KEBIJAKAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Ni Putu Riska Chandra Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Diah Ratna Sari Hariyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: diahratna88@gmail. com

Anak Agung Ngurah Wirasila, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: ngurah_wirasila@unud. ac.id

DOI : KW.2021.v10.i02.p07

ABSTRAK

Tujuan dari studi ini untuk memberikan informasi sekaligus mengkaji penjatuhan pidana mati bagi pelaku tipikor dalam perspektif hukum di Indonesia saat ini, dan kebijakan pidana mati terhadap pelaku tipikor dalam perspektif UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penulisan jurnal ilmiah menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu melalui pendekatan peraturan perundang-undangan, dan pendekatan secara konseptual dalam mengkaji ketidakpastian hukum yang terdapat pada pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Hasil studi menunjukkan bahwa penulis menemukan tidak ada satupun kasus korupsi yang djatuhi pidana mati oleh aparat penegak hukum saat ini. Hal itu berimplikasi pada ketidakpastian hukum dalam penggunaan unsur kata “dapat” di pasal 2 ayat 2, yang memungkinkan pelaku tipikor tidak bisa dipidana mati. Oleh karena itu untuk kedepannya, sangat diperlukan suatu perubahan agar bersifat imperative. Artinya melalui kebijakan hukum pidana, penggunaan unsur kata “dapat” dirubah menjadi dipidana dengan mati disertai dengan merumuskan delik-delik khusus yang memang benar-benar memandang bahwa pelaku korupsi telah terbukti sangat merugikan dan merusak masyarakat secara luas baik dari segi kuantitas, substantif maupun status pelaku tipikor. Bahkan tidak luput juga kerugian ekonomi dari si korban maupun kerugian sosial ekonomi suatu negara.

Kata Kunci: Korupsi,Pidana Mati, Ketidakpastian hukum

ABSTRACT

The purpose of this study is to provide information and at the same time examine the imposition of the death penalty for corruption offenders from the perspective of law in Indenesia at this time, and the death penalty policy against corruption offenders in the perspective of the Corruption Eradication Law. Writing scientific journals uses normative legal research methods, namely through the approach of statutory regulations, and a conceptual approach in assessing legal uncertainty contained in article 2 paragraph 2 of the Corruption Law. The result of the study show that the authors found that not a single corruption case was currently subject to a death penalty by law enforcement officials. This has implications for legal uncertainty in the use of the word “can” in article 2 paragraph 2, which allows perpetrators of corruption to not be sentenced to death. Therefore, in the future, a change is needed so that it is imperative. This means that through the criminal law policy, the use of the word “can” be changed to punishable by death accompanied by formulatting special offenses which truly view that the perpetrators of corruption have been proven to be very detrimental and damage to society at large in terms of quantity, substantive and status perpetrators of corruption. The economic losses of the victim and the socio-economic losses of a country do not even escape.

Key Words: Corruption, Death penalty, Legal uncertainty.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Korupsi sebagai kategori kejahatan extraordinary crime (kejahatan luar biasa) merupakan ancaman besar yang dihadapi oleh setiap negara di penjuru dunia saat ini, terutama di Indonesia. Berbagai upaya dalam pemberantasannya telah dilakukan, namun pemerintah beserta aparat penegak hukumnya masih belum memiliki cara untuk memberantas kasus korupsi yang selama ini terus terjadi peningkatan.1 Hal ini tentu sangat berimplikasi pada rusaknya sistem tujuan pembangunan nasional terhadap hak dan nilai- nilai yang menjamin sosial ekonomi, demokrasi serta moralitas seluruh masyarakat guna mencapai masyarakat yang tertib,aman, adil, dan sejahtera. 2

