Perlindungan Hukum Bagi Pelaku dan Korban Tindak Pidana Narkotika
on
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELAKU DAN KORBAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Kasus di Polda Bali)
Dewa Ayu Illa Shintya Devi , Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: illashintya03@gmail.com
Anak Agung Ngurah Wirasila, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : ngurah_wirasila@unud.ac.id
ABSTRAK
Penelitian jurnal ini bertujuan untuk mengkaji hak-hak korban Tindak Pidana Narkotika dalam Proses Perlindungan Hukum serta menganalisis kendala oleh penegak hukum dalam memberikan perlindungan hukum bagi pelaku dan korban Tindak Pidana Narkotika. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian empiris dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual dan pendekatan fakta. Studi ini bersifat deskriptif yakni yang didapatkan dari sumber data yang terdiri dari data primer, sekunder dan tersier. Metode pengumpulan data dengan studi kepustakaan dan studi lapangan (wawancara) kemudian data dianalisis secara kualitatif. Hasil studi ini menunjukkan bahwa ditinjau dari hak yang diberikan kepada korban tindak pidana narkotika dari aparat penegak hukum adalah dengan melakukan pembinaan dan pencegahan, dan dalam proses perlindungan hukum untuk menjalankan proses rehabilitasi dan kendala yang dihadapi oleh penegak hukum dalam memberikan perlindungan hukum bagi pelaku dan korban tindak pidana narkotika sudah tidak terdapat kendala dikarenakan jumlah personil yang dimiliki oleh Ditresnarkoba Polda Bali mencukupi serta peran dari masyarakat dinilai sudah bagus dalam bekerja sama dengan melapor tindak pidana narkotika dan masyarakat mempunyai kepedulian serta berperan aktif dari adanya tindak pidana Narkotika.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Pelaku, Korban, Tindak Pidana Narkotika.
ABSTRACT
This study aims to examine the rights of victims of the Narcotics Crime in the Legal Protection Process and to analyze the obstacles by law enforcers in providing legal protection for the perpetrators and victims of the Narcotics Crime. The research method used is an empirical research method with a statutory approach, conceptual and factual approaches. This study is descriptive in nature, which is obtained from data sources consisting of primary, secondary and tertiary data. Methods of data collection using literature study and field studies (interviews) then the data were analyzed qualitatively. The results of this study indicate that in terms of the rights granted to victims of narcotics crimes by law enforcement officials, guidance and prevention are carried out, and in the process of legal protection to carry out the rehabilitation process and the obstacles faced by law enforcers in providing legal protection for perpetrators and victims. Narcotics crime has no obstacles because the number of personnel owned by the Bali Regional Police is sufficient and the role of the community is considered to have been good in working together to report narcotics crime and the community has a concern and plays an active role in the existence of the Narcotics crime.
Keywords: Legal Protection, Perpetrators, Victims, Narcotics Crime.
Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum. Hal ini ditegaskan dalam pernyataan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pada pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan bahwa “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Membicarakan hukum pidana berarti tidak terlepas dari permasalahan pokok dalam hukum pidana itu sendiri. “Hukum pidana apabila dipandang secara di dalamnya ada tiga permasalahan pokok, yaitu (1) Perbuataan yang dilarang; (2) Orang (Korporasi) yang melakukan perbuatan yang dilarang itu; (3) Pidana yang diancamkan dan dikenakan kepada orang (korporasi) yang melanggar larangan itu.”1
Khusus mengenai penegakkan hukum dibidang pidana haruslah benar-benar diperhatikan, sebab seringkali muncul adanya kejahatan-kejahatan baru yang belum diatur didalam Undang-Undang, seperti kejahatan kartu kredit, kejahatan dunia maya, dan lain-lain. Bahkan untuk kejahatan-kejahatan yang telah diatur dalam perundang-undangan pun sering mengalami perkembangan seperti kejahatan (tindak pidana) dibidang narkotika dan obat-obat terlarang, seperti dulu hanya dikenal yang namanya candu, tetapi dalam perkembangannya sekarang muncul seperti heroin, morfin, dan belum lagi hasi dengan bahan kimia yang menghasilkan bahan seperti ampetamin dan lain sebagainya (yang tergolong psikotropika).
