Covid-19 Sebagai Keadaan Memaksa (Force Majeure) Dalam Pemutusan Hubungan Kerja
on
COVID-19 SEBAGAI KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Gede Odhy Suryawiguna Robed, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
I Made Dedy Priyanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
DOI : KW.2021.v10.i03.p04
ABSTRAK
Dalam studi ini memiliki tujuan untuk memberikan informasi mengenai apakah dalam masa pandemi COVID-19 yang tidak hanya menimpa Indonesia namun seluruh negara yang ada di dunia ini dapat dikategorikan sebagai sebuah keadaan memaksa atau force majeure dan jika pandemi COVID-19 dapat dikategorikan sebagai force majeure syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja jika dihubungkan dengan keadaan force majeure pada masa pandemi COVID-19 ini serta jika perusahaan masih dapat berjalan di tengah pandemi COVID-19 protokol seperti apa yang harus diterapkannya. Dalam penulisan studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan melalui pendekatan perundang-undangan. Dalam studi ini menunjukan hasil bahwa pandemi COVID-19 dapat digolongkan dengan sebuah keadaan memaksa atau force majeure yang mana merupakan sebuah bencana yang tidak direncanakan dan di luar kuasa kedua belah pihak sehingga menyebabkan perusahaan tidak dapat memenuhi prestasinya. Dan dalam Undang-undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga memberikan kemungkinan pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja jika perusahaan tutup disebabkan keadaan memaksa (force majeure. Perusahaan yang masih menjalankan usahanya di tengah pandemi COVID-19 juga harus mematuhi protokol kesehatan sesuai surat edaran nomor HK.02.01/MENKES/335/2020.
Kata Kunci: Pemutusan Hubungan Kerja, Covid-19, Force Majeure, Protokol Kesehatan.
ABSTRACT
This study is aimed to examine the impact of Covid-19 spread to affected countries worldwide that could be categorized as force majure, as well as if the Covid-19 pandemic could be categorized as force majeure, this paper would elaborate company requirements to be able to commit employee discontinueance during the pandemic period and if the company can still run in the midst of the COVID-19 pandemic, what protocol should it implement. The research method used in this paper is normative legal research method, supported with satute approach. The research resulted that Covid-19 pandemic could be categorized as force majeure or constrained situation as unexpected catastrophe that happened beyond both parties control which lead to company remedy fulfilment inability. And in Act number 11 of 2020 regarding Copyright Work also provides the possibility for employers to terminate employment if the company closes due to coercive circumstances (force majeure). Companies that are still running their business in the midst of the COVID-19 pandemic must also comply with the health protocol according to circular number HK.02.01 / MENKES / 335/2020.
Keywords: Employee Discontinuance, Covid-19, Force Majeure, Health Protocol.
Pada tanggal 31 Desember 2019 dunia dikejutkan dengan adanya sebuah penyakit jenis baru yang semula terdeteksi di Kota Wuhan negara China penyakit tersebut dinamakan Covid-19. Pada mulanya Covid-19 hanya muncul dan berkembang di daerah China namun dengan karena penyebaran virus sangat dengan cepat ditularkan kepada orang lain maka kasus pertama di luar negara China ditemukan di negara Thailand yang mana dilaporkan pada tanggal 13 Januari 2020 dan setelah itu muculnya korban-korban lagi di berbagai negara maupun benua mengenai banyaknya yang terifeksi virus Covid-19.1
Orang yang terpapar virus COVID-19 umumnya akan merasakan demam, pilek, sakit tenggorokan maupun gejala yang lebih akut yaitu sesak nafas. 2 Namun ada juga kasus yang menyebutkan bahwa virus corona dapat menginfeksi tubuh manusia dengan tanpa gejala seperti yang disebutkan diatas bahkan orang yang sebenarnya sudah terpapar tidak merasakan sakit apapun dan merasa sehat dalam keadaan tersebut biasa disebut orang tanpa gejala (selanjutnya disebut OTG). Hal yang seperti itulah yang dapat menyebabkan banyaknya lonjakan kasus baru yang mana virus dapat dengan mudah tersebar kepada orang lain dengan bantuan OTG yang tidak patuh akan protokol kesehatan karena merasa dirinya sehat-sehat saja.
