KONTRIBUSI NEGARA DAN ADVOKAT DALAM PEMBERIAN BANTUAN HUKUM KEPADA ORANG MISKIN

Oleh:

Ni Kadek Lidya Yurisvina Arianto, Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, e-mail: lidyayurisvina@gmail.com

I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, e-mail: dewasugama@ymail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memahami konsep “orang miskin” yang layak diberikan bantuan hukum, serta untuk mengetahui pengaturan ius contituendum terkait kontribusi advokat dan negara dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Indonesia negara berkembang yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum. Melalui amandemen ke-4 maka diatur jaminan atas hak asasi manusia merupakan hak setiap warga negara juga menjamin adanya persamaan dihadapan hukum. Kajian dalam tulisan ini merupakan penelitian yuridis normative yang berfokus pada kaidah-kaidah dan asas hukum. Dalam karya ilmiah ini akan memakai beberapa pendekatan, antara lain pendekatan Peraturan Perundang-Undangan yang terkait dengan obyek pembahasan (statue approach) serta pendekatan konsep “orang miskin” dan konsep-konsep lain yang terkait dengan obyek pembahasan (conseptual approach). Hasil studi menunjukan bahwa parameter yang digunakan untuk menentukan orang itu miskin atau tidak dan layak untuk mendapatkan bantuan hukum sesuai dengan Undang-Undang Bantuan Hukum adalah kemampuan orang tersebut untuk memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Dengan berlakunya UU Bantuan Hukum justru memperkuat peran advokat dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada orang miskin atau kelompok orang miskin.

Kata Kunci: Bantuan hukum, Miskin, Advokat

ABSTRACT

This study aims to understand the concept of "poor people" who deserve to be given legal aid, and to find out the ius contituendum arrangement related to the contribution of advocates and the state in providing free legal aid. Indonesia is a developing country that claims to be a country based on the law. Through the 4th amendment, the guarantee of human rights is the right of every citizen and guarantees equality before the law. The study in this paper is a normative juridical research that focuses on legal principles and principles. In this scientific paper, several approaches will be used, including the Prevailing Laws approach which is related to the object of discussion (statue approach) and the concept of "the poor" and other concepts related to the object of discussion (conceptual approach). The results of the study show that the parameter used to determine whether a person is poor or not and eligible for legal assistance in accordance with the Legal Aid Law is the person's ability to fulfill basic rights properly and independently. With the enactment of the Legal Aid Law, it actually strengthens the role of advocates in providing free legal assistance to the poor or groups of poor people.

Key Words: Legal Aid, Poor, Advocates.

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Indonesia ialah salah satu negara berkembang yang merupakan negara hukum, dinyatakan secara tegas melalui Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945

(selanjutnya disebut dengan UUD NRI 1945) pasal 1 ayat (3). Pasal a quo memberikan penegasan bahwa negara hukum merupakan jati diri atau hakikat keberlangsungan suatu negara (dalam hal ini Indonesia). Melalui ranah ilmu negara dapat dipahami bahwa dalam sebuah konsep negara hukum terkandung beberapa prinsip yang menjadi titik acuan untuk dapat disebut sebagai negara hukum. 1 Parameter yang digunakan agar sebuah negara bisa disebut sebagai negara hukum adalah dengan adanya pengakuan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia, hal ini diungkapkan oleh seorang Julius Stahl.

Landasan konstitusional Negara Indonesia yaitu UUD NRI 1945 yang telah melalui proses perubahan empat kali. Melalui amandemen ke-4 maka diatur jaminan atas hak asasi manusia merupakan hak setiap warga negara sekaligus juga memberikan jaminan atas persamaan dimuka hukum (equality before the law). Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 dirumuskan bahwa “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Persamaan di hadapan hukum juga harus disertai dengan persamaan perlakuan (equal treatment), maksudnya ialah saat ada dua pihak yang bersengketa dating kemuka hakim maka mereka harus diperlakukan sama oleh hakim tersebut (audi et alteram partem). Dengan begitu maka akan memberikan jaminan untuk mengakses keadilan (access to justice) bagi semua orang tanpa membedakan latar belakangnya.

