis maupun tidak tertulis. Tanpa hak diartikan sebagai perbuatan atau tindakan yang dilakukan tanpa izin dan atau suatu persetujuan dari pihak-

pihak yang berwenang di dalamnnya, dimana dalam permasalahan terkait pengunaan narkotika itu sendiri sebelumnnya haruslah terdapat izin dari Menteri atas rekomendasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan dan atau pejabat-pejabat lain yang berwenang dalam melakukan pengunaan narkotika.

Selanjutnya ketentuan dari Pasal tersebut terkait dengan unsur memiliki, menyimpan, menguasai (limitatif) dialternatifkan dengan menyediakan. Melihat dari pada itu berarti salah satu unsur yang ditentukan secara limitatif tersebut sudah termasuk cakupan dari rumusalan Pasal itu sendiri. Kemudian tentang konsep “menguasai barang” jika di dilahat pada Hukum Keperdataan maka hal tersebut dikenal dengan istilah “Bezit” yaitu dimaksudkan sebagai suatu hal tentang kedudukan dalam berkuasa.9 Pada ketentuan Pasal 529 KUH Perdata dapat dilihat bahwa kedudukan bagi seseorang yang dapat menguasai dari suatu kebendaan baik itu secara diri sendiri atau dengan perantara orang lain dan untuk mempertahankan serta menikmatinya adalah orang yang tidak lain memiliki kebendaan itu maka itu disebut sebagai kedudukan berkuasa. Pada ketentuan Pasal 1977 KUH Perdata yang mana dalam ketentuan tersebut menentukan bahwa barang siapa yang menguasai dalam hal ini ialah benda bergerak yang bukan merupakan sebuah bunga juga piutang yang kepada hal tersebut tidak diharuskan membayar kepada si pembawa bunga itu sendiri maka dalam hal ini dianggap sebagai pemiliknya.

Melihat makna menguasi dari persfektif Hukum Perdata maka dapat dilihat bahwa makna dari kata “menguasai” tersebut memang telah diatur dengan jelas dalam pengaturannya, sedangkan dalam Hukum Pidana khusunya disini dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat dilihat bahwa tidak adanya keberadaan dari pengertian ataupun konsep yang spesifik dalam menjelaskan kata “menguasai”. Hal ini menjadi permasalahan utama dikarenakan dampak yang akan timbul jika konsep dari kata “menguasai” itu sendiri menyebabkan kekeliruan dalam penjatuhan sanksi pidana, sehingga hal ini menimbulkan penegakan pada suatu kepastian hukum di dalam masyarakat tidak bisa berjalan dengan baik. Penerapan pada Pasal yang terkandung pada UU Narkotika terkait dengan hal “menguasai”, haruslah dilakukan suatu interpretasi atau penafsiran oleh penegak hukum yang bersangkutan.

  • 3.2    Pertimbangan Hakim Dalam Menafsirkan Frasa “Menguasai”

Narkotika atau yang lebih dikenal dengan sebutan narkoba memang bukan sesuatu yang sudah tidak asing jika dibicarakan dalam lingkup masyarakat, ini mengingat bahwa pembahasan mengenai narkotika tersebut telah banyak dijumpai pada media massa maupun media sosial. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya narkotika merupakan kelompok zat atau senyawa yang umumnya memiliki resiko kecanduan bagi penggunannya dan selain itu keberadaanya yang sebenarnya diperuntukan bagi kepentingan bidang

kesehatan dan teknologi.10 Akhir-akhir ini narkotika sering disalahgunakan penggunaannya, tidak hanya sebagai konsumsi pribadi tetapi juga disebarluaskan secara ilegal dalam masyarakat dengan alasan sebagai pemenuh kesenangan batin. Hal ini tentu saja dapat memberikan akibat yang sangat merugikan, yang kedepannya dapat menimbulkan dampak dan bahaya bagi kehidupan serta nilai-nilai Bangsa serta dapat juga melemahkan ketahanan nasional milik Bangsa dan Negara.11

