KEDUDUKAN BANK PLECIT DALAM SISTEM PERBANKAN INDONESIA

Sonia Pricillia Liman, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Made Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

DOI : KW.2021.v10.i03.p01

ABSTRAK

Penulisan jurnal ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan bank plecit (yang dikenal sebagai bank keliling) dalam sistem perbankan di Indonesia dan menganalisis perlindungan hukum yang diberikan negara dalam rangka meminimalisir bank plecit. Untuk itu, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil studi penulisan menunjukkan bahwa bank plecit merupakan akses keuangan informal yang diklasifikasikan sebagai Lembaga Keuangan Bukan Bank informal. Kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh bank plecit adalah utang piutang. Praktik utang piutang antara bank plecit dengan nasabahnya didasarkan atas kesepakatan perjanjian pinjam meminjam. Perjanjian pinjam meminjam tersebut akan sah keberlakuannya apabila memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPer. Meskipun perjanjian pinjam meminjam antara bank plecit dengan nasabahnya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan namun, keunggulan ekonomi yang dimiliki oleh bank plecit dapat menyebabkan ketidakseimbangan posisi para pihak dalam perjanjian. Maka dari itu, perlindungan hukum yang diberikan adalah melalui proses pengadilan. Selain itu, pemerintah mengambil peran untuk memberikan akses keuangan formal kepada masyarakat melalui program nasional dan melalui lembaga independen Otoritas Jasa Keuangan melalui UU RI Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Kata Kunci: Kedudukan, Bank Plecit, Sistem Perbankan, Informal, Perlindungan.

ABSTRACT

The aim of this journal are analyzing the position of bank plecit (known as rent seeking mobile banks) in the banking system of Indonesia and to knowing protections that was given by the country in order to minimize bank plecit. Therefore, writer used juridical normative researching method with statute approach. The results showed that bank plecit were the access to informal finance which was classified as informal Non-bank Financial Institution. The practice of loan between bank plecit and its customer was based on the loan agreement. The loan agreement will be legal if it meets the requirement which was specified in the article 1320 KUHPer (Indonesian Civil Code). Although loan agreement between bank plecit and its customer did not contradict to laws and regulations, the economic advantage possessed by bank plecit could cause an imbalance to the position of the agreement parties. Therefore, legal protection provided was through court proceeding. Other than in addition, the government’s role was to give the formal financial access to public through the national program and through the independent institution Otoritas Jasa Keuangan through UU RI Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Keyword: Position, Bank Plecit , Banking System, Informal, Protections.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.   Latar Belakang

Indikator keberhasilan sebuah negara dapat ditinjau melalui perekonomian negara tersebut. Pada Tahun 2019, perekonomian Indonesia telah berhasil tumbuh

secara positif sebanyak 5%. Salah satu pendongkrak keberhasilan ekonomi negara adalah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). UMKM merupakan kegiatan ekonomi rakyat produktif, dengan eksistensi melebihi 99% dalam struktur perekonomian nasional.1 UMKM diakui secara nyata sebagai komponen penting dalam perekonomian negara sejak tahun 1993 yang ditindaklanjuti dengan Keppres No 96 Tahun 1993 Tentang Kabinet Pembangunan VI dan Keppres Nomor 58 Tahun 1993. Dengan Keppres tersebut, afeksi pemerintah pada UMKM diaktualisasikan dengan pergantian nama Departemen Koperasi menjadi Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil. Dan berlanjut hingga saat ini dikenal sebagai Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah melalui Keppres Nomor 62 Tahun 2015 Tentang Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Jenis usaha UMKM diantaranya adalah Usaha Mikro,Usaha Kecil dan Usaha Menengah yang diatur dalam payung hukum Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Masalah krusial yang dialami oleh UMKM salah satu diantaranya adalah masih rendahnya permodalan.2 Diantara ketiga jenis usaha UMKM, usaha mikro sebagai usaha terkecil dalam jenis UMKM merupakan jenis usaha yang paling sering ditemui. Klasifikasi sebuah usaha dapat disebut sebagai usaha mikro adalah Ketika memenuhi kriteria yang disyaratkan dalam Pasal 6 UU yakni memiliki kekayaan bersih maksimal Rp 50.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau dengan hasil penjualan tahunan maksimal Rp300.000.000,00.3

