PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG

PERIKANAN (ILLEGAL FISHING)

Rionaldo Kristayuda, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

I Ketut Rai Setiabudhi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: [email protected]

DOI : KW.2020.v09.i12.p04

ABSTRAK

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji landasan atau dasar teori yang digunakan untuk dapat meminta pertanggung jawaban kepada korporasi yang diduga kuat telah melakukan tindak pidana di bidang perikanan dan bentuk pertanggung jawaban pidana korporasi yang diatur dalam UU Perikanan. Metode penelitian hukum normatif pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) penulis pilih dalam melakukan penelitian. Hasil studi menunjukkan bahwa beragam doktrin atau ajaran tentang dasar pembenar untuk membebankan pertanggung jawaban pidana kepada korporasi antara lain pertanggung jawaban mutlak (strict liability), pertanggung jawaban vikarius (vicarious liability), identifikasi (doctrine of identification), dan delegasi (doctrine of delegation). Korporasi sebagai subjek tindak pidana di bidang perikanan (IUU Fishing) diatur secara eksplisit pada ketentuan Pasal 101 UU Perikanan. Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi yang terdapat dalam UU Perikanan masih menganut prinsip bahwa pengurus lah yang bertanggung jawab apabila korporasi melakukan tindak pidana. Pengaturan tersebut memiliki kelemahan sebab ada potensi korporasi mengulangi perbuatan illegal fishing. UU Perikanan juga tidak menentukan batas-batas dalam hal apa tindak pidana dilakukan oleh korporasi. Selain itu, konsep pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan tindak pidana di bidang perikanan telah diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perikanan.

Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Korporasi, Tindak Pidana Perikanan.

ABSTRACT

The purpose of this paper is to examine the theoretical foundation or basis used to be able to hold accountable to corporations suspected of having committed criminal acts in the field of fisheries and forms of corporate criminal liability provided for in the Fisheries Law. The research method used in this study is a normative legal research method and the use of the approach used is the statutory approach by making Law Number 31 of 2004 concerning Fisheries as the object of study. The results of the study show that various doctrines or teachings on the justification for imposing criminal liability on corporations include strict liability, vicarious liability, doctrine of identification, and doctrine of delegation. The regulation of corporations as subject to criminal offenses in the field of fisheries (IUU Fishing) is set explicitly in the provisions of Article 101 of the Fisheries Law. The concept of corporate criminal liability contained in the Fisheries Act still adheres to the principle that the management is responsible if the corporation commits a criminal offense. This arrangement has weaknesses because there is the potential for corporations to repeat illegal fishing. The Fisheries Law also does not set boundaries in terms of what criminal acts are committed by corporations. In addition, the concept of criminal liability for corporations that commit criminal acts in the fisheries sector is regulated in the Draft Law on Fisheries.

Key Words: Criminal Liability, Corporations, IUU Fishing.

  • I.    Pendahuluan

    1.    1. Latar Belakang Masalah

Indonesia menjadi negara yang dikaruniai kekayaan alam yang sangat berlimpah sehingga memiliki makna penting bagi segenap masyarakat karena kekayaan alam tersebut menjadi sumber kehidupan sekaligus juga sebagai sarana pemersatu dalam berbagai bidang. Sebagian besar wilayah Indonesia merupakan perairan dan mempunyai garis pantai terpanjang di dunia. Selain itu, Indonesia diuntungkan dari segi geografis lantaran berada dalam wilayah yang sangat strategis yakni berada di antara Benua Asia dan Benua Australia serta berada di antara Samudera Asia dan Samudera Pasifik. Dengan posisi yang strategis seperti itu, maka tidak mengherankan Indonesia menjadi lalu lintas perdagangan dunia serta sangat bergantung pada bidang kelautan.

Kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia khususnya sumber daya alam yang berada di wilayah laut meliputi sumber daya hayati dan sumber daya non-hayati yang tentunya memberikan manfaat dalam kehidupan masyarakat. Sumber daya alam yang berada di laut Indonesia dapat ditemukan mulai dari berbagai tempat. Beragam tempat ditemukannya sumber daya alam yang terdapat di wilayah laut berpotensi besar dalam menunjang pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab itu, maka penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk turut serta dalam mengelola, menjaga, memanfaatkan, dan melestarikan kekayaan laut yang berada dalam yurisdiksi Indonesia.