Apabila dicermati, yang menjadi akar permasalahan sulitnya memberantas tindak pidana korupsi atau selanjutnya disebut dengan Tipikor di Indonesia saat ini, dikarenakan oleh lemahnya sistem penegakan hukum. Terutama dalam segi sanksinya yang sama sekali tidak memberikan deterent effect (Efek Jera) kepada pelaku tipikor.3 Bahkan banyak perangkat hukum yang menerapkan sanksi pidana ringan dan jarang sekali menerapkan pidana mati maupun seumur hidup kepada para pelaku tipikor yang notabenenya sebagian besar berasal dari sektor lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, bahkan pengusaha dan pihak-pihak terkait dalam tingkat pusat maupun daerah.4 Hal itu tentu disebabkan oleh pelaku tipikor yang lebih cenderung menggunakan kekuasaan atau jabatannya demi kepentingan pribadinya sendiri dalam melakukan aksi secara terorganisir, mulai dari segi modus operandinya bahkan dari jumlah harta kekayaan negara yang dikorupsi. Oleh sebab itu, maka dikenal dengan White Colar Crime atau disebut dengan Kejahatan Kerah Putih. 5

Korupsi sebagai white colar crime ditambah lagi persoalan terkait korupsi semakin marak terjadi di Indonesia saat ini, maka tidak salah jika dalam penanggulangannya sangat diperlukan kebijakan yang luar biasa pula,yaitu melalui kebijakan pidana mati kepada pelaku tipikor yang telah menimbulkan dampak besar atas kerugian ekonomi suatu negara dalam mencapai kesejahtaraan,dan keadilan seluruh masyarakat.6 Meskipun penerapannya sampai saat ini masih menimbulkan perdebatan oleh berbagai pihak, yang mengatakan bahwa penerapan pidana mati itu bertentangan dengan Pasal 28A, 28I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (atau selanjutnya disebut UUD NRI 1945), Pasal 4 dan Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (atau selanjutnya disebut

dengan UU HAM), serta Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), tidak menutup kemungkinan bagi pihak yang menyetujui penerapan ini melihat bahwa penerapan pidana mati dilakukan demi tercapainya efek jera terhadap pelaku tipikor guna mencegah terulangnya tindakan yang sama dilakukan oleh orang lain. 7 Mengingat dalam hukum positif Indonesia telah mengatur ketentuan pidana mati dalam Bab II Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (atau selanjutnya disebut KUHP), yang dalam muatannya terdapat dua jenis-jenis pidana yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Tidak luput juga dalam uraiannya tersebut, ketentuan terkait pidana mati menempati urutan pertama dalam pidana pokok, dikarenakan pidana mati merupakan pidana terberat yang menyangkut nyawa seseorang. Maka dari itu dalam pelaksanaannya harus dibatasi hanya untuk kejahatan-kejahatan berat sebagaimana diatur dalam KUHP.8 Tidak hanya pada kejahatan yang termuat dalam KUHP, prihal mengenai pidana mati juga diterapkan dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP. Salah satunya adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau selanjutnya disebut dengan UU TIPIKOR.

Dalam UU Tipikor, ketentuan mengenai pidana mati telah dimuat dalam pasal 2 ayat (2). Khusus ditujukan terhadap pelaku yang memperkaya diri sendiri atau telah membawa kerugian terhadap keuangan negara sebagaimana disebutkan bahwa “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat(1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Maksud dari ayat (1) tersebut tertuju pada “setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.9 Dengan demikian dari ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pidana mati hanya dapat dijatuhkan apabila terdapat dasar bukti pemberatan kepada pelaku Tipikor yaitu dengan memasukkan “keadaan tertentu” sebagai alasan pemberatan dalam Pasal 2 ayat 2. “Keadaan tertentu” yang dimaksud adalah “keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana yakni apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi ”. 10 Berkaitan dengan permasalahan yang ada pada Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor tersebut, menjadi menarik untuk dikaji secara mendalam. Dikarenakan masih terdapat hal-hal yang multitafsir dalam memberikan kebijakan pidana mati kepada pelaku Tipikor. Salah satunya dalam penggunaan unsur kata “dapat“ yang bisa merujuk pada kemungkinan bahwa pelaku Tipikor tersebut tidak dapat dijatuhi pidana mati. Mengingat saat ini kasus korupsi telah meluas dan berdampak besar pada kerugian ekonomi suatu negara bahkan juga telah menimbulkan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi seluruh masyarakat, maka dalam membrantas kejahatan korupsi sebagai extraordinary crime harus ditindaklanjuti secara tegas dan dirumuskan dengan upaya hukum yang luar biasa pula untuk memberantasnya yaitu dengan cara memberlakukan kebijakan pidana mati kepada pelaku Tipikor.

