PROSEDUR PENANGANAN

KETIDAKLENGKAPAN HASIL PENYIDIKAN
DALAM PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

Angga Rizaldi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk untuk menganalisa dan mengetahui bagaimana prosedur penyidikan dalam pengadilan HAM, khususnya prosedur penanganan ketidaklengkapan hasil penyidikan pelanggaran HAM berat. Karya ilmiah ini menggunakan metode “penelitian normatif” dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Dalam penelitian kali ini menunjukkan bahwa mengenai prosedur pengembalian berkas perkara oleh penuntut umum kepada penyidik mengikuti proses prosedur dalam melengkapi hasil penyidikan dengan memperhatikan Pasal 22 ayat (1) sampai dengan Pasal 22 ayat (5) UU Pengadilan HAM dan diperjelas dalam pengaturan mengenai proses pengembalian berkas penyidikan yang terdapat dalam KUHAP sebagai lex generalis dari UU Pengadilan HAM.

Kata Kunci : Pengadilan Hak Asasi Manusia, Penyidik, Penyidikan

ABSTRACT

This research aims to analyse and determine how the procedures for the investigation of human rights courts, especially the procedure of the incompleteness of violations of heavy human rights abuses. In this scientific work uses the method "normative Research” Using two approaches: a statute approach and a conceptual approach. In this study shows that the procedure of file return by the prosecutor to the investigator follow the procedure in completing the investigation in article 22 paragraph (1) up to article 22 sentence (5) of the law of the Human rights court and is defined in the arrangement on the process of refund of the investigation contained in the criminal code as Lex generalist of the human rights court act.

Key Words: The Court of Human Rights, Investigator, Investigation

  • 1.  PENDAHULUAN

    • 1.1.  Latar Belakang

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, sejak lahir manusia dianugerahi suatu hak yang untuk menjaga derajatnya sebagai manusia. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mendefinisikan Hak Asasi Manusia sebagai “seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan seta perlindungan harkat martabat manusia”.

Indonesia ialah negara hukum, hal tersebut diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI TAHUN 1945) menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”

yang dikutip oleh Azhary dimana menurut Stahl negara hukum atau rechsstaat memiliki beberapa unsur yang diantaranya adalah :

  • 1.    Diakui dan dilindunginya HAM;

  • 2.    Sebagai bentuk perlindungan terhadap HAM, pembagian kekuasaan pemerintah didasarkan pada prinsip trias politica;

  • 3.    Dasar bagi pemerintah untuk melakukan tugasnya adalah undang-undang; dan

  • 4.    Untuk mengadili pemerintah apabila melakukan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan tugas, dibentuk pengadilan administrasi.1

Dalam UUD NRI TAHUN 1945 telah diatur mengenai hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) di dalam Pasal 28A-28J UUD NRI TAHUN 1945. Hal ini menunjukkan bahwa negara Indonesia sebagai negara hukum menjunjung tinggi HAM. Beberapa konvensi internasional mengenai HAM juga telah diratifikasi oleh Indonesia. Sehingga, sudah sepatutnya standar-standar dalam konvensi internasional tersebut diberlakukan secara nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan, sehingga melahirkan produk legislasi yaitu Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU pengadilan HAM).

Pelanggaran HAM berat berbeda dengan pelanggaran pidana pada umumnya. Pelanggaran HAM berat merupakan extraordinary crimes2, oleh sebab itu diperlukan peraturan pidana khusus yang mengatur mengenai pelanggaran-pelanggaran pidana dan proses pemidanaan pelanggaran HAM berat. Berdasarkan kepada pemikiran perlunya pidana khusus untuk mengadili pelanggaran HAM berat inilah dibentuk pengadilan HAM. Selain itu, Pengadilan HAM sebagai “the primary forum” untuk proses pengadilan pelanggar HAM berat merupakan alasan yuridis dibentuknya pengadilan HAM.3

Di negara Indonesia, penegakan hukum hak asasi manusia diawali dengan pembentukan pengadilan HAM, sebagaimana dijelaskan pada Penafsiran Umum UU Pengadilan HAM, yang didirikan untuk memastikan implementasi hak asasi manusia dan memberikan perlindungan bagi individu atau publik, kepastian, keadilan dan Rasa aman untuk menyelesaikan pelanggaran HAM.4

Pengadilan HAM ini merupakan pengadilan yang khusus untuk mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kewenangan pengadilan ini juga mengadili perkara-perkara tertentu. Istilah pengadilan HAM sering dipertentangkan dengan istilah peradilan pidana karena memang pada hakekatnya kejahatan yang merupakan kewenangan pengadilan HAM juga

merupakan perbuatan pidana. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menjadi landasan berdirinya pengadilan HAM ini mengatur tentang beberapa kekhususan atau pengaturan yang berbeda dengan pengaturan dalam hukum acara pidana.

Di dalam UU pengadilan HAM terdapat ketentuan acara pidana dalam menegakkan pelanggaran terhadap HAM yang tergolong berat. Kekhususan acara pidana yang menonjol yaitu secara atribusi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (selanjutnya disingkat KOMNAS HAM) diberi wewenang melakukan penyelidikan5 dan Jaksa Agung diberi wewenang melakukan penuntutan sekaligus diberi wewenang khusus melakukan penyidikan terhadap pelanggaran HAM berat.