Dilihat dari sisi historis, semangat pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan laut Indonesia baru dimulai sejak berakhirnya era Orde Baru. Pada mulanya, sektor pertanian menjadi faktor terbesar dalam menunjang perekonomian nasional sehingga sektor perikanan kurang terlihat andilnya dalam pembangunan ekonomi. Namun, berakhirnya Orde Baru dan tercetusnya era reformasi telah membawa perubahan cara pandang dan kebijakan pemerintah yang ditandai dengan pengembangan dan pelestarian sektor perikanan yang berpotensi menjadi penggerak ekonomi di samping sektor pertanian.1

Upaya yang dilakukan Indonesia untuk memajukan kesejahteraan bagi segenap rakyat melalui sektor perikanan tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Sebab, di wilayah perairan Indonesia telah ditemukan masalah rumit yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan dan praktik pengambilan sumber daya alam laut yang menyimpang.2 Salah satu praktik tersebut adalah penangkapan yang melanggar hukum (illegal), tidak dilaporkan (unreported), dan tidak diatur (unregulated) di bidang perikanan tangkap (IUU Fishing). Praktik IUU Fishing dapat mengganggu keselamatan sumber daya laut dan membawa akibat yang berbahaya karena merusak kelestarian pengelolaan pesisir dan laut. Permasalahan tersebut menjadi pusat perhatian tidak saja bagi bagi negara Indonesia melainkan juga menjadi

masalah bagi tiap-tiap negara yang memiliki wilayah perairan.3Kegiatan menangkap ikan secara melawan hukum yang terjadi di Indonesia memberikan dampak yang buruk karena menimbulkan kerugian negara baik dari aspek ekonomi hingga aspek sosial. Selain itu, penangkapan ikan secara illegal juga dapat merusak ekosistem laut. Dengan demikian, maka diperlukan usaha-usaha untuk memberantas praktik illegal fishing secara sungguh-sungguh yang dimulai dengan komitmen dan kerja sama yang kuat antar institusi terkait. Kerja sama antar lembaga terkait sangat diperlukan agar pemberantasan tindak pidana perikanan dapat dilakukan dengan cara yang efektif dan efisien sehingga pengembalian kerugian negara berjalan optimal.

Dalam rangka menanggulangi tindak pidana perikanan, maka aspek terpenting yang dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan pembenahan terhadap substansi hukum di bidang perikanan. Salah satu dasar pemikiran perlunya pembenahan aspek hukum dalam bidang perikanan adalah karena penegakan hukum di bidang perikanan masih dirasa kurang mendapat perhatian/penanganan yang serius jika dibandingkan dengan perkara tindak pidana khusus lainnya. Kerusakan sumber daya perikanan memiliki dampak serius dan mengkhawatirkan terhadap kelestarian lingkungan bahkan kerusakan yang timbul akibat praktik illegal fishing sulit dilihat secara kasat mata.4 Pemulihan kerusakan lingkungan (terumbu karang dan ekosistemnya) akibat aktivitas penangkapan ikan ilegal mungkin membutuhkan waktu puluhan tahun untuk pulih (terbarukan).5

Pembenahan dari aspek substansi hukum di bidang perikanan khususnya terkait dengan illegal fishing telah diwujudkan melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 (UU Perikanan). Instrumen hukum di bidang perikanan tersebut mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana di bidang perikanan. Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam UU Perikanan dilatarbelakangi pada kenyataan bahwa tindak pidana di bidang perikanan dalam prakteknya tidak hanya melibatkan individu semata. Sebab, korporasi sebagai pelaku dalam bidang perikanan juga dinilai turut andil dalam praktek illegal fishing sehingga patut dimintakan pertanggung jawaban pidana. Korporasi telah hadir dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Maka dari itu kehadiran korporasi telah memberikan sumbangsih dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemajuan pembangunan nasional. Di sisi lain, korporasi juga ternyata melakukan tindakan kriminal yang tentunya membawa akibat yang buruk bagi negara dan masyarakat. Kegiatan penangkapan ikan ilegal yang dilakukan korporasi cenderung meningkat dan menjadi lebih rumit. Dari masalah dimaksud, maka penulis akan mengkaji bagaimana cara menentukan pertanggung jawaban pidana korporasi serta melakukan telaah berkaitan dengan bentuk tanggung jawab korporasi apabila melakukan tindak pidana perikanan dengan mengangkat judul “PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN (ILLEGAL FISHING)”. Sebelumnya telah terdapat beberapa penelitian terdahulu yang mengulas tentang pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan tindak