Ketentuan dalam pengaturannya, penyalahgunaan narkotika disebutkan sebagai perbuatan atau tindakan yang dengan tanpa hak serta melawan hukum dimana perbuatan atau tindakan yang dilakukan tersebut tidak sesuai dengan fungsi dari pengunaan narkotika itu sendiri yang telah diatur bahwa semestinya pengunaan dari narkotika hanya bisa dilakukan sebagai hal terakit dengan pengobatan dalam pelayanan kesahatan dan juga sebagai penelitian. Penyalahgunaan narkotika yang dimaksudkan disini adalah dilakukannya pengunaan narkotika tidak sesuai dengan fungsinya tetapi dilakukan dalam hal untuk dinikmati pengaruhnya dalam jumlah yang berlebihan, digunakan secara tidak teratur dan keberlangsungannya dilakukan dalam jangka lama, dimana hal ini kedepannya tentu akan dapat mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan fisik, mental bahksan sosial. Dalam upaya baik berupa pencegahan atau penanggulannya dari penyalahgunaan tersebut, di dalam ketentuan dari UU Narkotika itu sendiri telah ditentukan secara khusus terkait beberapa pengaturan mengenai tindak pidana yang merupakan perbuatan penyalahgunaan narkotika. Pengaturan ini diatur dalam Pasal 111 hingga Pasal 148.12

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di dalam menerapkan aturan dari Pasal 112 ayat (1) tersebut sering kali menimbulkan permasalahn, ini dikarenkan adanya ketidakjelasan atau kekaburan pengaturan terkait dengan konsep atau makna dari kata “menguasai” di dalam Pasal tersebut, sehingga di dalam penerapannya perlu dilakukan suatu penafsiran oleh aparat penegak hukum. Berdasarkan dengan permasalah mengenai ketidakjelasan frasa “menguasai” dalam penerapannya dapat dilihat pada Keputusan yang dikelurakan oleh Pengadilan Tinggi Padang melalui Putusan Nomor 222/PID/2011/PT PDG. Keputusan yang dikeluarkan tersebut menyatakan makna dari “menguasai” dalam hal tindak pidana khususnya narkotika tidak bisa dihubungkan atau disama artikan dengan makna “menguasai” dalam Hukum Perdata yang dikenal dengan istilah “bezit” ini disebabkan mengenai beban pembuktian dalam keperdataan yang pembuktiannya tidaklah dibebankan langsung kepada orang yang menguasai barang tersebut, melainkan dibebankan kepada pihak lain yang mengklaim bahwa barang tersebut adalah miliknya, maka dari pada itu ketentuan tersebut tidak bisa

dipergunakan dalam menyelesaikan perkara pidana khususnya dalam kasus penyalahgunaan narkotika.

Kemudian, sama halnya dalam pertimbangan hakim oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1386 K/Pid. Sus/2011 yang menolak tuntutan kasasi dari Pengadilan Tinggi Jawa Tengah perihal kasus penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh terdakwa Sidiq Yudhi Arianto, SE. Putusan yang telah dikeluarkan tersebut secara khusus menyatakan pada bagian menimbang, bahwa jikalau terdakwa memang telah memiliki maksud untuk memakai ataupun menggunakan narkotika, maka tentu disini terdakwa itu sendiri telah menguasai narkotika tersebut, tetapi kepemilikan dan penguasaan dari narkotika tersebut hanya semata-mata untuk digunakan saja. Berhubungan dengan hal itu sangat perlu untuk dilakukannya suatu pertimbangan lebih lanjut terkait dengan kepemilikan atau juga penguasaan atas suatu narkotika dan sejenisnya dengan jalan melihat secara lebih dalam dari tujuan atau kontekstual beserta maksud yang mendasari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku itu sendiri.