Bantuan hukum merupakan salah satu jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak konstitusional setiap individu yang diberikan oleh negara secara menyeluruh dan adil kepada masyarakat tanpa membedakan status sosial, terutamanya kepada masyarakat kurang mampu ketika menghadapi kasus-kasus hukum. Undang-undang Nomor 16/2011 (selanjutnya disebut Undang-Undang Bantuan Hukum) merupakan produk hukum yang dikeluarkan pemerintah dengan tujuan mengatur tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan bantuan hukum. Peraturan pelaksanaannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 42/2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 1/2018 tentang Para legal dalam Pemberian Bantuan Hukum. Bantuan hukum ialah jasa hukum yang diberikan secara percuma atau gratis kepada penerima bantuan hukum. Penerima bantuan hukum yang dimaksud ialah orang atau sekelompok orang miskin, pemberi bantuan hukum yang dimaksud sesuai dalam pasal 1 angka 3 UU Bantuan Hukum ialah “Lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang biasa memberi layanan bantuan hukum”, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau Biro Bantuan Hukum (BBH) adalah istilah yang dikenal masyarakat sebagai pemberi bantuan hukum.

Pemberian bantuan hukum sangat erat kaitannya dengan profesi advokat, seperti yang diatur pada Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat pasal 22 ayat (1) yang menyatakan bahwa “advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.” Namun, pengajuan bantuan hukum oleh masyarakat belum banyak dilakukan karena masyarakat belum memahami betul tentang Pemahaman Hukum dan kebingungan untuk mengajukan kepada siapa ketika hendak memperoleh bantuan hukum. Di lain sisi, bantuan hukum yang diadakan melalui kegiatan yang dilaksanakan oleh penggiat hukum, dari lembaga bantuan hukum di kampus-kampus, organisasi masyarakat, partai politik,

dan lembaga swadaya masyarakat sering kali terhambat dalam administrasi dan legalisasi praktek bantuan hukum.

Dalam praktiknya, pelaksanaan bantuan hukum melalui pendampingan advokat baru dapat dinikmati apabila masyarakat miskin melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau 5 (lima) tahun atau lebih tersangka dan proses persidangan tetap berlanjut walaupun tanpa hadirnya advokat. Tidak adanya ketentuan dan tidak diberikannya bantuan hukum kepada tersangka dan/atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan tuntutan kurungan kurang dari 5 tahun menyebabkan banyak masyarakat kurang mampu dan/atau miskin tidak didampingi advokat dalam mengikuti proses persidangan.

Mengacu pada uraian diatas, diketahui bahwa pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia belum dilaksanakan dengan baik. Mengingat pentingnya bantuan hukum dalam menciptakan keadilan, menegakkan HAM dan equality before the law, serta mencapai due process of law tentu menjadikan pemberian bantuan hukum hal penting untuk dilaksanakan secara efektif. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka akan dilakukan sebuah tinjauan yuridis terhadap peran negara dan advokat dalam memberikan bantuan hukum kepada orang atau kelompok orang miskin dalam hukum Indonesia.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang sudah dipaparkan diatas maka terdapat beberapa masalah yang akan dikaji sehingga, didapatkan simpulan yang memiliki nilai ilmiah. Adapun permasalahan tersebut antara lain:

  • 1.    Bagaimanakah parameter pengaturan norma yang digunakan agar orang menengah kebawah bisa memperoleh bantuan hukum?

  • 2.    Bagaimanakah pengaturan isu constituendum terkait kontribusi negara dan advokat dalam pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penulisan karya ilmiah ini mempunyai tujuan untuk mengetahui parameter pengaturan norma yang digunakan agar orang menengah kebawah bisa memperoleh bantuan hukum dan untuk memahami pengaturan isu constituendum terkait kontribusi negara dan advokat dalam pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma.

