HUKUMAN DISIPLIN TERHADAP NARAPIDANA

YANG MELARIKAN DIRI DARI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN SAAT TERJADINYA BENCANA ALAM

William Hambuwali, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : [email protected]

I Gusti Ketut Ariawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail : [email protected]

DOI : KW.2020.v09.i12.p01

ABSTRAK

Tujuan penulisan karya ilmiah ini ialah menelaah prosedur pengamanan Lembaga Pemasyarakatan saat terjadi bencana alam dengan perspektif Hak Asasi Manusia serta juga mengkaji pengaturan hukuman disiplin terhadap pelarian Narapidana dalam keadaan bencana alam. Adapun metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitan normatif yang mengedepankan pendekatan konseptual disamping pendekatan perundang-undangan. Hasil studi menunjukkan bahwa prosedur penanganan Lembaga Pemasyarakat saat terjadi bencana alam diatur dalam Permenkumhan 33/15 jo. SOP Penindakan Bencana Alam. Kedua ketentuan tersebut belum sepenuhnya mewujudkan perlindungan Hak Asasi Manusia lantaran kedua ketentuan dimaksud menyamaratakan prosedur untuk seluruh jenis bencana alam, padahal masing-masing bencana alam memiliki tipikal dan kerawanan yang berbeda. Kedua ketentuan a quo juga tidak mempertimbangkan faktor usia dari warga binaan. Persoalan yang timbul selanjutnya adalah ketentuan Permenkumham 6/13 menggeneralisasikan sanksi terhadap narapidana yang melarikan diri, sehingga narapidana yang terpaksa melarikan diri dalam keadaan bencana alam dapat dijatuhi hukuman displin berat sebagaimana halnya narapidana yang melarikan diri dalam keadaan normal. Tak ayal keadaan ini menimbulkan efek penderitaan ganda bagi narapidana yang sebelumnya telah menderita karena ancaman bencana alam.

Kata Kunci: Bencana Alam, Lembaga Pemasyarakatan, Melarikan Diri, Narapidana, Penderitaan Ganda.

ABSTRACT

The purpose of writing this scientific work is to study the security procedures of correctional institutions in the event of natural disasters with a Human Rights perspective and also to review the setting of disciplinary punishments against escaped inmates in circumstances of natural disasters. The research method used is a normative research method that prioritizes a conceptual approach in addition to the statutory approach. The results showed that the procedure of handling correctional institutions in the event of a natural disaster is regulated in “Permenkumhan 33/15” jo. “SOP Penindakan Bencana Alam.” Both provisions have not fully realized the protection of human rights because both provisions disguise procedures for all types of natural disasters, whereas each natural disaster has a different type of ineligion. In addition, those provisions also do not take into account the age factor of the targeted citizens. The next problem is that provision of “Permenkumham 6/13” generalizes sanctions against escaped inmates, so that inmates who are forced to escape in natural disasters can be sentenced to severe discipline as well as inmates who escape under normal circumstances. This situation has no effect on inmates who have previously suffered from the threat of natural disasters.

Keywords: Natural Disaster, Correctional Institution, Escape, Inmate, Double Suffering.

  • I.     Pendahuluan

    • 1.1.   Latar Belakang Masalah

Gagasan Menteri Kehakiman Suhardjo pada tahun 1963 untuk menempatkan Narapidana sebagai subyek hukum serta pribadi Warga Negara yang sedang membutuhkan pembinaan agar dapat kembali diterima sebagai anggota masyarakat, merupakan tonggak awal dari apa yang dewasa ini kita kenal sebagai Sistem Pemasayarakatan dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Selanjutnya disebut UU 12/95). Meskipun Sistem Pemasyarakatan yang digagas oleh Suhardjo ini baru memiliki payung hukum 32 (tiga puluh dua) tahun kemudian, setidaknya komitmen politik hukum pemidanaan di Indonesia yang bergerak menuju ke arah pembinaan, secara instrumentalis telah diwujudkan. 1

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa upaya menghapus pemidanaan sebagai suatu pembalasan merupakan ide dasar yang membedakan konsep Lembaga Pemasyarakatan dengan Lembaga Penjara.2 Pidana pada Sistem Pemasyarakatan, selain sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan juga diharapkan mampu menyadarkan Narapidana akan apa yang telah yang dilakukan. 3 Maka dari itu, melalui suatu Sistem Pemasyarakatan semua Narapidana diproses agar nantinya dapat kembali hidup bermasyarakat.4

Namun dalam kenyataannya, penyelenggaraan sistem pemasayarakatan juga tidak terhindar dari hambatan. Salah satunya ialah ketika ada Narapidana yang melarikan diri atau terjadi pelarian Narapidana. Dengan begitu Narapidana sebagai subyek binaan tidak berada pada tempat seharusnya ia dibina, yakni Lembaga Pemasyarakatan. Sebagai contoh, yakni kasus pelarian 72 (tujuh puluh dua) orang Narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas III di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada pertengahan tahun 20195, kemudian masih pada tahun yang sama di bulan Desember terdapat 6 (enam) orang Narapidana yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan Jayapura.6 Sementara itu, pada pertengahan tahun 2020 tepatnya bulan Mei terjadi pelarian diri 2 (dua) orang Narapidana kasus pembunuhan dari Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sitoli Sumatera Utara,7 serta banyak contoh kasus lainnya.