Upaya mendukung usaha mikro ditunjukkan pemerintah melalui stimulus permodalan melalui program nasional seperti Kredit Usaha Rakyat dan pembiayaan ultra mikro (UMi). Namun diantara stimulus yang diberikan pemerintah berupa pinjaman modal terdapat beberapa alasan usaha mikro tidak menggunakan jasa perbankan yang dianjurkan pemerintah yakni : mengenai kesulitan dan kurang informasi di bagian prosedur, tidak ada agunan, suku bunga yang dibebankan tinggi, tidak berminat dan proposal pengajuan ditolak.4 Keadaan ini dimanfaatkan oleh bank plecit untuk menjalankan usaha jasanya. Istilah bank plecit tidak dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan, meninjau dari Kamus Besar Bahasa Indonesia bank plecit adalah istilah penyebutan untuk orang atau badan non-bank yang meminjamkan uang dengan pengenaan bunga tinggi dan sistem penagihannya yang dilakukan setiap hari.5 Bank Plecit dikenal juga dengan bank keliling lantaran proses penagihan dilakukan oleh pihak yang disebut bank plecit itu kepada pihak nasabah

sebagai peminjam. Pelaku Usaha Mikro perlu memutar modal secara cepat dan proses yang mudah. Bank keliling sendiri diminati oleh pelaku usaha mikro dikarenakan kemudahan mendapatkan pinjaman dan tanpa jaminan. Dengan maraknya praktik bank plecit dalam proses ekonomi usaha kecil dengan jumlah pinjaman serta sistem penagihan setiap hari dengan jumlah tertentu serta tanpa agunan dan administrasi yang mudah sekilas terlihat seperti pahlawan yang membantu bagi pelaku UMKM. Namun, dikarenakan maraknya bank plecit dengan tidak adanya pengawasan oleh pihak berwenang dalam menjalankan usahanya, memungkinkan bank plecit dengan keunggulan ekonomi memiliki posisi lebih tinggi yang berakibat kepada ketidakseimbangan posisi antar pihak. Yang akhirnya akan memberatkan nasabah sebagai debitur dalam menjalankan perjanjian pinjam meminjam yang telah disepakati sebelumnya.

Konsekuensi yang timbul akibat praktik bank plecit kemudian menimbulkan asumsi bahwa bank plecit menjalankan praktek bank gelap atau bank ilegal. Dalam UU No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang selanjutnya disebut UU Perbankan, bank gelap dimaknai sebagai orang ataupun pihak yang melangsungkan praktik seolah-olah adalah bank. Dalam Pasal 46 ayat (1) jo.Pasal 16 ayat (1) UU Perbankan memberi batasan perbuatan bank gelap yakni, menghimpun dana dari masyarakat berbentuk simpanan tanpa seizin Pimpinan Bank Indonesia. Sedangkan praktiknya bank plecit tidak menghimpun dana dalam bentuk simpanan melainkan, menyalurkan dana berbentuk peminjaman dana dan disertai dengan bunga pinjaman kepada nasabahnya. Sehingga, kemudian hal ini menimbulkan persepsi yang berbeda dan salah diantara masyarakat mengenai bentuk dan kegiatan bank plecit serta keberadaannya dalam peraturan perundang-undangan. Pengenaan bunga yang tinggi, sistem penagihan setiap hari dan berbagai masalah lainnya yang ditimbulkan oleh praktik bank plecit tidak dapat dihindari oleh nasabah dikarenakan kesepakatan yang telah terjalin pada saat pembuatan kontrak. Banyaknya keluhan dari masyarakat terkait keberadaan bank plecit mendorong pemerintah untuk melakukan upaya untuk menanggapi dan bertindak atas maraknya keberadaan bank plecit ini. Meskipun tidak ada pengaturan yang spesifik mengatur mengenai bank plecit akan tetapi, perlindungan hukum terhadap nasabah sebagai debitur dapat dilihat dari syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPer. Upaya pemerintah dalam mengatasi bank plecit yang dianggap merugikan masyarakat pun terlihat dari program dan lembaga yang dibentuk dalam rangka meningkatkan akses keuangan masyarakat terhadap lembaga keuangan formal. Maka dari itu, penulis mengangkat jurnal ilmiah ini dengan judul “Kedudukan “Bank Plecit” Dalam Sistem Perbankan Indonesia”

