Vicarious Liability Dalam Tindak Pidana Anak Ditinjau Dari Hukum Positif Indonesia
on
VICARIOUS LIABILITY DALAM TINDAK PIDANA
ANAK DITINJAU DARI HUKUM POSITIF INDONESIA
Luh Putu Veda Pranayani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
I Gusti Ngurah Parwata, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]
DOI : KW.2021.v10.i02.p02
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep Vicarious Liability atau pertanggungjawaban pengganti dalam hukum positif di Indonesia serta penerapannya dalam tindak pidana anak. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan terhadap undang-undang, pendekatan kasus dan doktrin-doktrin para ahli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Vicarious Liability merupakan pengalihan pertanggungjawaban kepada seseorang atas tindak pidana yang dilakukan orang lain. Vicarious Liability sendiri dapat berlaku apabila terdapat hubungan khusus antara pelaku tindak pidana dengan orang yang dibebankan pertanggungjawaban. Penerapan Vicarious Liability di Indonesia saat ini dapat dijumpai pada beberapa peraturan perundang-undangan seperti dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan Undang-undang pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun, dalam hasil penelitian yang dilakukan khususnya dalam hal tindak pidana anak, konsep pertanggungjawaban pengganti belum diatur secara jelas. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak baru mengatur pertangungjawaban orang tua dengan bentuk ganti rugi dalam hal diversi.
Kata Kunci : pertanggungjawaban pengganti, tindak pidana anak, diversi.
ABSTRACT
This study aims to determine the concept of Vicarious Liability or substitute liability in positive law in Indonesia and its application in juvenile crime. The research method used by the author is normative legal research with an approach to law, case approach and expert doctrines. The results showed that Vicarious Liability is a transfer of responsibility to someone for a criminal act committed by another person. Vicarious Liability itself can apply if there is a special relationship between the perpetrator of the crime and the person who is held accountable. The currentapplication of Vicarious Liability in Indonesia can be found in several laws and regulations, such as the Law on Corruption Eradication and the Law on Human Rights Courts. However, in the results of research conducted especially in the case of child crimes, the concept of substitute liability has not been clearly regulated. Law Number 11 of 2012 concerning the Criminal Justice System for Children only regulates the accountability of parents in the form of compensation in terms of diversion.
Keywords: substitute liability, child crime, diversion.
Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi sejalan pula dengan perkembangan pola pikir masyarakat yang praktis, namun hal tersebut tidak berjalan lurus dengan kesadaran masyarakat akan hal-hal yang dapat menimbulkan masalah-masalah hukum. Sebagian besar masyarakat tidak mengetahui bahwa mereka bisa atau mungkin saja bertanggung jawab atas tindakan melawan hukum yang
disebabkan oleh seseorang yang memiliki hubungan khusus dengannya. Hal tersebut kerap disebut Pertanggungjawaban pengganti atau Vicarious Liability. Penjelasan Pasal 38 ayat (2) Konsep atau rancangan Undang-undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut RKUHP tahun 2008. Penjelasan Pasal 38 ayat (2), menyatakan bahwa Vicarious Liability harus dibatasi untuk kejadian-kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang agar tidak digunakan secara sewenang-wenang.