pidana di bidang perikanan seperti jurnal dari penulis Pratiwi Yuniarti Dwi yang berjudul "Pertanggung jawaban pidana illegal fishing korporasi dalam cita-cita Indonesia poros maritim dunia dan penulis Situmorang Jegesson P., dan Ameik Soemarmi Pujiyono yang berjudul "Pertanggung jawaban pidana korporasi dalam menanggulangi tindak pidana perikanan”. Bila dibandingkan, penelitian penulis merupakan penelitian yang orisinil lantaran penulis juga mengulas tentang bagaimana pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan tindak pidana di bidang perikanan di masa yang akan datang.

  • 1.    2. Rumusan Masalah

  • 1.    Apa dasar korporasi dapat dimintakan pertanggung. jawaban pidana?

  • 2.    Bagaimana bentuk pertanggung .jawaban pidana korporasi dalam konteks illegal fishing berdasarkan UU Perikanan?

  • 3.    Bagaimana pengaturan tentang konsep pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan tindak pidana perikanan dalam tataran ius constituendum?

  • 1.    3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji landasan atau dasar teori yang digunakan untuk dapat menuntut pidana korporasi yang diduga kuat telah melakukan delik di bidang perikanan dan bentuk pertanggung jawaban pidana korporasi yang diatur dalam UU Perikanan maupun dalam tataran ius constituendum.

  • II.    Metode Penelitian

Metode penelitian hukum normatif menjadi pilihan penulis dalam mengkaji permasalahan yang telah disebutkan pada rumusan masalah. Metode tersebut digunakan untuk menelaah peraturan perundang-undangan apakah terdapat kekosongan hukum, norma yang tidak jelas, atau norma yang s aling b ertentangan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan in casu UU Perikanan. Dalam mempertajam analisis dan argumentasi hukum, penulis juga menggunakan bahan hukum lainnya berupa buku karya ahli dan artikel jurnal yang secara khusus mengulas pertanggung jawaban pidana korporasi secara teoretis maupun praktis.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    3.    1. Dasar Teori Pertanggung.jawaban Pidana Korporasi

Aktivitas korporasi sebagai badan hukum (artificial person) telah memasuki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Secara faktual korporasi telah memberikan k ontribusi yang besar terhadap p ertumbuhan ekonomi suatu negara, bahkan dunia. Namun di sisi lain, berbagai tindakan korporasi juga menimbulkan dampak merugikan bagi masyarakat, seperti kerusakan lingkungan, harga barang yang tinggi bagi konsumen sebagai konsekuensi dari praktik persaingan usaha tidak sehat, berbagai modus perilaku curang dan korupsi yang merugikan masyarakat dan negara, serta berbagai tindakan merugikan lainnya. Pada beberapa kasus, tindakan korporasi bahkan menimbulkan kematian bagi manusia dan secara massif mengakibatkan kerusakan alam dan lingkungan sehingga dalam jangka panjang dapat mengancam keberlangsungan hidup manusia.

Dalam hukum pidana konvensional, subjek hukum yang bertanggung jawab terhadap suatu tindak pidana hanyalah manusia (natuurlijke person). Pertanggung jawaban pidana oleh korporasi sebagai sebuah konsep pada awalnya mendapatkan tentangan dari para ahli yang meyakini bahwa mens rea tidak dimiliki oleh korporasi dengan bersandar pada ajaran kesalahan yang dianut dalam hukum pidana yaitu “actus non-facit reum, nisi mens sit rea” atau “tiada pidana tanpa kesalahan”.6 Berdasarkan hal tersebut, maka terlihat bahwa hanya manusia yang memiliki kesalahan sehingga tidak mungkin korporasi dituntut pidana. Meskipun demikian, pada perkembangannya sebagian besar negara-negara di dunia telah menerima korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dibebankan pertanggung jawaban pidana. Pendapat yang menyetujui korporasi sebagai subjek hukum dalam pertanggung jawaban pidana umumnya bersandar pada kenyataan atau fakta telah berbicara (res ipsa loquitur) bahwa korporasi kerap melakukan perbuatan yang merugikan atau membahayakan masyarakat meskipun hal ini direpresentasikan melalui perbuatan orang-orang yang merupakan pengurusnya.7 Terlebih lagi perbuatan tersebut memang ditujukan untuk m emberikan m anfaat dan k euntungan bagi k orporasi.