Sejauh penelusuran penulis belum ada tulisan penelitian yang membahas mengenai kedudukan bank plecit dalam peraturan perundang-undangan. Namun, penulis menemukan beberapa tulisan yang memiliki keterkaitan dengan isu ini. Pertama, tulisan penelitian oleh Rahoyo dan Rr Lulus Prapti (2019) dengan judul “ Bank Keliling Pemburu Rente dan Involusi Usaha Pedagang Pasar” yang memiliki keterkaitan persamaan objek yang diteliti yakni bank keliling pemburu rente atau bank plecit yang diteliti berdasarkan pandangan ilmu dan permasalahan yang berbeda sehingga, tidak menyinggung kedudukan bank plecit dalam sistem hukum perbankan. Kedua, adalah tulisan oleh Baidhowi (2015) dengan judul “ Tradisi Ngutang di Pasar Tradisional (Studi di Pasar Tradisional Gunungpati) yang merupakan tulisan berdasarkan penelitan empiris yang membahas mengenai interaksi pelepas uang termasuk di dalamnya bank plecit dengan nasabahnya namun, dilihat dari pandangan

ilmu dan permasalahan yang berbeda pula sehingga, tidak membahas mengenai upaya pemerintah dalam menghadapi bank plecit terkait dengan dampak negatif yang ditimbulkannya.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan pembahasan diatas maka, penulis mengangkat rumusan masalah yakni:

  • 1.2.1    Bagaimana kedudukan bank plecit baik dalam Hukum Positif?

  • 1.2.2    Apa saja upaya yang dilakukan pemerintah dalam meminimalisir bank plecit?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan jurnal ilmiah ini yakni:

  • 1.3.1    Untuk dapat mengetahui kedudukan dan keberadaan bank plecit berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku.

  • 1.3.2    Untuk dapat mengetahui tindakan pemerintah dalam mengatasi maraknya bank plecit

  • II.    Metode Penelitian

Untuk meneliti permasalahan, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dimana, hukum dikonsepsikan sebagai hukum positif.6 Dalam menganalisis permasalahan dalam tulisan ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan dengan mengkaji peraturan-peraturan terkait dengan isu bank plecit dalam sistem perbankan di Indonesia. Penulis menggunakan pendekatan konseptual beranjak dari pandangan dan doktrin-doktrin oleh para ahli untuk membangun argumentasi atas isu kedudukan bank plecit dalam sistem perbankan di Indonesia.oleh karena itu, penulis menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yakni, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Kitab Undang Undang Hukum Perdata , dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia bernomor KEP-38/MK/IV/1/1972. Kemudian penulis menggunakan bahan hukum sekunder yang merupakan pandangan sarjana berupa literatur, jurnal ilmiah hasil penelitian dan doktrin. Penulis juga menggunkan bahan hukum tersier yakni KBBI. Penulis menggunakan Teknik pengumpulan bahan hukum dengan teknik kepustakaan. Selanjutnya, penulis menganalisis kedudukan bank plecit dalam sistem hukum perbankan yang belum diklasifikasikan secara legal dalam peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah untuk meminimalisir bank plecit.