Kendati belum ada ketentuan ius constitutum di Indonesia yang menggolongkan perbuatan melarikan diri oleh Narapidana sebagai suatu tindak pidana atau delict, perbuatan melarikan diri ini digolongkan sebagai suatu pelanggaran Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara (selanjutnya disebut Permenkumham 6/13). Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (3) Jo. Pasal 9 ayat (4) Permenkumham 6/13, perbuatan melarikan diri oleh Narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan, tetap dapat dijatuhi hukuman disiplin dengan kategori berat, yakni dimasukkan dalam sel pengasingan dan penundaan atau peniadaan hak-hak tertentu sebagai Narapidana.

Tentunya Narapidana sebagai seorang terpidana harus menaati segala peraturan yang terdapat dalam Lembaga Pemasyarakatan. 8 Akan tetapi, meski telah terdapat instrumen hukum yang menggolongkan pelarian Narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan sebagai suatu pelanggaran Tata Tertib hingga diancam dengan hukuman disiplin berat, tampaknya pelarian Narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan ini masih marak terjadi. Bahkan pelarian Narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan telah dianggap sebagai suatu fenomena. 9

Sebagai suatu fenomena yang menjadi bagian dari potret Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, terdapat beragam latar belakang yang menjadi penyebab atau dorongan bagi Narapidana untuk melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan. Peterson dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tingkat keamanan Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri merupakan penyebab yang cukup signifikan dari pelarian Narapidana. 10 Terdapat juga hasil penelitian lain yang menyebutkan tingginya angka kekerasan didalam lembaga pemasayarakatan juga menjadi salah satu penyebab Narapidana melarikan diri.11 Namun, menurut penulis terdapat suatu sebab atau faktor lain yang berada di luar kendali manusia, yang mana faktor ini justru mampu memaksa Narapidana untuk melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan, yaitu daya paksa berupa bencana alam.

Sementara itu, guna mempertahankan kondusifitas Lembaga Pemasyarakatan serta meminimalisir pelarian Narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan saat terjadi bencana alam, Negara telah membentuk suatu instrumen hukum berupa Prosedur Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan yang di dalam termasuk pengamanan Lembaga Pemasyarakatan dalam keadaan tertentu (salah satunya bencana alam), yang diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 33 Tahun

2015 tentang Pengamanan Lembaga Masyarakat dan Rumah Tahanan Negara (selanjutnya disebut Permenkumham 33/15) serta dijabarkan lebih rinci ke dalam Standar Operasional Pelaksana PAS. 220. OT. 02. 02. 2016 Tentang Standar Operasional Pelaksana Penindakan Bencanan Alam (selanjutnya disebut SOP Penindakan Bencana Alam). Keberadaan 2 (dua) instrumen hukum tersebut secara filosofis dapat dimaknai sebagai upaya pengamanan Lembaga Pemasyarakatan yang konsekuen serta secara yuridis juga dapat ditafsirkan sebagai upaya perlindungan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) dari pada Narapidana dalam keadaan bencana alam. Kendati demikian, SOP sebagai instrument teknis yang seharusnya memiliki kejelasan dan kelengkapan materiil dengan uraian prosedur yang rinci dan teliti agar memiliki daya guna belum tercermin pada SOP Penindakan Bencana Alam. Dengan begitu dalam penerapannya ketika terjadi situasi chaos yang diakibatkan oleh bencana alam justru dapat memaksa Narapidana bahkan Petugas Lembaga Pemasyarakatan untuk mengabaikan prosedur dalam SOP Penidakan Bencana Alam lantaran ancaman resiko bencana alam yang berada di luar kendali manusia, baik itu Petugas Lembaga Pemasyarakatan sebagai pelaksana maupun Narapidana sebagai subjek penindakan pengamanan. Sehingga tidak heran dalam keadaan demikian justru Narapidana melakukan pelarian sebagai upaya menyelamatkan dirinya. Namun menurut hemat penulis tindakan yang diambil Narapidana tersebut menimbulkan pertentangan antara kepentingan dengan kewajiban.

Konflik antara kepentingan mempertahankan hidup dalam keadaan darurat dengan kewajiban mematuhi tata tertib Lembaga Pemasyarakatan, seharusnya diperhitungkan sebagai suatu keadaan darurat (noodtoestand) yang tergolong sebagai overmacht atau daya paksa. Diperhitungkannya keadaan bencana alam sebagai suatu keadaan darurat pada dasarnya memang tidak lepas dari pada letak geografis Indonesia yang menyebabkan Indonesia sebagai negara yang rawan terhadap bencana alam. Apalagi untuk potensi bencana tsunami sendiri, Indonesia menempati urutan pertama dari 265 (dua ratus enam puluh lima) Negara di dunia yang paling berpotensi mengalami bencana tsunami.12

Betolak dari kondisi dan kenyataan di atas, baik UU 12/95 sebagai payung hukum pemasyarakatan maupun Permenkumham 6/13 sebagai peraturan pelaksana, belum mengakomodir dan mempertimbangkan keadaan bencana alam sebagai suatu keadaan darurat yang memaksa terjadi pelanggaran Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan in casu perbuatan melarikan diri. Permenkumham 6/13 yang mengatur secara rinci mengenai Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan menyamakan pemberlakuan hukuman disiplin bagi Narapidana yang melarikan diri dalam kondisi normal (saat tidak terjadi bencana alam) dengan Narapidana yang melarikan diri saat terjadi bencana alam. Sehingga dengan mengacu pada Permenkumham 6/13, terhadap Narapidana yang melakukan pelarian saat bencana alam terjadi justru dapat dijatuhi hukuman disiplin berat layaknya Narapidana yang melarikan diri dalam keadaan normal. Padahal di dalam ajaran hukum pidana sekali pun, keadaan darurat tersebut dipandang sebagai salah satu alasan yang menghapuskan elemen melawan hukumnya suatu perbuatan.13 Sehingga, konsekuensi logisnya Peraturan Menteri terkait Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan yang secara hierarkis berada di bawah Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) tidak boleh lebih berat daripada hukum pidana yang memang sifatnya getir.

