PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT BAGI DOKTER ATAU TENAGA KESEHATANNYA

MELAKUKAN MALPRAKTIK

I Nyoman Agus Adi Priantara, Fakultas Hukum Universitas Udayana E-mail: [email protected]

A.A Ngurah Oka Yudistira Darmadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana E-mail: [email protected]

DOI : KW.2020.v09.i12.p05

ABSTRAK

Studi ini unuk mengetahui pengertian dari malpraktik serta unsur yang dapat dikatagorikan memenuhi unsur tindakan malpraktik serta mengetahui bentuk pertanggungjawaban dari pihak rumah sakit akibat dokter atau tenaga kesehatannya yang melakukan malpraktik. Studi ini tergolong penelitian hukum normatif dan menggunakan metode penelitian terhadap asas-asas hukum. Hasil studi menunjukan bahwa dalam kasus malpraktik medis tidak hanya dokter atau tenaga kesehatan saja yang dapat bertanggung jawab atas perbuatan malpraktik tersebut,pasien atau penerima pelayanan kesehatan juga dapat meminta pertanggungjawaban kepada pihak rumah sakit atau korporasi. Rumah sakit selaku korporasi dapat dijadikan subjek hukum karena badan hukum juga berperan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Rumah sakit selaku organisasi yang menjalankan tugas dalam pelayanan di bidang kesehatan bertanggung jawab kepada semua yang terjadi di rumah sakit tersebut, yang secara umum dibebankan kepada manajemen atau direktur dari rumah sakit yang bersangkutan.

Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Rumah Sakit, Dokter atau Tenaga Kesehatan,Malpraktik

ABSTRACT

The study is to determine the meaning of malpractice and the elements that can be categorized as fulfilling the elements of malpractice and to find out the form of responsibility on the part of the hospital due to a doctor or health worker who commits malpractice. This research method uses normative legal research and uses research methods on legal principles. The results of the study show that in cases of medical malpractice it is not only doctors or health workers who can be responsible for the malpractice, patients or health service recipients can also hold the hospital or corporations accountable. Hospitals as corporations can be used as legal subjects because legal entities also act as supporters of rights and obligations. The hospital as an organization that carries out tasks in the health sector is responsible for everything that happens in the hospital, which is generally borne by the management or director of the hospital concerned.

Key words : Criminal Liability, Hospital, Doctor or Health Worker Malpractice

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Kesehatan ialah kebutuhan yang amat mendasar dalam menunjang kehidupan masyarakat. Tanpa adanya kesehatan sudah pasti seseorang tidak akan bisa melaksanakan aktivitasnya dengan maksimal. Kesehatan menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendasar bagi segala individu yang wajib diwujudkan dalam bentuk

pemberian fasilitas kesehatan yang optimal, nyaman, berkualitas, dan bisa dijangkau oleh masyarakat secara merata. 1

Kesehatan adalah hak yang diperoleh manusia yang bersifat absolut sehingga tidak dapat digugat serta tidak dapat dikurangi satupun hak atas memperolah kesehatan tersebut dan pengaturan terhadapa kesehatan diatur dalam lembaran konstitusi Negara Republik Indonesia yang termuat dalam pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin dan memperoleh pelayanan kesehatan.”

Kesehatan sangat berperanan penting bagi setiap orang pada umunya tanpa terkecuali, dengan kesehatan dalam tubuh seseorang maka orang tersebut dapat berpikir positive dan dapat pula melakukan segala rutinitas hariannya secara maksimal. Oleh sebab itu maka setiap orang akan selalu berusaha untuk menjaga tubuhnya agar tetap sehat secara jasmani dan rohani. Ketika seseorang mengalami gangguan pada kesehatannya, maka mereka pasti akan melakukan sesuatu agar segera memulihkan kondisi tubuhnya seperti sedia kala. Salah satu caranya yaitu dengan berobat pada sarana pelayanan kesehatab yang telah difasilitasi oleh pemerintah salah satunya yaitu rumah sakit.

Rumah sakit memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memberikan pelayanan khususnya pada bidang kesehatan yang bermutu dan dapat dijangkau oleh seluruh kalangan masyarakat dalam rangka peningkatan kesehatan masyarakat. Tugas daripada rumah sakit yaitu memfasilitasi upaya pelayanan kesehatan secara berdaya guna dengan mengutamakan penyembuhan dan pemulihan secara serasi dan terpadu.