  • III.   Hasil dan Pembahasan

  • 3.1   Kedudukan Bank Plecit Dalam Hukum Positif

Istilah bank plecit tidak dapat ditemukan dalam peraturan perundang undangan. Istilah yang disematkan kepada bank plecit pun bermacam-macam seperti, bank keliling dan bank thithil. Bank plecit ataupun bank thithil memiliki pemaknaan orang ataupun badan yang memberikan kredit dengan jumlah kecil dengan pengenaan

bunga 10%-30% dengan sistem penagihan kredit harian.7 Meskipun disebut dengan bank plecit namun, bank plecit tidak dapat dikategorikan sebagai lembaga bank. Berdasarkan pengertian bank sebagaimana tertulis dalam UU Perbankan mengesahkan sebuah Lembaga bank untuk melakukan 2 kegiatan yakni:

  • 1)    Menghimpun simpanan yang merupakan dana berasal dari masyarakat

  • 2)    Mendistribusikan simpanan tersebut berbentuk kredit atau lainnya.

Dengan pengertian berdasarkan UU tersebut, bank plecit tidak dapat dikatakan sebagai bank dikarenakan tidak memenuhi unsur kegiatan bank menghimpun dana berupa simpanan dari masyarakat. Kegiatan yang dilakukan oleh bank thithil dengan nasabahnya adalah praktik utang piutang. 8 Praktik utang piutang yang dilakukan antara bank plecit dengan nasabahnya adalah peminjaman sejumlah uang dengan penambahan bunga pinjaman. Dengan praktik utang piutang dengan pemberian bunga tinggi yang dilakukannya, bank plecit dianggap sangat erat kaitannya dengan rentenir. Persamaan antara kedua orang atau badan ini adalah kegiatan yang dilakukan yakni, berusaha dengan meminjamkan uang kepada orang lain dengan penambahan bunga. Perbedaan mendasar antara kedua orang atau badan ini adalah sistem penagihan yang diterapkan oleh bank plecit. Penarikan tagihan dilakukan secara rutin setiap hari dan dilakukan penjemputan pembayaran secara langsung oleh bank plecit.

Kedudukan bank plecit di dalam hukum perbankan dapat dilihat dari bentuk Lembaga keuangan selain Lembaga keuangan bank di dalam hukum perbankan. Lembaga keuangan selain bank adalah Lembaga Keuangan Bukan Bank yang selanjutnya disebut LKBB . LKBB berkembang sejak Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia bernomor KEP-38/MK/IV/1/1972 yang meliputi:

  • •     Perusahaan Reasuransi;

  • •     Dana Pensiun;

  • •     Koperasi Simpan Pinjam;

  • •     Pasar Modal,

  • •     Perusahaan Anjak Piutang;

  • •     Perusahaan Modal Ventura;

  • •     Perusahaan Pegadaian;

  • •     Perusahaan Sewa Guna Usaha;

  • •     Perusahaan Kartu Kredit;

  • •     Pasar Uang;

  • •     Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur.9

Berdasarkan jenis-jenis LKBB tersebut, Bank Plecit tidak termasuk dalam kategori diatas. Maka dari itu, dari beberapa tulisan yang ditelusuri penulis menempatkan bank plecit sebagai LKBB informal. LKBB Informal memiliki ciri khas

yaitu dalam hal kecepatan serta fleksibilitas administratif.10 Kecepatan dan fleksibilitas dalam hal ini berkatan dengan mudah dan sederhananya proses mendapatkan pinjaman dari bank plecit kepada nasabah. Proses administrasi mudah yang didapatkan oleh nasabah merupakan akibat dari bank plecit bukanlah lembaga keuangan yang berbadan hukum. Implikasi dari sebuah lembaga keuangan yang tidak berbadan hukum adalah ketidakleluasaan pemerintah dalam mengawasi dan mengintervensi kegiatan bisnis badan tersebut. Sehingga, pondasi yang melandasi kegiatan utang piutang antara bank plecit dan nasabahnya adalah “saling percaya” berbeda halnya dengan lembaga keuangan resmi yang mengenal Sistem Layanan Informasi Keuangan oleh OJK yang menjadi informasi bagi lembaga keuangan resmi untuk mempertimbangkan pengajuan pinjaman dilihat dari Track Record pinjaman calon debitur.