  • II.    Metode Penelitian

Tulisan ini ditulis dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif terhadap norma kabur yang terdapat pada UU Bantuan Hukum yaitu pasal 1 ayat (2) mengenai frase orang miskin, kontribusi yang diberikan oleh advokat selaku penasihat hukum dan pemberi bantuan hukum kepada masyarakat yang telah dirumuskan dalam UU Bantuan Hukum, serta kontribusi negara selaku badan legislative pembentuk undang-undang dan penjamin atas hak asasi manusia atas persamaan di muka hukum. Penelitian yurisdis normatif ialah penelitian terhadap asas hukum dan kaidah hukum. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yaitu bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.2 Dalam karya ilmiah ini akan memakai beberapa pendekatan,

antara lain pendekatan Peraturan Perundang-Undangan yang terkait dengan obyek pembahasan (statue approach) serta pendekatan konsep “orang miskin” dan konsep-konsep lain yang terkait dengan obyek pembahasan (conseptual approach). Bahan hukum primer didapat dari Peraturan Perundang-Undangan terkait dengan hak orang miskin atas bantuan hukum dalam hukum pidana Indonesia, sedangkan bantuan hukum sekunder didapat dari buku dan literatur penunjang lainnya. Bahan yang didapat akan dianalisa dengan berbagai teknik, antara lain deskripsi, komparasi, evaluasi, serta argumentasi. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk memperoleh kesimpulan mengenai keberlakuan peraturan yang menjadi dasar hukum pemberian bantuan hukum kepada orang miskin dan peranan pemerintah serta para advokat dalam pemberian bantuan hukum.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Bantuan hukum terhadap orang menengah kebawah dan parameternya

Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 merumuskan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”, kemudian dalam pasal 28 D ayat (1) dirumuskan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Rumusan pasal-pasal ini mengandung penegasan makna bahwa hak asasi yang berupa kedudukan dan perlakuan yang sama dihadapan hokum melekat pada semua orang. Hak asasi merupakan hak yang bersifat universal, maka dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 6-7 dinyatakan setiap orang berhak atas pengakuan sebagai pribadi di depan hukum, dimanapun ia berada dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa adanya diskriminasi.

“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesua dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”, hal ini dirumuskan pada UU RI No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 17.

Indonesia telah menjamin hak atas perlakuan yang sama di muka hukum bagi setiap individu dilandaskan pada UUD NRI 1945, DUHAM, serta UU HAM tahun 1999. Salah satunya adalah yang tertuang dalam Undang-Undang No.16/ 2011 tentang Bantuan Hukum yaitu memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi orang atau kelompok orang yang menegah kebawah dan kurang mampu. Dalam hal ini bantuan hukum mempunyai pengertian sebagai hak yang dimiliki orang dan/atau golongan menengah kebwah untuk memperoleh akses keadilan serta merupakan kewajiban negara mendukung program bantuan hukum kepada orang miskin dengan dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Konsep bantuan hukum yang dikenal pada umumnya ada dua yakni bantuan hukum dengan konsep tradisional dan bantuan hukum dengan konsep konstitusional. 3 Konsep tradisional bantuan hukum adalah pelayanan hukum yang diberikan kepada masyarakat miskin secara individual, bersifat pasif dengan metode pendekatan sangat formal-legal, yang artinya melihat segala permasalahan hukum semata-mata dari sudut hukum yang

berlaku. Konsekuensi dari konsep tradisional ini terletak pada tujuan dan orientasinya yakni untuk menegakkan keadilan sesuai hukum yang berlaku, kehendak mana yang dilandasi oleh semangat belas kasihan (charity). Konsep yang kedua yaitu konsep konstitusional, bantuan hukum yang diberikan kepada rakyat miskin dilakukan dalam kerangka usaha dan tujuan yang lebih luas, seperti menyadarkan hak-hak masyarakat miskin sebagai subyek hukum; penegakan dan pengembangan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai sendi utama bagi tegaknya negara hukum. Konsep ini bersifat lebih aktif, artinya bantuan hukum diberikan juga kepada kelompok masyarakat secara kolektif.

Secara factual, orang miskin atau kelompok orang miskin mempunyai perbedaan yang mendasar dari segi kesejahteraan social (ekonomi). Keadaan tersebut akan berdampak pada ketidakmampuan mereka untuk menyewa jasa dan memberi honorarium atau upah seseorang untuk melakukan tindakan hukum atas nama mereka. Maka, dapat dipahami bahwa dengan program bantuan hukum secara cuma-cuma diharapkan orang miskin atau kelompok orang miskin tetap mendapatkan jalan untuk memperoleh keadilan di bidang hukum.