Pertanggungjawaban hukum yang diberikan oleh rumah sakit kepada pasien tidak hanya berimpilkasi dalam hukum perdata, tetapi dalam hakekatnya pelaksanaan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit juga berimplikasi hukum pidana. Tanggung jawab hukum yang diberikan kepada rumah sakit khususnya dakam hukum adminstrasi yaitu dengan sanksi pencopotan jabatan terhadap pejabat yang berwenang, kemudian jika dikaji dalam hukum perdata biasanya pertanggungjawaban yang diberikan oleh rumah sakit berupa pembayaran ganti rugi sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kelalaian dari pihak rumah Sakit dalam menjalankan tugas dan kewajibannya selaku tempat penyedia layanan kesehatan terhadap masyarakat. Kemudian,jika dikaji dalam hukum pidana makan akan berimplikasi kepada putusan pengadilan atau hukum pidana dengan vonis hukuman bagi pihak yang terlibat di dalamnya.

Pertanggungjawaban pidana erat hubungan dengan subyek hukum pidana, dalam subyek hukum pidana ketentuan perundang-undangan merupakan pelaku tindak pidana yang dapat bertanggung jawabkan atas perbuatan hukum yang telah diperbuat sebagai wujud dan tanggung jawab karena kesalahan sehingga menimbulkan kerugian kepada orang lain (korban).2

Bertolak dari sudut pandang etika dan hukum kesehatan, pasien maupun tenaga kesehatan memiliki hak yang setara dalam artian tidak tumpang tindih melainkan saling menghormati. Dalam hakekatnya hak-hak pasien wijib diakui oleh tenaga kesehatan

dan berlaku pula sebaliknya yaitu hak-hak dari tenaga kesehatan juga harus dihormati diakui pula oleh pasien atau masyarakat pengguna pelayanan kesehatan.

Dokter atau tenaga kesehatan merupakan seorang yang diberikan wewenang serta izin yang sudah di tetapkan dan dilindungin oleh hukum positif di Indonesia untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan yang dilakukan dengan etika dan tanggung jawab profesinya serta berpedoman dengan kesehatan. 3

Dokter atau tenaga kesehatan merupakan profesi yang mulia dengan mengabdikan keilmunya untuk kepentingan orang banyak atau masyarakat secara umum, dan juga mempunyai etika dan tanggung profesi yang memiliki kebebasan yang berorientasi terhadap nilai kemanusiaa. Etika profesi adalah nilai, norma, serta tingkah laku profesi tertentu dalam pemberian pelayanan jasa di bidang kesehatan terhadap pasien atau masyarakat.4

Profesi kedokteran merupakan suatu pekerjaan atau profesi yang berkecimpung di bidang kesehatan dengan visi dan misi mensejahterakan kesehatan masyarakat, biasanya dikatakan bahwa profesi di bidang kesehatan bertugas dengan moral serta intelektual. Menjadi seorang yang berprofesi di bidalng kesehatan berarti harus melayani pasien yang sedang mengalami sakit agar dapat pulih melalui pencegahan maupun dengan pengobatan. Dengan ini, maka dalam praktiknya seorang yang berprofesi di bidang kesehatan harus memiliki semangat pelayanan dalam melaksanakan tugasnya.5

Seorang dokter atau tenaga kesehatan sebelum melakukan tugasnya dalam melayani pasien harus melalui tahapan pendidikan dan pelatihan terlebih dahulu. Sehingga dalam hakekatnya pasien tidak perlu lagi waspada untuk menggantungkan harapan hidup atau kesembuhannya kepada dokter atau tenaga kesehatan. Namun dewasa ini seperti yang kita ketahui, dokter atau tenaga kesehatan hanyaalah orang biasa yang tak luput dari kesalahan serta penuh dengan kekurangan dan kealpaan dalam melakukan tanggung jawabnya sebagai dokter yang penuh dengan resiko.Pekerjaan sebagai tenaga kesehatan atau dokter memiliki kemungkinan ketidak berhasilan sepenuhnya dan bisa menimbulkan cacat atau bahkan kehilangan nyawa setelah ditangani dokter atau tenaga kesehatan. Walaupun dokter atau tenaga kesehatan sudah menjalankan tugas sesuai standar profesinya, tapi tetap saja masih ada kemungkinan ketidak berhasilan akibat kelalaian atau kealpaan dari pemberi jasa pelayanan kesehatan. Keadaan seperti inilah yang biasa disebut sebagai resiko medik dan dimaknai secara umum dengan istilah malpractice(malaprakter). 6