Pada awalnya, hanya manusia saja yang dipandang sebagai subjek tindak pidana dalam hukum pidana karena manusia memiliki kesalahan dan dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana. Pandangan yang demikian kemudian berubah karena disadari atau tidak, korporasi juga dapat dituntut pidana apabila memang terbukti melakukan perbuatan pidana. Namun, berkaitan dengan perubahan paradigma tersebut mulai muncul pertanyaan yang mendasar. Pertanyaan mendasar tersebut pada pokoknya adalah dalam hal apa atau teori apa yang menjadi pedoman dalam menentukan pertanggun jawaban pidana korporasi atas tindak pidana yang dilakukan. Untuk menjawab hal tersebut, maka lahirlah beragam doktrin atau ajaran yang berusaha menjawab mengapa korporasi dapat dipidana:

P ertanggungjawaban M utlak (Strict Liability)

Berdasarkan ajaran ini, korporasi dapat dipidana atas delik yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja dalam lingkungan korporasi tanpa mempersoalkan apakah terdapat kesalahan (sengaja atau lalai) pada diri pelaku tindak pidana.8 Dalam praktik peradilan, ajaran ini hanya diterapkan pada kasus yang ancaman pidananya masih tergolong ringan. Selain itu, doktrin ini juga dapat digunakan dalam menyelesaikan perkara pidana yang menyangkut kepentingan umum seperti bidang kesehatan dan lingkungan.

Pertanggung jawaban Vikarius (Vicarious Liability)

Ajaran ini berpandangan bahwa seseorang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana atas delik yang diperbuat orang lain. Model pertanggung jawaban ini hanya dapat diterapkan apabila terdapat hubungan yang bersifat vertikal antara orang yang d ibebani p ertanggungjawaban pidana dengan orang yang m elakukan t indak p

idana. Selain itu, konsep ini juga diterapkan apabila perbuatan yang dilakukan masih dalam lingkup pekerjaan.

Ajaran Identifikasi (Doctrine of Identification)

Ajaran identifikasi ini bertitik tolak dari pemikiran bahwa pengurus korporasi merupakan representasi dari korporasi itu sendiri sehingga apapun tindakan yang dilakukan oleh pengurus juga dipandang sebagai tindakan dari korporasi. Namun, tindakan yang dilakukan oleh pengurus dibatasi pada perbuatan yang tidak keluar dari maksud dan tujuan korporasi yang tercermin dalam anggaran dasar. Selain itu, perbuatan pengurus dimaksud juga sesuai dengan kewenangan yang telah ditentukan baik dalam peraturan perundang-undangan maupun anggaran dasar dari korporasi yang bersangkutan. Doktrin ini pada pokoknya mengandung arti bahwa korporasi dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh pengurus dari korporasi atau orang-orang yang secara struktural maupun fungsional memiliki peran dan kedudukan yang penting dalam menentukan kebijakan korporasi. Dalam beberapa literatur, pengurus atau pihak yang memiliki kedudukan dan peran penting dalam korporasi disebut dengan istilah directing mind.9

Ajaran Delegasi (Doctrine of Delegation)

Berdasarkan doktrin ini, k orporasi bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang yang menjalankan pendelegasian wewenang yang diberikan oleh orang lain. Artinya, ada penyerahan wewenang dari seseorang kepada orang lain dengan maksud agar orang yang menerima wewenang melakukan tindakan untuk dan atas nama pemberi wewenang. Dengan demikian, pemberi wewenang tidak dapat lepas dari tanggung jawab dan tidak dapat berdalih dengan alasan bahwa ia telah menyerahkan kewenangan yang dimilikinya kepada orang lain. Terlebih lagi, secara hukum orang yang menerima delegasi atau kuasa terikat dengan pemberi kuasa sepanjang orang yang menerima kuasa tidak bertindak di luar dari apa yang sudah didelegasikan. Kebijakan hukum telah pula menentukan bahwa pemberian delegasi tidak dapat dijadikan sebagai alasan pemaaf bagi pemberi delegasi.10

