STATUS ANAK ADOPSI DALAM PEMBAGIAN

HARTA WARISAN PERSPEKTIF KITAB UNDANG-
UNDANG HUKUM PERDATA

Ida Ayu Made Manik Nareswari, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Made Dedy Priyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dedy_priyanto@unud. ac. id

DOI : KW.2021.v10.i02.p06

ABSTRAK

Tujuan dari penulisan jurnal ini untuk mengkaji kepastian hukum yang melindungi terkait status anak adopsi dalam pembagian harta warisan serta mengetahui upaya yang telah dilakukan oleh pihak adopsi atau orang tua angkat dalam menjamin pengesahan secara hukum bahwa anak tersebut berhak mewarisi hartanya. Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini ialah metode yang sifatnya yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan/ statute approach dan pendekatan konseptual/conceptual approach dimana dalam penelitian ini lebih memberikan sudut pandang terkait analisis penyelesaian permasalahan yang dilihat dari perspektif konsep-konsep hukum yang melatarbelakangi permasalahan dengan sumber data yang berasal dari internet dan kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepastian hukum yang melindungi anak angkat tersebut diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, undang-undang ini berfokus pada aturan untuk memberikan sebesar besarnya kemanfaatan, perlindungan dan kesejahteraan bagi anak disetiap aspek kehidupan anak, salah satunya dalam pembagian hak warisan yang akan jatuh atau sah ke tangan anak angkat apabila terjadi peristiwa kematian dan seperti yang tercantum dalam Pasal 830 KUHPer. Serta adapun upaya yang dilakukan oleh orang tua angkat dalam menjamin pengesahan secara hukum bahwa anak tersebut berhak mewarisi hartanya yaitu dengan mengesahkan anak tersebut di pengadilan yang mengacu pada Undang-Undang Staatsblad 1917 No. 129 mengenai warisan bagi anak angkat.

Kata Kunci: Anak, Harta Warisan, Hukum Perdata.

ABSTRACT

The aim of writing this journal is to examine the law certainty that protects the status of adopted children of wedlock in the distribution of inheritance and to find out what efforts have been made by adopters or adoptive parents to ensure legal validation that the child has the right to inherit his property.Normative method used in this research with a normative prespective usingmethod using a conceptual approach where in this study it provides a more perspective on problem solving analysis seen from the perspective of legal concepts that background the problem with data sources from the internet and literature. The results of this study indicate that legal certainty that protects adopted children is regulated in Law Number 35 of 2014 concerning Child Protection. This law regulates various efforts made in the context of child protection, fulfillment of rights and improvement of children's welfare, and for the distribution of inheritance will fall or be legal in the hands of adopted children in the event of death and as stated in Article 830 of the Bookoof Law. Civil Law. As well as the efforts made by adoptive parents to guarantee legal validation that the child has the right to inherit his property, namely by legalizing the child in court which refers to the Staatsblad Law 1917 No. 129 regarding inheritance for adopted children.

Key Words: Children, Inheritance, Civil Law.

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang Masalah

Perkawinan menjadi salah satu syarat dalam pemenuhan surat wasiat, dimana selain sebagai pemenuhan syarat, perkawinan juga merupakan tuntutan naluri manusia dari bentuk manifestasi alam untuk kelangsungan hidup dalam membentuk generasi selanjutnya. Untuk melakukan pembagian warisan diperlukan penegakan hukum waris, yang dimana hukum waris merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hukum perdata secara keseluruhan serta hukum kekeluargaan pada bagian terkecilnya. Terdapat kedekatan yang erat antara hukum waris sebagai bagian dari hukum keluarga dengan kehidupan manusia, sebagaimana diketahui bahwa secara kodrati manusia akan bertemu dengan kematian dan setelahnya meninggalkan sesuatu baik itu berupa hak maupun kewajiban. Oleh karena demikian maka selanjutnya akan terjadi peristiwa hukum, diantaranya terkait dengan pengurusan hak dan kewajiban yang telah ditinggalkan dari seseorang yang meninggal tersebut. 1 Soepomo menguraikan bahwa hukum waris dikatakan sebagai sebuah peraturan peraturan yang berfokus pada proses angkatan manusia , membuat menjadi diteruskannya barang barang dan harta benda yang immateril pada generasi penerusnya atau keturunan selanjutnya yang dihimpun pada peraturan perundang undangan maupun yang disepakati dalam adat.2

