Penegasan Keabsahan Bukti Rekaman Elektronik Dalam KUHAP Terhadap Sistem Acara Pidana Di Indonesia
on
PENEGASAN KEABSAHAN BUKTI REKAMAN
ELEKTRONIK DALAM KUHAP TERHADAP SISTEM
ACARA PIDANA DI INDONESIA
Joshua Habinsaranni Rezky Silaban, Fakultas Hukum Universitas Udayana E-mail: [email protected]
I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana E-mail: [email protected]
DOI : KW.2021.v10.i02.p03
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan, untuk menyampaikan suatu pemahaman dari suatu bukti yang tergolong maju, namun masih bersifat dilematis apabila dimasukkan kedalam tatanan beracara pidana di Indonesia. Penelitian hukum normatif adalah metode yang digunakan, merupakan penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder dengan penggunaan perundang-undangan dan secara konseptual. Rekaman Elektronik menjadi alat bukti yang sah sesuai ketentuan undang-undang berlaku dan dapat berdiri sendiri, namun terbatas pada kasus perkara pidana khusus. Berbeda dalam konteks beracara pidana umum yang berlandaskan KUHAP, jika bukti tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan merupakan perluasan dari bukti “Petunjuk”. Pada Putusan Mahkamah Konstitusi, rekaman elektronik memiliki nilai sah dan diakui sebagai perluasan alat bukti dalam KUHAP dengan adanya pembatasan, bahwa rekaman tersebut bukan merupakan bagian dari penyadapan yang mana hal tersebut harus dilakukan oleh instansi penegak hukum yang berwenang untuk menguatkan dan menghindari terjadinya unlawful legal evidence dalam sistem beracara pidana.
Kata Kunci: KUHAP, Alat Bukti, Rekaman Elektronik
ABSTRACT
This study aims, to convey an understanding of evidence that is classified as advanced, but the proof is still a dilemma when it is included in the criminal justice system in Indonesia. Normative legal research was the method used of research, is a method used that library materials or secondary data using approach of legislation and conseptual approach. Electronic Records become valid evidence accordance with the provision of applicable laws and can stand alone, but are limited to special criminal cases. The Different in the context of general criminal proceedings based on KUHAP, if the evidence can’t be on one’s own and is an extension of the evidence "Instructions". In the Constitutional Court's of Indonesia Ruling, electronic recordings has a valid value and are recognized as an extension of evidence tools in KUHAP with limitation, that the recording is not part of a wiretapping which must be done by the law enforcement agency authorized to corroborate and avoid unlawful legal evidence in the criminal justice system.
Keywords: KUHAP, Evidence Tools, Electronic Recordings
KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) adalah realisasi, terbentuk sebagai fondasi kekuatan hukum formil dalam melaksanakan hukum materil bersumber dari KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Dalam beracara pidana untuk mencapai kebenaran materil suatu perkara, perlu melewati beberapa tahapan dimulai pada tahap Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan Persidangan, sampai tahap putusan oleh Majelis Hakim. Dan dalam proses Pemeriksaan di muka sidang, terdapat salah satu tahapan di dalamnya yaitu
Pembuktian. Dalam beracara pidana umum maupun khusus, tahap pembuktian samasama berfungsi mencari dan menyatakan kesalahan pihak Terdakwa hingga dijatuhi hukuman oleh pihak Hakim. Leksikonnya, tahapan tersebut merupakan proses ditemukannya kebenaran materil dari pihak pesakitan dalam persidangan. Sistem pada acara pidana mengandalkan keteraturan kitab hukum acara pidana. Namun, aturan tersebut belum diimbangi dengan keberagaman alat-alat bukti lain yang semakin maju dalam hal teknologi. Keterangan Saksi, Ahli, dan Terdakwa, lalu Surat, maupun bukti Petunjuk masih menjadi alat bukti sah sebagaimana tertulis pada Pasal 184 ayat (1). Dengan kata lain, tidak dipaparkan secara jelas dan tegas keberadaan bukti elektronik didalam pasal tersebut.
Sejauh ini, alat-alat bukti yang berorientasi pada bukti elektronik diatur dan ditegaskan keberadaannya dalam Undang-Undang Khusus selain “KUHAP” itu sendiri. Contohnya, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016) selanjutnya disebut “UU ITE”, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010), dan lain-lain. Namun, hal tersebut belum dapat mempertegas keberadaannya dalam kitab hukum acara pidana. Lambatnya pergerakan landasan beracara pidana, karena adanya unsur-unsur yang masih dianggap kurang sesuai dengan asas-asas dalam konteks sistem acara pidana di Indonesia, sehingga hal tersebut urung dilakukan demi menjaga keteraturan tata beracara khususnya dalam ranah hukum pidana di Indonesia. Terlepas dari hal itu, kerap kali untuk mencari kebenaran materil melalui bukti elektronik salah satunya berupa rekaman elektronik baik suara maupun video dalam hal tindak pidana umum, perlu ditegakkan asas lex specialis derogate legi generalis selama tindakan termasuk tindakan yang tercantum dalam pidana materil pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 63 ayat (2). Menandakan jika keberadaan bukti elektronik yang salah satunya berupa rekaman elektronik belum mendapat tempat secara leluasa, hanya sebatas “perluasan” dari bukti Petunjuk.