Malpraktik pada hakikatnya dapat diartikan sebagai suatu kelalaian ataupun kealpaan dalam tindakan pelayanan oleh profesi dokter atau tenaga kesehatan dalam mengobati pasien. Dalam upaya penyelesaian kasus malpraktik biasanya ditempuh dengan jalur litigasi, baik melalui hukum perdata maupun hukum pidana. Penegakan hukum dalam setiap penanganan kasus malpraktek di Indonesia, harus

mempergunakan instrument hukum dalam mengupayakan perlindungan terhadap masyarakat (pasien) dari kelalaian atau kealpaan oleh profesi dokter atau tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya.

Indonesia adalah negara yang banyak terjadi kasus dalam bidang kesehatan, diantara sekian banyak kasus yang ada, kasus-kasus yang tidak dibawa ke pengadilan tidaklah dapat diketahui banyaknya disebabkan kasus-kasus dibidang kedokteran ini sulit diketahui. Pasien sebagai korban dalam hal ini belum menyadari bahwa kasus yang dideritanya adalah merupakan suatu kasus yang diakibatkan kesalahan diagnosa dan terapi pengobatan dari seorang dokter yang sebenarnya dapat dituntut ke pengadilan. Salah satu kasus dugaan malpraktek sempat mengemuka yaitu kasus terhadap Ibu Augustianne Sinta Dame Marbun, istri dari advokad ternama Hotman Paris Hutapea. Dugaannya, dokter yang menangani salah melakukan diagnosis dengan memberikan antibiotik dengan dosis yang cukup tinggi terkait operasi pengangkatan rahimnya, sehingga mengakibatkan kerusakan pada fungsi ginjalnya. 7

Perilah kasus malpraktik, kiranya perlu mendapatkan perhatian khusus, terutama kepada penegak hukum dalam menyelesaikan permasalahan atau kasus malpraktik. Karena dalam setiap tindakan yang sudah jelas dikatagorikan dan memenuhi unsur sebagai tindakan malpraktek akan dikenakan sanksi ancaman pidana bagi pelakunya. Pada praktiknya, ketika ada kasus malpraktik yang menimpa seseorang, maka seseorang tersebut hanya menuntut dokter atau tenaga kesehatan yang bersangkutan. Padahal tidak hanya pihak dokter atau tenaga kesehatan yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan malpraktik tersebut melainkan ada juga pertanggungjawaban dari pihak rumah sakit karena dianggap sebagai suatu korporasi yang memiliki tanggung jawab penuh terhadap dokter atau tenaga medis yang didugakan melakukan tindak malpraktik.

Rumah Sakit juga dapat dibebani hak dan kewajibannya menurut hukum positif yang telah tertuang dalam lembaran konstitusi atas tindakan yang dilakukannya. Korporasi atau istilahnya badan hukum dapat dikatagorikan selaku subjek hukum yang bisa dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan kesalahannya. Sanksi pidana terhadap rumah sakit selaku korporasi diatur dalam Undang-Undang Kesehatan pada Pasal 201 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu “ Selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditetapkan terhadap perseorangan”.

Guna mendukung semangat anti plagiat di lingkungan Fakultas Hukum, maka karya tulis ini mencantumkan beberapa karya tulis terdahulu yang memiliki kemiripan dalam konteks permasalaha hukum yang tengah dibahas dengan tujuan sebagai pembanding. Karya tulis yang disusun oleh “Michael Eman Tendean” yang berjudul “Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Tindakan Dokter Yang Melakukan Malpraktek”. Karya tulis tersebut memiliki keterkaitan yang sama terhadap pertanggungjawaban dari pihak rumah sakit akibat tindakan dokter yang melakukan dugaan malpraktik. Adapun pada tulisan ini lebih memfokuskan pada pertanggungjawaban pidana dan pertanggungjawaban korporasi dari pihak rumah sakit akibat tindakan malpraktik oleh dokter atau tenaga kesehatan. Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan pada tulisan diatas, penulis melakukan penelitian dengan judul

“Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Yang Dokter Atau Tenaga Kesehatannya Melakukan Malpraktik”.