Lebih lanjut, ketiadaan norma yang mengatur pelarian Narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan saat terjadi bencana alam menunjukkan adanya suatu kekosongan norma yang berakibat pada tidak adanya jaminan atau kepastian hukum. Akibat tidak adanya kepastian hukum ini lah, Narapidana yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan saat terjadi bencana alam justru dapat dijatuhi hukuman disiplin berat sebagaimana diatur dalam Permenkumham 6/13. Hukuman disiplin berupa sel pengasingan dan pencabutan atau peniadaan hak-hak tertentu bagi Narapidana yang melarikan diri saat terjadi bencana alam dapat memberikan efek penderitaan ganda (double suffering) yang akan terkesan sebagai hukuman ganda (double punishment) bagi Narapidana, sehingga “Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Padahal salah satu asas dari Sistem Pemasyarakatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 huruf (f) UU 12/95 ialah satu-satunya penderitaan bagi Narapidana hanyalah perampasan kemerdekaan. Fenomena akibat kekosongan norma hukum inilah yang menunjukkan urgensi penulisan ini.

Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, hal ini menarik untuk diangkat sebagai tulisan yang berjudul “HUKUMAN DISIPLIN TERHADAP NARAPIDANA YANG MELARIKAN DIRI DARI LEMBAGA PEMASYARAKATAN SAAT TERJADINYA BENCANA ALAM.” Tulisan ini murni merupakan ide penulis. Sejauh penelusuran penulis, tidak ditemukan tulisan maupun publikasi karya ilmiah yang serupa. Namun terdapat 2 (dua) karya ilmiah lainnya yang juga membahas mengenai pelarian diri Narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan. Kendati demikian, tulisan-tulisan tersebut memiliki fokus atau perspektif yang berbeda dalam membahas pelarian diri Narapidana, sebagaiman tulisan Mohammad Nasir, Moh. Din dan Dahlan Ali pada tahun 2013 yang berjudul “Perspektif Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Narapidana Yang Melarikan Diri Pada Saat Menjalani Pidana di Lembaga Pemasyarakatan”; serta tulisan dari Muhammad Fatahillah Akbar pada tahun 2019 yang berjudul “Politik Hukum Pidana Terhadap Perbuatan Narapidana Melarikan Diri Dari Lembaga Pemasyarakaatan di Indonesia.” Secara prinsipil, kedua penelitian tersebut memiliki fokus yang sama, yakni pada kriminalisasi perbuatan pelarian diri oleh Narapidana secara umum.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berikut merupakan rumusan masalah yang menjadi bahasan dalam tulisan ini:

  • 1.2.1.    Bagaimanakah prosedur pengamanan Lembaga Pemasyarakatan pada saat terjadi bencana alam bila ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia?

  • 1.2.2.    Bagaimanakah pengaturan terkait sanksi terhadap Narapidana yang melakukan pelarian dari Lembaga Pemasyarakatan Ketika terjadi bencana alam?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan karya ilmiah ini ialah untuk mengetahui dan menganalisis berdasarkan perspektif Hak Asasi Manusia dari pada prosedur pengamanan Lembaga Pemasyarakatan tatkala terjadi bencana alam. Disamping itu juga, penulisan karya ilmiah ini dimaksudkan untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hukuman disiplin bagi Narapidana yang melarikan diri ketika bencana alam terjadi.

  • II.    Metode Penelitian

Adapun dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis mempergunakan jenis metode penelitian normatif, yakni suatu metode penelitian hukum yang menggambarkan disiplin ilmu hukum sebagai suatu disiplin preskriptif dengan menitik beratkan sudut pandang norma-norma atau suatu sistem norma14 yang lazim dikenal sebagai Peraturan Perundang-Undangan. Pendekatan yang digunakan penulis ialah pendekatan Perundang-Undangan atau statute approach serta pendekatan Konseptual atau conceptual approach, yang mana mengkaji Peraturan Perundang-Undangan dan doktrin yang bertautan dengan isu hukum yang terdapat pada penelitian ini. Ada pun sumber bahan hukum yang digunakan dalam tulisan ini berupa bahan hukum primer seperti Peraturan Perundang-Undangan yang dipergunakan dalam preliminary research15 dan bahan hukum sekunder berupa buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, serta publikasi resmi dari instansi Negara.

  • III.   Pembahasan

    • 3.1.   Prosedur Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Keadaan Bencana

Alam: Perspektif Hak Asasi Manusia

Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan sendiri merupakan salah satu bagian penting dalam pelaksanaan pembinaan yang berdasarkan Sistem Pemasyarakatan. 16 Sinergitas jalannya Pembinaan dan pengamanan tidak lain ditujukan agar tujuan dari pada Sistem Pemasyarakatan itu dapat tercapai. Hal tersebut pun selaras dengan konsiderans menimbang dari pada Permenkumham 33/15 sebagai landasan yuridis dalam hal pengamanan Lembaga Pemasyarakatan. Lantas, guna mewujudkan tujuan tersebut terdapat 3 (tiga) bentuk pengamanan pada Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Permenkumham 33/15, yakni: Pertama, pencegahan; kedua, Penindakan; dan ketiga, pemulihan.