Di Indonesia kasus pertama masuknya COVID-19 teridentifikasi pada tanggal 2 Maret 20203. Dilaporkan pada tanggal tersebut terdapat dua orang WNI yang positif COVID-19 yang pada saat itu mereka diduga terpapar oleh seorang warga negara Jepang yang berkunjung ke Indonesia. Dan untuk pertama kalinya Indonesia mencatatkan korban pertama akibat COVID-19 pada tanggal 11 Maret 2020. 4
Setelah kemunculan dan perkembangan orang-orang yang positif COVID-19 sangat pesat maka pemerintah mulai membuat berbagai aturan atau kebijakan untuk menghambat maupun memutus penyebaran COVID-19. Salah satu kebijakan di bidang perekonomian pada tanggal 31 Maret 2020. Dalam hal melakukan pembatasan pergerakan orang-orang agar tidak melakukan kegiatan di luar rumah untuk hal yang tidak penting pemerintah juga mengeluarkan sebuah aturan tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka penanganan COVID-19. Dan melalui Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 menetapkan COVID-19 merupakan bencana nasional non-alam.5
Perusahaan memiliki tujuan untuk meningkatkan saham bagi kepentingan pemilik perusahaan maupun pemegang saham yang mana tujuan ini dilakukan dengan prinsip bahwa jika peningkatan saham meningkat maka akan menciptakan kemakmuran baik bagi pemilik perusahaan maupun pemegang saham. Dalam kondisi
COVID-19 pada masa ini banyak perusahaan yang diuji apakah mampu bertahan maupun mengalami pailit. Banyak perusahaan mengalami kesusahan dalam berputarnya roda perekonomian akibat pandemi yang terjadi di masa sekarang sehingga memunculkan berbagai polemik dalam perusahaan dengan tenaga kerjanya.
Dengan berkembangnya COVID-19 secara sangat pesat mengakibatkan penurunan perekonomian yang sangat pesat juga. Seperti kita ketahui melambatnya proses jual-beli maupun daya konsumsi masyarakat akan suatu barang menyebabkan meruginya pelaku usaha baik sebuah perusahaan maupun usaha mikro, kecil dan menengah (selanjutnya disebut UMKM). Contohnya jika dilihat dari sektor pariwisata khususnya di Bali banyak hotel, villa maupun restaurant yang menutup usahanya karena pandemi COVID-19. Penutupan tersebut disebabkan oleh berkurangnya wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang melakukan kegiatan berwisata.
Majikan memiliki hubungan hukum dengan tenaga kerjanya yang mana dalam hubungan itu menghasilkan hak dan kewajiban pribadi dalam kehidupan bermasayarakat. Hubungan itu muncul ketika diadakaannya hubungan kerja oleh majikan dengan tenaga kerja dan Hugh Colins melihat dalam asas kebebasan berkontrak berpandangan bahwa agar pihak perusahaan tidak memutuskan tindakan yang sewenang-wenang dengan tenaga kerjanya berdasarkan asas tersebut.6
Keadaan penurunan perekonomian secara terus menerus dapat menyebabkan krisis perekonomian di Indonesia yang mana jika hal itu terus terjadi dapat menyebakan banyaknya pemutusan hubungan kerja oleh pihak perusahaan karena ketidakmampuan melakukan prestasinya terhadap pekerjanya akibat penutupan perusahannya yang telah merugi. Perusahaan di Indonesia banyak melakukan pemutusan hubungan kerja yang mana bertujuan untuk menekan pengeluaran perusahaan agar dapat menstabilkan kembali keadaan perusahaan tersebut7.
Keadaan pandemi COVID-19 ini juga mengundang banyak perdebatan dan dalam kondisi seperti ini juga pimpinan pada serikat buruh juga menyuarakan bahwa agar perusahaan tidak menjadikan alasan COVID-19 untuk memutuskan hubungan kerja tanpa melakukan kewajiban seperti memberikan upah atau pesangon terhadap tenaga kerjanya.
Pandemi COVID-19 erat dikaitkan dengan keadaan memaksa (force majeure) dalam hal perusahaan untuk memutus hubungan kerja dengan tenaga kerjanya. Force Majeure yaitu suatu keadaan yang mana debitur (perusahaan) terdapat halangan untuk melaksanakan prestasinya karena suatu keadaan yang tidak dapat terduga dan di luar kuasanya sehingga keadaan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh perusahaan dan bukan merupakan itikad yang tidak baik dari perusahaan.8 Banyak yang masih mempertanyakan apakah COVID-19 merupakan sebuah Force Majeure karena kekurang jelasan makna yang termuat dalam Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata oleh karena itu perlu dijabarkan lebih rinci mengenai kedua keadaan tersebut.