Lika-liku perjalanan bukti elektronik yang salah satunya berupa rekaman elektronik terus berlanjut, dengan adanya pihak yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi perihal tindak perekaman atau penyadapan tidak memiliki nilai bukti yang sah jika tidak dilakukan oleh pihak instansi penegak hukum yang berwenang. Dengan dipermasalahkannya UU ITE Pasal 5 pada ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 pada huruf b, dinilai tidak mempresentasikan eksistensi Undang-Undang Dasar 1945 mengenai kehidupan Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini, tentu Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan gugatan yang disampaikan dengan tujuan memfokuskan kembali sistem tata beracara pidana di Indonesia yang mengedepankan keberadaan Hak Asasi Manusia. Hal ini menjadi pertanyaan terkait penempatan bukti elektronik yang salah satunya berupa rekaman elektronik tersebut. Karena di lain sisi, rekaman elektronik dapat menjadi salah satu faktor kuat dan layak diperhitungkan dengan potensi yang dimilikinya dalam menemukan kebenaran materil, karena dengan kemajuan teknologi ini seringkali hal-hal yang berkaitan dengan “Elektronik” menjadi sarana terjadinya tindak pidana. Sehingga, pembatasan seperti apa dan tujuan yang diinginkan para penegak hukum terkait bukti elektronik tersebut khususnya dalam terhadap sistem beracara pidana baik umum maupun khusus tersebut.
-
1. Bagaimana Keabsahan Rekaman Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Hukum Pidana Formil?
-
2. Bagaimana Perkembangan Keberadaan Rekaman Elektronik Terhadap Sistem Hukum Acara Pidana Indonesia?
Intensi yang dituju dalam penulisan, untuk menyampaikan suatu pemahaman dari penjelasan keberadaan suatu bukti yang tergolong maju, tetapi masih meninggalkan beberapa hal yang bersifat dilematis apabila dimasukkan kedalam tatanan beracara pidana di Indonesia. Hal-hal mengenai cara mendapatkan serta sisi keakuratan pada bukti, terlepas dari potensi akan kebenaran materil suatu perkara pidana yang masih menjadi perdebatan apabila digeneralisasikan menjadi alat bukti terhadap sistem beracara pidana. Sehingga, akan dibahas secara runtut dalam penelitian untuk mempertegas keabsahan bukti tersebut.
Hukum Normatif menjadi metode utama yang digunakan dalam penulisan penelitian. Merupakan gaya penulisan yang mengarah pada substansial hukum tertulis, serta meneliti data kepustakaan sebagai data sekunder, lalu diperkuat dengan gaya bahasa hukum dengan penambahan pendekatan Hukum Empiris (gabungan). Penelitian menggunakan metode:
-
a. Pendekatan Peraturan Peraturan Perundang-Undangan
Dengan adanya materi hukum primer seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981), Undang-Undang Telekomunikasi (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999), Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999), Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Orang (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007), Undang-Undang Narkotika (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009), Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010), Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013), Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008), Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor: 20/PUU-XIV/2016, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor: 39/TU/88/102/Pid tentang Microfilm Sebagai Alat Bukti. b. Bahan Sekunder yang berasal dari Buku-Buku Tentang Hukum dan Jurnal. Penelitian juga menggunakan pendekatan Judicial Case Study, metode penelitian yang menitikberatkan pada peristiwa yang lahir karena terjadinya konflik hukum hingga melibatkan lembaga peradilan dengan putusan untuk menyelesaikan permasalahan atau “Yurisprudensi”. Penulisan mengenai rekaman elektronik sempat dibahas dalam penulisan yang berjudul “Legalitas Rekaman Pembicaraan Telepon Sebagai Alat Bukti Dalam Penyelesaian Perkara Pidana” dengan penulis yaitu Ida Bagus Parta Swarjana dan Anak Agung Gde Oka Parwata. Namun, terdapat perbedaan mengenai isi substansi dan referensi pendukung dalam penulisan. Dalam pembahasannya, masalah yang diangkat adalah “Legalitas Rekaman Pembicaraan Telepon Sebagai Alat Bukti Dalam Penyelesaian Perkara Pidana”. Masalah yang
menitikberatkan pada eksistensi rekaman elektronik merupakan bagian dari alat bukti sah menurut KUHAP yaitu alat bukti Surat. Sedangkan dalam penulisan ini, masalah yang diangkat terkait perkembangan dan kesempatan keberadaan rekaman elektronik sebagai alat bukti dari hasil sidang Mahkamah Konstitusi Nomor: 20/PUU-XIV/2016 dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Keabsahan Rekaman Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Hukum Pidana Formil
-
Pembuktian adalah bagian proses pada tatanan beracara hukum pidana formil di Indonesia. Pembuktian merupakan istilah berakar dari kata “Bukti”. Bukti atau "Bewijs" dalam bahasa Belanda merupakan kebenaran yang diperkuat dengan fakta-fakta tertentu dalam suatu peristiwa hukum, oleh para pihak yang berperkara di pengadilan, sebagai informasi bagi Majelis Hakim untuk menilai dan memutus perkara.1 Secara garis besar, Pembuktian merupakan suatu fase “Penentuan” kedua belah pihak terkait yakni pihak Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa untuk saling membuktikan akan kebenaran perkara pidana sebagai dasar bagi Hakim dalam mengadili di persidangan. Pembuktian menurut M. Yahya Harahap, merupakan aturan akan keabsahan sesuai ketentuan undang-undang khususnya mengenai keberadaan alat bukti.2 Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan terkait pedoman, dasar (cara) yang diakui undang-undang untuk digunakan oleh Majelis Hakim dalam hal membuktikan kesalahan pihak “Pesakitan” disertai adanya alasan yuridis berlandaskan keadilan, jika dikutip dari pendapat Syaiful Bakhri.3 Apabila penjelasan-penjelasan di atas kemudian dielaborasikan terkait pembuktian, makna definitif hukum pembuktian merupakan bagian tahapan dalam peradilan disertai beberapa komponen meliputi barang bukti yang diakui lalu dijadikan alat bukti, tatanan pengumpulan dan perolehan hingga kompetensi dan beban pembuktian pada perkara pidana.