Salah satu parameter dari keberhasilan pengamanan Lembaga Pemasyarakatan ialah melaksanakan pengamanan Lembaga Pemasyarakatan dengan konsekuen. Ketiadaan keadaan atau situasi yang dapat membatasi pelaksanaan prosedur pengamanan Lembaga Pemasyarakatan menjadi salah satu cerminan pengamanan Lembaga Pemasyarakatan yang konsekuen tersebut. Hal ini selaras dengan Pasal 24 ayat (1) Permenkumham 33/15 yang menentukan bahwa dalam keadaan tertentu, upaya pengamanan berupa penindakan dapat diambil. Penindakan sebagai salah satu bentuk dari pengamanan Lembaga Pemasyarakatan, merupakan pengamanan yang tempusnya langsung bersinggungan dengan keadaan darurat atau keadaan tertentu. Lebih jelas, yang dimaksud dengan keadaan tertentu, diatur dalam Pasal 24

Permenkumham 33/15 tersebut, di mana bencana alam merupakan salah satu bentuk dari pada kategori keadaan tertentu.

Secara filososfis, bencana alam yang dikategorikan sebagai suatu keadaan tertentu tidak lepas dari pada hakikat bencana alam itu sendiri sebagai suatu keadaan darurat atau peristiwa yang disebabkan oleh faktor alam. Lantas terdapat 3 (tiga) prosedur yang dilakukan dalam penindakan guna pengamanan Lembaga Pemasyarakatan dalam keadaan bencana alam sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 25 Permenkumham 33/15, yakni:

  • I.    Membuyikan tanda bahaya;

  • II.    Mengamankan orang, lokasi, barang atau tempat kejadian perkara; dan/atau

  • III.    Mengamankan pelaku yang diduga dapat menimbulkan atau melakukan ancaman gangguan keamanan dan ketertiban.

Tiga prosedur dasar tersebut di atas kemudian diatur dengan jabaran yang lebih rinci melalui ketentuan SOP Penindakan Bencana Alam. Dalam SOP ini terdapat 17 (tujuh belas) rangkaian prosedur penindakan pengamanan Lembaga Pemasyarakatan dalam keadaan bencana alam yang dimulai dari pemberian informasi dan tanda bahaya bahwa Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan mengalami bencana alam, hingga pembuatan laporan terkait penanganan serta dampak bencana alam pada Lembaga Pemasyarakatan. Ada pun jangka waktu pelaksanaan rangkaian prosedur tersebut, ada yang harus dilaksananakan dalam waktu seketika dan ada juga yang dilaksanakan dalam rentang waktu 60 (enam puluh) menit hingga 24 (dua puluh empat) jam.

Keberadaan Permenkumham 33/15 sendiri sebagai aturan pelaksana dari Pasal 50 UU 12/95 serta SOP Penindakan Bencana Alam sebagai instrumen teknis operasional, selain dapat dimaknai sebagai suatu wujud dari pengamanan Lembaga Pemasyarakatan yang konsekuen, juga dapat ditafsirkan sebagai salah satu ciri yang disertai konsekuensi dari pada bentuk Negara hukum yang dianut oleh Indonesia, yakni Perlindungan terhadap HAM yang dirumuskan dan dijamin dalam Peraturan Perundang Undangan.17 Penafsiran tersebut tidak lepas dari pada dampak bencana alam yang dapat mengancam nyawa Narapidana. Sehingga secara filosofis maupun yuridis, ancaman terhadap nyawa seseorang dapat dimaknai sebagai ancaman terhadap hak asasinya sebagai manusia yakni; hak hidup dan mempertahankan hidup. Sebagai non-derogable rights, konstitusi menghendaki penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak hidup dan mempertahankan hidup wajib diberikan bagi siapa pun dalam keadaan apa pun, Sehingga tidak ada pengecualian bagi Narapidana pun dalam keadaan Bencana Alam. Perlu digarisbawahi bahwa perlindungan terhadap HAM merupakan kepentingan yang paling fundamen bagi setiap Warga Negara. 18

Pentingnya perlindungan HAM bagi Narapidana secara khusus dalam keadaan bencana alam tidak lepas dari pada status terpidana yang disandang oleh Narapidana. Pidana berupa perampasan kemerdekaan menjadikan seorang Narapidana benar-benar menggantungkan hidupnya pada otoritas Negara, apalagi saat bencana alam terjadi. Kehidupan Narapidana yang diibaratkan sebagai miniatur dari kehidupan

masyarakat19 dapat dimaknai bahwa Narapidana tidak terhindar dari ancaman serta dampak bencana alam yang dialami oleh masyarakat sekali pun ia berada di balik tingginya tembok Lembaga Pemasyarakatan. Maka dari itu bila masyarakat di luar Lambaga pemasyarakatan terancam hidupnya bahkan menderita akibat dari pada suatu peristiwa seperti bencana alam, pun Narapidana dapat mengalami hal yang sama. Sehingga tidak heran bila dikatakan bahwa Narapidana merupakan kelompok rentan,20 yang dapat mengalami penderitaan ganda ketika terjadi bencana alam. Dengan begitu perlindungan HAM bagai Narapidana merupakan hal yang urgent.