Melihat dari isi keputusan dari hakim tersebut, jika dianalisis terkait maksud dan tujuan yang telah disebutkan sebelumnnya, maka hal itu dapat diartikan juga sebagai suatu niat, maka terdapat beberapa pandangan yang menyatakan bahwa niat sama dengan kesengajaan. Menteri Kehakiman pada saat mengajukan Crimeneel Wetbook Tahun 1881, pada Memorie van Toelichting (Mvt) menyatakan terkait mengenai bahwa suatu kesengajaan adalah dimana merupakan suatu keadaan dengan sadar dalam berkehendak untuk melakukan kejahatan.13 Pengertian dari kesengajaan di dalam Hukum Pidana dikenal dengan adanya 2 jenis teori yaitu teori kehendak (Wilstheorie) yang dikemukan oleh Von Hippel, teori ini menyatakan bahwa suatu kesengajaan ialah suatu kehendak untuk membuat tindakan dan kehendak yang nantinya akan menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu. Hal ini diartikan bahwa suatu akibat akan dapat dikehendaki apabila akibat itu telah menjadi maksud dari tindakan tersebut. Selanjutnya terdapat teori membayangkan (Voorstellingstheorie) yang dikemukan oleh Frank, teori yang disampaikan ini menentukan bahwa setiap manusia tidak dimungkinkan untuk dapat menghendaki dari suatu akibat yang terjadi, disini manusia hanya dapat untuk bisa mengingini, berharap, dan juga membayangkan kemungkinan-kemungkinan akibat yang akan terjadi.14

Secara umum, para ahli hukum pidana menyatakan bahwa terdapat tiga macam bentuk dari kesengajaan, pertama yaitu kesengajaan sebagai maksud atau dikenal dengan istilah opzets als oogmerk, ini diartikan sebagai keaadaan dimana perbuatan yang dilakukan memang telah dikehendaki. Kedua yaitu kesengajaan dengan keinsyafan pasti, ini diartikan sebagai keadaan dimana seseorang memiliki kesadaran jika dalam melakukan perbuatan pasti akan menyebabkan adanya perbuatan lain. Terakhir yaitu kesengajaan dengan

keinsyafan kemungkinan, ini diartikan sebagai keadaan seseorang yang melakukan perbuatan dengan memiliki tujuan untuk dapat menimbulkan akibat.15

Melihat terkait tentang suatu niat atau kesengajaan dalam Pasal 112 ayat (1), tidak dirumuskan sebagai salah satu unsur delik, namun unsur kesengajaan adalah merupakan bentuk kesalahan. Untuk menentukan dapat atau tidaknya subyek tindak pidana dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana maka subyek tersebut harus mempunyai kesalahan (schuld). Pada Pasal 112 ayat (1) ketentuan ini rumusannya didahului dengan “tanpa hak atau melawan hukum”, sehingga dari hal tersebut dapat diketahui bahwa jika salah satu unsur tersebut yaitu unsur tanpa hak dan unsur melawan hukum terpenuhi maka perbuatan tersebut sudah merupakan suatu perbuatan tindak pidana.

Perihal melawan hukum atau yang dikenal dengan istilan wederrechtelitjk jika dilihat dalam ilmu hukum maka hal tersebut dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu melawan hukum secara formil dan melawan hukum secara materiil. P.A.F Lamintang lebih lanjut menjelaskan bahwa dimana suatu perbuatan tersebut telah memenuhi semua unsur-unsur yang terdapat pada rumusan delik menurut suatu Undang-Undang maka hal tersebut dikatakan sebagai tindakan melawan hukum secara formil. Kemudian perbuatan yang dilakukan tidak hanya melanggar dari ketentuan hukum tertulis tetapi juga melanggar atau tidak sesuai dengan asas-asas hukum umum dari hukum yang tidak tertulis maka dikatakan sebagai tindakan melawan hukum secara materiil.16 Van Bemmeleven menentukan terkait hal yang dapat dikatakan sebagai tindakan melawan hukum diantaranya yaitu suatu hal yang bertentangan dengan lingkup pergaulan masyarakat, bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, dan juga bertentangan dengan hak dari orang lain.17 Dilihat kembali pada pengaturan UU No. 35 / 2009 tersebut, dalam hal untuk melakukan baik itu berupa pengedaran maupun penyaluran dan juga dalam pengunaanya terlebih dahulu haruslah mendapatkan persetujuan atau izin secara mengkhusus dari pihak yang berwenang.