Kegiatan bisnis yang dijalankan oleh bank plecit adalah berupa utang piutang. Maka, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya antara bank plecit dan nasabahnya melakukan perjanjian pinjam meminjam. Perjanjian adalah keadaan yang tercipta berdasarkan 2 pihak yang saling berjanji untuk melakukan suatu hal. Yang mana, pada saat bank plecit memberikan pinjaman kepada nasabahnya itu telah didahului oleh sebuah perjanjian antara kedua belah pihak. Perjanjian pinjam meminjam ini hanya sah keberlakuannya apabila memenuhi 4 syarat yaitu kesepakatan dan kecakapan pihak yang terlibat dalam perjanjian sebagai syarat subjektif dan memiliki objek yang diatur dalam perjanjian serta kausa perjanjian yang halal / tidak terlarang sebagai unsur objektif. 11Ketika keempat syarat ini telah dipenuhi oleh pihak-pihak yang terlibat perjanjian maka, perjanjian tersebut sah secara hukum. Dengan sahnya perjanjian pinjam meminjam itu, kedua pihak diikat dengan asas pacta sunt servanda yang memiliki makna perjanjian yang telah dibuat menjadi Undang-Undang bagi para pembentuknya. Apabila melihat dari kegiatan dan sistem kerja bank plecit seperti:

  • 1.    Jumlah pinjaman relatif kecil

  • 2.    Sistem penagihan dicicil selama jangka waktu tertentu

  • 3.    Tanpa agunan

  • 4.    Fleksibilitas administrasi12

Tentunya memberikan sisi positif dari bank plecit berkaitan dengan suntikan modal bagi nasabahnya. Namun, konsekuensi dari pembentukan perjanjian kadangkala menjadi lubang hitam yang menjerat nasabah bank plecit sebagai debitur. Permasalahan bunga pinjaman amat marak menjadi persoalan oleh sisi debitur pada saat pembayaran pinjaman kredit dengan bunga tinggi yang dirasa memberatkan dan merugikan. Sedangkan, bagi kreditur yang menjadikan kegiatan utang piutang sebagai usaha tentunya menjadikan bunga bank sebagai sumber keuntungan. Proses pembentukan perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak seharusnya menjadi jawaban dari problem bunga pinjaman ini. Calon debitur sebagai pihak turut dalam perjanjian seharusnya memiliki kesadaran penuh pada saat bersepakat dengan bank plecit sebagai kreditur. Penambahan bunga dalam utang piutang pun tidak bertentangan dengan hukum dilihat dari Pasal 1765 KUHPer yang memperbolehkan pengenaan bunga sebagai syarat pinjaman. Meskipun dalam KUHPer tidak

memberikan standar pengenaan bunga pinjaman namun jika menjurus kepada asas kebebasan berkontrak yang memiliki makna bahwa semua pihak bebas dalam menentukan syarat, bentuk sampai pelaksanaan kontraknya dibatasi Pasal 1320 KUHPer dan dilaksanakan dengan itikad yang baik. 13 Yang dimaksudkan hal ini juga berkaitan dengan pengenaan bunga yang sebaiknya mengikuti standar kewajaran suku bunga yang diterapkan oleh lembaga keuangan formal.