Mengacu pada Lampiran Pedoman Penyusunan Standar Operasional Prosedur yang termaktub dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penyusunan Standar Operasional Prosedur Di Lingkungan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut Permenkumham 14/12), parameter dari pada suatu SOP yang baik (memiliki daya guna dan daya laku) tentunya tidak lepas dari jenis SOP sebagai suatu instrumen teknis. Sebagai instrument teknis, indikator SOP yang baik dapat diukur dari materi muatan SOP yang rinci dengan uraian prosedur yang teliti. Dengan kata lain, kejelasan dan lengkapnya materi muatan dapat menutup ruang timbulnya kemungkinan lain diluar tujuan SOP yang dapat mengakibatkan SOP tidak memiliki daya guna. Akan tetapi, penulis berpendapat bahwa dalam konteks SOP Penindakan Bencana Alam sebagai instrumen teknis dari Permenkumham 33/15, indikator kejelasan dan lengkapnya materi muatan masih belum terpenuhi. Hal ini diakibatkan lantaran: Pertama, materi SOP Penindakan Bencana Alam yang belum rinci karena satu rangkaian prosedur yang disamaratakan untuk seluruh jenis bencana alam padahal masing-masing bencana alam memiliki tipikal dan kerawanan yang berbeda, sebagai gambaran adalah tanggap darurat bencana angin topan yang tentunya berbeda dengan tanggap darurat bencana tsunami; Kedua, rangkaian prosedur SOP yang tidak jelas dan lengkap karena belum mengakomodir keadaan yang disandang seorang Warga Binaan seperti Narapidana yang berusia lanjut maupuan Anak Didik Pemasyarakatan. Padahal secara yuridis ditentukan bahwa orang berusia lanjut maupun anak-anak digolongkan kedalam kelompok masyarakat yang rentan dalam keadaan bencana alam sehingga berhak atas perlindungan berupa prioritas penyelamatan dan evakuasi Ketika bencana alam terjadi, sebagaimana diatur dalam Pasal 48 huruf (e) Jo. Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana (UU 24/07). Dengan demikian, tidak diakomodirnya hal-hal tersebut di atas secara rinci ke dalam Prosedur Penindakan Bencana Alam pada Lembaga Pemasyarakatan menunjukkan indikator bahwa SOP yang berlaku saat ini secara materiil belum jelas dan lengkap sehingga tidak memiliki kepastian daya gunanya.

Muara dari pada SOP Penindakan Bencana Alam yang tidak memiliki kepastian daya guna dapat menjadi antithesis dari pada tafsiran keberadaan SOP sebagai upaya Negara dalam melakukan pengamanan Lembaga Pemasyarakatan yang konsekuen dan wujud perlindungan hak paling fundamen dari pada setiap Warga Negara yakni hak hidup dan mempertahankan hidup. Dengan kata lain, SOP Penindakan Bencana Alam yang tidak memiliki kepastian daya guna akan membahayakan nyawa dari pada Narapidana bahkan petugas Lembaga

Pemasyarakatan saat terjadi bencana alam. Apalagi kehidupan Narapidana yang benar-benar bergantung pada tindakan Petugas Lembaga Pemasyarakatan saat terjadi bencana alam, sehingga ancaman dari dampak bencana alam menjadi lebih besar dan berat bagi Narapidana. Maka dari itu, bila mana tidak ada perlindungan terhadap hak hidup sebagai bagian dari HAM seorang Narapidana maka sia-sia lah membangun Sitem Pemasyarakatan itu, sebab subjek yang bina tidak dapat dilindungi dalam keadaan darurat. Padahal juga, roh dari pada Sistem Pemasyarakatan yang gagas oleh Menteri Kehakiman Suhardjo dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia21 ialah pengakuan dan perlindungan HAM itu sendiri. Dengan adanya permasalahan atau persoalan pada SOP tersebut, maka tidak heran bila ada Narapidana yang menyelamatkan diri saat terjadi bencana alam dengan jalan melarikan diri seperti yang terjadi ketika gempa 7,4 scala richter yang disusul tsunami menerjang Palu dan mengakibatkan 1425 (seribu empat ratus dua puluh lima) Narapidana melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan di Palu. 22

  • 3.2.    Pengaturan Sanksi Bagi Narapidana yang Melarikan Diri Saat Terjadi Bencana Alam

Adanya ancaman atas keselamatan jiwa sebagai resiko dari bencana alam tampaknya menjadi dorongan bagi seseorang untuk mengerahkan segala daya dan upaya guna menyelamatkan dirinya manakala terjadi bencana alam. Sehingga menurut hemat penulis, timbulnya dorongan serta adanya upaya untuk menyelamatkan diri ketika terjadi bencana alam merupakan suatu aksioma. Hal ini pun selaras dengan salah satu asas hukum yakni “in casu extremae necessitates omnia sunt communia” yang secara harfiah berarti di dalam keadaan darurat, segala sesuatu dapat menjadi lazim.