Bersumber pada beberapa penelitian sebelumnya telah mengkaji mengenai pidana mati kepada pelaku tipikor yaitu dalam penelitian yang berjudul “Penerapan Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi” yang diteliti oleh Muwahid, menyimpulkan bahwa terdapat 2 hal yang menyebabkan hukuman mati tidak pernah diterapkan bagi pelaku tipikor yaitu adanya klausul “dapat” dan “keadaan tertentu” yang memiliki makna fakultatif bukan imperative, selain itu juga dalam klausul “keadaan tertentu” memberikan maksud bahwa hukuman mati yang diterapkan bagi setiap perbuatan tipikor tidak bisa diterapkan selain bagi korupsi yang dilakukan dalam situasi tertentu. Kemudian untuk penelitian yang kedua, juga membahas terkait “Kebijakan Formulasi Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia” yang diteliti oleh Rizva Fauzi B, Barda Nawawi Arief, dan Eko Suponyono yang menyimpulkan bahwa terdapat banyak kelemahan dalam kebijakan formulasi pidana mati bagi pelaku tipikor Indonesia saat ini seperti alasan dalam teknis juridisnya sebagaimana diatur dalam UU Tipikor,sehingga masih mengalami kesulitan untuk diterapkan saat ini. Tidak luput juga untuk penelitian yang ketiga, turut membahas terkait “Problem Yuridis Penerapan Sanksi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001” yang diteliti oleh Prasetyo Budi W, Pujiyono, dan Endah Sri Astuti menyimpulkan bahwa kebijakan formulasi peraturan perundang-undangan mengenai pidana mati bagi pelaku tipikor di Indonesia saat ini, telah diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Kendati demikian substansi formulatif yang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor, menimbulkan kelemahan yang masih multitafsir. Tidak hanya itu penerapan sanksi pidana mati yang dijatuhkan masih terkendala pada badan hukum, dimana badan hukum memvonis pelaku dengan sanksi ringan sehingga koruptor tidak mendapatkan efek jera atas apa yang telah diperbuatnya.

Oleh karena itu terkait permasalahan yang telah dipaparkan diatas, penulis merasakan bahwa penelitian yang berjudul “Kebijakan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” urgent dan menarik untuk diteliti. Mengingat terdapat kelemahan sanksi yang dijatuhkan kepada si pelaku. Sanksi yang diberikan mayoritas ringan dan tidak pernah menjatuhkan sanksi pidana mati, sehingga tidak memberikan efek jera (detterent effect) kepada si pelaku tipikor. Maka dari itu, di dalam penulisan jurnal ini penulis akan memaparkan secara spesifik terkait bagaimana kebijakan pidana mati terhadap pelaku tipikor menurut perspektif UU tipikor.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Apakah penjatuhan pidana mati bagi pelaku tipikor masih berlaku dalam perspektif hukum di Indonesia ?

  • 2.    Bagaimana kebijakan hukum pidana mati terhadap pelaku tipikor dalam perspektif UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi sekaligus mengkaji terkait penjatuhan pidana mati bagi pelaku tipikor dalam perspektif hukum di Indonesia saat ini, dan kebijakan pidana mati terhadap pelaku Tipikor dalam perspektif UU tipikor. Hal ini dikarenakan oleh faktor lemahnya penerapan sanksi kepada si pelaku. Sanksi yang diberikan mayoritas ringan dan sama sekali tidak pernah ditemukan penjatuhan sanksi pidana mati, sehingga tidak memberikan detterent effect kepada si pelaku tipikor. Mengingat korupsi merupakan kategori

extraordinary crime yang telah menimbulkan kerugian besar pada perekonomian negara.