Penyalahgunaan oleh korban dan kemudian dijadikan “kumpulan bisnis haram” yang memberikan keuntungan luar biasa bagi produsen dan para pengedar gelapnya. Sementara korban yang pasti kecanduan dan hidup dalam ketergantungan, pada gilirannya akan mati merana setelah harta miliknya habis. “Persoalan mengenai narkotika semakin lama semakin meningkat, hal ini terbukti dengan adanya penyeludupan, perdagangan gelap, penangkapan, penahanan yang berhubungan dengan persoalan narkotika tersebut yang pernah dilakukan baik di Indonesia maupun di luar negeri.”2
Penyalahgunaan obat narkotika selain menimbulkan akibat personality bagi seseorang juga akan menimbulkan akibat yang menyangkut persoalan hukum antara lain: Tidak dapat disangkal lagi bahwa bagi seorang pecandu narkotika itu membuat dalam jumlah yang relatif banyak, sedangkan harga daripada narkotika mahal, maka bagi mereka yang keadaan ekonominya lemah akan menyebabkan timbulnya pengertian dalam mewujudkan tindak pidana. Hal ini disebabkan orang ketagihan narkotika harus bekerja sama dengan pelanggar hukum baik penjual, pengedar, pemilik dan lain-lain. Melihat betapa berbahaya dan beratnya risiko yang harus ditanggung apabila sindikat narkoba bebas beroperasi di suatu Negara, maka beberapa Negara telah menerapkan sanksi hukum yang berat bagi anggota sindikat narkoba yang tertangkap. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Pasal 115 dan 116 juga menegaskan adanya sanksi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup untuk pemberi, pembawa, maupun pengimpor narkotika secara tidak sah.
Selain itu, pelaku pun masih dapat dikenakan sanksi tambahan, yakni denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- ( delapan ratus juta rupiah).
Perlindungan hukum bagi pelaku tindak pidana narkotika perlu dilakukan adanya bantuan hukum dari penasihat hukum. Penasihat hukum dapat mendampingi tersangka atau terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan.3 Pada prinsipnya diberi kebebasan apakah ia didampingi penasihat hukum. 4 Mereka yang wajib didampingi oleh penasihat hukum adalah yang diancam dengan pidana mati, diancam dengan pidana penjara lima belas tahun atau lebih, tidak mampu dan diancam dengan pidana lima tahun atau lebih.5
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di dalam pasal 54: Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Oleh karena itu, perlu adanya perlindungan hukum bagi pelaku dan korban narkotika, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga perlindungan hukum maupun oleh pihak yang berwenang (kepolisian).6
Penelitian sebelumnya yang menjadi acuan dalam penelitian ini yaitu penelitian dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Penyalahangunaan Narkotika di Kabupaten Buleleng yang dilakukan oleh Gusti Ayu Novira Santi, Ni Putu Rai Yuliartini dan Dewa Gede Sudika Mangku yang telah diterbitkan dalam Jurnal Komunitas Yustitia, Universitas Pendidikan Ganesha pada tahun 2020.7 Penelitian sebelumnya hanya berfokus dalam perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana penyalahgunaan narkotika khususnya di Kabupaten Buleleng. Selanjutnya dalam penelitian ini tidak hanya berfokus pada perlindungan hukum terhadap korban tetapi juga korban sekaligus pelaku dalam proses perlindungan hukumnya.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :
-
1) Apa saja Hak-hak Korban Tindak Pidana Narkotika dalam Proses
Perlindungan Hukum?
-
2) Apa yang menjadi kendala oleh penegak hukum dalam memberikan perlindungan Hukum bagi Pelaku dan korban Tindak Pidana Narkotika?
Adapun tujuan penelitian dalam studi ini dapat dipaparkan sebagai berikut :
-
1) Untuk mengkaji hak-hak korban tindak pidana narkotika dalam proses perlindungan hukum; serta
-
2) Untuk menganalisis kendala yang dihadapi oleh penegak hukum dalam memberikan perlindungan hukum bagi pelaku dan korban tindak pidana narkotika.
Studi ini menggunakan metode penelitian hukum empiris yaitu penelitian hukum dengan melihat kesenjangan antara das sein dan das sollen. Hal ini terlihat dari adanya kesenjangan antara aturan dalam KUHAP yang menjelaskan bahwa pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika berhak mendapat perlindungan adanya penasehat hukum dan korban tindak pidana penyalahgunaan narkotika berhak mendapat perlindungan berupa rehabitilasi namun kenyataannya masih banyak pelaku dan korban yang tindak mendapat perlindungan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual serta pendekatan fakta. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan sumber data terdiri dari data primer, sekunder dan tersier. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan studi kepustakaan dan studi lapangan (wawancara) di Direktorat Reserse Narkoba Polda Bali dan kemudian data dianalisis secara kualitatif.