Pasal 5 ayat (1) UU Bantuan Hukum mengatur tentang cakupan bantuan hukum yang meliputi pengaturan tentang penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Kemudian, pada ayat (2) dirumuskan bahwa “hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas sandang, pangan, layanan pendidikan, layanan kesehatan, pekerjaam dan berusaha, dan/atau perumahan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian kata “miskin” yaitu tidak berharta; serba kekurangan. Pasal 1 angka 1 Undang-undang no. 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin (selanjutnya disebut dengan UU Penanganan Fakir Miskin) merumuskan:

“Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.”

Berdasarkan beberapa pandangan mengenai fakir miskin dan/atau orang atau kelompok orang miskin maka bisa diperhatikan bahwa ruang lingkup miskin sebagaimana dimaksud dalam UU Bantuan Hukum ialah “orang-orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan dasarnya secara layak dan mandiri, adapun kebutuhan dasar yang dimaksud yakni mencakup sandang, pangan, perumahan, layanan kesehatan, layanan pendidikan, serta mendapat pekerjaan dan berusaha”. Ketidakmampuan secara ekonomi tersebut harus disertai dengan bukti surat keterangan miskin yang dikeluarkan oleh Lurah atau Kepala Desa, dan/atau pejabat sederajat di lingkungan tempat tinggal orang miskin yang menjadi pemohon bantuam hukum.

Peranan lurah/kepala desa tersebut sangat penting guna menentukan layak tidaknya dikeluarannya surat keterangan miskin atas warga yang mengajukan permohonan. Undang-undang Bantuan Hukum dan Undang-undang Penanganan Fakir Miskin maupun peraturan pelaksanaannya tidak memberikan parameter yang jelas mengenai kualifikasi seseorang untuk dapat dikategorikan miskin atau tidak. Apabila parameter miskin diletakkan pada kehidupan sehari-harinya tentunya akan menimbulkan permasalahan obyektifitas surat keterangan yang dikeluarkan. Perihal asset atau kekayaan dalam bentuk asset pemohon hanya dapat diketahui dengan penelusuran mendalam. Meskipun secara fakta miskin atau tidaknya seseorang dapat dinilai dari parameter yang disebutkan tadi, namun bisa saja asset yang dimiliki atau

misalnya sudah diwariskan kepada anaknya walau si anak masih berada dalam satu rumah (tinggal bersama), jelas akan menimbulkan kesulitan bagi lurah atau kepala desa untuk menentukan keputusan kelayakan surat keterangan miskin dikeluarkan.

Dengan UU RI No. 16/2011, maka negara telah turun tangan dalam proses bantuan hukum melalui program pemberdayaan masyarakat disamping juga program penyelesaian masalah hukum. Bentuk bantuan hukum seperti penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan penelitian hukum sejalan pula dengan apa yang Groenendijk dan Sloot nyatakan bahwa penyuluhan hukum merupakan bentuk bantuan hukum preventif yang bertujuan supaya masyarakat mengerti kewajiban dan haknya sebagai warga negara. Konsultasi hukum merupakan bentuk bantuan hukum diagnostic yaitu berupa pemberian nasehat hukum, sedangkan penelitian hukum merupakan bentuk bantuan hukum pembentukan dan pembaharuan hukum yaitu bantuan hukum yang usaha-usahanya lebih ditujukan mengadakan pembaharuan hukum melalui pembentukan undang-undangn dalam arti materiil.4 Diharapkan arah bantuan hukum di Indonesia bertujuan dan ruang lingkupnya lebih luas daripada yang ditawarkan oleh UU RI No. 16/2011, yakni mempunyai fungsi lebih dari sekadar proses penyelesaian sengketa dalam peradilan, juga menaikan kesadaran hukum dan membangun masyarakat yang cerdas hukum yang mengerti pentingnya hukum.