Pentingnya tahapan tersebut menurut Sudikno Mertokusumo dapat diambil 3 makna. Pertama, pembuktian yang membuktikan secara logis. Logis dalam hal ini berpatokan pada mutlaknya kepastian hukum, diberlakukan untuk semua kalangan (masyarakat), serta tidak dimungkinkan ada bukti lawan. Selanjutnya, pembuktian memiliki makna “Konvensional”, makna yang mendasarkan pada kepastian relatif. Kepastian tersebut memiliki dua sifat yakni conviction intime atau hanya sesuai perasaan belaka dan kepastian yang bersifat conviction in raisonance yang mengedepankan akal. Terakhir, pembuktian secara yuridis. Pembuktian yang menjadi dasar bagi Majelis Hakim dengan kewenangannya memeriksa dan memberikan putusan yang sah untuk mendapatkan suatu kebenaran atas peristiwa hukum. 4 Sehingga, fase pembuktian menjadi tahapan penting dalam menggali suatu kebenaran dari peristiwa pidana. Dilihat dari perspektif hukum acara pidana, pembuktian memuat batasan-batasan normatif dalam persidangan, terkait penggalian kebenaran hukum materil suatu peristiwa pidana untuk para pihak yang melaksanakan persidangan.
Proses pembuktian dalam peradilan pidana mengutamakan penemuan-penemuan yang bersifat “Materil” terhadap suatu peristiwa hukum sebagai dasar penilaian Hakim, dalam memberikan putusan yang seadil-adilnya. Makna “Proses” pada pembuktian tersebut harus melewati berbagai aspek, yaitu:
-
a . Perbuatan mana saja yang dinilai terbukti dan tentunya dianggap sebagai perbuatan pidana.
-
b . Apakah dari perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa tersebut membuktikan jika Terdakwa bersalah.
-
c . Delik apa yang dilakukan Terdakwa atas perbuatan-perbuatannya tersebut.
d.Pidana apa yang dapat dijatuhi kepada Terdakwa jika yang bersangkutan memang terbukti bersalah atas perbuatannya.5
Untuk mendukung proses pembuktian dalam sidang perkara pidana, perlu pelimpahan kumpulan bukti-bukti yang sah dari para pihak dalam persidangan untuk mendukung jalannya sidang dalam menggali kebenaran “materil”. Pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) pada Pasal 183, terdapat penegasan jika Hakim dengan kewenangannya tidak dapat menjatuhkan vonis pidana kepada seseorang yang dalam hal ini adalah Terdakwa, kecuali minimal terdapat dua alat bukti yang diakui keberadaannya dalam aturan formil yang berlaku dan pihak Hakim dengan keyakinan (bewijs minimum) terkait kebenaran akan tindak pidana yang terjadi dan Terdakwalah yang bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Hal tersebut merupakan suatu gaya pembuktian yang dilakukan dalam sistem acara pidana di Indonesia yang menggunakan sistem negatief wettelijk bewijstheorie.6 Jika ditelusuri dalam kitab hukum acara pidana, terdapat bukti-bukti yang kemudian ditetapkan sebagai alat bukti “Sah” seperti Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, sampai Keterangan yang disampaikan Terdakwa (KUHAP Pasal 184 huruf a, b, c, d, e).
Dengan perkembangan teknologi yang semakin mutakhir, tentu memberikan warna baru terhadap keberadaan barang-barang bukti, yang kemudian berpindah status menjadi alat bukti dalam persidangan. Contohnya adalah bukti yang bersifat “elektronik” salah satunya berupa rekaman elektronik. Apabila dideskripsikan mengenai rekaman elektronik yang dalam hal ini bukan bagian dari penyadapan atau intersepsi, rekaman tersebut dapat dilakukan melalui Voice Recorder yang dapat diakses atau melalui Handphone, lalu adanya rekaman melalui Closed-Circuit Television atau yang dikenal dengan “CCTV”, dsb. Pada zaman dahulu sebelum adanya rekaman elektronik, terdapat alat Microfilm atau Microfiche, diakui sebagai alat bukti dalam menggali kebenaran materil suatu peristiwa pidana. Namun, secara yuridis khususnya dalam tubuh KUHAP belum ada penegasan secara langsung mengenai keberadaan rekaman elektronik apabila dijadikan alat bukti sah untuk kemudian digolongkan kedalam bukti-bukti yang sah termuat dalam Pasal 184.
Perlu dibedakan rekaman yang bukan bagian dari penyadapan atau intersepsi dengan penyadapan. Secara eksplisit, kedua hal tersebut sama. Namun, terdapat perbedaan yang cukup signifikan diantara keduanya. Walaupun menyadap merupakan bagian dari merekam, akan tetapi tindakan merekam belum tentu menyadap. Jika dipahami kembali, dapat dikatakan bahwa tindakan menyadap
merupakan bagian dari tindakan merekam. Penyadapan atau Intersepsi memiliki transmisi khusus ke jaringan telekomunikasi, sedangkan rekaman elektronik yang dimaksud tidak adanya tambahan alat yang dipasang ke jaringan telekomunikasi pihak lain. Penyadapan seringkali dilakukan oleh pihak luar (pihak ketiga) terhadap pihak yang sedang melakukan komunikasi, sedangkan rekaman elektronik yang dibahas dalam penelitian hanya salah satu pihak yang merekam pembicaraan kepada pihak lain dalam melakukan interaksi baik melalui rekaman suara atau video. Dari aspek yuridis, “Penyadapan atau rekaman yang merupakan bagian dari penyadapan” merupakan perbuatan yang dilarang, diatur didalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta dapat diancam pidana kepada pelaku yang melakukan apabila tidak ada koordinasi dengan instansi berwenang (Kepolisian, Kejaksaan, dll) dalam rangka penegakan hukum sesuai undang-undang yang berlaku.