Begitu banyak pemutusan hubungan kerja yang telah dijatuhkan oleh perusahaan dengan alasan Force Majeure yang mana dalam keadaan pandemi COVID-19 dan ada beberapa oknum perusahaan yang memutus pekerjanya dengan alasan COVID-19 padahal produksi masih berjalan.9
Meskipun banyak perusahaan yang melakukan penutupan terhadap perusahaannya akibat pandemi COVID-19 tapi tidak semua perusahaan menutup gerainya karena masih tetap dapat berjalan di tengah pandemi yang terjadi. Perusahaan-perusahaan tersebut harus menyesuaikan dengan keadaan sekarang yang berbeda dengan keadaan sebelumnya yang mana perlunya melakukan physical distancing atau menjaga jarak aman dari orang ke orang, anjuran pemakaian masker serta langkah-langkah protokol kesehatan yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Penerapan protokol kesehatan tidak hanya dilakukan oleh perusahaan yang masih berjalan di tengah pandemi COVID-19 tetapi juga sebagai persiapan kepada perusahaan yang ingin membuka kembali perusahannya di tengah diterapkannya new normal atau pola kehidupan baru dalam hal menjalankan kembali roda perekonomian di tengah pandemi yang terjadi. Dengan dijalankannya protokol kesehatan pada area kerja dapat diharapkan dapat memutus penyebaran COVID-19 khususnya pada area kerja sehingga perekonomian negara mulai bangkit di tengah terpuruknya badai Covid-19 yang menyerang.
Dalam penelitian yang sudah penulis lakukan terdapat beberapa jurnal yang memiliki kemiripan dengan penelitian yang sudah penulis buat contohnya yaitu jurnal yang berjudul “Pandemi Covid-19 Sebagai Alasan Force Majeure Dalam Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja di Indonesia” karya Mustakim dan Syafrida dari Universitas Tama Jagakarsa pada tahun 2020 yang membahas mengenai Covid-19 sebagai alasan pemutusan hubungan kerja dan perlindungan hukum pemutusan hubungan kerja karena covid-19. Berikutnya penelitian yang memiliki kemiripan yaitu dengan judul “Pandemi Corona Sebagai Alasan Pemutusan Hubungan Kerja Pekerja Oleh Perusahaan Dikaitkan Dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan” karya Yusuf Randi dari Universitas Padjajaran pada tahun 2020 yang membahas mengenai pandemi corona sebagai alasan pemutusan hubungan kerja pekerja oleh perusahaan dan perlindungan hak pekerja yang diputus hubungan kerjanya oleh perusahaan menurut ketentuan Undang-undang ketenagakerjaan.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang sudah penulis jabarkan diatas jika dibandingkan dengan penelitian yang sudah penulis buat bahwa perbedaan yang paling terlihat yaitu pada penelitian penulis juga membahas mengenai persyaratan protokol kesehatan yang harus diterapkan oleh perusahaan jika perusahaannya masih tetap beroperasi ditengah pandemi COVID-19 yang terjadi dimana memiliki ilmu pembaruan dari jurnal yang sudah disebutkan sebelumnya yang hanya mengatur pemutusan hubungan kerja akibat dari adanya COVID-19 dan penelitian yang sudah penulis buat juga menggunakan hukum perundang-undangan yang terbaru dalam penelitiannya, diharapkan dengan pembahasan baru serta penggunaan perundang-undangan terbaru dapat dijadikan sumbangan ilmu pengetahuan yang berguna bagi setiap orang.
Melalui uraian latar belakang masalah yang sudah dipaparkan diatas penulis dapat membuat rumusan masalah sebagai berikut:
-
1. Apakah Pandemi COVID-19 Sebagai Keadaan Memaksa (Force Majeure) Dapat
Dijadikan Alasan Pemutusan Hubungan Kerja?
-
2. Bagaimana Protokol Kesehatan yang Harus Diterapkan oleh Perusahaan Jika
Perusahaannya Tetap Berjalan Ditengah Kondisi Pandemi COVID-19?