  • II.    Metode Penelitian

Metode dalam penelitian jurnal ilmiah ini menggunakan metode kepustakaan atau sering disebut dengan metode penelitian normatif, yaitu menelaah peraturan yang terkait dengan pokok bahasan sesuai dengan yang disampaikan. Melalui 2 pendekatan yaitu: Pertama, pendekatan secara konseptual yang merujuk pada konsep, pendapat dan pandangan para ahli ilmu hukum (doktrin) terkait permasalahan yang sedang dibahas dalam penelitian ini, dan yang Kedua pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah beberapa peraturan perundang-undangan dan regulasi yang terkait dengan permasalahan yang sedang dibahas seperti UUD NRI 1945, KUHP, UU HAM dan UU Tipikor. Pengumpulan bahan dilakukan dengan metode studi pustaka yaitu dengan membaca dan menganalisis, kemudian mengutip bahan-bahan dari beberapa jurnal ilmiah, buku ataupun literatur lain yang berkaitan dengan bahasan disertai oleh pengolahan bahan secara metode analisis deskriptif yaitu dengan cara menguraikan fenomena atau peristiwa hukum yang dirasakan oleh masyarakat sendiri. Serta beberapa perundang-undangan lainnya yang dijadikan bahan dalam hukum primer adalah UUD NRI 1945, UU TIPIKOR sampai dengan perubahannya, dan UU HAM. Tidak hanya itu beberapa bahan hukum sekunder yang digunakan juga meliputi jurnal-jurnal ilmiah yang relevan dengan rumusan masalah, buku-buku maupun literatur yang memiliki keterkaitan dengan pokok bahasan sebagai penunjang dalam penulisan junal ilmiah ini.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Penjatuhan Pidana Mati Bagi Pelaku Tipikor dalam Perspektif Hukum di Indonesia

Berbicara mengenai pidana mati, berarti membahas tentang pidana yang terberat. Hal ini dikarenakan berat ringannya suatu perbuatan pidana itu hanya dapat ditentukan oleh ketentuan yang dimuat dalam Pasal 69 KUHP dan pasal 10 KUHP, yang menempatkan pidana mati pada posisi paling pertama di dalam jenis pidana pokok.11 Sementara untuk tahap pelaksanaannya sebagaimana termuat di pasal 11 KUHP, dilaksanakan secara algojo yaitu dengan cara menjeratkan sebuah tali yang sudah terikat pada tiang gantungan dari leher si terpidana, kemudian dilanjutkan dengan menjatuhkan sebuah papan di tempat terpidana itu berdiri. Kendati demikian, terkait ketentuan pelaksanaan pidana mati tersebut telah dirubah dengan Perpres Nomor 2 Tahun 1964 yang menyatakan bahwa“pelaksanaan hukuman mati dilakukan dengan ditembak sampai mati di daerah pengadilan yang menjatuhkan hukuman dalam tingkat pertama”.

Pada umumnya di beberapa negara sudah tidak lagi menerapkan pidana mati, bahkan Roger Hood turut serta menggolongkan beberapa negara-negara yang mempertahankan maupun menghapuskan pidana mati untuk semua kejahatan baik itu dari kejahatan biasa maupun secara de facto yang kurang lebih dalam 10 tahun terakhir sama sekali tidak ada pidana mati salah satunya seperti di Belanda, Amerika Serikat, Brazil, Jerman Kolombia, Kostarika, Denmark, Domanika, Honderas