  • 2.1    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimanakah pengaturan terhadap rumah sakit yang diduga melakukan tindak malpraktik menurut hukum positif di Indonesia?

  • 2.    Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban pihak rumah sakit atas tindakan malpraktik yang diilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan?

  • 3.1    Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui, mengkaji serta menganalisis pengaturan malpraktik menurut hukum positif di Indonesia serta untuk mengetahui, mengkaji serta menganalisis bentuk pertanggungjawaban dari pihak rumah sakit akibat dokter atau tenaga kesehatan yang diduga melakukan tindakan malpraktik.

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian ini mempergunakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum terhadap bahan pustaka atau dapat disebut dengan penelitian hukum kepustakaan. Penelitian ini mempergunakan metode penelitian terhadap asas-asas hukum. Teknik yang digunakan untuk penelusuran bahan hukum ini adalah metode kepustakaan (library research). Sumber-sumber literatur akan dijadikan sebagai rujukan dalam mengkaji masalah yang penulis teliti. Literatur berupa buku-buku dipilih berdasarkan relevansi masalah dan dapat mendukung topik penelitian. Berikutnya juga jurnal-jurnal ilmiah yang tersebar di dunia maya melalui internet penulis unduh untuk melengkapi sumber-sumber akademik yang diperlukan. Hasil penelitian ini terdapat norma kabur dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit yang sampai detik ini masih menimbulkan polemik di masyarakat umum.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Malpraktik Menurut Hukum Positif di Indonesia

  • a.    Pengertian Malpraktek

Zulkifli Muchtar menyatalan bahwa “Malpraktik ialah setiap kesalahan medis yang dilakukan oleh seorang dokter atau tenaga kesehatan karena melakukan pekerjaan dibawah standar profesinya.”8Pada umumnya ketika seorang mengalami kerugian sehungga menimbulkan penderitaan kesehatan akibat oleh tenaga kesehatan disebut dengan sebutan “malpraktik medik”.

Malapraktik pada definisinya memiliki asal dari kata “mala” yang memiliki definisi “salah” atau “tidak sepatutnya”, sedangkan praktik yaitu sebuah proses penanganan atau pelayanan oleh seorang professional yang sudah sesuai dengan prosedur kerja yang di tetapkan oleh kelompok profesinya. Dalam dunia medis malapraktik memiliki pengertian yaitu suatu bentuk penyimpangan terhadap

penanganan suatu permasalah kesehatan oleh seorang tenaga kesehatan sehingga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap pasiennya.9

Soedjatmiko membedakan malpraktek menjadi beberapa bentuk yaitu :

  • 1.    Malpraktek Perdata (Civil Malpractice) terjadi bila tidak terpenuhinya isi dari perjanjian (wanprestasi) oleh dokter atau tenaga kesehatan yang bersangkutan. Dapat juga dikatakan sebagai suatu tindakan pelanggaran hukum (onrechtmatige daad) sehingga berakibat kerugian terdhadap pasien.

  • 2.    Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice) terjadi bilamana adanya kelalaian dari tenaga kesehatan sehingga mengakibatkan pasien mengalami cacat karena kurangnya kehati-hatian atau bahkan sampai meninggal dunia. 10

  • b.    Unsur-Unsur Perbuatan yang Dapat Dikatagorikan Sebagai Malpraktek

Dokter atau tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya harus bertanggung jawab selaku subyek hukum dengan mengemban kewajiban dari profesinya. Seorang dokter atau tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tanggung jawab dalam pekerjaannya sesuai dengan standar operasional diaggap telah melakukan kesalahan atau kelalaian. Tindakan kelalaian tersebut dapat dituntut secara hukum pidana bilamana pasien menderita cacat permanen atau sampai meninggal dunia, sedangkan penuntutan secara perdata dapat dilakukan jika pasien menderita kerugian materi. 11