Maka dari itu kehadiran seorang anak bisa menjadi generasi penerus dalam melanjutkan hak serta kewajiban dari orang tuanya yang telah meninggal. Tapi rencana tersebut hanyalah dijadikan sebagai jadwal untuk masa depan oleh seorang suami istri karena, beberapa pasangan berumah tangga sangat menginginkan hadirnya sosok anak ditengah tengah hiruk pikuk rumah rumah tangga mereka, tetapi terhalang karena tidak bisa mempunyai keturunan. Kedudukan anak angkat karena seseorang mengadopsi atau mengangkat anak untuk dijadikan sebagai anak mereka baik itu anak laki – laki maupun anak perempuan dan tidak adanya batasan untuk jumlah adopsi, disesuaikan dengan kemampuannya mengangkat anak. Oleh karena itu upaya untuk adopsi atau pengangkatan anak menjadi pilihan untuk mempunyai anak walaupun bukan anak kandungnya sendiri atau anak diluar dari hasil perkawinan. 3

Bagi orang tua angkat yang perlu diperhatikan dalam mengadopsi anak yaitu seluruhnya berorientasi pada kesejahteraan dan kepentingan yang terbaik bagi anak. Lain hal untuk pengangkatan anak ini tidak akan memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua kandungnya dan orang tua yang akan mengangkat anak harus seagama dengan calon anak angkatnya. Pada beberapa kesempatan, ditemui berbagai kasus yang berkaitan dengan pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi tujuan utama dari proses tersebut, salah satunya yakni adanya sengketa waris yang berkembang didalam hukum keluarga

ketika kelak pewaris meninggal dunia dan hanya tersisa anggota keluarga yang berselisih terhadap siapa yang seharusnya mewaris. Tak jarang anak angkat menjadi anak yang dikesampingkan karena kedudukannya dianggap tidak sepenuhnya sah walaupun telah melalui berbagai prosesi, hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman dan keyakinan masyarakat luas berkaitan dengan Pengangkatan anak di Indonesia berbeda di masing – masing daerah, hal ini dikarenakan Indonesia masih sangat kental akan adat istiadat sehingga setiap prosesnya harus dikaitkan dengan kepercayaan dan tradisi masing masing daerah, dengan cara melaksanakan suatu upacara keagamaan, melakukan pengumuman oleh pejabat serta tokoh agama agar diterima status dan kehadiran anak angkat tersebut . Setelah upacara pengangkatan anak selesai, anak tersebut sepenuhnya telah menjadi bagian dari keluarga serta sanak saudara yang mengangkatnya, hal ini memunculkan implikasi terputusnya hak warisannya dalam ikatan kerabat lama seperti di Bali. Sementara itu di daerah Jawa anak yang diangkat sebagai anak angkatnya idealnya keponakannya sendiri dengan tidak memutuskan pertalian antar anak yang diadopsi dari orang tua kandungnya. 4 Pengangkatan anak yang sah dihadapan hukum adalah suatu keharusan yang harus dilaksanakan ketika ingin melakukan tindakan hukum pengangkatan anak agar secara sah dapat mengemban hak dan kewajiban sebagai anak angkat maupun orang tua wali angkat.

Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dengan keragaman adat istiadatnya memiliki tendensi untuk menjalani prosesi pengangkatan anak dengan tahapan yang sesuai dengan adat istiadat dan tak jarang melupakan tahapan hukum yang menghasilkan penetapan dari pengadilan. Pada proses pengangkatan anak terdahulu, tidak dilalui dengan proses hukum sehingga banyak hak anak angkat yang seharusnya dapat diperoleh menjadi berkurang bahkan diabaikan, dengan adanya kemajuan akan pemahaman pentingnya memberikan legalitas terhadap proses pengangkatan anak sehingga kini masyarakat telah semakin paham dengan proses hukum untuk memperoleh penetapan dari pengadilan. Hal ini tentu akan berdampak pada anak angkat mempunyai kepastian hukum karena mengingat Roscoe Pound menyatakan bahwa eksistensi hukum dalam fungsinya sebagai law as a tool of social control yakni menjadi control social untuk menjaga ketertiban baik bagi anak angkat serta bagi orang tua angkat.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (Selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) mengatur berkaitan dengan anak angkat. Pada peraturan tersebut ditetapkan bahwa adanya putusan pengadilan menjadi dasar penetapan yang strict yang bertujuan menjamin kepastian hukum yang bermuara pada tercapainya ketertiban dan keadilan dimasyarakat. 5 Karena dimata hukum tindakan mengangkat/mengadopsi anak hanya dapat dilaksakanan sebesar besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan anak itu sendiri. Pasutri tersebut tidak memperoleh keturunan asli dari perkawinan mereka maka harta serta kewajiban yang mereka miliki akan diwarisi oleh anak angkat tersebut. Meskipun status dari anak angkat bukan keturunan asli dari kedua pasangan tersebut tapi anak angkat itu sudah

sah di mata hukum, maka dari itu dia berhak untuk menjadi ahli waris tunggal. Karena pada dasarnya rencana tersebut akan terealisasikan pada saat pemilik warisan sebelumnya telah meninggal dunia, dimana harta waisan mulai terbuka ketika dilakukan pembagian warisan oleh pemilik sebelumnya kepada ahli waris tunggal dengan dipisahkan pada dua bentuk yakni harta serta hutang.

Penelitian ini memiliki state of the art yang dimana diambil dari beberapa contoh penelitian terdahulu sebagai panduan dalam menulis jurnal ini. Penulis mengambil dua contoh jurnal yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengangkatan Anak (Adopsi) dan Pembagian Harta Warisnya” oleh Moh. Nashiruddin Amin dan Abd Hadi dari INSUD Lamongan yang menjelaskan mengenai status (kedudukan) anak angkat sebagai ahli waris orang tua angkatnya namun dalam hal ini hanya membahas menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selanjutnya jurnal yang berjudul “Perlindungan Terhadap Hak-Hak Anak Angkat dalam Pembagian Harta Waris Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Islam” ditulis oleh Muhammad Al-Ghazali dari IAIN Bengkulu menjelaskan mengenai perlindungan dan hak-hak anak angkat dalam pembagian harta warisan perspektif hukum perdata dan hukum islam yang dimana diantara kedua sistem hukum islam dan sistem hukum perdata yang lebih memadai memberikan perlindungan hukum adalah hukum islam. Perbedaannya dengan jurnal ini yaitu penulis menguraikan lebih detail berkaitan dengan status anak angkat perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata serta meninjau berbagai peraturan terkait pengangkatan anak dalam prespektif hukum keperdataan dan memberikan sumbangsih pemikirian untuk semakin menguatkan pengawasan dalam pengangkatan anak di Indonesia. Penulis berkeinginan menguraikan topik ini dikarenakan melihat tendensi masyarakat Indonesia yang belum memahami secara penuh berkaitan dengan hak mewaris anak angkat yang selama ini lebih sering diabaikan. Berdasar pada uraian latar belakang diatas, penulis berkeinginan untuk menguraikan perlindungan hukum terkait status anak adopsi dalam pembagian harta warisan serta untuk menguraikan upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pihak adopsi atau orang tua angkat dalam menjamin pengesahan secara hukum bahwa anak tersebut berhak mewarisi hartanya, dengan judul “Status Anak Adopsi Dalam Pembagian Harta Warisan Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah perlindungan hukum yang melindungi terkait status anak adopsi dalam pembagian harta warisan?

  • 2.    Apakah upaya yang dapat dilakukan oleh pihak adopsi atau orang tua angkat dalam menjamin pengesahan secara hukum bahwa anak tersebut berhak mewarisi hartanya?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan jurnal ini adalah:

  • 1.    Untuk mengetahui perlindungan hukum yang melindungi terkait status anak adopsi dalam pembagian harta warisan.

  • 2.    Dapat mengetahui upaya yang dilakukan oleh pihak adopsi atau orang tua angkat dalam menjamin pengesahan secara hukum bahwa anak tersebut berhak mewarisi hartanya.