  • 3.    2. Bentuk Pertanggung jawaban Pidana Korporasi dalam UU Perikanan

Terjadinya illegal fishing di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti tingginya permintaan ikan, baik dari dalam maupun luar negeri yang bisa disebabkan karena berkurangnya sumber daya ikan di luar negeri. Selain itu, aspek yang menjadi penyebab terjadinya illegal fishing adalah hukum. Kelemahan dalam mengawasi dan menegakkan hukum di laut mengakibatkan para pelaku illegal fishing

terus melakukan penangkapan ikan secara tidak sah tanpa rasa takut akan dikenai sanksi hukum.11

P enangkapan ikan secara illegal b erarti segala bentuk k egiatan p enangkapan ikan yang melanggar ketentuan dalam perundangan tentang perikanan. Illegal fishing juga dapaat diartikan sebagai k egiatan p enangkapan ikan oleh n egara t ertentu di perairan tidak termasuk wilayahnya dan berlawanan dengan hukum dari negara yang bersangkutan.

Dalam praktiknya, terdapat berbagai modus yang digunakan untuk melakukan illegal fishing. Modus operandi illegal fishing yang sering ditemukan di wilayah perairan antara lain sebagai berikut12:

  • a.    penggunaan flags of convenience. Modus ini dilakukan dengan cara menggunakan bendera pada kapan padahal tidak ada hubungan antara pemilik kapal dengan negara yang dijadikan sebagai bendera. Pelaku menggunakan cara ini dengan tujuan mengurangi biaya operasi kapal, mendapatkan pengawasan yang longgar, dan mengurangi kewajiban-kewajiban tertentu. Melalui modus ini, pelaku berpotensi melakukan penggantian bendera negara berkali-kali.

  • b.    penggunaan ports of convenience. Modus ini dilakukan dengan cara mendaratkan atau menempatkan hasil tangkapan illegal di pelabuhan yang tingkat pengawasannya rendah dan memiliki sistem pencatatan yang buruk.

  • c.    transshipment (alih muat di laut). Modus ini dilakukan dengan cara memfasilitasi kegiatan illegal fishing dengan cara memindahkan hasil tangkapan ke kapal yang lain.

Modus operandi illegal fishing sebagaimana tersebut di atas, dapat dilakukan baik oleh orang perseorangan ataupun korporasi. Terkait dengan korporasi, terdapat dua pandangan yang mencoba mengartikan siapa yang dimaksud dengan korporasi dalam hukum pidana. Pertama, kalangan yang mengemukakan bahwa pengertian korporasi hanya terbatas pada badan hukum karena istilah korporasi hanya penggantian nama dari badan hukum yang dikenal dalam ranah hukum perdata. Kedua, kalangan yang berpandangan bahwa korporasi meliputi baddan huku.m dan buk.an bad.an huku.m. Dalam UU Perikanan, pengertian korporasi mengikuti pandangan yang kedua sebagaimana telah dikemukakan di atas.

Korporasi sebagai subjek tindak pidana di bidang perikanan (IUU Fishing) diatur secara eksplisit pada ketentuan Pasal 101 UU Perikanan yang pada pokoknya mengatur jika korporasi melakukan delik di bidang perikanan, maka pengurus yang dituntut pidana dengan ketentuan pidana denda ditambah sepertiga. Pengaturan yang demikian menandakan bahwa konsep yang digunakan adalah korporasi sebagai pelaku dan pe.ngurus yang b.ertanggung j.awab. Sebagaimana doktrin hukum pidana korporasi, konteks pertanggung jawaban pidana terhadap korporasi terdapat dalam tiga bentuk. Pertama, pengurus sebagai pelaku dan korporasi yang dibebani tanggung jawab. Kedua, korporasi sebagi pelaku dan pengurus yang dibebani tanggung jawab. Ketiga, korporasi sebagai pelaku sekaligus yang dibebani tanggung jawab. Pendapat

tersebut dilengkapi Sutan Remi Sjahdeini dengan menambahkan satu konteks, yaitu pengurus dan korporasi sama-sama sebagai pelaku dan juga sama-sama bertanggung jawab.13