Apabila ditelaah terkait permasalahan tersebut, terdapat beberapa faktor yang menurut peneliti terjadi lambatnya pergerakan dalam mereformasi tubuh kitab hukum pidana formil di Indonesia berfokus pada rekaman elektronik. Hal itu terjadi karena hukum pidana formil Indonesia memfokuskan bagian-bagian terkait hak yang melekat pada manusia sejak dilahirkan jika dilihat dalam konteks “Menimbang”. Bahwa dari segi cara memperolehnya, rekaman elektronik rentan akan pelanggaran hak privasi. Seringkali adanya rekaman secara diam-diam khususnya melalui Tape Recorder, Voice Recorder atau bisa dikatakan rekaman suara, rekaman video bahkan adanya penyadapan atau intersepsi yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang diajak berinteraksi dapat bersifat menjebak. Cara memperoleh inilah yang menurut peneliti menjadi titik hambat penegasan rekaman elektronik menjadi alat bukti yang sah untuk digeneralisasikan dalam sistem beracara di Indonesia khususnya acara pidana.
Secara historis, dimulai dengan adanya inovasi Microfilm sebagai bentuk perkembangan teknologi yang menjadi alat bukti berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) pada tanggal 14 Januari 1998 digolongkan bukti surat.7 Namun, terdapat batasan atau secara limitatif diatur jika inovasi yang digunakan harus terjamin keotentikannya. Perkembangan selanjutnya, terdapat pengaturan-pengaturan terkait elektronik sebagai alat bukti namun secara sistematis terdapat pada undang-undang selain KUHAP. Yakni:
-
• Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
-
• Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.
-
• Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE).
-
• Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
-
• Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
-
• Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dari beberapa produk hukum yang telah dibuat, menandakan adanya peran penting dari keberadaan rekaman elektronik sebagai bukti yang kuat untuk dijadikan alat bukti dalam menggali kebenaran materil suatu perkara pidana, namun hal
tersebut belum memperkuat keabsahannya di mata KUHAP sebagai dasar hukum pidana formil bagi keberlangsungan perkara pidana umum di Indonesia. Sejauh ini, pengaturan mengenai diakuinya rekaman elektronik sebagai alat bukti masih diatur dalam aturan atau undang-undang khusus dan dalam ruang lingkup kasus-kasus pidana khusus. Apabila undang-undang khusus yang mengatur dikaitkan dengan kitab hukum acara pidana seperti yang tertulis di dalam UU ITE pada Pasal 5 ayat (2), jika “Rekaman Elektronik” dapat dimasukkan ke dalam kitab hukum acara pidana sebagai perluasan alat bukti petunjuk. Yang dimaksud dengan “Perluasan” dalam hal ini adalah adanya penambahan alat bukti sah sebagaimana diatur dalam kitab hukum acara pidana.
Rekaman Elektronik khususnya baik rekaman suara maupun video diakui keberadaannya di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi pada Nomor: 20/PUU-XIV/2016, jika bukti yang terindikasi bersifat elektronik merupakan perluasan alat bukti pada Pasal 184 KUHAP. Walaupun di dalam kitab tersebut belum ditegaskan golongan alat bukti apa rekaman elektronik. Namun jika dianalisis kembali makna perluasan, maka dapat diketahui jika bukti rekaman eletronik dapat digolongkan ke dalam alat bukti Petunjuk (Aanwijzingen).8 Bukti yang menggambarkan adanya perbuatan dan kejadian dengan persesuaian alat bukti lain dalam usaha menemukan letak tindak pidana dan subyek pelaku dinamakan alat bukti “Petunjuk” sebagaimana tertulis di dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP. Berdasarkan UU ITE, setidaknya bukti rekaman elektronik baik dalam bentuk suara maupun video agar dapat diterima di persidangan, dengan catatan barang bukti khususnya rekaman tersebut harus memenuhi “syarat formil” yang tertulis pada Pasal 5 ayat (4) dengan ketentuan bahwa Informasi dan/atau Dokumen Elektronik tersebut bukan surat tertulis dan “syarat materil” yang terdapat pada Pasal 6, 15, dan 16 jika Informasi dan/atau Dokumen Elektronik dapat terjamin akan keautentikan, keutuhan, dan ketersediannnya. Maka, dari kedua syarat tersebut, rekaman elektronik dapat dijadikan alat bukti dipersidangan sesuai ketentuan aturan formil.