Menurut M.jusuf Hanafiah dan Amri Amir, suatu perbuatan yang dapat dikualifikasi malprakik bilamana telah memenuhi beberapa unsur sebagai berikut:

  • 1.    Adanya unsur kesalahan atau kelalaian oleh tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas atau tanggung jawabnya;

  • 2.    Adanya perbuatan yang menyalahi atau tidak sesuai prosedur operasional;

  • 3.    Adanya kecacatan atau luka berat bahkan mengakibatkan kematian;

  • 4.    Adanya hubungan kausal, dimana pasien mengalami luka berat akibat dari perbuatan dokter atau tenaga medis. 12

  • c.    Pengaturan Terhadap Rumah Sakit yang Diduga Melakukan Tindak Malpraktik Menurut Hukum Positif di Indonesia

Pengaturan terhadap rumah sakit yang diduga melakukan tindak malpraktik menurut hukum positif di Indonesia diatur dalam UU No.44 Tahun 2009 tentang rumah sakit khususnya pada Pasal 29 menyatakan bahwa rumah sakit selaku wadah atau organisasi pelayanan publik khususnya di bidang pelayanan kesehatan memiliki tanggung jawab atas segala upaya pelayanan jasa kesehatan yang diberikan atau diselenggarakannya. Pertanggungjawaban dari rumah sakit yaitu selaku fasilitator pelayanan kesehatan yang berlandaskan prinsip aman, menyeluruh,adil, partisipatif dan mengayomi masyarakat selaku pengguna jasa pelayanan kesehatan secara optimal.

Berdasarkan ketentuan Pasal 46 UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menjelaskan bahwa rumah sakit memiliki tanggung jawab secara hukum atas segala

bentuk tindakan yang mengakibatkan kerugian atas kealpaan atau kelalaian dari dokter atau tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit tersebut.

Pengaturan tentang ketentuan pidana rumah sakit selaku korporasi telah diatur pada Pasal 190 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang mengatakan bahwa “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Untuk meninjau sejauh manakah tindakan seorang tenaga kesehatan yang memiliki implikasi tindakan kesalahan atau kelalaian dalam mengupayaan pelayanan kesehatan harus dinilai dari dua sudut pandang, yang pertama ialah dari sudut pandang etik dan kemudian dilihat dari sudut pandang hukum. Kedua sudut pandang tersebut dapat digunakan untuk meninjau sejauh manakah perbuatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dikatagorikan sebagai suatu kelalaian atau kealpaan dan dapat juga menentukan unsur-unsur yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam menentukan kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan. 13

Kemudian jika ditinjau dari KUHP diatur dalam Buku Kedua Bab XXI Pasal 359 disebutkan bahwa “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.

  • 3.2    Pertanggungjawaban Rumah Sakit Atas Tindakan Malpraktik Yang Dilakukan oleh Tenaga Kesehatan

Rumah sakit di Indonesia tergabung dalam perhimpunan rumah sakit yang telah menyusun kode etik rumah sakit, yang memuat nilai, norma, serta kode etik tentang untuk dijadikan pedoman oleh seluruh pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam rumah sakit di Indonesia.14

Pengaturan hukum yang berkaitan dengan malpraktek menurut Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa “Suatu keadaan di mana terjadi kesalahan yang melibatkan pelayan kesehatan dalam hal ini oleh dokter, yang dapat mengajukan pengaduan kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia oleh setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan bahwa “Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.” Rumah sakit memiliki status dan dianggap selaku badan hukum, maka rumah sakit dapat dibebani hak dan kewajibannya menurut hukum positif yang telah di tetapkan atas tindakan merugikan yang dilakukannya.

Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban selaku subjek hukum, sesuai dengan kesalahannya. Melihat dari asal usul kata, korporasi atau corporate bermula dari

Bahasa latin yaitu dari kata “corporatio”, artinya hasil produksi dari membadankan atau menjadikan badan sebagai orang. 15

Guna meminta pertanggungjawaban terhadap pihak rumah sakit yang didugakan melakukan tindakan malpraktik dapat menggunakan 3 (tiga) teori pertanggungjawaban, yaitu:16

  • 1.    Strict Liability atau Pertanggungjawaban Mutlak

Di Indonesia dikenal asas yang menjadi dasar dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana kepada pelaku tindak pidana(dader) yaitu asas geen straf zonder schuld, yang berarti seseorang dapat dipidana apabila ia memiliki kesalahan. Namun dalam perkembangannya memungkinkan untuk dibebankannya suatu pertanggungjawaban atas delik atau tindak pidana (Strafbaarfeit) yang dilakukan meskipun tidak adanya kesalahan sehingga munculah teori strict liability.

Pertanggungjawaban mutlak (strict liability) merupakan sistem dimintanya pertanggungjawaban kepada dader, di mana dader dapat dipidana apabila perbuatan telah dilakukan sebagaimana dinyatakan dalam peraturan tanpa melihat adanya niat yang melandasi perbuatan tersebut (mens rea), yang juga diartikan sebagai liability without fault.17 Berdasarkan teori ini pertanggungjawaban terhadap korporasi berdasarkan apa yang dinyatakan dalam ketentuan pidana dengan tidak melihat siapa yang memiliki mens rea.18 Pada teori ini diberlakukan agar dapat membebankan tanggung jawab pidana kepada corporate atas kejahatan yang diperbuat oleh individu yang memiliki hubungan kerja dengan corporate.

  • 2.    Vicarious Liabilitu atau Pertanggungjawaban Pengganti

Teori vicarious liability merupakan teori pertanggungjawaban korporasi yang lebih memfokuskan pada pertanggungjawaban oleh korporasi selaku “agen” terhadap perbuatannya.19

Teori ini sekalipun merupakan sebuah tindak pidana terjadi akibat dari mens rea dari orang perseroangan namun bila kegiatan yang dimaksud hanya untuk kepentingan dari corporate belaka maka kejahatan yang diperbuat oleh individu tersebut dimaksud oleh korporasi maka pembebanan tanggung jawabanya dapat dibebankan kepada korporasi yang memperoleh keuntungan tersebut.

  • 3.    Direct Corporate Criminal Liability atau Pertanggungjawaban Langsung

Direct corporate criminal liability adalah teori pemberian tanggung jawab kepada sebuah corporate yang mana corporate secara langsung bertanggung jawab melalui individu yang memiliki hubungan erat dan dapat dianggap sebagai corporate itu sendiri.20

Teori pertanggungjawaban ini merupakan sebuah teori yang menyatakan bahwa sebuah corporate bisa berbuat sejumlah perbuatan pidana secara langsung melalui para pengurusnya dari korporasi yg bersangkutan. Teori pertanggungjawaban pidana ini memiliki ciri utama yaitu perbuatan-perbuatan dari pengurus berada dalam cakupan lingkup korporasi yang bersangkutan. Dalam teori ini memiliki hubungan erat dengan theory identification yang mana menguraikan bahwa perbuatan dari pengurus korporasi, semasih tindakan tersebut memiliki hubungan dengan corporate sehingga dianggap sebagai tindakan dari corporate itu sendiri. Jadi aktivitas yang dilakukan oleh pengurus bukan mewakili corporate yang bersangkutan namun diibaratkan sebagai aktivitas dari corporate tersebut.21

Pembahasan tersebut diatas maka rumah sakit selaku korporasi dapat dimintai pertangungjawaban atas tindakan kelalaian dan kealpaan oleh dokter atau tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit bersangkutan. Sebagaimana yang telah diuraikan dalam teori pertanggungjawaban maka penulis menyimpulkan bahwa teori Vicarious liability yang paling tepat digunakan sebagai bentuk pertanggung jawaban atas kesalahan yang dilakukan oleh pihak tenaga kesehatan apabila didugakan melakukan suatu tindakan malpraktik karena dalam teori tersebut membebankan tanggung jawab pidana kepada korprasi atas tindakan orang perseorangan sebagai cerminan dari korporasi yang diwakilinya.