  • II.    Metode Penelitian

Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yang sifatnya doktrinal dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan/ statute approach dan pendekatan konseptual/conceptual approach dimana dalam penelitian ini lebih memberikan sudut pandang terkait analisis penyelesaian permasalahan yang dilihat dari perspektif konsep-konsep hukum yang melatarbelakangi permasalahan dengan sumber data yang berasal dari internet dan kepustakaan. Dan untuk Teknik dalam penelitian ini menggunakan teknik penelitian kualitatif dengan analisis penelusuran data melalui dokumen. 6

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Perlindungan Hukum Yang Melindungi Terkait Status Anak Adopsi Dalam Pembagian Harta Warisan

Pengangkatan anak dalam beberapa lingkup perkawinan dilaksanakan untuk tetap menjaga marwah perkawinan yang selayaknya dikaruniai anak kandung, sehingga konsekuensi yuridis suatu proses pengangkatan anak idealnya harus terbentuk ikatan selayaknya anak kandung dengan orang tua kandung serta persamaan atas seluruh kedudukan hukum sebagaimana anak kandung. Istilah pengangkatan anak dalam hukum perdata disebut sebagai adopsi. Pengaturan berkaitan dengan adopsi diatur pada berbagai regulasi yang berkemanfaatan untuk memberikan perlindungan dan mensejahterakan anak. Awalnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak7 pada pokoknya menuangkan bahwasanya anak yang melalui proses adopsi dialkukan berdasar pada adat dan kebiasaan ataupun dengan mengutamakan kepentingan anak secara utuh dalam aspek kesejahteraannya, serta adopsi anak juga harus tunduk berdasar pada peraturan perundang undangan terkait. Kemudian, tercetus komitmen Pemerintah yang memeberikan perlindungan terahadap anak dengan diundangkannya UU Perlindungan Anak yang mengatur tentang bagaimana selayaknya hak-hak anak dapat terpenuhi serta meningkatkan kesejahteraan anak. Memberikan kesempatan bagi orang tua yang sigap dan dapat menjamin kehidupan anak kedepannya merupakan solusi yang tepat sehingga diberikanlah hak bagi orang tua ataupun wali yang ingin mengambil kesempatan itu.

Pelaksanaan pengangkatan anak harus menjaga marwah ius constitutum sebagaimana Indonesia adalah negara hukum yang segalanya berlandas pada hukum untuk menjaga ketertiban masyarakat. Serta terdapat pula Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (selanjutnya disebut PP 54/2017). Pada Pasal 1 angka 2 PP No 54/2017 mengatur mengenai pengangkatan atau adopsi anak sebagai suatu tindakan hukum yang dapat memindah alihkan anak dari lingkungan sebelumnya yang belum dalam penguasaan orang tua atau wali yang sah , menjadi sepenuhnya dialihkan kekuasaannya oleh orangtua wali, atau orang lain yang bertanggung jawab dalam lingkup pertanggungjawaban sebagai berikut :

perawatan, pendidikan dan membesarkan anak dilingkungan orang tua angkat. 8 Pengaturan lainnya juga terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia (Permensos) Nomor 110/ HUK/ 2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak yang mengatur mengenai Pengangkatan Anak yang mengatur pengertian yang sama terhadap Pengangkatan Anak. 9