Meski sebelumnya doktrin ini telah diatur dalam KUHP, tetap saja Vicarious Liability dirasa masih kurang lengkap. Hal ini dikarenakan dalam pertanggung jawaban pengganti tidak dijelaskan mengenai jenis tindak pidana dan subjek-subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara vicarious.1 Tercantum dalam penjelasan Pasal 38 ayat (2), ketentuan Pertanggungjawaban tersebut dibatasi yaitu peristiwa-peristiwa tertentu yang sebelumnya telah ditetapkan dalam undang-undang, hal ini perlu dilakukan agar pertanggungjawaban pengganti tidak digunakan secara sewenang-wenang.2 Pada Awalnya Vicarious Liability diterapkan hanya dalam hal keperdataan, seperti tindak pidana koorporasi, namun seiring berjalannya waktu pertanggungjawaban pengganti mulai digunakan dalam kasus-kasus tindak pidana, meskipun sampai saat ini para ahli sedang meneliti lebih lanjut mengenai doktrin ini. Salah satu tindak pidana yang diharapkan dapat diatasi dengan Vicarious Liability/pertanggungjawaban pengganti adalah tindak pidana anak. Anak merupakan tanggung jawab orang tua. Mengingat banyaknya kasus kenakalan remaja yang menyebabkan terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur, karena orang tua yang lalai dalam mengurus dan mengawasi anaknya, dengan ini, orang tua dianggap turut serta dalam terjadinya tindak pidana yang disebabkan oleh anaknya. Undang-undang peradilan anak mengatur bahwa anak merupakan subjek dalam hukum pidana. Namun, dalam hal pengalihan pertanggungjawaban kepada orang tua dikarenakan posisi anak bukan sebagai objek dan tidak memenuhi unsur dari suatu kesalahan walaupun ia telah nyata melakukan tindak pidana, perbuatannya dianalisis sebagai kesalahan dari orang tuanya karena kelalaian atau kesengajaan sehingga posisi anak dalam hal ini adalah sebagai korban. 3
Pertanggungjawaban pengganti yang semula diterapkan dalam hukum perdata, saat ini mulai diteliti lebih lanjut dan tidak dipungkiri keberadaannya akan diperhitungkan dan mungkin saja dilaksanakan pula dalam ketentuan hukum pidana. Jika, hakikat Vicarious Liability awalnya merupakan hubungan antar pekerjaan, dimana orang yang melakukan tindak pidana dengan orang yang dibebankan oleh tindak pidana tersebut bertujuan untuk menguntungkan mitra kerjanya, kini dalam perkembangannya Vicarious Liability/pertanggungjawaban pengganti maknanya diperluas menjadi antara pelaku tindak pidana dengan yang dibebankan pertanggungjawabannya haruslah memiliki hubungan khusus, seperti anak dengan orang tua atau suami dan istri. 4
Jurnal ilmiah ini merupakan ide dan hasil pemikiran penulis. Sepengamatan penulis belum terdapat karya ilmiah yang membahas mengenai Penerapan pertanggungjawaban pengganti pada kasus pidana anak. Walaupun penulis menemukan beberapa tulisan yang memiliki konsep yang mirip namun pada fokus penulisannya terdapat beberapa hal yang membedakan. Seperti karya tulis oleh Fines Fatimah dengan judul Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability) Dalam Kebijakan Formulasi Hukum Pidana di Indonesia tahun 2012, kaitannya dengan studi ini adalah sama-sama mengangkat pertanggungjawaban
pengganti dalam hukum pidana. Penelitian tersebut memiliki tema yang sama namun yang membedakannya dengan penelitian ini adalah jurnal ini lebih terfokus pada penelitian terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak dibawah umur. Selanjutnya terdapat tulisan dari Made Sugi Hartono tahun 2014. Penelitian ini mengangkat tema Pertanggungjawaban Pidana Pengganti pada anak yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas dan berakibat kematian pada korbannya. Tulisan tersebut juga mempunyai keterkaitan dalam hal penjatuhan pertanggungjawaban pidana pengganti bagi tindak pidana anak. Namun seluruh karya tulis yang disebutkan diatas memiliki perbedaan dari segi hasil analisis dan tujuan yang penulis cantumkan dalam jurnal ini. Dalam kasus ini penulis merasa adanya kekosongan norma dimana peralihan pertanggungjawaban pidana terhadap anak dibawah umur kepada Orang Tua/Wali belum diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini, mengingat anak dibawah umur dianggap belum cakap dalam bertanggung jawab atas perbuatannya. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk membahas lebih dalam pada tulisan dengan judul Vicarious Liability dalam Tindak Pidana Anak ditinjau dari Hukum Positif Indonesia agar nantinya dapat menjadi pertimbangan oleh para pembuat undang-undang dalam menjatuhkan sanksi pidana pengganti tersebut.
Berdasarkan atas latar belakang permasalahan yang telah dijabarkan, maka penulis menemukan masalah-masalah yang menarik untuk diangkat dalam penelitian ini yaitu:
-
1. Bagaimana Konsep dari Vicarious Liability /pertanggungjawaban pengganti dalam hukum positif di Indonesia?
-
2. Bagaimana Vicarious Liability atau pertanggungjawaban pidana pengganti diterapkan dalam tindak pidana anak?
Dengan adanya permasalahan diatas, adapun tujuan yang ingin diperoleh dari karya ilmiah ini, yaitu :
-
1. Untuk mengetahui serta menganalisis konsep dari Vicarious Liability itu sendiri atau yang dikenal dengan pertanggungjawaban pengganti dan penerapannya dalam hukum positif di Indonesia.