Agar bukti rekaman elektronik dapat dimajukan sebagai alat bukti dalam persidangan, maka syarat untuk dijadikan alat bukti tersebut harus relevan, bersifat material, dan kompeten dalam artian reliable dan credible akan kualitasnya sebagaimana hal tersebut sesuai dengan pendapat Debra L. Shinder. 9 Maka untuk menjamin keaslian dan keamanan bukti rekaman elektronik, perlu adanya ahli forensik dalam menangani hal tersebut bekerjasama dengan instansi penegakan hukum terkait. Proses forensik yang dilakukan terkait bukti elektronik yang dilakukan ahli forensik meliputi:
-
a. Collecting (Pengumpulan)
-
b. Examination (Pengujian);
-
c. Analysis (Analisa);
-
d. Reporting (Pelaporan).10
Setelah ahli forensik menyatakan keorisinalitas akan rekaman tersebut, ahli akan memberikan laporan atau keterangan (visum et repertum) atas bukti tersebut kepada pihak penuntut umum untuk menyampaikannya di muka persidangan. Dikarenakan merupakan perluasan dari bukti Petunjuk, maka bukti rekaman eletronik tersebut perlu disesuaikan beserta bukti sah lainnya (Keterangan Saksi, Surat, dan Keterangan Terdakwa) untuk menjadi dasar penilaian Hakim (bewijskracht). Ahli digital forensik dapat didatangkan saat sidang pembuktian jika diperlukan, hal ini dilakukan mengingat bukan sebagai tupoksi baik dari pihak Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim agar mencegah kerancuan terhadap alat bukti tersebut. Keterangan yang bersifat keilmuan tersebut dapat menjadi titik terang bagi Majelis Hakim dalam menggali kebenaran materil suatu perkara pidana. Namun sesuai ketentuan terkait alat bukti Petunjuk, keterangan tersebut tidak menjadi dasar penilaian Majelis Hakim dalam memutus suatu perkara. Sehingga dari penjelasan-penjelasan tersebut, dapat dikatakan jika rekaman elektronik ialah bagian alat bukti yang sah dalam hukum pidana formil di Indonesia dengan catatan terjamin keasliannya oleh ahli digital forensik. Akan tetapi, dalam ranah hukum pidana umum, bukti tersebut harus disesuaikan dengan bukti-bukti lain yang diakui kitab hukum acara pidana. Karena masuk kedalam golongan alat bukti petunjuk, maka bukti tersebut merupakan persesuaian Keterangan Saksi, Surat, dan keterangan Terdakwa yang bertujuan untuk menguatkan keyakinan Hakim akan kebenaran materil dalam memutus perkara pidana.
Sejak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 20/PUU-XIV/2016 diberlakukan, berdampak pada berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Bermula dari pihak Setya Novanto bersama dengan kuasa hukumnya sebagai pihak Penggugat yang memohon agar adanya perubahan khususnya pada bukti elektronik pada Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 44 huruf b UU ITE. Yang menjadi sorotan atas permohonan tersebut sehingga Mahkamah Agung dengan wewenangnya memeriksa atau menguji kembali materi (judicial review) undang-undang tersebut adalah ketentuan bukti elektronik berupa hasil penyadapan/intersepsi pada pasal-pasal yang telah disebutkan tadi. Dalam hal ini, tentu ada impact terhadap kesinambungan bukti rekaman elektronik menjadi bagian alat bukti sah sebagaimana diakui dalam KUHAP.
Setelah diringkas mengenai permohonan pihak pelapor, yang menjadi alasan pihak Penggugat untuk melakukan uji materi atas pasal-pasal tersebut adalah rekaman yang diduga berisikan suara Penggugat adalah tidak sah karena tidak dilakukan oleh instansi penegak hukum yang berwenang dan cara memperolehnya dengan cara yang tidak sah. Lalu, ditinjau dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 006/PUU-I/2003 bahwa tindakan menyadap maupun merekam tanpa sepengetahuan orang yang bersangkutan adalah tindakan yang harus “dibatasi” sebagaimana tertulis pada
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada Pasal 27 ayat (2). Selain itu, adanya frasa yang “multitafsir” khususnya terkait keberadaan bukti elektronik pada Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE yang apabila tidak diluruskan pihak Mahkamah Konstitusi, maka akan terjadi kekhawatiran masyarakat terhadap penyadapan yang dilakukan pihak yang tidak berwenang sehingga terjadi kegagalan pada Pasal 28 G Undang-Undang Dasar 1945. Juga, perekaman ilegal atau tanpa persetujuan pihak terkait membuka peluang kepada pihak lain yang memiliki niat atau maksud lain seperti melihat dan mendengar komunikasi yang jelas dilarang karena melanggar privasi orang. Sehingga muncul suatu pendapat dari pihak Pelapor, “Bilamana dalam melakukan perekaman tidak berdasarkan pada surat perintah perekaman yang sah sesuai dengan undang-undang yang berlaku, maka tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti di persidangan.”11
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, jika tindakan merekam belum tentu tindakan menyadap. Perbedaannya bahwa merekam merupakan tindakan yang dilakukan secara langsung tanpa dibantu alat khusus baik melalui rekaman suara maupun video, sedangkan menyadap memerlukan alat bantu khusus dan umumnya tidak sembarang orang dapat melakukan hal demikian. Namun, keduanya memiliki implikasi adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia jika dilakukan tanpa seizin aparat yang berwenang. 12 Apabila dibiarkan dan tidak diindahkan oleh instansi penegak hukum, terjadi probabilitas akan kegaduhan atau keributan hukum, ketidaktertiban atau ketidakselarasan antara alat bukti dengan tatanan pelaksanaan hukum pidana formil di Indonesia. Adapun argumentasi-argumentasi lain mengenai keberadaan rekaman elektronik. Pertama, tindakan merekam atau menyadap merupakan suatu hal yang melanggar privasi pihak lain. Kedua, tindakan merekam atau menyadap yang tidak memiliki bukti permulaan cukup tentunya menciderai prosedur due procces law. Adalah prosedur standar hukum pidana formil dan berlaku secara universal.13 Ketiga, penyadapan dan perekaman yang merupakan perluasan bukti petunjuk perlu disesuaikan dengan bukti-bukti sah lainnya seperti keterangan saksi, surat, maupun keterangan ahli.