  • 3.2 Perlindungan Hukum Dalam Rangka Meminimalisir Bank Plecit

Meskipun perjanjian pinjam meminjam antara bank plecit dan nasabahnya tidak bertentangan dengan hukum positif namun, sebagai badan usaha yang berorientasi kepada keuntungan sebesar-besarnya akan menempatkan posisi antara bank plecit dan nasabah tidak seimbang. Bentuk ketidakseimbangan ini terlihat dari isi perjanjian berupa klausul-klausul yang cenderung memihak kepada pihak yang kedudukannya lebih unggul secara ekonomi, yang mana adalah bank plecit sebagai kreditur. Keseimbangan para pihak dalam perjanjian merupakan hal yang bersangkut paut dengan keadilan. Dengan ketimpangan posisi antara pihak yang kuat dan yang lemah secara ekonomi ini akan berimplikasi kepada keadilan yang diterima oleh kedua pihak. Pemerintah dalam hal ini perlu mengintervensi ketidakseimbangan tersebut. Teori perlindungan minimum sebagaimana dikemukakan oleh H.L Hart sebagaimana dikutip dalam tulisan oleh Aryo Dwi Prasnowo dan Siti Malikhatun Badriyah memberikan pemaknaan bahwa, hukum diperlukan karena manusia memiliki sifat yang rentan.14 Campur tangan pemerintah dimaksudkan untuk melindungi kedudukan dan kepentingan para pihak secara adil. Turut campur negara dalam melindungi para pihak diwujudkan dengan pengaturan yang mengikat dan membatasi usaha pelepas uang yang mana bank plecit termasuk di dalamnya. Namun, sejauh penelusuran penulis draft tertulis dari Undang Undang Pelepas Uang yang dikenal dengan istilah Bahasa Belanda Geldschieter Ordonantie Tahun 1938 tidak dapat penulis temukan. Namun, perlindungan hukum yang diberikan atas perjanjian pinjam meminjam terlihat dari syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPer. Yang memungkinkan sebuah perjanjian antara para pihak batal demi hukum apabila berkaitan dengan syarat objektif perjanjian berupa objek perjanjian dan sebab yang halal dan dimohonkan pembatalan perjanjian tersebut di pengadilan apabila berkaitan dengan syarat subjektif berupa kesepakatan antara pihak terkait dan kecakapan pihak dalam pembuatan perjanjian. Selain perlindungan hukum melalui prosedur pengadilan, pemerintah pusat memberlakukan program kebijakan dalam rangka penyediaan akses lembaga keuangan formal kepada masyarakat seperti Kredit Usaha Rakyat yang melibatkan lembaga keuangan bank sebagaimana tertulis dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 20/PMK.05/2015 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Subsidi Bunga Untuk Kredit Usaha Rakyat. Selain itu, kementrian keuangan dalam rangka memberdayakan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) menawarkan program Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) yang menargetkan

usaha mikro yang belum bisa difasilitasi oleh KUR yang merupakan program Lembaga Keuangan Bank.15

Selain perlindungan hukum melalui program nasional pemerintah, upaya meminimalisir bank plecit juga dilakukan melalui lembaga independent yang menjalankan fungsi pemerintahan yakni, Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Independensi yang dimiliki oleh lembaga OJK sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang memiliki makna dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, lembaga OJK terbebas dari intervensi pihak lain.16 Otoritas Jasa Keuangan didirikan dengan payung hukum UU RI Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disebut UU OJK. Pendirian OJK bertujuan untuk mewujudkan keseluruhan kegiatan di jasa keuangan yang terintegrasi adil, akuntabel, transparan serta berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan masyarakat dan konsumen jasa keuangan.17 Dalam memangku tujuan tersebut, Pasal 5 UU OJK memberikan kewenangan untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan. Problem mengenai keberadaan bank plecit ini tidak dapat diawasi oleh OJK dikarenakan bukanlah lembaga keuangan resmi yang terdaftar secara legal dan dibawah pengawasan OJK oleh karena itu, sebagaimana diamanatkan oleh UU OJK tersebut OJK mengupayakan sejumlah tindakan dengan tujuan memperluas akses keuangan lembaga keuangan formal kepada masyarakat yang masih rendah. Menurut Badan Perencanaan Nasional pada Tahun 2017 yakni sebesar 13% penduduk negara Indonesia yang memiliki pinjaman di lembaga keuangan formal dari 37% jumlah penduduk yang memiliki rekening bank, sehingga berimplikasi kepada maraknya eksistensi bank plecit. Sehingga, OJK membuat program seperti Lembaga Keuangan formal yang kredibel yakni BWM (Bank Wakaf Mikro) yang dilatarbelakangi oleh Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim. OJK dan pemerintah bersama-sama membentuk lembaga keuangan yang sesuai dengan prinsip agama yang merupakan Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang menarget UMKM yang belum mendapatkan akses keuangan formal.18 Selain membentuk lembaga keuangan bank, upaya OJK untuk memperluas akses masyarakat terhadap keuangan formal adalah melalui Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) sebagai wadah koordinasi antara stakeholders serta lembaga yang berkaitan dalam rangka mendukung iklim ekonomi di daerah terkait dengan akses keuangan formal di daerah. Unsur yang membentuk tim ini yaitu :