-
III. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Hak-hak yang diberikan Kepada Korban Tindak Pidana Narkotika dalam Proses Perlindungan Hukum.
-
Perlindungan hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Satijipto Rahardjo juga mengemukakan bahwa “perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum”.8 Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. 9 Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota
masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.10
Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum. 11 Perlindungan Hukum menurut C.S.T Kansil adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja.12 Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan hukum manusia serta lingkungannya.13 Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.
Menurut Kompol Dra. Ni Ketut Suwandari dalam memberi perlindungan hukum kepada korban tindak pidana narkotika yaitu degan melakukan pembinaan dan pencegahan. Pembinaan dilakukan dengan cara menanggulangi dan memberantas penyalahgunaan narkotika. Dalam hal ini tindakan yang dilakukan oleh polisi yaitu melihat akar permasalahan penyebab terjadinya penyalahgunaan narkotika melalui pendekatan situasional, sosial dan kemasyarakatan untuk menghilangkan unsur potensi gangguan. Tindakan pembinaan dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika yaitu melakukan pembinaan kepada masyarakat dengan cara sosialisasi, penyuluhan dan audiensi tentang bahaya dan dampak dari penyalahgunaan narkotika. Hal ini untuk mengantisipasi dan pencegahan dini melalui kegiatan-kegiatan edukatif dengan tujuan menghilangkan potensi penyalahgunaan narkotika dan mendorong terkontaminasinya seseorang menjadi pengguna narkotika.
Selanjutnya, dalam melakukan perlindungan hukum kepada korban narkotika dengann mengembalikan si korban atau pecandu narkotika kepada rumah sakit jiwa yang telah di tunjuk oleh Negara, untuk menjalankan proses atau rehabilitasi. Dalam proses rehabilitasi kepada korban narkotika atau pecandu narkotika ditentukan oleh keputusan hakim untuk menempatkan pengguna narkotika tersebut ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Korban tindak pidana narkotika berhak mendapat perlindungan hukum oleh lembaga yayasan resmi, baik di rumah sakit, rumah yayasan atau panti rehabilitasi, untuk diobati dalam jangka waktu 6 (enam) bulan atau lebih berdasarkan tingkat kecanduannya tetapi tidak dibebaskan atau tidak dipidana.
Dalam setiap tahap rehabilitasi diperlukan pengawasan dan evaluasi secara terus menerus terhadap proses pulihan seorang pecandu. Ada beberapa “factor yang menyebabkan pecandu enggan untuk dilakukan rehabilitasi, antara lain: pertama, pecandu ternyata sudah mengalami kondisi setengah gila (dual diagnosis) ataupun sudah mengalami penyakit parah yang perlu penanganan medis khusus. Hal ini dikarenakan pemakaian narkotika yang telah bertahun-tahun dan sudah mengarah
menjadi pecandu berat.Kedua, pecandu belum mau terbuka dan sadar bahwa narkotika itu sangat berbahaya.Pecandu takut dijadikan target operasi. Ketiga, factor keluarga. Berhasil tidaknya proses rehabilitasi yang dilakukan juga ditentukan oleh dukungan keluarga. Bahkan masih banyak masyarakat yang keluarganya merupakan pecandu narkotika belum melaporkan diri. Masyarakat belum punya budaya rehabilitasi secara sukarela.Keempat, pandangan kepolisian masih menerapkan pidana penjara bagi pecandu narkotika. Para penyidik polisi masih bertahan dengan pandangan bahwa tempat rehabilitasi belum memadai dan jumlahnya belum sesuai kebutuhan.”14
-
3.2 Kendala yang dihadapi oleh penegak hukum dalam memberikan Perlindungan Hukum bagi Pelaku dan Korban Tindak Pidana Narkotika Proses-proses transformasi dari keinginan-keinginan sosial menjadi peraturan-peraturan perundang-undangan baik dalam konteks politik dan sosiologis, tidak hanya terjadi pada saat pembentukan suatu peraturan. Dalam tahap bekerjanya dan atau ditegakkannya hukum pun proses-proses tersebut terus berlangsung dan mengoreksi secara terus menerus produk hukum yang telah dihasilkan.15 Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir. Untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Jadi Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep-konsep tadi menjadi kenyataan. Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal secara konvensional , tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung jawab.16