Pada pembahasan-pembahasan yang telah dikemukan tersebut, maka dapat dilihat bahwa dalam hal mengenai ketentuan “tanpa hak” berkaitan secara tidak langsung dengan ketentuan “melawan hukum”. Secara lebih praktiks dapat dilihat bahwa ketentuan “tanpa hak” yang pada umumnya merupakan bagian dari “melawan hukum” yaitu perbuatan melanggar ketentuan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis, jika ini dihubungkan dengan ketentuan pengaturan narkotika maka perbuatan yang dikatakan “tanpa hak” tersebut merupakan perbuatan yang dilakukan tanpa adanya suatu persetujuan atapun izin khusus yang telah diberikan oleh pihak yang berwenang sebelumnya berdasarkan dengan ketentuan pengaturan yang telah

ada. Walaupun ketentuan megenai “tanpa hak” merupakan bagian dari “melawan hukum” jika ditelaah lebih lanjut dengan mengacu pada kaitannya dengan pengaturan narkotika yaitu UU No. 35 / 2009 yakni dengan tidak adanya suatu persetujuan atau izin yang diberikan, maka elemen mengenai ketentuan “tanpa hak” dalam hal ini bersifat melawan hukum secara formil sedangkan elemen dari “melawan hukum” itu sendiri dapat diartikan sebagai melawan hukum secara formil atau materiil.

Berdasarkan penjelasan diatas tersebut maka mengenai kata “atau” yang berada antara “tanpa hak” dan “melawan hukum” memiliki sifat alternatif dimana pengertian dari dua frasa tersebut berdiri sendiri (bestand deel), ini diartikan jika salah satu dari elemen tersebut telah terpenuhi maka unsur selanjutnya telah terpenuhi juga. Melihat kembali dari perumusan delik pada Pasal 112 ayat (1) tersebut yang didahului dengan frasa “tanpa hak atau melawan hukum” berarti isi rumusuan berikutnya yaitu “memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika….” diliputi dengan sifat tanpa hak atau melawan hukum itu sendiri.

Dalam peristiwa hukum tersebut, jelas ada perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum tetapi disini perlu diingat bahwa harus dapat dibuktikan bahwa barang tersebut ada dalam penguasaan. Hal ini dikarenakan penguasaan tersebut tanpa hak disebabkan oleh tidak adanya izin atau pesetujuan dari pihak yang berwenang, kemudian bersifat melawan hukum dikarenakan penguasaan tersebut bertentangan dengan hukum tertulis yaitu suatu peraturan perundang-undangan yang di dalam hal ini dinyatakan telah melawan hukum secara formil. Pembahasan yang telah diuraikan tersebut, niat atau kesengajaan dalam hal ini harus dihubungkan dengan maksud penguasaan, yaitu terkait apakah dipakai untuk diri sendiri atau dijual atau juga diedarkan. Hal ini dikarenakan terhadap penjelasan dipakai sendiri atau dijual/diedarkan membawa implikasi pada diharuskannya penerapan Pasal yang berbeda.

  • 4.    Kesimpulan

Ketentuan pengaturan dari Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memiliki ketidakjelasan dalam substansinya yaitu pada frasa “menguasai”. Penerapan pada Pasal tersebut jika terdapat kekeliruan dalam mengartikan frasa “menguasai” dapat menimbulkan ketidakadilan hukum dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan dalam menerapakan Pasal tersebut diperlukan suatu intepretasi atau penafsiran hukum yang dalam hal ini khusunya hukum pidana oleh aparat penegak hukum di dalam pelaksanaanya untuk menerapakan isi dari ketentuan Pasal tersebut. Penafsiran-penafsiran mengenai makna “menguasai” juga sebelumnya telah banyak dilakukan oleh penegak hukum salah satunya dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Tinggi Padang dengan Nomor Putusan 222/PID/2011/PT PDG yang menyatakan bahwa makna “menguasai” dalam perkara perdata tidak bisa digunakan di dalam perkara pidana khusnya pada kasus penyalahgunaan narkotika, kemudian dapat dilihat pada juga yang dikeluarkan oleh MA dalam Putusan Nomor 1386 K/Pid. Sus/2011 yang menyatakankan bahwa kepemilikan dan pengusaan dari narkotika yang hanya digunakan, maka diperlukan suatu pertimbangan dimana kepemilikan atau pengusaan tersebut haruslah dilihat dari maksud beserta tujuannya. Hal ini disama artikan dengan unsur niat atau kesengajaan di dalam Hukum Pidana. Dalam ketentuan Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika rumusan Pasal yang telah didahului

dengan frasa “tanpa hak atau melawan hukum” jika dari salah satu unsur tentang tanpa hak atau melawan hukum tersebut terpenuhi maka perbuatan itu sudah dapat merupakan sebagai tindak pidana, sehingga berikutnya rumusan frasa “memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika …….” diliputi oleh sifat yaitu dengan tanpa hak atau melawan hukum. Maka dari pada itu suatu niat atau kesengajaan harus dihubungkan sebelumnya dengan maksud dari menguasai atau penguasaan, ini terkait apakah hal tersebut dipakai untuk sendiri atau dijual/diedarkan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Artalim, Muntaha. Kapita Selekta Perkembangan Hukum Pidana Di Indonesia (Jakarta, Prenamedia Group, 2018).