-
2. Untuk mencari tahu apakah pertanggung jawaban pidana pengganti berlaku dan dapat diterapkan pada tindak pidana anak yang kategorinya masih dibawah umur.
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam menulis penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif. Karya tulis ini dikaji berdasarkan asas-asas hukum dan peraturan tertulis. Adanya kekaburan norma dalam penerapan pertanggungjawaban pengganti dalam tindak pidana anak, melatarbelakangi dibuatnya tulisan ini. Dalam tulisan ini Penulis menggunakan pendekatan undang-undang. Selain itu ada pula pendekatan konseptual yang kami gunakan untuk lebih menyempurnakan tulisan ini. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui kajian studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum primer, yang merupakan bahan hukum autoritatif berupa peraturan perundang-undangan.5 Undang-undang yang dimaksud seperti Undang-Undang Peradilan anak, selain itu penulis juga menganalisis Undang-undang lain seperti Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-
undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Lalu Lintas sebagai perbandingan karena dalam Undang-undang tersebut terdapat pasal-pasal yang berkorelasi dengan Vicarious Liability. Bahan hukum sekunder yaitu bersumber dari pendapat ahli hukum, doktrin maupun teori dari literatur hukum atau hasil penelitian. Pengumpulan bahan hukum dengan teknik studi pustaka kemudian dianalisis secara kualitatif.
-
III. Hasil Dan Pembahasan
-
3. 1. Konsep Vicarious Liability atau Pertanggung Jawaban Pidana Pengganti dalam Hukum Positif di Indonesia (Ius Constitutum)
Sutan Remy Sjahdeini dalam Bahasa inggris mengartikan makna dari Vicarious Liability yang kemudian diterjemahkan menjadi pertanggungjawaban pengganti.6 Menurut Romli Atmasasmita, secara singkat definisi Vicarious Liability adalah pengalihan tanggungjawab atau pertanggungjawaban yang dibebankan kepada seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain. 7 Barda Nawawi berpendapat mengenai Vicarious Liability merupakan sebuah konsep yang dapat diartikan sebagai seseorang yang mempertanggungjawabkan kesalahan yang dibuat oleh orang lain, semasih kesalahan tersebut masih dalam hubungan pekerjaannya. 8 Vicarious Liability merupakan ajaran dalam hukum perdata yang mulai di pakai dalam praktik hukum pidana. Pertanggungjawaban pengganti itu sendiri dapat dilihat dalam Pasal 1367 KUH Perdata yang bila dianalisis mengandung arti setiap orang tidak hanya dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya saja, tetapi juga perbuatan orang lain yang melawan hukum jika orang tersebut merupakan tanggung jawabnya. Selain bertanggung jawab pada tindakan seseorang, juga dapat bertanggung jawab pada benda dibawah pengawasannya.
Analisis lebih lanjut Vicarious Liability dapat mengandung arti pertanggungjawaban pengganti dapat timbul dari hubungan orangtua/wali kepada anaknya, majikan dengan karyawannya dan guru sekolah atas muridnya karena mereka merupakan tanggungan dari orang tersebut. Hal ini dapat menjadi dispensasi dari asas dalam pidana yaitu tiada pidana tanpa kesalahan. Pertanggung Jawaban pengganti ini didasari atas asas regulative dari yuridis moral yang mengalami pendalaman dan penghalusan makna. Dalam keadaan tertentu tanggung jawab seseorang dapat diperluas menjadi tanggung jawab kepada seseorang yang dianggap melakukan pekerjaan dan perbuatan untuknya dan atas perintahnya, meskipun orang itu dalam kenyataannya tidak turut serta dalam melakukan tindakan melawan hukum namun dalam pertanggungjawabannya ia dianggap turut melakukan tindakan yang salah, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang lain yang memiliki hubungan dengannya. Ketentuan ini harus memiliki batas yang jelas dan ditentukan secara tegas
dalam segala jenis hukum di indonesia agar tidak disalah gunakan dan sewenang-wenang.9
Konseps pertanggungjawaban pengganti atau vicarious Liability hampir sama seperti penyertaan atau deelneming. Adapun Surastini berpendapat, doktrin ini merupakan pengembangan makna pertanggungjawaban dari pengertian penyertaan atau yang sering disebut deelneming10, yang perbedaanya dapat dilihat sebagai berikut:
-
1. Dalam deelneming, unsur kesengajaan sangat esensial dimana seseorang yang bukan pelaku fisik (penyuruh,penggerak) dapat bertanggung jawab ketika dengan sengaja menyuruh orang lain melakukan kejahatan.