Menurut Lawrence M. Friedman, dikutip oleh Suparnyo, penegakan hukum bergantung pada sumber-sumber daya yang ada padanya. Pada negara hukum (rechtsstaat), idealnya hukum merupakan yang utama atau panglima, di atas politik dan ekonomi. Suburnya judicial corruption dalam proses peradilan mengakibatkan hancurnya sistem hukum. Lembaga peradilan menjadi tercemar karena keacuhan aparat penegak hukum akan penegakan hukum yang efektif, serta rendahnya kualitas sumber daya manusia, baik secara intelektualitas maupun spiritual, birokrasi peradilan yang berjenjang, pengawasan internal yang sangat lemah, dan rendahnya integritas pimpinan lembaga penegak hukum.17
Adapun faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah18 1) Faktor Hukum (Legal Factor Itself) yaitu Praktik penyelenggaraan
hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law enforcement, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian; 2) Faktor Penegakan Hukum (Law Enforcement Factor) yaitu Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum. Masalah peranan dianggap penting karena penegak hukum di dalam diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak terikat oleh hukum, penilaian pribadinya juga memegang peranan. Di dalam penegakan hukum, diskresi sangat penting oleh karena tidak ada undang-undang yang sedemikian lengkapnya sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia, adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan dengan perkembangan di masyarakat sehingga menimbulkan ketidakpastian, kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk undang- undang, dan adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus. Halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya berasal dari golongan panutan atau penegak hukum, mungkin berasal dari dirinya sendiri atau lingkungan, yaitu keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi, tingkat aspirasi yang realtif belum tinggi, kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi, belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu terutama materi, dan kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangannya konservatisme.
Selanjutnya faktor ketiga yaitu Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung (Means Factor) Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan komputer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak; 4) Faktor Masyarakat (Community Factor) yaitu Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indicator berfungsinya hukum yang bersangkutan; 5) Faktor Kebudayaan (Cultural Factor) yaitu Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan
masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.
Menurut Kompol Dra. Ni Ketut Suwandari “dalam menghadapi tindak pidana narkotika baik yang dilakukan oleh pelaku maupun korban sama sekali tidak ada kendala karena jumlah personil yang dimiliki oleh ditresnarkoba Polda Bali mencukupi serta peran dari masyarakat dinilai sudah bagus dalam bekerja sama dengan melapor tindak pidana narkotika tersebut dan masyarakat mempunyai kepedulian serta berperan aktif dari adanya tindak pidana narkotika.”
Polda Bali dalam menjalankan tugasnya menghadapi kasus tindak pidana narkotika melakukan sinergitas semaksimal mungkin, karena polisi juga bekerjasama dengan lembaga-lembaga resmi atau instansi terkait seperti panti rehabilitas narkoba, yayasan maupun rumah sakit. Polisi dalam menindaklanjuti tindak pidana narkotika sinegriasnya dengan cara penyidikan terhadap suatu kasus tindak pidana narkotika diawali dengan diketahui tindak pidana narkotika, baik melalui laporan dari masyarakat yang mengetahui, menyaksikan atau mengalami sendiri atau pihak kepolisian menerima penyerahan tersangka, atau pihak kepolisian mengetahui sendiri tindak pidana tersebut. Sesuai dengan ketentuan didalam pasal 73 – Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, polisi dalam melakukan tugasnya terhadap kasus tindak pidana narkotika dengan cara melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Korban Narkotika dapat dikaitkan dengan pecandu narkotika, sedangkan pecandu narkotika menurut pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pembuktian penyalahgunaan narkotika merupakan korban narkotika sebagaimana diatur didalam Undang-undang Narkotika, merupakan suatu hal yang sulit, karena harus melihat awal pengguna narkotika menggunakan narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika.