Hakekat dari pemberian bantuan hukum kepada masyarakat kurang mampu adalah mengamalkan keadilan di bidang hukum atas ketidakadilan ekonomi yang mereka miliki. Adnan Buyung Nasution berpendapat bahwa bantuan hukum pada hakikatnya adalah program yang bukan hanya aksi kultural namun juga meliputi aksi struktural yang ditujukan pada perubahan tatanan masyarakat yang tidak adil menuju tatanan masyarakat yang lebih memberi ruang yang nyaman bagi kalangan minoritas.5 Ketimpangan secara struktural bias saja terjadi dalam tatanan masyarakat sehingga membentuk golongan yang sangat rentan untuk memperoleh permasalahan atau ketidak adilan di bidang hukum (contoh: petani, nelayan, buruh, perempuan, anak, dan lain-lain).

Berdasarkan pertimbangan secara filosopis, sosiologis dan yuridis maka pengaturan bantuan hukum yang menjadi hak orang atau kelompok orang tidak mampu yang secara gramatikal merupakan miskin secara ekonomi selayaknya diperluas menjadi miskin secara structural demi terwujudnya masyarakat yang sejahtera secara materiil maupun spiritual. Bantuan hukum yang dimaksud juga tidak hanya sebatas proses penyelesaian sengketa saja, tetapi juga meliputi upaya-upaya untuk mewujudkan kemudahan dan pemerataan akses bantuan hukum disertakan pula penyuluhan hukum, konsultasi hukum, penelitian hukum dan pemberdayaan masyarakat.

  • 3.2    Kontribusi negara dan advokat dalam pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma

Pasal 1 angka 1 UU Advokat merumuskan bahwa “Advokat ialah orang yang mempunyai profesi sebagai pemberi jasa hukum, meliputi didalam maupun diluar pengadilan, serta bertugas untuk menyelesaikan persoalan konsumen/klien secara litigasi maupun non-litigasi.” Sejak dahulu, keberadaaan advokat selalu ada

ambivalensi, artinya advokat memiliki perasaan tidak sadar yang saling bertentangan terhadap situasi yang sama atau terhadap seseorang pada waktu yang sama. Frans Hendra Winata menyatakan bahwa, tugas advokat adalah mengabdikan dirinya kepada masyarakat sehingga dia dituntut untuk selalu ikut campur atau ambil bagian dalam penegakan hak asasi manusia, dan dalam menjalankan profesinya advokat bebas untuk membela siapapun, tidak terikat pada perintah klien dan tidak pandang bulu siapa lawan kliennya, entah itu dari golongan kuat, pejabat, pengusaha, bahkan rakyat miskin sekalipun.6

Salah satu hal yang menarik perhatian adalah mengenai peran advokat bukan hanya sebagai spesialisasi dan hubungan antara warga negara dan lembaga-lembaga pemerintahan, dalam negara modern, tanpa ada yang mengisi fungsi itu secara professional, masyarakat akan lebih mudah ditindas dan dipermainkan oleh penguasa. Fungsi advokat tidak hanya saat berperkara di pengadilan, namun lebih dari itu seperti mewakili kepentingan warga negara dalam hubungannya dengan pemerintah. Profesi advokat mengerti akan bentuk, lembaga dan aturan negara, dan bertugas untuk mewakili warga negara apabila bertentangan dengan sesame warga negara maupun dengan negara langsung. Dengan kondisi yang sedemikian rupa, banyak advokat yang muncul dalam politik urusan social, Pendidikan, perjuangan perubahan politik atau ekonomi, dan sering masuk menjadi pimpinan pergerakan reformasi.

Kontribusi signifikan dari profesi advokat terhadap bantuan hukum cuma-cuma ditunjukan oleh sejarah Indonesia. Lembaga bantuan hukum yang tumbuh saat ini tidak lepas dari peran advokat, bahkan organisasi advokat menjadikan bantuan hukum cuma-cuma sebagai tolak ukur atas keberhasilannya dalam program pengabdian kepada masyarakat. Namun bantuan hukum yang diberikan advokat Sebagian besar dilatar belakangi oleh sikap kedermawanan (charity), sehingga hanya sedikit advokat yang mendasari kegiatan tersebut pada tujuan fair trial. Hal ini menyebabkan proses bantuan hukum dan kelembagaan bantuan hukum berjalan tersendat dan tidak kunjung mendatangkan hasil sebagai gerakan kolektif, serta rendahnya kualitas jasa hukum yang diberikan.

Upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan advokat dalam pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma telah diakomodir dengan dikeluarkannnya PP Republik Indonesia tahun 2008 tentang Bantuan Hukum dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 10/2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuam Hukum, disamping Bantuan Hukum yang mengatur tmengenai kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum bagi orang atau kelompok orang miskin. Namun, upaya tersebut merupakan injeksi sesaat yang hanya mampu mengatasi model bantuan hukum secara individual dan konvensional. Sehingga, perwujudan bantuan hukum dengan model kesejahteraan akan tersendat perjalanannya.

Dengan diberlakukannya UU Bantuan Hukum, peranan negara dalam mewujudkan model bantuan hukum kesejahteraan akan mudah tercapai. Secara filosofis UU Bantuan Hukum dapat memperluas dan mempermudah akses masyarakat terhadap hukum dan keadilan. Saat ini, tercatat sekitar 524 (lima ratus dua puluh empat) Organisasi Bantuan hukum yang telah terakreditasi dan terverifikasi dengan total advokat sebanyak 2.557 (dua ribu lima ratus lima puluh tujuh) advokat. Jumlah tersebut masi sangat minim jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia,

terlebih lagi persebaran Organisasi Bantuan Hukum pada Kabupaten/Kota belum merata. Ada sekitar 512 (lima ratus dua belas) Kabupaten/Kota dari 514 (lima ratus empat belas) Kabupaten/Kota yang telah memiliki Organisasi Bantuan Hukum di wilayahnya.7 Permasalahan persebaran jumlah advokat yang tidak merata di seluruh Indonesia dapat diatasi dengan peran dosen atau tenaga pengajar, para legal, dan mahasiswa fakultas hukum untuk melaksanakan pelayanan hukum secara cuma-cuma. Pasal 3 huruf c UU Bantuan Hukum merumuskan bahwa penyelenggaraan bamtuan hukum memiliki tujuan untuk kepastian penyelenggaraam bantuan hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, diakuinya para legal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum untuk memberi bantuan hukum dan beracara dalam proses peradilan sejalan dengan tujuan pada pasal tersebut.

Dalam UU Bantuan Hukum, obyek yang diatur sebagai pemberi bantuan hukum ialah lembaga-lembaga bamnuan hukum atau organisasi kemasyarakatan, sehingga bersifat kelembagaan dan kolektif alhasil peranannya dalam memberikan bantuan dan menyatakan pendapat dalam proses pembelaan perkara yang menjadi tanggungjawabnya dalam sidang pengadilan hukum dapat lebih maksimal. Berbeda dengan gerakan advokat sejatinya bersifat individual dan bukan gerakan kolektif sehingga kualitas bantuan hukum yang dihasilkan rendah. Namun, dengan berlakunya UU Bantuan Hukum bukan berarti kewajiban advokat dalam memberikan bantuan hukum terhapuskan. Dalam Pasal 6 ayat (2) UU Bantuan Hukum ditegaskan bahwa pelaksanaan bantuan hukum oleh pemberi bantuan hukum ini tidak memgurangi kewajiban profesi advokat untuk melaksanakan bantuan hukum berasarkan UU RI no. 18 tahun 2003 tentang Advokat.

UU Bantuan Hukum yang diberlakukan di Indonesia menguatkan peran advokat dalam melaksanakan pemberian bantuan hukum secara sukarela dan cuma-cuma, sehingga peran dan kewajiban advokat yang diatur dalam UU RI No. 18 tahun 2003 tentang Advokat dapat berjalan lurus dengan peran negara dalam menyelenggarakan program bantuan hukum sebagaimana dimaksudkan dalam UU Bantuan Hukum.