Untuk bisa merealisasikan mandat yang telah dipercayakan maka hal yang perlu diperhatikan adalah mengetahui hukum yang berlaku. Karena dalam hal ini Perlu digaris bawahi bahwa pengangkatan anak sangat penting dan sepatutnya melakukan tindakan yang sesuai dengan hukum yang berlaku untuk kemudian dengan menjalani proses tersebut akan memperoleh penetapan pengadilan sebagai salah satu wujud dari kemajuan kearah ketertiban hukum. Tatanan hukum yang mengatur terkait berpindah alihnya harta warisan dari pewaris sebelumnya kepada ahli waris berikutnya adalah Hukum Waris. Termaktub pada Burgeljik Wetboek bahwasanya warisan akan jatuh atau sah ke tangan anak angkat apabila terjadi peristiwa kematian. Wujud dari warisan bukan hanya berupa pewarisan harta yang berwujud kekayaan tetapi juga hutang piutang yang dimiliki oleh pewaris yang telah meninggal dunia semasa hidupnya. Konsekwensi hukum waris sebagai hukum yang sifatnya mengatur bahwa pewaris sebagai pemilik harta berhak mengatur apa saja yang dikehendaki atas hartanya karena mempunyai hak mutlak. Harus diakui secara yuridis pengaturan hak waris bagi anak hasil adopsi memang belum diatur dalam KUHPer, namun untuk melengkapi hal tersebut dapat dilihat dengan kedudukan peraturan Staatsblad Tahun 1917 Nomor 129 yang menjadi padanan dari adanya vogue of norm dari KUHPer. Pada hukum pembagian warisan bagi ahli waris yang merupakan bukan golongan sedarah sangat menjadi polemik di kalangan keluarga besar dari orang tua angkatnya maka dari itu berdasarkan pada pasal 12 Undang -Undang Staatsblad 1917 Nomor 129 mengenai warisan bagi anak angkat menyatakan bahwa anak angkat sepatut dan selayaknya disamakan dengan anak yang sah”.

Memperhatikan ketentuan pasal 250 KUHPer bahwa anak yang lahir serta tumbuh dalam lingkungan perkawinan yang menitikberatkan pada adanya ikatan hubungan darah sehingga akan membuahkan akibat hukum yang berbeda menurut hukum karena diatur dalam Pasal 913 KUHPer bahwa anak tersebut yang lahir dari suatu ikatan perkawinan yang sah akan menjadi sah juga untuk mendapatkan warisan. Dalam pasal 12 tersebut anak yang dimaksud adalah anak sah, karena dalam bagian ke 3 Titel/ Bab ke II diawali dari pasal 862 KUH Perdata pembuat Undang – Undang mengadakan peraturan tersendiri mengenai anak luar kawin. 10 Yang termasuk ke dalam kelompok anak sah yaitu anak yang disahkan serta anak adopsi yang sudah sah di mata hukum. Terdapat beberapa hal seperti hak dan juga kewajiban yang mungkin tidak akan bisa diwariskan karena hal ini timbul dari hubungan hukum keluarga dengan kemungkinan bahwa hal tersebut dianggap menjadi suatu hak yang hanya memang bisa dimiliki oleh garis keturunan asli.

Untuk jenis hukum hak waris perdata dikenal dengan dua cara dimana cara pertama yaitu seseorang memperoleh hak warisan berdasarkan Undang Undang dan

pewarisan secara wasiat. Selanjutnya langkah kedua diperoleh dari hak ahli waris itu secara uit eigen hoofed dan menurunkan secara indereclty atau dengan langkah melakukan subsitusi (bijplaatsvervulling) yang berlaku bagi anak angkat maupun anak di luar kawin. Untuk cara pembagiannya biasanya pemilik warisan sebelumnya akan memberikan surat wasiat kepada ahli waris setelah pemilik sebelumnya benar-benar tidak mampu untuk melanjutkan mengurusnya ataupun telah meninggal. Dalam hal ini anak angkat akan disebut sebagai pengganti karena sudah dianggap sah di mata hukum. Ada empat kategori golongan besar yang berhak mewaris yang diatur dalam KUHPer.11

Telah diatur secara ketat dalam KUHPer bahwa anggota keluarga memiliki porsi serta kedudukannya masing masing dalam hukum waris. Dapat pula dianggap sebagai bentuk skala prioritas bagi golongan ahli waris ditetapkan secara beruntun. Tahapan menentukan ahli waris dilakukan berjenjang, dari urutan teratas sebagai golongan ahli waris pertama, dalam posisinya sebagai ahli waris jika tidak terdapat anggota keluarga yang memenuhi posisi tersebut maka akan berlanjut pada golingan selanjutnya. Jika semua golongan ini tidak ada barulah golongan keempat secara bertingkat berhak mewarisinya. Jika menyinggung kedudukan hak mewaris dalam hukum islam berbeda dengan apa yang termaktub dalam hukum perdata, diyakini bahwa dalam hukum islam perdata terdapat opsi yang memberikan pilihan hibah yang diatur dalam Pasal 957 KUHPer.