-
2. Dibandingkan dengan Vicarious Liability, walaupun tanpa unsur
kesengajaan. Orang tersebut bisa dimintai pertanggungjawaban semasih adanya hubungan khusus pada keduanya.
Konsep Vicarious Liability telah diterapkan dalam hukum yang berlaku di Indonsesia saat ini (ius constitutum) diluar KUHP seperti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seperti contoh dalam Pasal 20 ayat (2) Undang –Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi indak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain,bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama Walaupun pada awalnya ius constitutum di Indonesia belum mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana karena dalam KUHP subjek hukum pidana hanya orang pribadi. 11 Namun, setelah perjalanan waktu berkembangnya tatanan hukum di indonesia, korporasi mulai tergolong kedalam subjek hukum pidana dan terbagi kedalam dua kategori pengaturan yaitu pertama menyatakan korporasi merupakan subjek yang pertanggung jawaban pidananya dapat dibebankan pada anggota atau pengurusnya dan kedua korporasi sebagai subjek yang bertanggungjawab secara langsung dalam kejahatan pidana.
Salah satu contoh tindakan melawan hukum yang dapat dialihkan pertanggungjawabannya dalam korporasi adalah Korupsi, yang merupakan hasil tindakan yang dilakukan oleh orang-orang dalam lingkup hubungan kerja di dalam suatu perusahaan atau korporasi. Korporasi dapat bertanggungjawab atas tindakan melawan hukum yaitu korupsi yang dilakukan seseorang dalam lingkup pekerjaan maupun diluar pekerjaan dengan korporasi. 12 Dalam hal pertanggung jawaban pidana korporasi, doktrin vicarious ini berlaku berdasarkan prinsip bahwa atasan merupakan penanggung jawab penting dari perbuatan yang dilakukan oleh anak buah atau
karyawannya.13 Menurut Muladi, pemidaan terhadap koporasi harus memperhatikan kedudukan dari korporasi itu sendiri sebagai pengendali perusahaan melalui kebijakan pengurus yang berkuasa untuk memutus dan keputusan tersebut diterima oleh koporasi. Penerapan sanksi pidana pada koporasi bukan berarti menghapuskan kesalahan perorangan.
Selain berlaku dalam undang-undang tindak pidana korupsi, pertanggungjawaban pengganti juga dirumuskan dalam UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Vicarious Liability seharusnya berlaku apabila kesalahan tersebut juga melekat pada orang yang dibebankan pertanggungjawaban. Wujudnya dalam undang-undang ini terdapat dalam pasal 42 ayat (1), yaitu Komandan militer atau seseorang yang bertindak sebagai komandan militer dapat dikenakan pertanggungjawaban atas tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh pasukan dibawahnya dalam yurisdiksi Pengadilan HAM yang disebabkan oleh pengendalian yang dilakukan oleh komandan militer tersebut tidak efektif dan tidak dilakukan secara patut. Perumusan dalam pasal tersebut termasuk ke dalam delict ommissionis atau pembiaran.14 Pasal tersebut dirumuskan hanya untuk komandan militer yang dapat dipertanggungjawabkan atas pelanggaran HAM oleh anak buahnya, sedangkan pasukan atau bawahannya yang terjerat dalam tindakan melanggar hak asasi manusia berat, maka harus bertanggungjawab dengan dirinya sendiri sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku pada undang-undang.