Tujuan penelitian dalam tulisan ini yaitu agar memahami apakah pandemi COVID-19 merupakan sebuah keadaan memaksa (force majeure) yang dapat dijadikan sebagai alasan pemutusan hubungan kerja dan mengetahui syarat-syarat protokol kesehatan yang harus diterapkan oleh perusahaan jika perusahaannya tetap berjalan di tengah pandemi COVID-19.
Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan karya ilmiah ini yaitu metode penelitian normatif. Yang bertujuan melihat kajian dalam penerapan kaidah maupun norma hukum positif yang mencakup objek kajiannya yaitu peraturan perundang-undangan maupun bahan hukum lainnya. 10 Penelitian ini menggunakan pendekatan analytical approach atau pendekatan analisis konsep yang mengkaji konsep force majeure untuk mengetahui penyebutan yang dipergunakan pada perundang-undangan serta memahami penerapannya dalam masyarakat dan putusan-putusan hukum. Dalam penelitian ini juga mempergunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang mengkaji mengenai peraturan perundang-undangan yang termuat dalam permasalahan penelitian khususnya Undang-undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan serta Undang-undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Penelitian ini menggunakan teknis analisis kualitatif dalam penulisannya.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Pandemi COVID-19 Sebagai Keadaan Memaksa (Force Majeure) Dalam Pemutusan Hubungan Kerja
Pandemi COVID-19 mengakibatkan banyaknya kasus wanprestasi di Indonesia khususnya antara perusahaan dengan pekerjanya yang mana banyak perusahaan yang merugi karena COVID-19 sehingga tidak dapat memenuhi prestasinya terhadap pekerjanya. Tidak terlaksananya perjanjian dapat diakibatkan oleh 2 (dua) hal yakni wanprestasi atau force majeure. Persamaan diantara wanprestasi dengan force majeure yaitu adanya ketidakterlaksananya perjanjian sesuai yang termuat dalam perjanjian sebagaimana mestinya. Lalu perbedaan antara wanprestasi dengan force majeure terletak pada unsur kelalaiannya yang mana pada wanprestasi kelalaiannya dalam menjalankan prestasinya memang murni kesalahan dari perusahaan sendiri sedangkan dalam force majeure kelalaian dalam menjalankan prestasi muncul karena keadaan yang tidak dapat terduga dan bukan merupakan itikad buruk dari perusahaan. 11
Di dalam kondisi COVID-19 yang telah menyerang di semua sektor perekonomian begitu banyak perusahaan yang dihadapkan dengan kondisi yang
sangat rumit, dimana perusahaan dihadapkan masalah yaitu harus membuat keputusan yang sangat besar dimana harus menjaga perekonomian perusahaan tetap terjaga ditengah pandemi serta memikirkan mengenai pekerjanya yang begitu banyak di tengah krisis ekonomi yang terjadi. 12 Untuk mempertahankan perekonomian perusahan menimbulkan dampak yang sangat besar bagi pekerjanya yang mana banyaknya pekerjanya yang mengalami pemutusan hubungan kerja di tengah krisis ekonomi pada pandemi COVID-19. Selain merugikan pekerjanya pemutusan hubungan kerja juga merugikan pihak perusahaan karena tidak mampu memproduksi suatu barang lagi dan dalam UU ketenagakerjaan juga mengatur bahwa seharusnya pemutusan hubungan kerja merupakan pilihan terakhir yang dilakukan. 13
Beberapa pengaturan mengenai COVID-19 yang dikeluarkan Indonesia untuk melawan pandemi COVID-19 yaitu dikeluarkannya Keppres Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang bertujuan sebagai pengkordinasian operasional dalam penanganan pandemi COVID-19. Dalam hal perkembangan COVID-19 yang terus bertambah dan merebak pemerintah juga mengeluarkan sebuah aturan mengenai pembatasan sosial dalam sebuah PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 dan pada Pasal 4 ayat (1) undang-undang tersebut juga mengatur mengenai bahwa di dalam suatu daerah yang akan dijalankannya PSBB akan dilakukan penutupan atau meliburkan tempat-tempat umum seperti mall maupun suatu perusahaan sehingga hal inilah juga yang menjadi pemicu banyaknya pemutusan hubungan kerja yang terjadi. Pada waktu yang bersamaan dengan dikeluarkannya PP PSBB dalam rangka menanggulangi peningkatan yang begitu banyak mengenai COVID-19 juga dikeluarkan sebuah Keppres No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Jadi ada beberapa peraturan baru yang dikeluarkan pemerintah dalam hal memerangi COVID-19 dikarenakan merebaknya penyebaran virus yang tidak terbendung dalam penanganannya.