Pengaturan dalam UU Perikanan tersebut justru menjadi titik lemah dalam upaya mencegah dan memberantas praktik IUU Fishing di Indonesia karena korporasi tidak dapat dipidana apabila terbukti melakukan tindak pidana perikanan. Implikasi lebih lanjutnya adalah tidak sebandingnya antara perbuatan yang dilakukan dengan hukuman yang dijatuhkan sehingga mencederai rasa keadilan di masyarakat. Jika pengurus saja yang dapat dikenakan pidana maka tidak menutup kemungkinan korporasi akan melanjutkan kembali praktik IUU Fishing dan korporasi tersebut akan terus meraup keuntungan yang jauh lebih besar di kemudian hari.14

Selain tidak dapat dipidananya korporasi, UU Perikanan juga tidak menentukan batas-batas dalam hal apa tindak pidana dilakukan oleh korporasi sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap UU Perikanan agar ke depan tidak menimbulkan keraguan-raguan bagi aparatur penegak hukum dalam menuntut pidana korporasi yang diduga kuat telah melakukan IUU Fishing.

Konsep pertanggung jawaban pidana korporasi yang diatur dalam UU Perikanan terbilang usang dan tidak mengikuti perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat. Padahal, pembebanan pertanggung jawaban pidana korporasi sudah diakui di Indonesia dan bahkan menerapkan konsep kumulatif alternatif. Maksudnya, apabila korporasi melakukan suatu tindak pidana, maka pidana dapat dijatuhkan terhadap pengurus saja, terhadap korporasi saja, atau terhadap pengurus dan korporasi.15

  • 3.    3. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Perikanan Dalam Tataran Ius Constituendum

Berdasarkan Rancangan Undang-Undang tentang Perikanan (untuk selanjutnya disebut RUU Perikanan) yang diterbitkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) per tanggal 2 April 2018, telah mengakomodasi konsep pertanggungjawaban pidana korporasi. Ketentuan Pasal 153 ayat (1) telah menentukan bahwa pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personil pengendali korporasi apabila tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama korporasi. Lebih lanjut, merujuk pada ketentuan Pasal 153 ayat (2), tindak pidana perikanan dilakukan oleh korporasi apabila:

  • a.    tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi;

  • b.    dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;

  • c.    dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah;

  • d.    dan/atau dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.

Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi yang tertuang dalam RUU Perikanan sebagaimana tersebut di atas sama dengan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Korporasi yang dimaksud dalam RUU Perikanan meliputi korporasi yang berbentuk badan hukum maupun korporasi yang tidak berbentuk badan hukum.

Pemaknaan terhadap ketentuan Pasal 153 ayat (2) huruf a adalah bahwa tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintahkan atau dikuasakan atau disetujui oleh personel korporasi yang di dalam struktur organisasi korporasi memiliki kewenangan untuk mengendalikan atau melakukan perbuatan untuk dan atas nama korporasi. Personel yang demikian disebut personel pengendali (directing mind atau controlling mind) korporasi. Pemaknaan terhadap ketentuan Pasal 153 ayat (2) huruf b adalah tindak pidana yang dilakukan adalah intra vires (within powers), yaitu dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar korporasi. Pemaknaan terhadap ketentuan Pasal 153 ayat (3) huruf c adalah tindak pidana dimaksud memang ada kaitannya dengan tugas dan wewenang dari pelaku ataupun pemberi perintah. Terakhir, pemaknaan terhadap Pasal 153 ayat (2) huruf d adalah tindak pidana yang dilakukan memberikan manfaat yang tidak harus berupa pendapatan finanasial tetapi dapat pula memberikan manfaat non-finansial.