  • IV.    Penutup

    • 4.1.    Kesimpulan

Berdasarkan kajian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka didapat kesimpulan yaitu: Parameter yang digunakan untuk menentukan orang itu miskin atau tidak serta layak untuk mendapatkan bantuam hukum sesuai dengan UU Bantuan Hukum adalah kemampuan orang tersebut untuk memenuhi hak dasar (hak atas sandang, pangan, perumahan, layanan Pendidikan, layanan kesehatan, serta berusaha dan mendapat pekerjaan) secara layak dan mandiri. Kata “miskin” masih menimbulkan adanya kerancuan serta multitafsir dalam praktiknya, sehingga masih menjadi kendala dalam pemberian bantuan hukum kepada orang miskin atau kelompok orang miskin secara cuma-cuma. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa parameter yang digunakan merupakan norma kabur. Kontribusi negara ialah membentuk sebuah regulasi yaitu UU Bantuan Hukum yang berisikan konsep bantuan hukum yang tidak hanya untuk menjamin dan memenuhi hak bagi orang atau kelompok orang miskin untuk mengakses keadilan tetapi juga untuk membentuk

kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dapat dilaksanakan menyeluruh di wilayah Negara Republik Indonesia, serta mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan berlakunya UU Bantuan Hukum memperkuat kontribusi advokat dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma dan/atau gratis kepada orang miskin atau kelompok orang miskin. Sehingga, kewajiban advokat yang diatur dalam UU Advokat berjalan beriringan dengan UU Bantuan Hukum yang dibentuk pemerintah yaitu untuk bantuan hukum untuk masyarakat sesuai dengan yang diharapkan.

  • 4.2.    Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat dikemukakan dua saran yang ditujukan kepada Badan Legislatif yang memiliki fungsi untuk membentuk peraturan perundang-undangan, yaitu: Memperjelas frase “orang miskin” dalam UU Bantuan Hukum agar tidak menimbulkan kerancuan atau bahkan multitafsir dalam penerapannya; Mempertegas aturan dan praktis advokat dan negara untuk berkontribusi dalam pelaksanaan bantuan hukum cuma-cuma agar dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat miskin yang membutuhkan bantuan. Hasil dari pengaturan tentang bantuan hukum kepada orang miskin atau kelompok orang miskin diharapkan dapat berjalan secara efektif, efisien, dan mendapatkan hasil yang maksimal dan memuaskan.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal

Angga, Angga, and Ridwan Arifin. "Penerapan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat

Kurang Mampu di Indonesia. " DIVERSI: Jurnal Hukum 4, no. 2 (2019): 218-236.

Budijanto, Oki Wahju. "Peningkatan Akses Bantuan Hukum Kepada Masyarakat Miskin (Intensify Access of Law AIDS to the Poor). " Jurnal Penelitian Hukum DE JURE 16, no. 4 (2017): 463-475.

Dedi, Yustinus. "Implementasi Pemberian Bantuan Hukum Kepada Masyarakat Miskin dalam Rangka Mencari Keadilan Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (Studi di Kabupaten Bengkayang). " Jurnal Nestor Magister Hukum 2, no. 2 (2016): 209940.

Fauzi, Suyogi Imam, and Inge Puspita Ningtyas. "Optimalisasi pemberian bantuan hukum demi terwujudnya access to law and justice bagi rakyat miskin." Jurnal Konstitusi 15, no. 1 (2018): 50-72.

Handayani, Tri Astuti. "Bantuan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu dalam Perspektif Teori Keadilan Bermartabat." Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 9, no. 1 (2015): 15-24.

Harpa, Akhdiari. "ANALISIS YURIDIS PEMBERIAN BANTUAN HUKUM BAGI MASYARKAT MISKIN DALAM MEWUJUDKAN AKSES KEADILAN TERHADAP MASYARAKAT MISKIN. " Tadulako Master Law Journal 3, no. 2 (2019): 113-124.

Kusumawati, Mustika Prabaningrum. "Peranan dan Kedudukan Lembaga Bantuan Hukum sebagai Access to Justice bagi Orang Miskin. " Arena Hukum 9, no. 2 (2016): 190-206.

Lasmadi, Sahuri. "Peran Advokat Dalam Pendampingan Hukum. " INOVATIF| Jurnal Ilmu Hukum 7, no. 2 (2014).