Menurut Salim HS mendefinisikan force majeure sebagai keadaan dimana debitor (perusahaan) tidak mampu melaksanakan prestasinya kepada kreditor (tenaga kerja), atas dasar keadaan yang di luar kuasanya seperti keadaan yang ditimbulkan oleh alam yaitu gempa bumi, tsunami, gunung Meletus dll. R. Setiawan juga berpendapat mengenai pengertian tentang force majeure yang mana dia menyatakan bahwa terjadinya keadaan yang memaksa setelah dibuatnya perjanjian sehingga debitor (perusahaan) terhalang untuk melakukan prestasinya dimana dalam keadaan memaksa tersebut debitor (perusahaan) tidak dapat disalahkan karena tidak dapat menduga keadaan tersebut datang.14
Subekti berpendapat bahwa harus ada keadaan yang terpenuhi sehingga keadaan tersebut dapat dikatakan memaksa, yaitu bahwa keadaan tersebut di luar kuasa salah satu pihak yang harus memenuhi prestasinya dan pada saat dibuatnya perjanjian tersebut tidak dapat diketahui keadaan memaksa itu akan terjadi15
Sebuah force majeure dapat dibedakan jika melihat dari jangka waktu terjadinya keadaan memaksa tersebut yaitu sebagai berikut:
-
1. Force majeure permanen
Keadaan force majeure dapat digolongkan menjadi pemanen jika sampai kapanpun debitor tidak akan mampu memenuhi prestasinya akibat suatu keadaan yang mengakibatkan musnahnya benda yang menjadi objek dari perjanjian tersebut dan bukan merupakan kesalahan yang dilakukan oleh debitor.
-
2. Force majeure temporer
Memiliki sedikit perbedaan dengan force majeure permanen keadaan force majeure dapat digolongkan menjadi temporer ketika suatu peristiwa yang terjadi dalam keadaan sementara waktu sehingga debitor tidak mungkin melakukan prestasinya namun ketika keadaan memaksa tersebut sudah berakhir maka debitor wajib kembali menjalankan prestasinya16
Mengenai keadaan memaksa atau force majeure juga diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata khususnya pada Pasal 1244 dan 1245. Pada Pasal 1244 lebih menjelaskan mengenai pembuktian perusahaan yang mana pada pasal tersebut menyatakan bahwa perusahaan harus dapat membuktikan bahwa benar dia tidak dapat melaksanakan prestasi karena adanya suatu keadaan memaksa dan bukan merupakan itidak buruk perusahaan dan jika perusahaan tidak dapat membuktikan keadaan diatas merupakan sebuah force majeure maka perusahaan wajib membayar biaya kerugian. Sedangkan pada Pasal 1245 lebih mengatur mengenai bahwa perusahaan tidak dapat dimintakan biaya kerugian jika dalam hal bahwa benar terjadinya suatu keadaan yang memaksa sehingga menggangu perusahaan dalam menjalankan prestasinya.