Luxemburg, Uruguay, Swiss, dan Perancis. 12 Berbeda halnya di Negara Indonesia saat ini, melihat bentuk kejahatan yang berat masih menyebar luas di seluruh wilayah Indonesia mewajibkan aparat penegak hukum untuk mempertahankan pidana mati dalam perspektif hukum di Indonesia agar dapat memberikan efek jera (deterant fucntion) kepada si pelaku khususnya pada kejahatan yang telah diatur dalam KUHP seperti Makar kepada Presiden dan Wapres, Membujuk Negara asing melakukan peperangan, Pembunuhan secara berencana, Makar kepada Raja, Mengakibatkan matinya Seseorang atau hancurnya pesawat udara, pembajakan laut pesisir dan sungai yang mengakibatkan kematian, serta pencurian dan pemerasan yang pada akhirnya mengakibatkan luka berat atau mati.

Tidak hanya kejahatan yang telah termuat di KUHP, prihal pidana mati juga diterapkan dalam perspektif hukum yang berada di luar KUHP khususnya pada UU TIPIKOR sampai dengan perubahannya. 13 Bahwasannya pada ketentuan tersebut pidana mati telah diatur dengan tegas dalam pasal 2 ayat (2),namun hingga saat ini belum pernah ditemukan putusan dari pengadilan yang menjatuhkan pidana mati kepada pelaku tipikor.14 Hal ini dikarenakan pro kontra di kalangan masyarakat bahwa penjatuhan pidana mati bagi pelaku tipikor,bertentangan dengan Ideologi dan Falsafah bangsa Indonesia yakni Pancasila dan juga HAM sebagaimana termuat di Pasal 28 A yang menyatakan15: “bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannnya”, Pasal 28 I ayat 1 : “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran, hati dan nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keaadaan apapun dan siapapun.” Kemudian Pasal 4 UU No 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa : “ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di bidang hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Serta Pasal 3 DUHAM yang menyatakan : ” everyone has the right to life, liberty and security of person ( setiap orang mempunyai hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas keamanan diri)”.

Sementara bagi beberapa pemikiran kelompok lainnya, meyakini bahwa penjatuhan pidana mati harus dipertahankan khususnya pada kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraodinary crime) seperti Tipikor, Terorisme, Narkotika, Kejahatan terhadap kemanusiaan dan Genosida guna memberikan efek jera kepada si pelaku dalam menghindari terjadinya tindakan yang sama dilakukan oleh orang lain. 16

Melihat perdebatan tersebut, maka poin terpenting yang dapat ditemukan untuk mempertahankan pidana mati bagi pelaku tipikor di Indonesia adalah bagaimana cara untuk menjadikan manusia itu dilindungi harkat, markat dan martabatnya sebagai manusia baik itu dari segi aspek keadilan, kepastian hukum, maupun manfaat/kegunaan hukum sehingga perkembangan produktivitas manusia akan terus berlangsung sepanjang eksistensi manusia tetap dipertahankan.17 Hal tersebut dapat dikaitkan terhadap problematika yang terdapat pada pasal 28A dan 28I UUD 1945 bahwasannya pidana mati itu dapat dibenarkan dengan dibatasi oleh ketentuan Pasal 28J UUD 1945 yang menyatakan bahwa18: “(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. ”

Hal tersebut kemudian dibuktikan dalam putusan MK Nomor 2/ PUU-V/2007 dan Nomor 3/ PUU-V/2007 Perihal Pengujian UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap UUD NRI 1945, yang memutuskan bahwa “hukuman pidana mati tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD NRI 1945, terutama dalam kasus pengujian UU tentang Narkotika terhadap Pasal 28 A, dan 28 ayat (1) UUD NRI 1945”. Karena dibatasi oleh Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi : “Dalam menjalankan hak atas kebebasanya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.19