Dalam konteks hukum pidana sesuai dengan UU ITE, penyadapan merupakan tindak pidana. Secara konstitusional, masyarakat mempunyai hak dalam berkomunikasi atau mendapatkan informasi dari lingkungan sosialnya untuk kemudian disampaikan dengan sarana-sarana komunikasi yang dimilikinya. Sehingga, Mahkamah Konstitusi melalui keputusannya jika frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” pada undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila kata “Khusus” pada alat bukti terkait tidak terimplementasi terkait penegakan hukum atas permintaan instansi berwenang sebagaimana tertulis dalam dalam undang-undang tersebut. Dan kemudian, diberlakukan UU ITE yang terbaru (UU Nomor 19 Tahun 2016). Dari putusan tersebut, dapat diambil hal-hal yang menjadi dasar pernyataan dalam makna yang sempit, jika:
-
a. Alat bukti rekaman, walaupun bukanlah bagian dari penyadapan atau intersepsi tidak bisa dijadikan alat bukti yang sah (unlawful legal evidence) jika tidak atas seizin pihak instansi penegak hukum berwenang.
b.Adanya penyamaan kedudukan antara rekaman elektronik yang umum dilakukan baik melalui Voice Recorder, Circuit-Closed Television (CCTV), dsb dengan penyadapan/intersepsi yang tidak semua orang dapat mengaksesnya, jika dilakukan tidak atas permintaan pihak instansi penegak hukum yang berwenang dapat diancam pidana. 14
Dengan adanya argumentasi, penjelasan atas argumentasi, serta putusan tersebut, tentu jika ditelusuri secara seksama akan berdampak pada keberadaan alat bukti rekaman elektronik walaupun bukti tersebut bukan bagian dari penyadapan atau intersepsi dalam beracara pidana. Maka dari hal tersebut muncul pertanyaan, bagaimana jika bukti rekaman elektronik yang dalam cara memperolehnya tidak sesuai mengikuti kata “Khusus”nya namun di dalamnya memang terdapat hal-hal adanya tindak pidana dan dengan melalui bukti kuat inilah yang menjadi titik tumpu dalam menemukan kebenaran “Materil” atas terjadinya tindak pidana. Lalu, apa yang menjadi dasar para Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam membuat keputusan tersebut sehingga terdapat pembatasan atau sekat terkait perolehan alat bukti khususnya penempatan bukti rekaman elektronik dalam hukum acara pidana. Dikutip dari pendapat Dr. Mundzakkir S.H., M.H. mengenai barang bukti (saat sebelum sidang pembuktian) dan alat bukti (saat sidang pembuktian), harus dilihat dari sifat tindak pidana yang dilakukan pelaku. Barang bukti dapat menjadi alat bukti atau barang bukti hanya sebagai bukti permulaan saja sehinga tidak dapat dilimpahkan ke persidangan (Alat bukti). Jika dikaitkan ke bukti rekaman elektronik, tentu harus dilihat terlebih dahulu keorisinalitasnya yang sebelumnya harus diperiksa dan ditetapkan oleh ahli forensik. Terkait dalam cara memperolehnya, itu terbatas pada masalah etika, hal ini juga perlu adanya pemisahan antara objek alat bukti dengan cara memperolehnya.15
Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi yang tertanggal 7 September 2016 tersebut, bukti elektronik berupa rekaman elektronik tidak berubah kedudukannya sebagai perluasan bukti petunjuk dalam KUHAP. Dari segi beracara, bukti tersebut dapat dijadikan masih memiliki peluang untuk dijadikan bukti sah dalam persidangan walau tanpa adanya koordinasi terlebih dahulu dengan instansi penegak hukum berwenang. Secara yuridis terdapat dalam penjelasan UU ITE yang terbaru, untuk meminimalisir perbedaan tafsiran Pasal 5 ayat (1) dan (2), Mahkamah Konstitusi menegaskan jika setiap intersepsi harus dilaksanakan dengan dasar hukum yang sah dalam hal penegakan hukum. Lalu, pada penjelasan Pasal 5 ayat (2) tertulis jika yang adanya koordinasi dengan tujuan penegakan hukum disertai dengan adanya permintaan Polisi, Jaksa, dan/atau institusi lain seusai dengan undang-undang yang berlaku khusus pada Informasi dan/atau Dokumen Elektronik berupa Intersepsi atau Penyadapan atau rekaman sebagai bagian dari penyadapan. Ditelusuri dari penjelasan tersebut, secara ruang lingkup rekaman elektronik lebih luas dibanding penyadapan, karena penyadapan juga merupakan bagian dari rekaman elektronik. Sehingga dari frasa “Perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan”, sebenarnya rekaman elektronik dengan catatan bukan bagian dari penyadapan atau intersepsi dapat dijadikan alat bukti walaupun dilakukan pada saat belum adanya permintaan atau koordinasi dari pihak instansi penegak hukum yang berwenang.