Pengaturan terhadap rumah sakit yang diduga melakukan tindak malpraktik menurut hukum positif di Indonesia diatur dalam UU No.44 Tahun 2009 tentang rumah sakit yang menyatakan bahwa rumah sakit selaku wadah atau organisasi pelayanan publik khususnya di bidang pelayanan kesehatan memiliki tanggung jawab atas segala upaya pelayanan jasa kesehatan yang diberikan atau diselenggarakannya. Rumah sakit selaku korporasi dapat dikatakan sebagai subjek hukum dan dapat diminta pertanggungjawaban tindakan yang menyebabkan kerugian pada masyarakat. Rumah sakit selaku korporasi yang menjalankan tanggung jawabnya di bidang pelayanan kesehatan memiliki kewajiban bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya dan dibebankan kepada manajemen atau direktur dari rumah sakit yang bersangkutan. Penjatuhan sanksi pidana kepada rumah sakit selaku korporasi yang diduga melakukan pelanggaran dapat dikenakan Pasal 201 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa “Selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditetapkan terhadap perseorangan”. Selain itu dapat juga dijerat dengan Pasal yang sama pada (ayat 2) yang menyatakan bahwa “korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum. Diharapkan agar kasus malapraktek di Indonesia dapat di tekan jumlahnya atau diminimalisir, utamanya yang melibatkan dokter atau tenaga kesehatan yang dikenal sebagai ahli dalam bidang kesehatan yang seharusnya memberikan penyembuhan semaksimal mungkin kepada

pasien sehingga pasien bisa mendapatkan kepuasan jasmani dan rohani secara maksimal.

Syarat untuk pemidanaan dari subjek hukum harus memiliki mens rea yang melekat pada diri pelaku. Terkait dengan sikap batin dari corporate agar dapat dimintai tanggung jawab pidana harus diterimanya doktrin tanggung jawab fungsional (fungsional daderschap). Ciri utama dari fungsional daderschap adalah tindakan pelaku harus menghasilkan perbuatan fungsional bagi korporasi.

Penjatuhan sanksi pidana kepada rumah sakit selaku korporasi yang diduga melakukan pelanggaran dapat dikenakan Pasal 201 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa “Selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditetapkan terhadap perseorangan”. Selain itu dapat juga dijerat dengan Pasal yang sama pada (ayat 2) yang menyatakan bahwa “korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum.

  • IV.    Simpulan

Malpraktek adalah tindakan yang dilakukan dengan kelalaian atau kealpaan oleh tenaga kesehatan dalam menjalankan tanggung jawabnya sehingga pasien mengalami kerugian hingga cacat bahkan meninggal dunia. Apabila malpraktek dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan dikenal sebagai malpraktek medis. Dalam Praktiknya suatu perbuatan dapat di golongkan menjadi suatu tindakan Malpraktik apabila memenuhi beberapa unsur yaitu, Adanya unsur kesalahan/kelalaian, adanya perbuatan yang menyalahi atau tidak sesuai dengan standar prosedur, adanya luka berat atau sampai menimbulkan kematian, adanya hubungan kausal.

Pengaturan terhadap rumah sakit yang diduga melakukan tindak malpraktik menurut hukum positif di Indonesia diatur dalam UU No.44 Tahun 2009 tentang rumah sakit yang menyatakan bahwa rumah sakit selaku wadah atau organisasi pelayanan publik khususnya di bidang pelayanan kesehatan memiliki tanggung jawab atas segala upaya pelayanan jasa kesehatan yang diberikan atau diselenggarakannya. Rumah sakit selaku korporasi dapat dikatakan sebagai subjek hukum dan dapat diminta pertanggungjawaban tindakan yang menyebabkan kerugian pada masyarakat. Rumah sakit selaku korporasi yang menjalankan tanggung jawabnya di bidang pelayanan kesehatan memiliki kewajiban bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya dan dibebankan kepada manajemen atau direktur dari rumah sakit yang bersangkutan. Penjatuhan sanksi pidana kepada rumah sakit selaku korporasi yang diduga melakukan pelanggaran dapat dikenakan Pasal 201 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa “Selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditetapkan terhadap perseorangan”. Selain itu dapat juga dijerat dengan Pasal yang sama pada (ayat 2) yang menyatakan bahwa “korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum. Diharapkan agar kasus malapraktek di Indonesia dapat di tekan jumlahnya atau diminimalisir, utamanya yang melibatkan dokter atau tenaga kesehatan yang dikenal sebagai ahli dalam bidang kesehatan yang seharusnya memberikan penyembuhan semaksimal mungkin kepada pasien sehingga pasien bisa mendapatkan kepuasan jasmani dan rohani secara maksimal. Serta dari pihak rumah sakit yang harusnya bisa melindungi semua hak dari dokter atau tenaga kesehatan selaku pemberi atau penyedia pelayanan kesehatan serta

masyarakat atau pasien yang dalam hal ini selaku penerima layanan kesehatan harus seimbang agar menimbulkan suatu keharmonisan