Selain itu dapat dijumpai pada Pasal 42 ayat (2) yang berbunyi Setiap atasan, polisi ataupun sipil, harus bertanggungjawab pidana pada bawahannya yang melakukan pelanggaran HAM berat karena hal tersebut ia lakukan sebagai akibat kurangnya perhatian dan pengawasan dari atasannya secara benar. Perumusannya lebih tegas dimana atasan secara otomatis bertanggungjawab penuh atas tindakan yang dilakukan oleh bawahannya karena tindakan tersebut merupakan akibat dari pengendalian yang dilakukan secara tidak patut dan benar. Setelah mencermati kedua rumusan pasal tersebut ternyata terdapat perbedaan dimana dalam ayat (1) baik komandan maupun anak buahnya dapat bertanggung jawab dalam tinda pidana HAM sedangkan dalam ayat (2) tidak ditemukan penafsiran lain selain komandan bertanggung jawab sendiri dan penuh. Maka dari itu menurut Fatimah, Vicarious Liability hanya terdapat pada rumusan pasal 42 ayat (2) saja.15
Pengaturan Vicarious Liability sesuai dengan bahasan diatas telah diterapkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan atau hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini. Sebagian besar konsep Vicarious Liability dalam undang-undang yang telah disebutkan diatas memiliki persamaan yaitu adanya hubungan khusus antara pelaku tindak pidana dengan orang yang bertanggung jawab atas tindak pidana tersebut.
Substansi peraturan tentang pidana anak di indonesia telah dibuat sedemikian rupa untuk menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak anak sebagai masa depan
penerus bangsa. 16 Dewasa ini tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh anak-anak dibawah pengawasan orang tua semakin banyak ditemukan, meski begitu penanganan anak sebagai pelaku tindak pidana perlu mendapat perhatian khusus sehingga sistem peradilan anak berbeda dengan sistem peradilan pada umumnya. 17 Rumusan pidana pengganti atau Vicarious Liability diharapkan tidak hanya dalam hubungan korporasi atau komando saja, melaikan hubungan yang diakui sebagai tort atau perbuatan melawan hukum dengan pertanggungjawaban berupa ganti rugi sebagai asal dari doktrin Vicarious Liability seperti hubungan antara orang tua dengan anaknya. Dalam hukum perdata, setiap orang tua dapat bertanggung jawab berupa ganti rugi atas perbuatan yang dilakukan anaknya.
Salah satu contoh tindakan melawan hukum yang sering dilakukan anak dibawah umur adalah penyebab kecelakaan lalu lintas. Padahal telah disebutkan dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas. Jika seseorang mengemudikan kendaraan dijalan raya wajib hukumnya memiliki surat izin mengemudi dan harus sesuai dengan kendaraan bermotor yang dibawanya. Syarat tersebut ada dalam pasal 77. Kemudian diatur pula dalam Pasal 81 menyebutkan untuk mendapatkan SIM maka syarat admisintratif harus dipenuhi terlebih dahulu, seperti tes kesehatan, lulus dalam ujian mencari SIM dan harus berusia 17 Tahun. Namun, orang tua sering kali mengabaikan peraturan ini dan memberikan izin pada anak-anaknya untuk mengendarai kendaraan bermotor.
Tanggung jawab orang tua terhadap anaknya dapat dilihat dalam Pasal 1367 ayat (2) yang berbunyi anak belum dewasa yang tinggal dalam pengasuhan orang tua atau wali apabila menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka pengasuhnya akan dibebankan pertanggungjawaban. Disebutkan dalam Pasal 26 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002. Orang Tua atau Wali diberikan tanggung jawab oleh negara untuk pengasuhan, pemeliharaan, memberi pendidikan, melindungi, menumbuh kembangkan anaknya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya dengan memberikan pendidikan kepribadian yang baik serta menanamkan akhlak, sehingga Anak menjadi pribadi yang tumbuh dengan baik.