Maka dari itu melihat pada penelitian terdahulu yang diteliti oleh Elsa R.M Toule tentang “Eksistensi Ancaman Pidana Mati Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi” menyatakan bahwa dari kedua argumentasi atas pro kontra pidana mati bagi pelaku tipikor, dapat dijadikan acuan untuk menentukan kebijakan pidana mati bagi tipikor di masa yang akan datang. Hal ini dilihat atas realita bangsa Indonesia saat ini, yang berada dalam situasi darurat korupsi karena telah menyebabkan kemiskinan dan kerusakan hak hidup jutaan manusia di Indonesia. Oleh karena itu demi mementingkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, hukuman mati harus dipertahankan dan dirumuskan dalam UU tipikor saat ini maupun pada saat mendatang guna memberikan peringatan keras bagi para pejabat publik untuk tidak melakukan korupsi. Disamping itu pula menurut penulis, hal tersebut juga dapat dipahami bahwa perdebatan yang timbul terkait penjatuhan pidana mati bagi pelaku tipikor, dapat diberikan sepanjang masih dibatasi oleh

ketentuan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Oleh karena telah dibatasi sesuai dengan ketentuan dalam konstitusi negara, maka pidana mati bagi kepada pelaku tipikor harus dipertahankan saat ini maupun pada saat mendatang. Mengingat korupsi sebagai kejahatan extraordinary crime dan semenjak berlakunya UU tipikor, tidak ditemukan satupun putusan dari pengadilan yang memvonis mati kepada si pelaku dikarenakan oleh pro kontra di masyarakat, sehingga untuk kedepannya bagi aparat penegak hukum dalam menangani pidana mati terhadap kasus korupsi harus mengutamakan dampak besar dari kerugian yang dilakukan oleh si pelaku secara hati-hati dan spesifik terkait situasi dan kondisi dari kepribadian yang dimiliki, mulai dari aspek lingkungan maupun keluarganya. 20

  • 3.2    Kebijakan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tipikor dalam Perspektif Undang-

    Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Menurut Prof Sudarto, kebijakan hukum pidana atau yang disebut pula dengan “Politik Hukum Pidana” merupakan suatu wujud usaha yang harus dicapai dalam mewujudkan pencapaian peraturan perundang-undangan yang terbaik. Dalam arti lain yaitu usaha untuk mencapai syarat-syarat keadilan yang telah sesuai dengan keadaan dan situasi pada saat tertentu maupun yang akan datang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam hal melakukan kebijakan untuk membuat peraturan hukum yang terbaik berarti hakikatnya tidak terlepas dari tujuan untuk menanggulangi kejahatan terutama dalam menanggulangi korupsi yang semakin hari terus terjadi peningkatan kasus di Indonesia. 21

Berbicara mengenai kata korupsi memang sudah menjadi topik hangat di telinga masyarakat Indonesia, karena korupsi sebagai kategori extraordinary crime tidak hanya ditujukan untuk memperkaya dirinya sendiri melainkan telah menimbulkan pengaruh besar terhadap keterhambatan dalam mencapai tujuan dari suatu negara baik itu dari segi stabilitas dan keamanan masyarakat, tujuan pembangunan nasional terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas,22 serta nilai demokrasi dan moralitas yang seharusnya diperoleh oleh masyarakat guna mencapai masyarakat yang aman, sejahtera, adil, dan makmur. 23 Maka dari itu untuk menanggulangi korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinarry crime), harus diperlukan kebijakan yang luar biasa pula dalam menanggulanginya. Salah satunya yaitu dengan memberlakukan kebijakan pidana mati sebagai salah satu cara untuk memberikan detterent effect terhadap pelaku tipikor di Indonesia. 24

Kebijakan pidana mati terhadap pelaku tipikor telah diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor yang menyatakan bahwa “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” Maksud dari ayat(1) tertuju pada “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara. ” Oleh karena itu pasal 2 ayat 2 telah disebutkan bahwa pidana mati dapat dijatuhkan terhadap pelaku tipikor sebagai suatu pemberatan pidana, apabila tindakan korupsi dilakukan pada saat “keadaan tertentu.” “Keadaan tertentu” yang dimaksud dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 yakni “pemberatan pidana khusus ditujukan kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) yaitu apabila Tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.” 25