Kriteria yang harus dipenuhi agar COVID-19 dapat dikatakan sebuah force majeure atau keadaan memaksa yaitu ketika sudah memenuhi beberapa unsur seperti: 1. Kejadian tersebut tidak pernah diduga oleh para pihak
-
2. Terdapat halangan dalam melakukan prestasinya
-
3. Sebuah keadaan yang membuat tidak terpenuhi sebuah prestasi bukan merupakan kesalahan atau itikad buruk perusahaan
-
4. Sebuah keadaan memaksa harus dapat dibuktikan sebagai sebuah penghalang dalam melakukan prestasi
-
5. Jika sebuah keadaan memaksa memang dapat dibuktikan menjadi penghalang dalam melakukan prestasi maka perusahaan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Berdasarkan kriteria dan unsur-unsur force majeure yang sudah dipaparkan diatas maka menekankan pada keadaan yang bukan merupakan kemampuan atau kemauan salah satu pihak dan bukan merupakan itidak buruk salah satu pihak sehingga menimbulkan tidak terpenuhinya kewajiban dari salah satu pihak. Ketika COVID-19 dikatakan sebagai sebuah keadaan memaksa maka memang benar bahwa pihak perusahaan dan pekerja tidak pernah menduganya akan terjadi, perusahaan mengalami halangan dalam pemenuhan prestasinya terhadap tenaga kerjanya dan bukan merupakan itikad buruk pihak perusahaan, dan perusahaan harus mampu membuktikan bahwa benar perusahaan tersebut tidak melaksanakan pretasinya karena sebuah keadaan memaksa atau force majeure sehingga perusahaan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban. Jadi melihat pengertian force majeure yang sudah dipaparkan ahli hukum diatas dan berdasarkan Pasal 1244 dan 1245 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata maka dapat disimpulkan bahwa COVID-19 dapat dikategorikan kedalam keadaan memaksa atau force majeure dalam hal perusahaan untuk memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya selagi masuk kedalam unsur-unsur keadaan COVID-19 dapat dikatakan sebagai keadaan memaksa. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan pada masa pandemi COVID-19 dapat dikategorikan kedalam keadaan memaksa (force majeure) ketika keadaan tersebut di luar kekuasaan perusahaan dan tidak ada yang mampu memprediksi keadaan tersebut akan terjadi pada saat perjanjian di buat, dan perusahaan tidak dibebankan resiko jika dia dapat membuktikannya17
Dalam perkembangannya terdapat perusahaan yang bertindak dalam pemutusan hubungan kerja secara sewenang-wenang dengan alasan COVID-19 yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kewajiban atau wanprestasi yang dilakukan oleh suatu perusahaan sesuai dengan yang tertuang dalam perjanjian kerja. Keadaan seperti ini mengakibatkan keadaan yang semakin memperburuk keadaan perekonomian masyarakat di tengah menghadapi pandemi COVID-19. Perusahaan tidak dapat secara serta-merta melakukan pemutusan hubungan kerja karena alasan COVID-19 namun perusahaan harus membuktikannya bahwa memang dia tidak mampu menjalankan prestasinya serta harus memenuhi persyaratan yang sudah diatur oleh undang-undang jika ingin melakukan pemutusan hubungan kerja. 18
Jika suatu perusahaan memang sudah berada pada ambang krisis keuangan dalam menjalankan usahanya maka pihak perusahaan dapat melakukan diskusi dengan pekerjanya tentang keadaan perusahaan. Dan melakukan upaya-upaya lain sebagaimana sesuai Surat Edaran Menteri Nomor SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 yang berisikan bahwa pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan jika sudah melakukan upaya sebagai berikut: 1). Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas; b). Membatasi/manghapuskan kerja lembur; c). Mengurangi jam kerja; d). Mengurangi hari kerja; e). Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu; f). Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya; g). Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.19
Berdasarkan Undang-undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 154A ayat (1) huruf d juga memberikan peluang perusahaan dalam memutusan hubungan kerja jika perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeure).
Secara prinsipnya perusahaan memang diberikan kewenangan oleh pemerintah dalam melakukan pemutusan hubungan kerja jika memang didasarkan atas keadaan memaksa (force majeure) dan berdasarkan Undang-undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 154A ayat (1) huruf d namun perusahaan harus mengupayakan agar pemutusan hubungan kerja hanya menjadi pilihan terakhir yang dapat dilakukan. Dan berdasarkan pertanggungjawaban perusahaan dalam hal terjadinya sebuah keadaan memaksa khususnya pada pandemi COVID-19 yang terjadi
saat ini perusahaan tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban sesuai keadaan memaksa dalam konsep Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Pasal 1245 yang menyatakan bahwa dalam hal debitur (perusahaan) tidak dapat dimintakan suatu pertanggungjawaban (ganti rugi) jika dia tidak melakukan kewajibannya sebagaimana mestinya karena adanya suatu keadaan memaksa yang terjadi secara kebetulan sehingga menghalangi melakukan prestasinya dan konsep pertanggungjawaban perusahaan dalam UU ketenagakerjaan tidak dapat terlaksana karena adanya suatu keadaan yang memaksa sehingga tidak memungkinkan perusahaan untuk membayar kerugian yang terjadi.