Libra, Robert, and Wilda Arifalina. "Penyalahgunaan Surat Keterangan Tidak Mampu Sebagai Syarat Penerima Bantuan Hukum di Riau." Jurnal Hukum Respublica 16, no. 2 (2017): 350-363.

Nasution, Isnandar Syahputra. "Urgensi Peran Pengadilan dalam Memberikan Pelayanan Bantuan Hukum terhadap Orang Miskin Sesuai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum." Jurnal Hukum dan Peradilan 4, no. 1 (2015): 171-188.

Pujiarto, Iwan Wahyu, Syafruddin Kalo, Mohammad Eka Putra, and Edy Ikhsan. "Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum." USU Law Journal 3, no. 2 (2015): 87-96.

Ratu, Yosefina Selni. "KAJIAN YURIDIS TERHADAP IMPLEMENTASI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT MISKIN." LEX ET SOCIETATIS 7, no. 3 (2019).

Saefudin, Yusuf. "Implementasi Pemberian Bantuan Hukum Bagi Rakyat Miskin Di Jawa Tengah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. " Jurnal Idea Hukum 1, no. 1 (2015).

Salda, Muhammad, Sanusi Bintang, and Teuku Muttaqin Mansur. "Hak Bantuan Hukum Prodeo dalam Hukum Islam dan Hukum Nasional." Kanun Jurnal Ilmu Hukum 22, no. 1 (2020): 179-196.

Sari, Nani Widya, Sugeng Samiyono, Guntarto Widodo, and Dian Ekawati. "PEMBERIAN BANTUAN HUKUM BAGI RAKYAT MISKIN SEBAGAI IMPLEMENTASI ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW. " jURNAL SURYA KENCANA DUA DINAMIKA MASALAH HUKUM DAN KEADILAN 6, no. 2 (2020).

Suhayati, Monika. "PEMBERIAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA OLEH ADVOKAT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT (FREE LEGAL AID BY ADVOCATE UNDER THE LAW NUMBER 18 YEAR 2003 REGARDING ADVOCATES)." Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan 3, no. 2 (2016): 227-248.

Supriyatna, Dadang.  "Bantuan Hukum yang Ideal Bagi Masyarakat Tidak

Mampu." JURNAL ILMIAH LIVING LAW 10, no. 1 (2018): 11-22.

Sutrisni, Ni Komang. "Tanggung Jawab Negara Dan Peranan Advokat Dalam Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Masyarakat Tidak Mampu." Jurnal Advokasi 5, no. 2 (2015).

Taufik, Ade Irawan. "Sinergisitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat dan Negara Dalam Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 2, no. 1 (2013): 47-63.

Wiratraman, Herlambang P. "Mempertimbangkan Kembali Orientasi Gerakan Bantuan Hukum Indonesia. " Veritas Et Justitia 2, no. 2 (2016): 466-487.

Buku

Kadafi, Binziad. "Advokat Indonesia Mencari Legitimasi: Studi tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. " Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (2001).

Putra, Ida Bagus Wyasa. "Analisis Konteks Dalam Epistemelogi Ilmu Hukum: Suatu Model Penerapan Dalam Pengaturan Perdagangan Jasa Pariwisata Internasional Indonesia." Universitas Udayana, Jimbaran (2015).

Soekanto, Soerjono, and Sri Mamudji. Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat. RajaGrafindo Persada, 2001.

Sunggono, Bambang, and Aries Harianto. Bantuan hukum dan hak asasi manusia. Mandar Maju, 1994.

Winarta, Frans Hendra. “Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum.” PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (2009).

Internet

Priliasari, Erna dan Nanda Narendra. “BPHN SUSUN STANDAR LAYANAN MINIMUM BANTUAN HUKUM BAGI ORANG MISKIN.” https://bphn.go.id/. (2019). (diakses pada 3 Oktober 2020)

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2003 tentang Advokat

Undang-undang Republik Indonesia No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir

Miskin (selanjutnya disebut dengan UU Penanganan Fakir Miskin)

Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM)

Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 11, hlm. 1-11