  • •     Pemerintah Daerah

  • •     Lembaga/instansi yang terkait di daerah

  • •      Regulator

  • •     Lembaga jasa keuangan perbankan dan non perbankan

  • •     Asosiasi Lembaga Jasa Keuangan

  • •    Akademisi19

Program oleh masing-masing TPKAD daerah tentunya berbeda mengingat perbedaan kondisi dan karakteristik daerah tersebut. 20 Dengan adanya koordinasi antara OJK dan daerah tentunya memberikan dampak positif terhadap akses keuangan formal sehingga, akses keuangan tersebut lebih merata kepada seluruh masyarakat sampai kepada lapisan terbawah. Langkah pemerintah untuk melindungi masyarakat dari bank plecit perlu dituntaskan dengan payung hukum usaha pelepas uang sebagaimana bank plecit termasuk di dalamnya. Perlunya pembaharuan hukum positif yakni UU Pelepas Uang yang dikenal dengan istilah Bahasa Belanda Geldschieter Ordonantie Tahun 1938 yang sejauh penelusuran penulis tidak dapat menemukan draft tertulis UU ini. Sehingga, sebagai wujud dari kepastian hukum yang bermaksud untuk menentukan batasan perbuatan masyarakat agar tidak timbul ketidakpastian yang berakibat kepada ketidaktegasan hukum21 UU ini perlu diperbarui dan dipublikasikan kepada masyarakat. Meskipun dikenal KUHPer yang mengatur mengenai perjanjian dan beberapa asas yang terkait dengan keberadaan bank plecit diluar UU Pelepas Uang dalam hal pembentukan perjanjian dengan nasabahnya, namun asas-asas tersebut tidaklah cukup dikarenakan asas merupakan bahan pertimbangan yang kemudian dikonkretisasi menjadi norma hukum dalam peraturan perundang-undangan.22 Perwujudan norma hukum dalam pengaturan tersebut perlu dilakukan untuk memastikan norma tersebut berlaku secara sah terutama bagi masyarakat awam yang belum familiar dengan asas-asas. Serta membatasi persepsi masyarakat yang sejalan dengan hukum positif.

IV. Kesimpulan

Istilah bank plecit tidak diatur secara formal menurut peraturan perundang undangan. Meskipun menyandang kata “bank” di dalam istilah penyebutannya nyatanya, berdasarkan UU Perbankan bank plecit tidak dapat dikualifikasikan sebagai bank. Hal ini dikarenakan, kegiatan yang dilakukan oleh bank plecit tidak memenuhi unsur menghimpun dana dari masyarakat sebagaimana ditentukan dalam UU Perbankan. aktifitas yang dilakukan oleh bank plecit berupa piutang dengan penambahan bunga yang didahului oleh perjanjian pinjam meminjam. Keberadaan bank plecit juga tidak diakui sebagai lembaga keuangan bukan bank berdasarkan beberapa tulisan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia bernomor KEP-38/MK/IV/1/1972. Oleh karena peraturan-peraturan tersebut maka bank plecit dikategorikan sebagai lembaga keuangan bukan bank informal. Kegiatan

utang piutang yang dilakukan oleh bank plecit dalam usahanya didahului oleh perjanjian pinjam meminjam antara bank plecit dan nasabahnya. Di dalam perjanjian ini, haruslah memenuhi 4 syarat sahnya suatu perjanjian yang disyaratkan oleh Pasal 1320 KUHPer. Meskipun perjanjian pinjam meminjam bank plecit dengan nasabahnya tidak dilarang oleh hukum positif namun, bank plecit sebagai pihak yang memiliki keunggulan ekonomi dan menjadikan utang piutang sebagai usaha serta pengenaan bunga sebagai keuntungan tentunya akan menimbulkan ketidakseimbangan posisi antara bank plecit dengan nasabahnya. Oleh karena itu pemerintah berperan dalam meminimalisir keberadaan bank plecit. Upaya tersebut berupa perlindungan hukum melalui pengadilan, solusi melalui program nasional, dan melalui lembaga independent OJK. Saran dari penulis atas permasalahan bank plecit adalah perlunya pembaharuan hukum positif bagi usaha Pelepas Uang yakni UU Pelepas Uang atau dikenal dengan Geldschieter Ordonantie Tahun 1938 dalam rangka kepastian hukum.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Diantha, I Made Pasek. Metodelogi Penelitian Hukum Nornatif dalam Justifikasi Teori Hukum, (Jakarta, Prenadamedia Group, 2016).