Dorongan untuk melakukan upaya menyelamatkan diri tersebut tentunya juga timbul dalam diri seorang Narapidana sebagai insan yang secara fisik pun biologis tidak berbeda dengan dengan manusia lainnya. Kendati demikian, statusnya sebagai seorang terpidana yang kemerdekaan bergeraknya dibatasi, mengharuskan seorang Narapidana untuk menggantungkan hidupnya pada otoritas Negara melalui Petugas Lembaga Pemasyarakatan apalagi saat bencana alam terjadi. Sehingga dalam keadaan bencana alam, bilamana tidak ada Tindakan yang dilakukan oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan, maka Narapidana pun tidak dapat berbuat apa-apa.23 Dengan kata lain, ketika terjadi bencana alam, upaya Narapidana untuk mempertahankan hidupnya sangat bergantung pada daya guna SOP Penindakan Bencana alam. Tetapi dengan adanya persoalan terkait daya guna SOP tersebut sebagaimana Analisis penulis dalam bahasan sebelumnya, membuat pilihan yang diambil Narapidana guna menyelamatkan dirinya mana kala terjadi bencana alam menjadi sangat pelik dan dilematis. Bagaimana tidak, Ketika SOP tidak memiliki kepastian daya guna maka Narapidana harus memanfaatkan situasi yang chaos untuk melarikan diri dari

Lembaga Pemasyarakatan agar dapat mempertahankan hidupnya, sebagaimana contoh yang terjadi saat gempa dan tsunami di Palu.

Secara gramatikal, terminologi “melarikan diri” berarti menyelamatkan diri.24 Kendati definisi tersebut inherent dengan tujuan dari pada Narapidana untuk melarikan diri Ketika terjadi bencana alam, namun ketentuan perundang-undangan yang bertalian dengan Sistem Pemasyarakatan mengklasifikasikan perbuatan melarikan diri oleh Narapidana sebagai suatu Pelanggaran Tata Tertib yang dapat dijatuhi hukuman disiplin sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 9 ayat (4) Jo. Pasal 10 ayat (3) huruf (i) Permenkumham 6/13. Meskipun belum ada ketentuan hukum positif Indonesia yang mengklasifikasikan perbuatan melarikan diri oleh Narapidana sebagai suatu tindak pidana atau delict, ketentuan permenkumham 6/13 yang mengatur tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan telah memiliki rumusan sanksi yang cukup berat (karena memang ditentukan sebagai hukuman disiplin berat) yakni hukuman berupa pengasingan pada sel khusus (dan) peniadaan hak-hak tertentu sebagai Narapidana. Bertolak dari hal tersebut, penulis menemukan bahwa: Pertama, Ketika terjadi bencana alam Narapidana melakukan pelarian sebagai upaya menyelamatkan diri yang mana ini merupakan kepentingannya untuk mempertahankan hidup; Kedua, kepentingannya itu bertentangan dengan kewajibannya untuk mematuhi Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan selama ia berstatus sebagai Narapidana.

Keadaan tersebut diatas pada hakikatnya merupakan pertentangan antara kepentingan mempertahankan hidup dengan kewajiban untuk mematuhi hukum. 25 Yang mana dalam ilmu hukum (secara khusus hukum pidana) keadaan ini dapat digolongkan sebagai suatu daya paksa (overmacht), yang berdasarkan Memorie van Toelechting diklasifikasikan kedalam noodtoestand atau Keadaan Darurat.26 Konsekuensi yuridis dari adanya suatu daya paksa berupa keadaan darurat di dalam ajaran hukum pidana dipandang sebagai alasan untuk menghapuskan elemen melawan hukum dalam perbuatan27 in casu pelarian Narapidana Ketika terjadi bencana alam. Sejalan dengan, itu terdapat beberapa postulat hukum yang juga dapat menjadi landsan alasan penghapus elemen melawan hukum dari perbuatan melarikan diri oleh narapidana ketika terjadi bencana alam, yakni “quod alias non fuit licitum nesessitas licitum facit” yang berarti keadaan terpaksa memperbolehkan apa yang tadinya dilarang oleh hukum,28 serta “necessitas sub lege non continetur, quiaquod alias non est licitum necessitaas facit licitum” yang berarti keadaan terpaksa tidak ditahan oleh hukum, perbuatan yang dilarang oleh hukum bila dilakukan dalam keadaan terpaksa maka perbuatan tersebut dianggap sah.29Kendati demikian, formulasi Pasal dari pada instrumen hukum yang mengatur Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan sama sekali belum mengakomodir dan mempertimbangkan pandangan tersebut. Sehingga sampai saat ini, baik Narapidana yang melakukan pelarian saat keadaan normal (tidak terjadi bencana alam) maupun Narapidana yang melarikan diri saat bencana alam terjadi, sama-sama dapat dijatuhi sanksi disiplin berat, karena hal ini sekali lagi didasari oleh

ketentuan Permenkumham 6/13. Maka dari itu penulis berpandangan bahwa masih terjadi kekosongan norma (vaccum of norm) yang mengatur perbuatan pelarian Narapidana dengan mempertimbangkan keadaan bencana alam sebagai daya paksa.

Konsekuensi dari pada kekosongan norma ialah rechtsonzekerheid atau ketidakpastian hukum.30 Ketidakpastian hukum dalam konteks bahasan ini mengakibatkan Narapidana dapat dijatuhi hukuman disiplin berat meskipun ia melarikan diri dalam keadaan darurat (yang secara teoritis sebenarnya dianggap sah). Sehingga Narapidana yang dijatuhi disiplin berat setelah terdampak bencana alam justru akan mengalami penderitaan ganda. Dengan begitu, penulis berpendapat bahwa konsekuensi logis dari adanya efek penderitaan ganda yang ditimbulkan oleh sanksi disiplin tersebut menjadikan Permenkumham 6/13 sebagai Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan justru terkesan lebih berat dari pada hukum pidana yang memang hakikatnya memberikan nestapa.