Peter, Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum (Jakarta, Kencana, 2017).

Rahmah, A dan Pabbu, Amiruddin. Kapita Selekta Hukum Pidana (Jakarta, Mitra Wacana Media, 2015).

Jurnal Ilmiah:

Aditya, Rayl, dan Risno Mina. “SOSIALISASI PENGUATAN PEMAHAMAN MASYARAKAT TERHADAP BAHAYA NARKOBA DAN MINUMAN BERALKOHOL.” MONSU’ANI TANO Jurnal Pengabdian Masyarakat 2, no. 2 (2019).

Eleanora, Fransiska Novita. “Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Serta Usaha Pencegahan Dan Penanggulangannya (Suatu Tinjauan Teoritis).” Jurnal hukum 25, no.1 (2020): 439-452.

Hariyanto, Bayu Puji. “Pencegahan Dan Pemberantasan Peredaran Narkoba Di Indobnesia. “ Jurnal Daulat Hukum 1, no.1 (2018).

Hartanto, Heri. “Tuntutan Atas Hak Sangkal Pemberian Kuasa Kepada Penerima Kuasa Dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Peradata (Antara Ancaman Dan Pengejawantahan Hak Imunitas Profesi Advokat).” ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata 5, no.1 (2019): 59-74.

Katimin, Herman, dan Ida Farida. “Persefektif Hak Asasi Manusia Terhadap Penerapan Perbuatan Melawan Hukum Pada Pasal Penghinaan Presiden Dan Wakil Presiden Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Menjadi Polemik Di Masyarakat.” Jurnal Ilmiah Galuh Justisi 8, no. 1 (2020): 1634.

Kela, Doni Albert. “Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau dari Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.” Lex Crimen 4, no. 6 (2015).

Latif, Abdul. “Tafsir Hakim Terhadap Unsur Melawan Hukum Pasca Putusan MK Atas Pengujian UU PTPK.” Jurnal Konstitusi 7, no.3 (2016): 049-068.

Murtiwidayanti, Sri Yuni. “Sikap dan Kepedulian Remaja dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba.” Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial 17, no. 1 (2018): 47-60.

Rais, M. I. “Tinjauan Hukum Delik Pembunuhan, Delik Penganiayaan Yang Menyebabkan Kematian Dan Delik Kealpaan Menyebabkan Kematian”. Jurnal Yustistiabel Volume I Nomor I April (2017): 83.

Saputra, Inggar. “Aktualisasi Nilai  Pancasila  Sebagai Kunci Mengatasi

Penyalahgunaan Narkoba Di Indonesia.” JPK (Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan) 2, no.2 (2017): 26-35.

Sudanto, Anton. “Penerapan Hukum Pidana Narkotika di Indonesia.” ADIL: Jurnal Hukum 8, no.1 (2017): 137-161.

Suwandewi, Ni Ketut Ayu, dan Made Nurmawati. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum.” Kertha Wicara: Jurnal Ilmu Hukum: 115.

Ulfa, Linda, Mohn Din, dan Dahlan Dahlan. “Penerapan Ajaran Turut Serta Kasus Korupsi Dikaitkan Teori Pertanggungjawaban Pidana.” Kanun Jurnal Ilmu Hukum 19, no.2 (2017): 285-304.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Internet/Website:

Penggunaan Narkotika Di Kalangan Remaja Meningkat.URL:

https://bnn.go.id/penggunaan-narkotika-kalangan-kalangan-remaja-meningkat. Diakses tanggal 6 Oktober 2020.

Jurnal Kertha Wicara Vol. 10 No. 2 Tahun 2021, hlm. 185-196.