  • 3.2    Upaya Orang Tua Angkat dalam Menjamin Pengesahan Secara Hukum

    Bahwa Anak Tersebut Berhak Mewarisi Hartanya

Sebagai anak angkat permasalahan akan timbul ketika dia ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh orang tua angkatnya. Hal ini biasanya timbul karena dia dianggap tidak pantas sebagai pewaris oleh kerabat maupun keluarga besar orang tua angkatnya, karena dia bukan keturunan asli dari hasil perkawinan. Oleh karena itu sebagai orang tua angkat pasti akan melakukan hal yang terbaik bagi anaknya meskipun dia bukan darah dagingnya, dengan melakukan berbagai upaya dalam menjamin pengesahan secara hukum agar anak tersebut diakui secara sah oleh keluarganya bahwa dia merupakan pewaris tunggal dari orang tua angkatnya. Selain dengan upaya hukum ritual keagamaan juga harus diterapkan dengan tujuan agar anak tersebut semakin memiliki ikatan batin yang erat dengan orang tua angkatnya layaknya anak yang dilahirkan. Menurut Undang-Undang Staatsblad 1917 Nomor 129 menyoal Warisan Bagi Anak Angkat, pasal 12 ayat (1) Staatsblad termaktub pada pokoknya yakni langkah pengangkatan anak harus dipandang memiliki konsekuensi yudiris pada status anak angkat sehingga haruslah orang tua tersebut menganggap anak angkat sebagai anak yang telah ada pada perkawinan, dianggap sebagai anak yang sah dengan ikatan biologisnya tidak sedarah. 12

Kedudukan ahli waris bagi anak luar kawin selama tidak menimbulkan permasalahan yang berarti terhadap orang tuanya tetap berhak atas hak waris yang bersumber dari orang tuanya. 13 Diatur dalam Pasal 913 KUHPer termaktub bahwa

terdapat legitime portie yakni sebagai suatu bagian hak yang mutlak didapat dari bagian harta peninggalan yang selayaknya dan sepatutnya diberikan oleh pewaris dengan garis lurus berlandas pada peraturan perundang-undangan, serta bagi si yang meninggal tidak diperkenankan memastikan ataupun melakukan penetapan sesuai pemberian diantara yang masih hidup maupun yang ada dalam wasiat , implikasinya yakni anak sah mempunyai bagian mutlak dalam warisan.14 Dalam pasal 12 ayat (2) Ordonantie Staatsblad 1917 Nomor 129 berbunyi yaitu jika suami setelah perkawinannya bubar mengadopsi seorang anak, maka anak tersebut telah dianggap sebagai anak yang lahir dari perkawinan yang telah bubar karena kematian. 15 Di dalam pasal 12 ayat (2) ini pembuat Undang-Undang membedakan antara kata- kata Uit een dan Uit het. Tak dipungkiri bahwa sebab pecahnya suatu perkawinan karena kematian salah satu pihak, dalam hal ini istri, tetap saja anak angkat tersebut dianggap sudah layak untuk menjadi anak yang sah berserta degan hak dan kewajiban yang sah pula berlandaskan hukum dari suami namun bukan anak dari mantan atau bekas istri yang telah sah kedudukannya untuk bercerai ataupun meninggal dunia. Pecah perceraian juga tidak termaktub dalam pasal ini dengan dalil dengan demikian akan timbul hubungan bekas antara istri dengan anak angkat.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979 mengatur upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua angkat atau wali secara hukum agar diakui keabsahannya dalam hal pengangkatan anak diatur secara prosedural pengangkatan anak di Pengadilan. Berdasarkan SEMA tersebut pula, bahwa hanya pada Pengadilan daerah hukum yang meliputi tempat tinggal atau kediaman anak yang diangkatlah yang sah ditetapkan sebagai Pengadilan yang berwenang. Nilai putusan pengadilan besifat konstitutif bagi prosedur pengangkatan anak, setelahnya maka akan tercipta hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. Selain pada hak atas hak waris yang didapat oleh anak angkat, adapun jaminan kesejahteraan yang harus dipenuhi oleh orang tua atau wali yang telah bersedia mengangkat anak. Untuk memastikan hal tersebut berdasar pada Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Bimbingan, Pengawasan dan Pelaporan Pelaksanaan Pengangkatan Anak menegaskan dalam Pasal 9 yakni pelaksanaan pengawasan bertujuan untuk menghindari adanya hal hal menyimpang dalam proses pengangkatan anak. Hal ini sejalan dengan yang termaktub dalam PP No 54 tahun 2007 pada Pasal 12 dan Pasal 13 yang mengatur keharusan orang tua angkat untuk membuat pernyataan dalam bentuk tertulis mengenai pengangkatan anak bahwa keinginan untuk mengangkat anak memang dilakukan sebesar- besarnya untuk kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak.