Timbulnya efek penderitaan ganda akibat ketentuan Permenkumham 6/13 yang tidak mencerminkan nilai kepastian hukum, tentunya dapat dipandang sebagai urgensi diakomodirnya pelarian Narapidana dalam keadaan bencana alam. Apalagi mengingat letak Indonesia sebagai negara kepulauan yang secara geografis berada pada pertemuan lempeng Indo Australia di bagian selatan dan lempeng Samudera Pasifik di sebelah timur serta lempeng Eurasia dibelahan utara menjadikan Indonesia sebagai negara yang rentan terhadap resiko bencana alam. 31 Bahkan secara dalam kajian resiko bencana, Badan Nasional Penanggunalangan Bencana (selanjutnya disebut BNPB) memperkirakan kurang lebih sebanyak 254.154.398 (dua ratus lima puluh empat juta seratus lima puluh empat ribu tiga ratus sembilan puluh delapan) di Indonesia terancam oleh resiko bencana.32 Sehingga dengan tingginya ancaman resiko bencana alam dapat berbanding lurus dengan penderitaan akibat penjatuhan hukuman disiplin terhadap Narapidana yang melarikan diri Ketika terjadi bencana alam.

Lebih lanjut, karakteristik dan cakupan materi muatan perundang-undangan idealnya harus bersesuaian dengan jenis peraturan perundang-undangan. Dalam konteks Peraturan Menteri, penyelenggaraan urusan tertentu dari pemerintahan merupakan materi muatannya.33 Dengan demikian, cakupan materi muatan Peraturan Menteri harus bersifat teknis administratif34 sehingga tidak membuka ruang atas timbulnya ketidakpastian hukum. Akan tetapi, menurut pandangan penulis hal ini belum tergambarkan dalam Permenkumham 6/13 secara khusus perihal larangan melarikan diri. Seharusnya perlu penjabaran yang lebih rinci terakit kondisi tertentu (khususnya bencana alam) yang pada kenyataannya dapat memaksa Narapidana

untuk melarikan diri, sehingga bagi Narapidana yang terpaksa menyelamatkan diri dengan cara melarikan diri tidak semakin terancam karena penjatuhan sanksi disiplin berat.

  • IV.    Kesimpulan

Keberadaan Permenkumham 33/15 yang dijabarkan lebih lanjut dalam SOP Penindakan Bencana Alam harusnya mampu memberikan jaminan kepastian terhadap penyelenggaraan pengamanan Lembaga Pemasyarakatan yang konsekuen serta kepastian perlindungan atas fundamental rights dari pada setiap Narapidana. Akan tetapi kedua instrumen hukum yang saling bertalian tersebut justru dipertanyakan daya gunanya saat terjadi bencana alam. Kondisi ini muncul lantaran SOP Penindakan bencana alam belum memiliki muatan yang jelas dan lengkap. Tidak diakomodirnya karakteristik dan kerawanan masing-masing jenis bencana alam yang berbeda satu sama lain, serta tidak dipertimbangkannya status subyek penindakan bencana alam (warga binaan) berupa variabel usia, merupakan indikatornya. Padahal Anak Didik Pemasyarakatan dan Narapidana lanjut usia termasuk dalam kategori kelompok rentan yang harus mendapatkan prioritas saat tanggap darurat. Sehingga secara meteriil SOP Penindakan Bencana Alam memenuhi indikator SOP yang tidak memiliki kepastian daya guna. Akibatnya saat terjadi bencana alam Narapidana yang keselamatannya sangat bergantung SOP tersebut, terpaksa menyelamatkan dirinya sendiri bahkan dengan cara melarikan diri. Akan tetapi perbuatan narapidana ini merupakan suatu pelanggaraan tata tertib lapas yang dapat dijatuhi hukuman disiplin berat. Dalam hal ini telah terjadi pertentangan antara kepentingan menyelamatkan diri serta kewajiban mematuhi tata tertib Lembaga Pemasyarakatan, yang mana merupakan salah satu unsur dari pada adanya daya paksa. Konsekuensi yuridis dari pada daya paksa ialah hapusnya elemen melawan hukumnya suatu perbuatan. Kendati demikian Permenkumham 6/13 sama sekali belum mengakomodir dan mempertimbangkan kondisi ini. Dengan begitu konsekuensi logisnya narapidana yang telah menderita karena dampak oleh bencana alam, justru dapat dijatuhi dengan hukuman disiplin berat karena melarikan diri. Akibat dari Kekosongan hukum ini, akan membuat narapidana semakin menderita, padahal satu satunya penderitaan yang dikehendaki dalam sistem pemasyarakatan hanyalah perampasan kemerdekaan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Asshiddiquie, J. “Konstitusi Dan Hak Asasi Manusia.” (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2008).

Badan Pembinaan Hukum Nasional. “Pedoman Analisis dan Evaluasi Hukum Nomor PHN-01.HN.01.03 Tahun 2019” (Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2019).

Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB. “Buku Panduan Hari Kesiapsiagaan Bencana 26 April 2019” (Jakarta, Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, 2019).

Hiariej, Eddy O. S. ” Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Edisi Revisi)” (Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 2015).

Moeljatno. “Asas-Asas Hukum Pidana” (Jakarta, Rineka Cipta, 2015).

Purnomo, Bambang. “Pelaksana Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan

(Yogyakarta, Liberty, 1999).