Melihat masih ada unsur penggunaan kata“dapat” yang multitafsir dalam pasal 2 ayat 2 , maka dalam melakukan penjatuhan pidana mati kepada pelaku tipikor berlaku sifat fakultatif. Maksudnya adalah meskipun tipikor itu dilakukan pada saat “keadaan tertentu”, tidak menutup kemungkinan bahwa pelaku tipikor memungkinkan untuk tidak dapat dijatuhi pidana mati sebagaimana tertuang pada pasal 2 ayat (1).26 Hal demikan tentu berimplikasi terhadap lemahnya penerapan pidana mati bagi pelaku tipikor. Meskipun secara yuridis pidana mati telah diatur dengan jelas dalam UU Tipikor, namun tetap saja Indonesia masih kesulitan untuk membrantasnya.

Sesungguhnya berbagai faktor yang menghambat Indonesia dalam membrantas kasus tipikor diantaranya: terdapat kurang efisien dalam hal mengambil kebijakan pidana mati kepada pelaku tipikor sebagaimana hanya diancamkan pada pasal 2 ayat 1 dan Penjelasan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor, Lemahnya struktur hukum seperti KPK, Kepolisian, jaksa, maupun hakim dalam upaya menegakkan hukum yang tegas kepada pelaku tipikor, serta pro kontra di masyarakat terhadap pidana mati bagi pelaku korupsi bahwasannya itu sangat bertentangan dengan Pancasila dan HAM.27 Sementara bagi pemikiran kelompok yang menyetujui pidana mati diberlakukan bagi pelaku korupsi, mengatakan bahwa memang seharusnya pidana mati tetap dipertahankan guna memberikan efek jera kepada si pelaku. 28

Oleh karena saat ini masih terdapat ketidakpastian hukum dalam mengambil kebijakan pidana mati terhadap pelaku tipikor, maka dengan bersumber pada penelitian sebelumnya yang berjudul “Penerapan Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi” yang diteliti oleh Muwahid, menyatakan bahwa terdapat 2 hal yang menyebabkan hukuman mati tidak pernah diterapkan bagi pelaku tipikor yaitu adanya klausul “dapat” dan “keadaan tertentu” yang memiliki makna fakultatif bukan imperative, selain itu juga dalam klausul “keadaan tertentu” memberikan maksud bahwa hukuman mati yang diterapkan bagi setiap perbuatan tipikor tidak bisa diterapkan selain bagi korupsi yang dilakukan dalam situasi tertentu. Menyimak dari pernyataan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa seyogyanya untuk kedepan melalui kebijakan hukum pidana unsur kata “dapat” seharusnya dilakukan perubahan agar bersifat imperative. Artinya, unsur kata “dapat” dirubah menjadi dipidana

dengan mati disertai dengan cara merumuskan delik-delik khusus untuk para pelaku korupsi yang memang benar-benar dipandang sangat merugikan dan merusak kehidupan berbangsa maupun bernegara baik itu dari segi kuantitas, substantif, maupun status dari si pelaku.29 Bahkan tidak luput juga pada kerugian ekonomi dari si korban dan kerugian sosial ekonomi suatu negara guna terciptanya keadilan, ketertiban dan keamanan di dalam masyarakat. 30