Untuk lebih memastikan bahwa anak angkat tersebut dilindungi oleh payung hukum, maka orang tua angkat tidak boleh menyimpang dari Undang-Undang Perlindungan Anak yang telah menentukan ketentuan pidana baik yang dilakukan oleh individu maupun korporasi yang sudah ditetapkan dalam UU Perlindungan Anak Pasal 77 hingga Pasal 90 Tentang Perlindungan Anak. 16 Pada dasarnya anak

angkat yang dijadikan sebagai ahli waris sering menimbulkan adanya konflik dalam ikatan antara orang tua angkat dengan si anak. Seperti yang sudah terjadi sebelumnya banyak permasalahan yang terjadi karena perebutan wasiat seperti, syarat atau aturan yang dibuat sendiri oleh orang tua angkatnya dengan menambahkan ancaman tidak akan memperoleh warisan di dalam aturan tersebut yang membuat anak angkat tersebut merasa tidak nyaman. Ketidaksepakatan antara aturan tersebut membuat hukum harus bertindak di dalamnya dengan tujuan membagi harta warisan secara adil. Pluralistic system hukum waris di Indonesia tidak hanya beragamnya system kekeluargaanya melainkan banyak adat istiadat masyarakat Indonesia yang dikenal bervariasi. 17

Seorang anak harus dipandang sebagai seorang yang harus dilindungi terlepas dari status keperdataannya, karena dengan memberikan pemahaman secara luar kepada masyarakat berkaitan dengan pentingnya mengusahakan kesejahteraan anak yang berpeluang besar dalam menghindari anak dari hal-hal yang tidak diinginkan yang mengarah pada suatu tindak pidana. Menghindari hal tersebut tentu harus disinergikan dengan peraturan serta pemahaman masyarakat, salah satunya yakni dengan tetap memberikan edukasi pada setiap pihak yang berperan dalam proses pengangkatan anak seperti panti sosial, dinas sosial terkait serta orang tua atau wali angkat agar tidak terjadi hal hal yang menyimpang dari amanat perundang undangan yang menjaga penuh hak anak dimanapun berada. Terdapat alur normatif yang memang telah diatur dalam peraturan pelaksana bahwasanya orang tua atau wali angkat memang diberikan kebebasan untuk melaporkan perkembangan anak angkatnya paling sedikit 1 tahun sampai pada anak tersebut berumur 18 tahun. Hal ini menjadikan celah yang lebih luas karena sangat mudah disalahgunakan bagi oknum orang tua angkat yang melakukan pengangkatan anak tidak sepenuhnya untuk kepentingan kesejahteraan bersama ataupun juga kelak ketika orang tua angkat telah meninggal dan mewarisi harta kekayaan maka akan sangat rumit bagi anak angkat untuk mendapatkan haknya sebagaimana diatur dalam hukum. Salah satu yang kian marak seperti adanya praktek jual beli anak dengan modus operandi pengangkatan/adopsi anak. Kurangnya pemahaman akan pentingnya melalui prosedur hukum dalam pengangkatan anak menjadikan timbulnya celah tindak pidana yang dapat dihindari dengan memberikan pengawasan secara penuh dan ketat terhadpa proses pengangkatan anak yang berfokus dalam aspek keperdataannya. Praktek pengangkatan anak dalam proses pembaharuan hukumnya diharapkan dapat tetap menjamin kesejahtraan anak sejak ditetapkan telah berpindah kekuasaan kepada orang tua atau wali angkatnya agar terhindar dari penyimpangan serta tindakan pidana lainnya seperti jual beli anak dengan modus operandi adopsi anak. Kepada pembentuk kebijakan, diharapkan untuk membentuk peraturan terkait pengawasan anak angkat sebagai bagian dari tindakan preventif untuk mencegah adanya penyelewengan dari tindakan pengangkatan anak seperti membentuk regulasi pengawasan tidak hanya sampai pada 6 bulan pertama sejak penetapan adopsi tetapi juga memastikan hak-hak anak yang harus dipenuhi sebagai anak angkat.