3.2 Protokol Kesehatan Yang Harus Diterapkan Perusahaan Jika Perusahaannya Tetap Berjalan Ditengah Kondisi Pandemi COVID-19
Seperti yang kita ketahui meskipun ada beberapa perusahaan yang memutus pekerjanya akibat pandemi COVID-19 namun ada juga perusahaan yang masih berjalan di tengah kondisi pandemi COVID-19. Dalam kondisi seperti ini harus ada pencegahan yang ketat dalam penanganan penyebaran virus COVID-19 di dalam jalannya sebuah perusahaan agar pekerja dalam perusahaan tersebut menjadi lebih aman dalam bekerja di tengah pandemi yang terjadi saat ini. Langkah berikut juga merupakan langkah persiapan dalam menjalani new normal atau yang dapat diartikan sebagai tatanan kehidupan baru sehingga dapat menjalankan kegiatan di tengah pandemi yang belum tertuntaskan20.
Perusahaan memiliki kewajiban yang harus dipenuhi jika tetap ingin menjalankan usahanya di tengah pandemi COVID-19 yang mana kita ketahui sebenarnya cukup sulit melakukan beberapa hal penanggulangan virus COVID-19 di lingkungan kerja terlebih lagi sebuah perusahaan yang besar yang memiliki begitu banyak pekerja dalam perusahaannya.
Virus COVID-19 dapat menyebar begitu cepat dari orang ke orang misalnya dari percikan droplet maupun cairan tubuh seorang penderita virus tersebut dengan jarak antar orang sejauh 1-2 meter dari batuk dan bersin penderita.21 Jika seorang penderita saat bersin menutup bagian mulutnya dengan tangannya sendiri maka orang tersebut berpeluang sangat besar untuk menyebarkan virus kepada orang maupun benda yang disentuhnya.
Dalam penanganan COVID-19 Menteri Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan sebuah Surat Edaran Nomor HK.02.01/MENKES/335/2020 Tentang Protokol Pencegahan Penularan Corona Virus Desease (COVID-19) di Tempat Kerja Sektor Jasa dan Perdagangan (Area Publik) Dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha. Berdasarkan dikeluarkannya peraturan diatas diharapkan setiap elemen masyarakat melaksanakan protokol kesehatan sesuai yang tercantum dalam peraturan tersebut.
Dalam surat edaran tersebut berisikan persyaratan protokol kesehatan bagi pengurus atau pengelola tempat kerja/pelaku usaha pada sektor jasa dan pendagangan (area publik) yaitu dengan melakukan desinfeksi secara berkala di area yang sering disentuh dengan rentan waktu desinfeksi yaitu 4 jam sekali, menyediakan
sebuah fasilitas tempat cuci tangan yang mudah diakses setiap orang, memastikan bahwa para pekerjanya memahami cara penerapan perilaku hidup bersih dan sehat, melakukan pengecekan kepada setiap orang yang ingin memasuki areal kerja di depan pintu masuk, mewajibkan setiap orang untuk menggunakan masker, menyediakan media informasi mengenai pembatasan jarak fisik, cara mencuci tangan yang benar dan kedisiplinan penggunaan masker, melakukan pembatasan jarak fisik minimal 1 meter yang dapat dilakukan seperti memberikan tanda khusus pada area yang padat dan mengatur jumlah pekerja yang masuk, dan jika dalam pusat berbelanjaan agar meminimalisir kontak dengan konsumen dan meminimalisir kerumunan dari setiap pelanggan.
Diatas merupakan persyaratan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal penerapan protokol kesehatan. Jika perusahaan masih tetap menjalankan usahanya pada pandemi COVID-19 seperti saat ini maka perusahaan harus mematuhi peraturan diatas agar tidak menyebarkan cluster baru penyebaran COVID-19 yang malah dapat mengakibatkan kedaruratan di tengah pandemi ini.