Dalam kasus tindak pidana narkotika penulis melakukan observasi terkait penelitian yang diambil, diketahui adanya suatu tindak pidana tersebut dimana pelaku tertangkap tangan oleh petugas ketika dilakukan penggeledahan badan dalam operasi rutin ditemukan barang bukti berupa ganja sebanyak 1 (satu) gram yang dibungkus dengan kertas Koran. Petugas dalam melakukan penangkapan , dimana pelakunya tertangkap tangan tidak dibekali dengan surat penangkapan, tetapi dalam suatu tugas rutin akan selalu membawa surat perintah Tugas yang dikeluarkan Ditres Narkoba Polda Bali. Pihak Kepolisian setelah mengetahui adanya penangkapan tersebut, segera membuat laporan polisi dengan Nomor: SP. Sidik/21/X/2019/Resnarkoba, di mana di dalam Laporan Polisi tersebut memuat antara lain identitas pelapor, peristiwa yang terjadi, uraian mengenai kejadian, barang bukti yang ada, jenis tindak pidana yang dilakukan serta saksi-saksi. Laporan Polisi tersebut pada bagian kanan atas dicantumkan Model: A, yang menandakan bahwa laporan tersebut dari petugas, di mana pelakunya tertangkap tangan. Pihak kepolisian akan segera mengadakan pemeriksaan baik terhadap saksi ataupun tersangkanya, untuk mengetahui lebih jauh mengenai tindak pidana narkotika yang dilaporkan tersebut. Pengkajian terhadap suatu laporan polisi dilakukan untuk melihat apakah upaya paksa dapat dilakukan dalam penyidikan dalam tahap berikutnya, sebab ada kalanya tidak dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan, hal ini bisa terjadi jika
setelah pengkajian dan penelitian Laporan Polisi tersebut: (a) Bukan termasuk tindak pidana; (b) Tidak terdapat cukup barang bukti; dan (c) Penyidikan dihentikan demi hukum.
Dari hasil pengkajian yang dilakukan oleh pihak Kepolisian, menegaskan bahwa kasus ini dapat dilanjutkan pada tahap penyidikan, dan dari pengembangan kasus tersebut, ditemukan tersangka lain yang terlibat dalam kasus tindak pidananarkotika tersebut. Berdasarkan pengakuan tersangka, diketahui kronologis peristiwa tindak pidana tersebut, identitas pelaku, serta barang bukti, serta barang bukti berupa 1 (satu) paket besar sebesar kurang lebihnya 1 (satu) gram, yang di bungkus dengan kertas koran bekas. Barang bukti tersebut berkasnya displitkan, karena barang bukti tersebut disita oleh pihak kepolisian bersamaan dengan tersangka yang tertangkap tangan dalam kasus tindak pidana narkotika. Berdasarkan bukti-bukti tersebut, serta berdasarkan pengakuan tersangka yang tertangkap tangan tersebut, kemudian pihak kepolisian menyimpulkan bahwa tindak pidana yang sedang ditangani tersebut memenuhi unsur-unsur untuk dijerat dengan Pasal 114 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu menjual, memberi, menerima atau memiliki, menyimpan dan atau menguasai Narkotika golongan I.
Berdasarkan hasil penelitian dan pengkajian terhadap Laporan Polisi tersebut, maka pihak kepolisian mengadakan suatu tindakan penyidikan demi pengungkapan lebih lanjut terhadap tindak pidana narkotika tersebut. Ditresnarkoba mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan, yang dalam kasus ini Surat Perintah Penyidikan dengan Nomor: SP. Sidik/21/X/2019/Resnarkoba. Surat Perintah Penyidikan ini memuat antara lain “pertimbangan dan dasar untuk dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan, pejabat penyidik yang diperintahkan untuk melakukan penyidikan, beserta tindakan-tindakan yang harus dilakukan berkenaan dengan proses penyidikan yang akan dilakukan. Penyidik dan penyidik pembantu yang namanya tercantum dalam Surat Perintah Penyidikan ini, berwenang untuk menangani dan mengambil tindakan-tindakan yang perlu, guna kepentingan penyidikan.”
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya diperoleh hasil bahwa hak-hak yang diberikan kepada korban tindak pidana narkotika dari aparat penegak hukum adalah dengan melakukan pembinaan dan pencegahan, dan dalam proses perlindungan hukum adalah untuk menjalankan proses rehabilitasi, korban tindak pidana narkotika berhak mendapat perlindungan hukum oleh lembaga resmi, baik di rumah sakit maupun di panti rehabilitasi, untuk diobati dalam jangka waktu 6 (enam) bulan atau lebih berdasarkan tingkat kecanduannya. Kendala yang dihadapi oleh penegak hukum dalam memberikan perlindungan hukum bagi pelaku dan korban tindak pidana narkotika menurut Kompol Dra. Ni Ketut Suwandari ,berdasarkan hasil penelitian ini beliau mengemukakan bahwa dalam memberikan perlindungan hukum bagi pelaku dan korban tindak pidana narkotika tidak ada kendala sama sekali karena jumlah personil yang dimiliki oleh Ditresnarkoba Polda Bali mencukupi serta peran dari masyarakat dinilai sudah bagus dalam bekerjasama dengan melapor tindak pidana narkotika tersebut dan masyarakat mempunyai kepedulian serta berperan aktif dari adanya tindak pidana narkotika.