Apabila isi rekaman tersebut terdapat unsur tindak pidana, maka orang yang merekam walaupun bukan atas permintaan instansi penegak hukum yang berwenang harus melaporkan dan memberikan bukti rekaman tersebut ke pihak kepolisian dan dalam keadaan belum disebarluaskan ke khalayak umum. Nantinya, pihak kepolisian akan menyelidiki bukti tersebut untuk dijadikan dasar penyelidikan dan penyidikan, dibantu dengan ahli forensik untuk menindaklajuti bukti tersebut. Terkait pelaporan bukti rekaman, pelaporan bukti rekaman yang dinilai mengandung unsur tindak pidana juga dapat dilimpahkan kepada Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang secara khusus memiliki tupoksi di bidang Teknologi dan Informasi Elektronik untuk kepentingan penyidikan. Penyidik Pegawai Negeri Sipil tersebut secara khusus menyidik dalam ruang lingkup pidana khusus kecuali pidana umum yang ditangani pihak kepolisian. Dalam melaksanakan pekerjaannya, sebagaimana penyidikan harus berpedoman pada ketentuan KUHAP, pihak Pejabat Pegawai Negeri Sipil tetap melakukan koordinasi dengan Kepolisian dalam hal menyidik dibantu oleh ahli forensik.
Pada Putusan Mahkamah Konstitusi terkait keberadaan rekaman elektronik sebagai bagian dari alat bukti elektronik, adanya “sekat” atau “pembatas” mengenai hal tersebut dikarenakan Majelis Hakim tentu ingin memfokuskan kembali kesinambungan dalam beracara pidana di Indonesia. Terkait sistem pemeriksaannya, perlu dibedakan antara sistem Inquisitoir dan sistem Accusatoir. Jika dikutip dari pendapat Wirjono Prodjodikoro, sistem Accusatoir merupakan sistem pemeriksaan antara pihak Terdakwa yang dalam hal ini menjadi subjek pemeriksaan dan pihak Penuntut Umum yang saling berhadapan dengan Majelis Hakim berada ditengah yang tidak memihak salah satu pihak atau bersifat “netral”.16 Sistem Accusatoir, sistem yang bebas dalam memberi dan mendapatkan nasihat hukum. Lalu ada sistem Inquisitoir dengan pihak Pesakitan atau Terdakwa dijadikan objek pemeriksaan dan Majelis Hakim serta Penuntut Umum berada di satu pihak. 17 Dari penjelasan tersebut, Wirdjono Prodjodikoro berpendapat dengan berlandaskan Sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, Indonesia menganut sistem yang berasaskan accusatoir.18 Sehingga Tersangka tetap berhak untuk membela diri dan bebas intervensi terkait kewajiban para penegak hukum dalam menyidik dan menuntut perkara pidana. Selain sistem accusatoir dan inquisitoir, perlu juga dipahami mengenai Due Process Model dan Crime Control Model.
Setelah sistem pemeriksaan dalam KUHAP yang mencerminkan asas accusatoir, penting untuk dipahami mengenai sistem peradilan apa yang dianut KUHAP. Terdapat dua sistem peradilan yakni Due Process Model merupakan suatu sistem proses peradilan yang menempatkan Hak Asasi Manusia sebagai keutamaan dalam penyelenggaraannya.19 Sedangkan Crime Control Model, merupakan suatu proses peradilan yang mengutamakan profesionalisme aparat penegak hukum untuk
menyikapi, menggali, sampai menemukan pelaku tindak pidana. 20 Kedua sistem tersebut memiliki tujuan yang sama yakni due process of law diartikan sebagai suatu proses hukum yang baik, benar, dan adil. Makna adil dalam persidangan menjadi proteksi dasar terjaminnya para individu untuk tidak dihukum secara tidak adil. Proses tersebut menjadi acuan bagi para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan hukum dengan adanya kepastian dalam menjaga hak-hak terdakwa. Keadilan hukum harus memaksimalkan asas-asas juga prinsip hukum yang adil tersebut. 21 Dapat diketahui, jika kitab hukum acara pidana “KUHAP” merupakan fondasi terselenggaranya pidana formil di Indonesia yang menganut ke arah due process model dengan yang mengedepankan perlindungan hukum dalam hal penegakan Hak Asasi Manusia. Termaktub pada pertimbangan kita tersebut, mempresentasikan Indonesia menjadi negara hukum yang berasaskan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 dengan menitikberatkan keberadaan jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk seluruh masyarakat dan kedudukannya dalam hukum serta pemerintahan tanpa terkecuali.
Yang melatarbelakangi para Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberi keputusan demikian, tentu untuk melestarikan dan mengutamakan keberadaan dari sistem beracara khususnya acara pidana di Indonesia (Due process model) mengesampingkan keberadaan alat bukti dalam sidang pengadilan. Sebagaimana terdapat putusan bagi instansi berwenang apabila menggunakan alat bukti dengan perolehan yang tidak disertai dengan alasan hukum yang mendasar atau memperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan undang-undang, hal tersebut tidak memiliki nilai hukum pembuktian dan harus dikesampingkan dalam persidangan. Sehingga, hal-hal inilah yang membuat dilematis kalangan Pemerintah maupun para pakar hukum dalam membuat “RKUHAP” sebagai proses menuju kitab hukum acara pidana yang modern. Tapi, jika dilihat pada sisi yurisprudensi yang tertulis di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibahas, jika hal itu mengarah pada sifat pembatasan tercermin dari frasa “Khusus”-nya pada bukti elektronik berupa penyadapan atau intersepsi yang dalam hal ini berbeda dengan rekaman elektronik pada umumnya, bahwa hal (penyadapan atau instersepsi) tersebut hanya dapat dilakukan instansi hukum berwenang yang diakui undang-undang untuk menghindari terjadinya unlawful legal evidence dan adanya penekanan pada proses hukum beracara khususnya pada acara pidana.