  • IV.    Penutup

    4.1    Kesimpulan

Anak angkat tetap berhak atas hak waris dalam prespektif keperdataan. Pembagian warisan akan jatuh atau sah ke tangan anak angkat apabila terjadi suatu peristiwa kematian sebagaimana tertuang dalam Pasal 830 KUHPer. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk menjamin bahwa setiap proses pengangkatan anak akan sebesar besarnya memberikan manfaat bagi anak dalam hal ini waris adalah dengan mengupayakan proses pengangkatan secara sah berlandaskan hukum melalui penetapan Pengadilan pada wilayah dimana anak angkat tersebut berada.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2017

Nashriana. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001

Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2004

JURNAL

Bagus Indra Kusuma, A.A Ngr, “Kajian Yuridis Jual Beli Hak Waris Atas Warisan

Yang Belum Terbagi Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.” Jurnal Ilmu Hukum Udayana. (2018)

Darmayanti, Putu Novita, “Hak Anak Angkat Terhadap Pembagian Warisan.” Jurnal

Hukum Pemerintahan Udayana. (2015)

Dewantari, Keke Surya, “Kedudukan Ahli Waris Pengganti Bilamana Ahli Waris Lebih Dulu Meninggal Dunia Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.” Jurnal Ilmu Hukum Udayana. (2013)

Deviyanti, Putu Ari Sara. 2017. “Hak Anak Tiri Terhadap Waris Dan Hibah Orang Tua Ditinjau Dari Hukum Waris Islam." Jurnal Ilmu Hukum Udayana. (2017)

Fardha Amir, Muhammad, “Kedudukan Anak Diluar Nikah Dalam Hak Mewarisi Ditinjau Dari Hukum Adat Gorontalo.” Jurnal Megister Hukum. (2018)

Fauzan, Muhammad, “Pengangkatan Anak Bagi Keluarga Muslim Wewenang Absolute Peradilan Agama.” Jurnal Ilmu Hukum Untad. (2010)

Hariawan, Muhammad, “Pengangkatan Anak Secara Lngsung Dalam Perspektif Perlindungan Anak” Jurnal Megister Ilmu Hukum Untad 5, No.5. (2017)

Jana Maheswara, Dewa Made, "Perlindungan Hak Anak Terkait Pembagian Warisan. "

Jurnal Ilmu Hukum Udayana. (2012)

Mila, Jundatul, “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Waris Anak Angkat (Adopsi) Ditinjau Dari Hukum Positif Dan Hukum Islam. “ Jurnal Ilmu Hukum Udayana. (2019)

Setiawan, Wijayanto, “Hak Waris Anak Luar Kawin Yang Lahir Dari Perkawinan Campuran Menurut Kuh Perdata Dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.” Jurnal Hukum dan Pembangunan 42, No. 2. (2012)

Ummah, Karimatul, “Adopsi Sebagai Upaya melindungi Hak-Hak Anak Dalam Perspektif Hukum Islam.” Jurnal Hukum Untad 12, No. 29. (2015)

Usman, Sumiati, “Kedudukan Hukum Anak Angkat Terhadap Hak Waris.” Jurnal Ilmu Hukum 1, No. 4. (2013)

PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPer).

Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143].

Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, [Lembaran Negara Republik indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606].

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, [Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4768].

Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 110/ HUK/ 2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.

Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Bimbingan, Pengawasan dan Pelaporan Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Jurnal Kertha Wicara Vol. 10 No. 2 Tahun 2021, hlm. 163-173.