Dalam studi ini dapat disarankan bahwa pertama, dalam melakukan penanganan tindak pidana narkotika polisi harus meningkatkan usaha untuk sosialisasi atau penyuluhan-penyuluhan tentang hukum demi terjaminnya kehidupan masyarakat yang aman dan damai. Kedua, dalam melakukan perlindungan hukum terhadap
pelaku dan korban tindak pidana narotika baik penegak hukum maupun masyarakat lebih memperhatikan lingkungan di sekitarnya untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan terhadap tindak pidana narkotika dan agar jumlah pengguna narkotika dan korban narkotika tidak semakin banyak atau terus bertambah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika. Jakarta. (2008).
Prakoso, Djoko, Bambang Riyadi Lany, and Amir Muhsin. Kejahatan-kejahatan yang merugikan dan membahayakan negara: tindak pidana penyelundupan, tindak pidana subversi, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika. Bina Aksara, 1987.
Soerjono, Soekanto. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Grafindo Persada, Jakarta (1983).
Jurnal Ilmiah:
Ariyanti, Vivi. "Kebijakan Penegakan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. " Jurnal Yuridis 6, no. 2 (2019): 33-54.
BAGUS SUBEKTI, SH A. "Keabsahan Penggunaan “Surat Pernyataan Penolakan Didampingi Penasehat Hukum‟‟ pada Tingkat Penyidikan Perkara Narkoba Dipolresta Pontianak Berdasarkan Pasal 56 Kuhap. " Jurnal Nestor Magister Hukum 2, no. 2: 209935.
Cornelis, Fabiandi. "Analisis Perlindungan Hukum Bagi Korban Penipuan Jual Beli Online." POENALE: Jurnal Bagian Hukum Pidana 3, no. 2 (2015).
Ihkwani, Rizki Dwi. "Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Tersangka Tindak Pidana Memperoleh Hak Dilakukannya Diversi Oleh Penyidik Polresta Pontianak Kota Sesuai Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012." Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura 4, no. 2 (2016).
Jauhariah, H. J. "Peranan Advokat Terhadap Tersangka Yang Diancam Hukuman Diatas 5 (Lima) Tahun." Pranata Hukum 8, no. 2 (2013).
Lasmadi, Sahuri. "Peran Advokat Dalam Pendampingan Hukum." INOVATIF| Jurnal Ilmu Hukum 7, no. 2 (2014).
Misranto, Misranto, and M. Taufik. "KESELAMATAN TENAGA KERJA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA (Perspektif Islam, UDHR, dan Hukum Positif). " Yurispruden: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam Malang 1, no. 2 (2018): 194-205.
Njoto, Enricho Duo Putra, Slamet Suhartono, and Erny Herlyn Setyorini.
"PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM PERKARA NOMOR: 1066 K/PID. SUS/2017 ATAS TINDAKAN MENAMBANG DI LUAR WILAYAH IZIN USAHA PERTAMBANGAN. " Jurnal Akrab Juara 4, no. 5 (2019): 92-108.
Pane, M. D. Peran Budaya Hukum Dalam Pembaharuan Sistem Hukum Pidana Perihal Efektifitas Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Majalah Ilmiah UNIKOM, 16(1).
Rifai, Achmad. "Kedudukan dan Peran Advokat dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana. " Al-Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial 3, no. 2 (2019): 277-324.
Sant, Gusti Ayu Novira, Ni Putu Rai Yuliartini, and Dewa Gede Sudika Mangku.
"Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Kabupaten Buleleng. " Jurnal Komunitas Yustisia 2, no. 3 (2020): 71-80.
Sofyan, Andi Muhammad, and Andi Tenripadang. "Ketentuan Hukum Perlindungan Hak Anak Jalanan Bidang Pendidikan. " DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum 15, no. 2 (2017): 229-246.
Sudiarawan, Kadek Agus, Putu Edgar Tanaya, and Bagus Hermanto. "Discover the Legal Concept in the Sociological Study." Substantive Justice International Journal of Law 3, no. 1 (2020): 94-108.
Sulardi, Sulardi, and Yohana Puspitasari Wardoyo. "Kepastian Hukum, Kemanfaatan, Dan Keadilan Terhadap Perkara Pidana Anak." Jurnal Yudisial 8, no. 3 (2015): 251-268.
Welerubun, Cornelia Junita. "PERLINDUNGAN HUKUM HAK ATAS TANAH
ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN MALUKU
TENGGARA. " Jurnal Media Hukum dan Peradilan 5, no. 1 (2019): 133-146.
Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 11, hlm. 1-10
Discussion and feedback