Dalam Vicarious Liability terhadap tindak pidana oleh anak dapat dilakukan dalam bentuk pengalihan pertanggungjawaban pidana bagi orang tuanya. Namun, bentuk dari pengalihan tanggung jawab ini perlu diatur agar anak tidak semata-mata menganggap perbuatannya sepele dan dapat dimaafkan. Anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) juga perlu disadarkan dengan pengalihan pertanggungjawaban pidana sehingga memahami bahwa akibat dari perbuatannya dapat menjadi beban bagi orang lain. Dalam Undang-Undang sistem peradilan pidana anak juga dikenal istilah diversi. Menurut Levine konsep diversi dimulai dengan pendirian peradilan anak pada abad ke19 yang bertujuan untuk mengeluarkan anak dari proses peradilan orang dewasa agar anak tidak lagi diperlakukan sama dengan orang dewasa.18 Prinsip utama pelaksanaan diversi yaitu tindakan persuasive atau pendekatan nonpenal
(diluarhukumpidana) dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.19 Disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 undang-undang ini, deversi adalah pengalihan proses penyelesaian perkara dalam pidana anak, dimana proses tersebut dilakukan diluar pengadilan melalui musyawarah yang dihadiri oleh orang tua atau wali anak yang berkonflik, korban atau orangtua/wali korban, pembimbing kamasyarakatan dan ahli atau profesional. Secara garis besar, diversi diadakan untuk menghindari proses penahanan pada anak dan pelebelan anak sebagai penjahat.20 Tujuan dari adanya pelaksanaan diversi bagi anak antara lain21: a. Untuk menghindari anak dari penahanan
-
b. Untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat
-
c. Untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, agar anak bertanggungjawab atas perbuatannya
-
d. Untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal, dan menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
Dalam Vicarious Liability berbeda dengan diversi dimana orang tua/wali anak yang berkonflik dengan hukum ikut bertanggung jawab sehingga kesalahan tidak sepenuhnya ditanggung kepada anak. Penerapan sanksi pidana pada anak menimbulkan persoalan secara yuridis, anak sebagai pelaku tindak pidana dianggap dalam keadaan yang belum mampu mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai subyek hukum. Maka dari itu, anak diposisikan kedalam dua situasi yaitu sebagai pelaku dan disisi lain sebagai korban. Seperti yang telah disebutkan diatas, diversi merupakan salah satu upaya penyelesaian persoalan dalam tindak pidana anak. Vicarious Liability dapat diterapkan apabila proses diversi gagal dilakukan. Pertanggungjawaban pidana beralih dari pelaku yaitu anak kepada orangtua/wali dalam hal orangtua/wali tersebut melakukan sesuatu yang disengaja maupun tidak disengaja dalam kewajibannya sehingga membuat anak tersebut terdorong dalam berbuat tindakan melawan hukum.
Namun, tidak semua tindakan anak yang berhadapan dengan hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada orang tuanya, pasal 7 ayat (2) dan pasal 9 ayat (2) undang-undang sistem peradilan anak merumuskan tindak pidana tertentu yang dapat diberlakukan menurut asas Vicarious Liability, yaitu pertama, merupakan tindak pidana yang hukumannya tidak lebih dari tujuh tahun. Kedua, tindakan yang dilakukan bukan merupakan pengulangan. dan Ketiga, tindak pidananya berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban dan nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.
Alasan orangtua/wali yang dibebankan pidana atas tindakan yang dilakukan anaknya adalah karna posisi orangtua sebagai tumpuan hidup anak. Secara legalitas formal belum ditemukan ketentuan pasal yang mengatur Pertangungjawaban orang tua atau wali terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak, namun diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak pertangungjawaban orang tua dalam
bentuk ganti rugi dalam hal diversi. Sehingga dapat menjadi saran kepada pihak terkait untuk membuat pengaturan lebih lanjut dan secara tegas dalam undang-undang anak perihal diterapkannya doktrin Vicarious Liability terhadap tindak pidana anak yang pertanggungjawabannya dialihkan kepada orang tua atau wali yang mengasuhnya. Sehingga penerapan sanksi pidana yang dilakukan oleh anak tidak hanya ditanggung dan dipertanggung jawabkan oleh anak tersebut, melainkan juga orang tua atau wali selaku pendidik moral anak sejak dini.
Penggunaan prinsip Vicarious Liability dapat diterapkan pada tindak pidana anak dimasa mendatang, selama dapat diterima sepenuhnya sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban pidana. Diharapkan agar prinsip Vicarious Liability dapat dicantumkan secara jelas dalam Undang-Undang atau peraturan yang berkaitan dengan pidana anak, tentunya hal tersebut juga dibarengi dengan pembinaan pada sang anak itu sendiri agar tidak mengulangi tindakannya di masa mendatang. Tentunya kepentingan korban dan masyarakat juga harus diperhatikan sebagai bentuk dari restorative justice.