  • IV.    Kesimpulan

Penjatuhan pidana mati bagi pelaku tipikor telah diatur di pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Kendati demikian sejak dikeluarkannya UU tersebut, tidak ditemukan satupun putusan dari pengadilan yang menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tipikor hingga saat ini. Hal itu berimplikasi pada kebijakan dalam penggunaan unsur kata ”dapat” yang tertuang di pasal 2 ayat 2 UU tipikor, yang memungkinkan bahwa pelaku tipikor tidak bisa dipidana mati. Tidak hanya itu, terdapat juga kelemahan di struktur hukum dalam memberantas kasus tipikor dikarenakan oleh pro kontra yang terjadi di masyarakat terhadap pidana mati bagi pelaku tipikor. Oleh karena itu untuk kedepannya, sangat diperlukan suatu perubahan agar bersifat imperative. Artinya melalui kebijakan hukum pidana, penggunaan unsur kata “dapat” dirubah menjadi dipidana dengan mati disertai dengan merumuskan delik-delik khusus yang memang benar-benar memandang bahwa pelaku korupsi telah terbukti sangat merugikan dan merusak masyarakat secara luas baik dari segi kuantitas, substantif, maupun status pelaku tindak pidana korupsi. Bahkan tidak luput juga kerugian ekonomi dari si korban maupun kerugian sosial ekonomi suatu negara.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hamzah, Andi. HukumjPidanah Indonesia, (Jakarta, SinarjGrafika, 2017), 181.

Nawawie A, Barda. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta, Prenamedamedia Group, 2016), 26.

R, Wiyono. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta, Sinar Grafika, 2009), 44.

Jurnal Ilmiah

Astuti, AM Endah Sri. "Problem Yuridis Penerapan Sanksi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001." Diponegoro Law Journal 5, no. 4 (2016): 1-12.

Bonitua,Yan David, and Purwoto Pujiyono. "Sikap dan Pandangan Mahkamah Konstitusi terhadap Eksistensi Sanksi Pidana Mati di Indonesia. " Diponegoro Law Journal 6, no. 1 (2017) : 1-18.

Batubara, Risva Fauzi. "Kebijakan Formulasi Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia." Law Reform 10, no. 1 (2014): 74-83.

Hikmah, Hikmah, and Eko Sopoyono. "KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI BERBASIS NILAI KEADILAN." Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 1, no. 1 (2019): 78-92..

Latumaerissa, Denny. "Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan Ancaman Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Korupsi. " Jurnal Sasi 20 (2014).

Maswandi, Maswandi. "Penerapan Hukuman Mati Bagi Koruptor dalam Perspektif Islam di Indonesia. " JURNAL MERCATORIA 9, no. 1 (2016): 75-85..

Muwahid, Muwahid."Penerapan Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi. " Al-Qanun: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam 18, no. 2 (2015): 248-274.

Marpaung, Zaid Alfauza. "KEBIJAKAN HUKUMAN MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM. " Jurnal Ilmiah Advokasi 7, no. 1 (2019): 31-42.

Mastalia, Ari. "KEDUDUKAN PIDANA MATI SEBAGAI SANKSI DALAM PIDANA KORUPSI. "

Sirin, Khaeron. "Mungkinkah Koruptor Dihukum Mati? Analisis Perdebatan tentang Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia." Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum 4, no. 1 (2015).

Sutoyo, Daniel. "Tinjauan Teologis terhadap Wacana Penerapan Hukuman Mati bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi di Indonesia." DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 3, no. 2 (2019): 171-198.

Toule, Elsa RM. "Eksistensi Ancaman Pidana Mati dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi." Jurnal Hukum PRIORIS 3, no. 3 (2016): 103-110.

Yanto, Oksidelfa. "penjatuhan pidana mati pelaku tindak pidana”“korupsi dalam keadaan tertentu”“(death penalty to corruptors in a certain condition)”." (2017): 49-55.

Yanto, Oksidelfa. "Efektifitas Putusan Pemidanaan Maksimal Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Rangka Pengentasan Kemiskinan. " Syiah Kuala Law Journal 1, no. 2 (2017): 18-36.

Yuhermansyah, Edi, and Zaziratul Fariza. "Pidana Mati dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Kajian Teori Zawajir dan Jawabir). " LEGITIMASI: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Islam 6, no. 1 (2017).

Wardani, Koko Arianto, and Sri Endah Wahyuningsih. "Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia." Jurnal Hukum Khaira Ummah 12, no. 4 (2017): 951-958.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Jurnal Kertha Wicara Vol. 10 No. 2 Tahun 2021, hlm. 174-184.