Sutedi, Adrian. Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta, Penebar Swadaya Group, 2014).

JURNAL

Baidhowi, Baidhowi. "Tradisi Ngutang Di Pasar Tradisional (Studi di Pasar Tradisional Gunungpati)." Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan 10, no. 1 (2015).

Elisa, Regar. "Peran Bank Thitil Dalam Kehidupan Masarakat Ekonomi Lemah (Studi Kasus Penyaluran Kredit Oleh Bank Thitil Terhadap Pedagang Sayur di Pasar Kesamben Kabupaten Blitar)." Jurnal Ilmu Ekonomi JIE 1, no. 1 (2017).

Hartono, Hartono, and Deny Dwi Hartomo. "Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan UMKM di Surakarta." Jurnal Bisnis dan Manajemen (Journal of Business and Management) 14, no. 1 (2018).

Hendrawati, Dewi. "Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Pembuatan Perjanjian Baku (Studi Normatif pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen)." Masalah-Masalah Hukum 40, no. 4 (2011).

Julyano, Mario, and Aditya Yuli Sulistyawan. "Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum." CREPIDO 1, no. 1 (2019).

Prasetyo, P. Eko. "Peran Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Dalam Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran." Akmenika Upy 2, no. 1 (2008).

Prasnowo, Aryo Dwi, and Siti Malikhatun Badriyah. "Implementasi Asas Keseimbangan Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Baku." Jurnal Magister Hukum Udayana 8, no. 1 (2019).

Saputra, Arnanda Aji, and Multifiah Multifiah. "Praktik Bank Thithil Dan Implikasinya Menurut Pandangan Masyarakat Muslim Wilayah Perkampungan Bethek Kota Malang." Iqtishoduna 9, no. 1 (2013).

Fil, Wagiman S. "Nilai, Asas, Norma, Dan Fakta Hukum: Upaya Menjelaskan Dan Menjernihkan Pemahamannya." Jurnal Filsafat Hukum 1, no. 1 (2016): 43-73

Wiwoho, Jamal. “Peran lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank dalam memberikan Distribusi keadilan bagi masyarakat.” Jurnal Masalah-Masalah Hukum 43, no.1 (2014): 87-97.

WEBSITE

Badan  Pusat  Statistik,  URL: https://www.bps.go.id/subject/35/usaha-mikro-

kecil.html diakses pada tanggal 20 Agustus 2020

Kamus  Besar Bahasa  Indonesia, URL: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/

bank%20plecit diakses pada tanggal 20 Agustus 2019.

Kementrian Keuangan, URL: https://www.kemenkeu.go.id/umi diakses pada tanggal 5 Oktober 2020.

Otoritas Jasa Keuangan, URL: https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/ Article/10533 diakses pada tanggal 5 Oktober 2020.

Otoritas Jasa Keuangan, URL: https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/ Article/20538 diakses pada tanggal 5 Oktober 2020.

Otoritas Jasa Keuangan, URL: https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/info-terkini/Pages/OJK-Kukuhkan-TPAKD-dan-Satgas-Investasi-Kepulauan-Riau.aspx diakses pada tanggal 2 Desember 2020.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

“Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93)”

“Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111)”

“Kitab Undang Undang Hukum Perdata”

“Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor Kep-38/Mk/Iv/1/1972 Tentang Perubahan/Tambahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep-792/Mk/Iv/12/1970 Tanggal 7 Desember 1970”

Jurnal Kertha Wicara Vol. 10 No. 3 Tahun 2021, hlm. 197-207