Dalam hasil Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 20/PUU-XIV/2016, memiliki dampak terhadap keberadaan bukti elektronik khususnya rekaman sebagai bukti sah (selanjutnya disebut alat bukti) untuk selanjutnya dilimpahkan ke dalam persidangan. Hal tersebut dilakukan pihak Mahkamah Konstitusi sebagai penegasan terhadap keberadaan proses hukum beracara pidana untuk menghindari terjadinya unlawful legal evidence. Namun jika ditelaah dengan seksama, hanya terbatas pada rekaman elektronik yang merupakan bagian dari penyadapan. Penyadapan hanya dapat dilakukan dan dilaksanakan apabila dilakukan instansi penegak hukum
berwenang yang diatur oleh undang-undang yang berlaku. Dan dari pembahasan jika bukti rekaman elektronik baik suara maupun gambar yang dalam hal ini bukan merupakan bagian dari penyadapan atau intersepsi, tetap memiliki nilai keabsahan sebagai bukti yang tercantum dalam kitab hukum acara pidana sebagai “Perluasan” dari bukti Petunjuk. Dengan catatan, jika bukti rekaman tersebut dapat terjamin keasliannya berdasarkan pengamatan ahli forensik dengan didukung persesuaian alat bukti lain yang diatur untuk memberikan keyakinan pada Majelis Hakim dalam mencari kebenaran materil dalam memutus perkara pidana. Bukti Elektronik yang salah satunya berupa Rekaman Elektronik baik berupa rekaman suara maupun gambar, hingga saat ini masih dalam tahap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut RKUHAP). Perlunya penegasan KUHAP sebagai fondasi terselenggaranya kegiatan hukum pidana formil di Indonesia, khususnya mengenai keabsahan bukti elektronik salah satunya “Rekaman Elektronik” sebagai alat bukti “Sah” baik dalam ranah pidana umum maupun pidana khusus. Karena bukti tersebut bukan tidak mungkin memiliki nilai dan potensi yang besar dalam menggali kebenaran materil pada perkara pidana yang kompleks, selama dapat dijamin kebenaran akan keaslian dan keautentikannya dengan perkembangan teknologi yang dapat menjadi sarana tindak pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hiariej, Eddy OS. “Teori & Hukum Pembuktian.” Jakarta: Erlangga (2012).
Hiariej, Eddy OS. “Hukum Acara Pidana”. Banten: Universitas Terbuka (2017).
Wasserman, Rhonda. Procedural due process: a reference guide to the United States Constitution. No. 8. Greenwood Publishing Group, 2004. dikutip dalam Hiariej, Eddy O. S. “Teori & Hukum Pembuktian.” Jakarta: Erlangga (2012).
Jurnal
Barama, Michael. “Model Sistem Peradilan Pidana Dalam Perkembangan.” Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 8 (2016): 8-17.
Benuf, Kornelius and Muhammad Azhar. “Metodologi Penelitian Hukum Sebagai Instrumen Mengurai Permasalahan Hukum Kontemporer.” Jurnal Gema Keadilan 7, no. 1 (2020): 20-33.
Damopoli, Setyo Prayigo. “Pengaturan Alat Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Hukum Acara Pidana Di Indonesia.” Lex Crimen 7, no. 5 (2019): 154161.
-
E, Louise Amastassia, and Citra Amira Zolecha. “Kekuatan Pembuktian Dari Tindakan Penyadapan Pada Proses Penyidikan Dalam Perkara Pidana.” Jurnal Verstek 3, no. 2 (2015): 30-39.
Hasan, Astusti. “Keterangan Ahli Sebagai Alat Pembuktian Atas Adanya Tindak Pidana Menurut KUHAP.” Lex Crimen 5, no. 2 (2016): 62-68.
Harizona, Darus. “Kekuatan Bukti Elektronik Sebagai Bukti Di Pengadilan Menurut Hukum Acara Pidana dan Hukum Islam (Penggunaan Rekaman Gambar Closed Circuit Television).” Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial, dan Sains 7, no. 1 (2018): 81-98.
Hartono, Made Sugi, and Ni Putu Rai Yuliartini. “Penggunaan Bukti Elektronik Dalam Peradilan Pidana.” Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) Universitas Pendidikan Ganesha 6, no. 1 (2020): 281-302.
Mansyur, and Rico Audian Pratama Manurung. “Alat Bukti Rekaman Suara Dalam Pembuktian Perkara Tindak Pidana Korupsi.” Jurnal Komunikasi Hukum 3, no. 1 (2017): 105-116.
Makapuas, Novaldy Franklin. “Pencarian Kebenaran Material Dalam Perkara Pidana Melalui Alat-Alat Bukti Yang Sah Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia.” Lex Crimen 8, no. 8 (2019): 106-115.
Pribadi, Insan. “Legalitas Alat Bukti Elektronik Dalam Sistem Peradilan Pidana.” Lex Renaissance 3, no. 1 (2018): 108-124.
Tambaani, Gerry. “Keabsahan Alat Bukti Elektronik Ditinjau Dari Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.” Lex Crimen 7, no. 4 (2018): 119-127.
Ramiyanto. “Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Hukum Acara Pidana.” Jurnal Hukum dan Peradilan 6, no. 3 (2017): 463-486.
Sumber Internet
Anonim. Penerapan Prinsip yang adil dalam Sistem Peradilan Pidana. Institute For Criminal Justice Reform, 21 Januari 2018, https://icjr.or.id/penerapan-prinsip-yang-adil-dalam-sistem-peradilan-pidana/.
Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan-Putusan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 006/PUU-I/2003.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 2/PUU-VII/2009.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 20/PUU-XIV/2016.
Perpustakaan Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 39/TU/88/102/Pid tentang Microfilm Sebagai Alat Bukti.
Jurnal Kertha Wicara Vol. 10 No. 2 Tahun 2021, hlm. 127-140.
Discussion and feedback