Jurnal:

Alviani, Ni Made Destriana, I Ketut Mertha, I Made Tjatrayasa. “Efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar.” Kertha Wicara 4, No. 3 (2015): 1-6.

Ernawati. “Perlindungan Hukum Terhadap Petugas Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pelaksanaan Tugas Pengamanan Pada Lapas Klas II A Padang.” UNES Law Review 1 No. 4 (2019): 414-425.

Nasir, Muhammad, Moh. Din, Dahlan Ali. "Perspektif Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Narapidana Yang Melarikan Diri Pada Saat Menjalani Pidana di Lembaga Pemasyarakatan." Jurnal Ilmu Hukum 1, No. 3 (2013). 29-30.

Novarizal, Riky, Herman Herman. “Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan Terhadap Kemungkinan Terjadinya Pelarian (Studi Kasus Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Pekanbaru).” SISI LAIN REALITA 4, No. 1 (2019): 90-102.

Peterson, Bryce Elling. “Newsworthiness of Prison Escapes: Content Analysis of Factors Influencing Print Media Coverage, 2006-2010.” American International Journal of Social Science 3, No. 1 (2014): 174-187.

Prabu Buana, I Nyoman. “Kedudukan Peraturan Menteri Pada Konstitus.” Kertha Diyatmika, 12 No. 2 (2015): 1-15.

Purnianti. “Mencari Sebab Pelarian Narapidana Anak, Jurnal Kriminologi Indonesia.” Universitas Indonesia.” Jurnal Kriminologi Indonesia 3, No. 3 (2004): 29-38.

Roy, Suryapratim. "Mediators and Moderators of Normative Reductionism: Towards a Testimonial Approach to Expertise in Legal Inquiry." European Journal of Risk Regulation 7, No. 3 (2016): 532-556.

Runturambi, Josias Simon. “Budaya Penjara: Arena Sosial Semi Otonom di Lembaga Pemasyarakatan “X”.” Antropologi Indonesia 34, No. 1 (2013): 91-105.

Sarjana, I Nyoman Ganda Gunawan, I Ketut Rai Setiabudhi, AA Ngr Yusa Darmadi. “Standar Operasional Prosedur (SOP) Pembinaan Bagi Narapidana Narkotika Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kerobokan.” 1, No. 5 (2013): 1-5.

Sidharta, B. Arief. “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum, dalam Jentera.“ Rule of Law Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) 3, No. 2 (2004): 124-125.

Situmorang, Donny Michael. “Penerapan Hak-Hak Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IA Tanjung Gusta, Sumatera Utara Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia.” Jurnal Penelitian Hukum DE JURE 17.2 (2017): 249-263.

Sonata, Depri Lieber. “Metode Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris: Karakteristik Khas Dari Metode Meneliti Hukum.”, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum 8, No. 1 (2014): 15-35.

Suhandi. “Hak dan Kewajiban Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia.” Perspektif 15, No. 2 (2010): 195-206.

Wulandari, S. “Efektivitas Sistem Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Terhadap Tujuan Pemidanaan.Serat Acitya 1, No. 1 (2012): 114.

Tesis:

Budiastari, Kirana, 2017, “Sistem Pengelolaan Evakuasi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Yogyakarta (Kasus Erupsi Gunung Api Merapi Tahun 2010).” Tesis Universitas Gadjah Mada.

Peraturan Perundang-undangan:

“Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1995 NOMOR 77).”

“Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penyusunan Standar Operasional Prosedur Di Lingkungan Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 730).”

“Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 365).”

“Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 33 Tahun 2015 Tentang Pengamanan Pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1528).”

“Standar Operasional Pelaksana Nomor PAS. 220. OT. 02. 02. 2016 Tentang Standar Operasional Penindakan Bencana Alam.”

Internet:

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. “Potensi Ancaman Bencana.” URL: https://bnpb.go.id/potensi-ancaman-bencana, diakses pada 28 Juli 2020.

CNN Indonesia. “ Ditjen PAS: Enam Napi Kabur dari Lapas Jaya Pura Masih Buron.”

URL:     https://www.cnnindonesia.Com/Nasional/20191230153234-12-

461059/Ditjen-Pas-Enam-Napi-Kabur-Dari-Lembaga      Pemasyarakatan-

Jayapura-Masih-Buron, diakses pada 7 Juli 2020.

Kamus          Besar          Bahasa          Indonesia.          URL:

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/melarikan%20diri diakses pada 28 agustus 2020.

Kompas. “Petugas Masih Mencari 72 Napi yang Melarikan Diri.” URL: https://kompas.id/Baca/Utama/2019/05/17/Petugas-Masih-Mencari-72-Napi-Yang-Melarikan-Diri/, diakses Pada 7 Juli 2020.

Suara.com. “2 Napi Kasus Pembunuhan Kabur dari Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sitoli.” URL: https://www.suara.com/news/2020/06/01/055325/2-napi-kasus-pembunuhan-dan-pencurian-kabur-dari-lapas-gunungsitoli, diakses pada 23 Juli 2020.

Tiar       Ramon.       “Dilema       Hukuman      Mati”       URL:

https://tiarramon.wordpress.com/2009/12/13/dilema-hukuman-mati/, diakses pada 28 Agustus 2020.

Tirto.id. “Akibat Gempa Palu 1425 Narapidana di Sulteng Kabur.” URL: https://tirto.id/akibat-gempa-palu-1425-narapidana-di-sulteng-kabur-c3U3, diakses pada 22 Agustus.

Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 12, hlm. 1-14