Vicarious Liability atau pertanggungjawaban pengganti merupakan pengalihan tanggung jawab kepada seseorang atas perbuatan yang dilakukan orang lain. Dalam hukum positif Indonesia saat ini (ius constitutum) pertanggungjawaban pengganti telah diatur dalam tindak pidana korupsi. Dimana dalam hal korupsi yang dilakukan oleh anggota pengurus korporasi, pertanggungjawabannya dapat diminta kepada korporasi itu sendiri. Vicarious Liability juga ditemukan dalam undang-undang peradilan HAM yang menyatakan komando militer bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan bawahannya. Pertanggungjawaban pengganti ini juga dianggap sebagai perluasan konsep penyertaan atau deelneming, namun terdapat perbedaan antara keduanya yaitu dalam penyertaan harus ada unsur kesengajaan sedangkan dalam Vicarious Liability tanpa unsur kesengajaanpun dapat bertanggung jawab dengan syarat terdapat hubungan diantara kedua pelakunya. Mengenai pertanggungjawaban pidana pengganti yang dibebankan oleh anak yang melakukan tindak pidana kepada orang tuanya belum diatur secara jelas dalam perundang-undangan. Dalam undang-undang peradilan anak hanya diatur pertangungjawaban orang tua dalam bentuk ganti rugi dalam hal diversi. Demi terciptanya keadilan dan kepastian hukum, penulis menyarankan adanya penelitian lebih lanjut akan Penerapan Vicarious Liability khususnya dalam tindak pidana anak. Kepada orang tua diharapkan harus selalu waspada dan memberikan perhatian ekstra dalam memberi fasilitas dalam bentuk apapun kepada anak dibawah umur yang dapat menyebabkan kerugian pada orang lain. Kepada pemerintah, disarankan agar memberi batasan secara tegas pada penerapan doktrin ini agar tidak menimbulkan multitafsir dan ketidak adilan pada pihak-pihak yang dirugikan akibat tidak adanya sanksi yang jelas pada para pelaku tinda pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak (Bandung, Refika Aditama, 2013).
Marlina. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana. (Medan, USU Press, 2010).
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum (Jakarta, Kencana, 2009).
Wahyudi, Setya. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak Di Indonesia. (Yogyakarta, Genta Publishing, 2011).
Jurnal:
Fatimah, Fines. “Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability) Dalam Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Di Indonesia.” Law Reform 7, No. 2 (2012).
Fatimah. “Kebijakan Formulasi Asas Vicarious Liability dalam Hukum Pidana di Indonesia.” Rechtidee Jurnal Hukum 9, No. 2 (2014).
Hambali, Azwad Rachmat. “Penerapan Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana (Diversions for Children In Conflict With The Laws In The Criminal Justice System)” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 13, No.1 (2019).
Husni. “Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Korporasi.”Jurnal Reusam 4, No. 1 (2015).
Juliana, Ria dan Ridwan Arifin. “Anak dan Kejahatan (Faktor Penyebab dan Perlindungan Hukum).” Jurnal Selat 6, No. 2 (2019).
Mulasi. “Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam Kaitannya dengan UU No. 23 Tahun 1997.” Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi 1, No. 1 (1998).
Putera, I.Gst Ngr Hady Purnama. “Gagasan penerapan vicarious liability dalam konsep KUHP atas Tindak pidana yang dilakukan anak.” Jurnal Komunikasi Hukum 2, No. 1 (2016).
Putra, Endi Nurindra. “Penerapan Ajaran Penyertaan Dalam Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Perkara Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Purworejo).” Jurnal Idea Hukum 1, No. 1 (2015).
Sianturi, Jimmy Fernando Dapot, Alvi Syahrin, Madiasa Ablisar, Sutiarnoto. “Pertanggungjawaban Tindak Pidana Kelalaian Lalu Lintas Oleh Anak yang Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.212/Pid.B/2013/PN-PMS).” USU Law Journal 7, No.2 (2019).
Suhariyanto, Budi. “putusan pemindanaan terhadap korporasi tanpa didakwakan dalam perspektif vicarious liability.” Jurnal Yudisial 10, No. 1 (2017).
Supriyadi, Haris. “Penerapan Asas Vicarious Liability Terhadap Orang Tua Atas Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak.” Badamai Law Journal 3, No. 1 (2018).
Website:
http://ksp.go.id/ketidakpastian-hukum-tak-boleh-dibiarkan/index.html.(dikutip pada tanggal 16 Juli 2020 pukul 10.15 WITA ).
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332)
JurnalKertha Wicara Vol. 10No. 2 Tahun 2021, hlm. 117-126
Discussion and feedback