IV. Kesimpulan

Beragam doktrin atau ajaran tentang yang menjawab mengapa korporasi dapat dimintai tanggung jawab apabila melakukan tindak pidana antara lain Pertanggung jawaban Mutlak (Strict Liability), Pertanggung jawaban Vikarius (Vicarious Liability), Ajaran Identifikasi (Doctrine of Identification), dan Ajaran Delegasi (Doctrine of Delegation). Berdasarkan ajaran strict liability, korporasi dapat dipidana atas delik yang diperbuat oleh seseorang yang bekerja dalam lingkungan korporasi tanpa mempersoalkan apakah terdapat kesalahan (sengaja atau lalai) pada diri pelaku tindak pidana. Doktrin vikarius berpandangan bahwa seseorang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana atas delik yang diperbuat orang lain. Doktrin identifikasi pada pokoknya mengandung arti bahwa korporasi dapat dipidana atas delik yang dilakukan oleh pengurus dari korporasi. Berdasarkan doktrin delegasi, ko.rporasi bert.anggung ja.wab atas perb.uatan pidana yang dilakukan oleh seseorang yang menjalankan pendelegasian wewenang yang diberikan oleh orang lain. Korporasi sebagai subjek tindak pidana di bidang perikanan (IUU Fishing) diatur secara eksplisit pada ketentuan Pasal 101 UU Perikanan. Konsep pertanggung jawaban pidana korporasi yang terdapat dalam UU Perikanan masih menganut prinsip bahwa pengurus lah yang bertanggung jawab apabila korporasi melakukan tindak pidana. Pengaturan tersebut memiliki kelemahan sebab ada potensi korporasi mengulangi perbuatan illegal fishing. UU Perikanan juga tidak menentukan batas-batas dalam hal apa tindak pidana dilakukan oleh korporasi. Berdasarkan Rancangan Undang-Undang tentang Perikanan (untuk selanjutnya disebut RUU Perikanan) yang diterbitkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) per tanggal 2 April 2018, telah mengakomodasi konsep pertanggungjawaban pidana korporasi. Ketentuan Pasal 153 ayat (1) telah menentukan bahwa pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personil pengendali korporasi apabila tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama korporasi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Burhanuddin, Andi Iqbal dan Nessa, Natsir. Pengantar Ilmu Kelautan dan Perikanan. (Sleman, Deepublish, 2018).

Burhanuddin, Andi Iqbal. Mewujudkan Poros Maritim Dunia. (Sleman, Deepublish, 2015).

Tobing, Alex dan Setiawan, Bambang. Pengadilan Perikanan Suatu Upaya Pemberantasan IUU Fsihing di Indonesia. (Sleman, Deepbulish, 2019).

Jurnal:

Alviolita, Fifink Praiseda. "PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA OLEH PENGURUS KORPORASI DIKAITKAN DENGAN ASAS GEEN STRAF ZONDER SCHULD." Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 1 (2018): 1-16.

Anjari, Warih. "Pertanggung jawaban Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana." EJournal Widya Yustisia 1, no. 2 (2017): 1-6.

Krismen, Yudi. "Pertanggung jawaban Pidana Korporasi Dalam Kejahatan Ekonomi." Jurnal Ilmu Hukum 5, no. 1 (2014): 61-70.

Kristina, Michelle. "Formulasi Pertanggung jawaban Pidana Korporasi Dengan Adanya Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016." Jurnal Yustika: Media Hukum dan Keadilan 21, no. 02 (2018): 1-11.

Kusumo, Bambang Ali. "Pertanggung jawaban Korporasi dalam Hukum Pidana di Indonesia." Wacana Hukum 7, no. 2 (2012): 1-14.

Muhamad, Simela Victor. "Illegal Fishing Di Perairan Indonesia: Permasalahan Dan Upaya Penanganannya Secara Bilateral Di Kawasan." Jurnal Politica 3, no. 1 (2016): 53-85.

Pratiwi, Yuniarti Dwi. "Pertanggung jawaban pidana illegal fishing korporasi dalam cita-cita Indonesia poros maritim dunia." DEFEN.DONESIA 1, no. 2 (2016): 6672.

Situmorang, Jegesson P., and Ameik Soemarmi Pujiyono. "Pertanggung jawaban pidana korporasi dalam menanggulangi tindak pidana perikanan." Di.ponegoro L.aw J.ournal 5, no. 3 (2016): 1-17.

Suhariyanto, Budi. "Pertanggung jawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Corporate Culture Model dan Implikasinya Bagi Kesejahteraan Masyarakat." Jurnal Rechts Vinding 6, no. 3 (2017): 441-458.

Tarigan, Muhammad Insan. "Upaya Konservasi Indonesia atas Sumber Daya Ikan di Laut Lepas." Fiat Justisia 9, no. 4 (2015): 543-576.

Tawalujan, Jimmy. "Pertanggung jawaban Korporasi Terhadap Korban Kejahatan." Lex Crimen 1, no. 3 (2012): 1-18.

Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 12 Tahun 2020, hlm. 1-10