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ali, Mahrus. Asas-asas hukum pidana korporasi. PT RajaGrafindo Persada, 2013.

Muladi, D. R., and DR Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi: edisi ketiga. Kencana, 2015.

Soekidjo, Notoatmodjo. Etika & Hukum Kesehatan. (2010)

JURNAL

AH, ABDUL AZIZ. "Tinjauan Kriminologi Mengenai Malpraktik Medik yang Dilakukan Oleh Perawat." PhD diss., Tadulako University, 2014. 2, Vol.2.

Black’s Law Dictionary, St. Paul Minn: West Publishing, Co. Fifth Edition, 1979, h. 1033. Disebutkan bahwa physician a practitional of medicines personaly authorized or lisenced to treat diseases one lawfull engined in the practice of medicine.

Dwiditya, Pradnya, and Anak Agung Ngurah Oka Yudistira Darmadi.

"PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORGANISASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum. 9, No. 7 (2020)

Hadi, I. Gusti Ayu Apsari. "Perbuatan Melawan Hukum dalam Pertanggungjawaban Dokter terhadap Tindakan Malpraktik Medis." Jurnal Yuridis 5, no. 1 (2018)

Diputra, I. Gede Indra, and Ni Made Ari Yuliartini Griadhi. "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN TINDAKAN MALPRAKTEK DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA." Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum. 2, No.5(2014),

Tawalujan, Jimmy. "Pertanggungjawaban Korporasi Terhadap Korban Kejahatan." Lex Crimen 1, no. 3 (2012)

Maulana, Panji. "Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Akibat Kelalaian Pelayanan Medis." Syiah Kuala Law Journal 3, no. 3 (2019),3 No.3

Mannas, Yussy A. "Hubungan Hukum Dokter dan Pasien Serta Tanggung Jawab Dokter Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan." Jurnal Cita Hukum 6, no. 1 (2018)

Njoto, Haryanto. "Pertanggungjawaban Dokter Dan Rumah Sakit Akibat Tindakan Medis Yang Merugikan Dalam Perspektif UU No 44 Th 2009 Tentang Rumah Sakit." DiH: Jurnal Ilmu Hukum 7, no. 14 (2011). 7, No.14 (2011)

Rafael, Pramono Sandi. "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TINDAKAN MALPRAKTEK KEDOKTERAN DALAM KAITANNYA DENGAN MASALAH PEMBUKTIAN." LEX CRIMEN 8, no. 8 (2019). Vol. VIII/No. 8

Rezeki, Septya Sri. "Pertanggungjawaban Korporasi Terhadap Penerapan Prinsip Strict Liability Dalam Kasus Kerusakan Lingkungan Hidup." Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam 1, no. 1 (2015)

Suhariyanto, Budi. "Progresivitas Putusan Pemidanaan Terhadap Korporasi Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Progressivity Of Criminal Decision On Corporate Actors Corruption)." Jurnal Penelitian Hukum De Jure 16, no. 2 (2016)

Suhariyanto, Budi. "Urgensi Pemidanaan terhadap Pengendali Korporasi yang Tidak Tercantum dalam Kepengurusan." Jurnal Yudisial 10, no. 3 (2017)

Machmud, Syahrul.”Penegakan hukum dan perlindungan hukum bagi dokter yang diduga melakukan medikal malpraktek.” Mandar Maju, 2008

Tendean, Michael Eman. "PERTANGGUNGJAWABAN RUMAH SAKIT TERHADAP TINDAKAN DOKTER YANG MELAKUKAN MALPRAKTEK." LEX ET SOCIETATIS 7, no. 8 (2020)

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153).

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144.

Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 12 Tahun 2020, hlm. 1-12