IV. Kesimpulan
COVID-19 dapat dikategorikan sebuah force majeure atau keadaan memaksa yaitu ketika sudah memenuhi beberapa unsur yaitu kejadian tersebut tidak pernah diduga oleh para pihak, terdapat halangan dalam melakukan prestasinya, sebuah keadaan yang membuat tidak terpenuhi sebuah prestasi bukan merupakan kesalahan atau itikad buruk perusahaan, sebuah keadaan memaksa harus dapat dibuktikan sebagai sebuah penghalang dalam melakukan prestasi dan jika sebuah keadaan memaksa memang dapat dibuktikan menjadi penghalang dalam melakukan prestasi maka perusahaan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban. Berdasarkan Undang-undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 154A ayat (1) huruf d juga memberikan peluang perusahaan dalam memutusan hubungan kerja jika perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeure). Bagi perusahaan yang tetap menjalankan perusahannya pada kondisi pandemi COVD-19 harus memenuhi protokol kesehatan yang sudah diatur dalam Surat Edaran Nomor HK.02.01/MENKES/335/2020 Tentang Protokol Pencegahan Penularan Corona Virus Desease (COVID-19) di Tempat Kerja Sektor Jasa dan Perdagangan (Area Publik) Dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2014).
Udiana, I Made. Industrialisasi & Tanggungjawan Penguasaha Terhadap Tenaga Kerja Terlibat Hukum (Denpasar, Udayana University Press, 2018).
Jurnal:
Anwar, Mohamad. "Dilema PHK dan Potong Gaji Pekerja Di Tengah Covid-19." 'ADALAH 4, no. 1 (2020).
Fitri, Wardatul. "Implikasi Yuridis Penetapan Status Bencana Nasional Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Terhadap Perbuatan Hukum Keperdataan." Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum 9, no. 1 (2020).
Irawan, Doddy, Neni Triana, Linda Suwarni, and Selviana Selviana. "Edukasi protokol kesehatan dan strategi pemasaran online melalui program kemitraan masyarakat di era pandemi COVID-19." JMM (Jurnal Masyarakat Mandiri) 4, no. 4 (2020).
Juaningsih, Imas Novita. "Analisis Kebijakan PHK Bagi Para Pekerja Pada Masa Pandemi Covid-19 di Indonesia." 'ADALAH 4, no. 1 (2020).
Karo, Marni Br. "Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Strategi Pencegahan Penyebaran Virus Covid-19." In Prosiding Seminar Nasional Hardiknas, vol. 1, pp. 1-4. 2020.
Kaya, Putu Bagus Tutuan Aris, and Ni Ketut Supasti Dharmawan. "Kajian Force Majeure Terkait Pemenuhan Prestasi Perjanjian Komersial Pasca Penetapan Covid-19 Sebagai Bencana Nasional." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 8, no. 6 (2020).
Mustakim, Mustakim, and Syafrida Syafrida. "Pandemi Covid-19 Sebagai Alasan Force Majeure Dalam Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja di Indonesia." SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 7, no. 8 (2020).
Pakpahan, Aknolt Kristian. "Covid-19 Dan Implikasi Bagi Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah." Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional (2020).
Romlah, Siti. "Covid-19 Dan Dampaknya Terhadap Buruh di Indonesia." 'ADALAH 4, no. 1 (2020).
Syafrida, Syafrida, Safrizal Safrizal, and Reni Suryani. "Pemutusan Hubungan Kerja Masa Pandemi Covid-19 Perusahaan Terancam Dapat Dipailitkan." Pamulang Law Review 3, no. 1 (2020).
Syamsiah, Desi. "PENYELESAIAN PERJANJIAN HUTANG PIUTANG SEBAGAI AKIBAT FORJE MAJEUR KARENA PANDEMIC COVID 19." Legal Standing: Jurnal Ilmu Hukum 4, no. 1 (2020).
Wahyuni, Sri. "FORCE MAJEURE DAN NOTOIR FEITEN ATAS KEBIJAKAN PSBB COVID-19." Jurnal Hukum Sasana 6, no. 1 (2020).
Online:
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. “Gejala COVID-19 (8 Juni 2020)”. https://covid19.go.id/tanya-jawab, (2020). diakses 5 September 2020.
Kompas. “Rangkaian Peristiwa Pertama Covid-19 (18 April 2020)”. https://bebas.kompas.id/baca/riset/2020/04/18/rangkaian-peristiwa-pertama-covid-19/, (2020). diakses 5 September 2020.
Peraturan Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Surat Edaran Nomor SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 Tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal
Surat Edaran Nomor HK.02.01/MENKES/335/2020 Tentang Protokol Pencegahan Penularan Corona Virus Desease (COVID-19) di Tempat Kerja Sektor Jasa dan Perdagangan (Area Publik) Dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha.
Jurnal Kertha Wicara Vol. 10 No. 3 Tahun 2021, hlm. 230-240.
Discussion and feedback