Dalam pelaksanaan penyidikan dan penuntutan menjadi kurang efektif yang dikarenakan oleh pembatasan terhadap tugas dan kewenangan yang diberikan terhadap KOMNAS HAM yang hanya sebatas kepada melaksanakan penyelidikan. Hal ini menyebabkan di dalam proses beracara dalam Pengadilan HAM seringkali hasil penyelidikan dari KOMNAS HAM dipatahkan oleh penyidik sekaligus penuntut umum yang dimana dalam Pengadilan HAM jaksa agung bertindak sebagai penuntut umum dan penyidik.6

Dalam konteks penegakkan pelanggaran HAM berat, kelengkapan hasil penyidikan sangat berperan dalam hal melakukan penuntutan di persidangan pengadilan HAM. Sementara dalam hukum acara pidana umum mengenal adanya lembaga prapenuntutan dalam hal hasil penyidikan kurang lengkap.

Penelitian hukum normatif dalam penulisan ini beranjak dari adanya kekaburan norma atas proses penanganan ketidaklengkapan berkas penyidikan yang terdapat dalam pasal 22 Undang-undang nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM , yang didalamnya tidak menjelaskan bagaimana prosedur pengembalian berkas penyidikan oleh penuntut umum ke penyidik yang dimana dalam pengadilan HAM keduanya merupakan kewenangan dari jaksa agung

Berdasarkan pada beberapa penelitian terdahulu mengenai proses pengembalian berkas penyidikan dalam pengadilan HAM yang diantaranya : "Eksistensi Pengadilan Hak Asasi Manusia Terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan." Yang ditulis oleh Fatma faisal menyimpulkan bahwa hukum acara yang digunakan dalam pengadilan HAM menggunakan Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (selanjutnya disebut sebagai UU Pengadilan HAM) yang mensyaratkan digunakannya ketentuan dalam KUHAP kecuali yang ditentukan secara khusus dalam UU No. 26 Tahun 2000. Berikutnya penelitian berjudul “Mekanisme Penyidikan Dan Penuntutan Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM” yang ditulis oleh Demis F. Anaada

menyimpulkan bahwa Mekanisme penyidikan dan penuntutan pelanggaran HAM dapat dilaksanakan menurut Hukum Acara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM dan KUHAP. Kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penuntutan pelanggaran hak asasi manusia berat diberikan kepada Jaksa Agung. Dan penelitian yang ketiga berjudul “Perspektif Penegakan Hak Asasi Manusia Melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia” yang ditulis oleh Nandang Kusnadi menyimpulkan sebgaian besar pengaturan dalam pengadilan HAM masih menginduk pada KUHAP dan tidak terdapat mekanisme penyelesaian perbedaan pendapat antara penyidik dan penuntut umum mengenai perbedaan pendapat dalam proses penyidikan.

Berkaitan dengan latar belakang dari penelitian diatas, maka penulis hendak mengkaji melalui penulisan jurnal yang berjudul “PROSEDUR PENANGANAN KETIDAKLENGKAPAN HASIL PENYIDIKAN DALAM PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA”.

  • 1.2.    Permasalahan

Berdasarkan rumusan diatas, dapat ditemukan permasalahan yang akan menjadi pembahasan dalam karya ilmiah ini :

  • 1.    Bagaimanakah yurisdiksi pengadilan HAM di Indonesia ?

  • 2.    Bagaimana penanganan ketidaklengkapan hasil penyidikan pelanggaran HAM berat ?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

  • 1.    Menganalisa dan mengetahui bagaimana prosedur penyidikan dalam pengadilan HAM.

  • 2.    Menganalisa dan mengetahui prosedur penanganan ketidaklengkapan hasil penyidikan pelanggaran HAM berat.

  • 2.    METODE PENELITIAN

Dalam karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Tujuan dari penelitian hukum normatif ialah meneliti kaidah atau norma.7 Penelitian hukum normatif dalam penulisan ini beranjak dari adanya kekaburan norma atas proses penanganan ketidaklengkapan berkas penyidikan yang terdapat dalam pasal 22 Undang-undang nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM , yang didalamnya tidak secara jelas menyebutkan bagaimana prosedur pengembalian berkas penyidikan oleh penuntut umum ke penyidik dalam pengadilan HAM. Dalam penelitian karya ilmiah ini menggunakan dua pendekatan yaitu, yang pertama pendekatan perundang-undangan atau yang sering disebut “statute approach” yaitu metode pendekatan yang didasarkan pada penelaahan berbagai peraturan perundang-undangan, dalam karya ilmiah ini penelaahan dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Penelitian ini didasari atas pengaturan penanganan ketidaklengkapan hasil penyidikan perkara HAM berat yang kedua adalah pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum, sehingga melahirkan pengertian hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan masalah yang dihadapi. Bahan hukum yang digunakan untuk mendukung analisa dalam penelitian ini diantaranya :

  • a.    Bahan hukum primer berupa : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

  • b.    Bahan hukum sekunder berupa jurnal hukum, buku, dan berbagai hasil penelitian yang sesuai dengan pembahasan karya ilmiah ini.

  • 3.   Hasil Penelitian

    3.1  Yurisdiksi Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Pengadilan HAM merupakan salah satu pengadilan khusus yang terdapat dalam lingkungan pengadilan umum. Pengadilan HAM secara khusus dibentuk untuk menuntaskan kasus-kasus HAM berat yang terjadi di Indonesia, pembentukan pengadilan HAM didasari pada dibentuknya Undang-undang nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Pembentukan pengadilan HAM ini diharapkan agar dapat tercapainya proses peradilan yang melibatkan perkara pelanggaran HAM yang berat secara tidak memihak, sehingga dalam penanganan khusus HAM berat dapat menghilangkan keadaan tidak dapat dipidana terhadap pelaku pelanggaran HAM berat dan dapat terciptanya keadilan bagi pihak saksi, korban dan keluarga korban agar memperoleh perlindungan dari segala bentuk tindakan ancaman.8

Pengadilan HAM mengatur mengenai kekhususan tentang penanganan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang termasuk dalam pelanggaran HAM yang berat dengan mengimplementasikan beberapa norma-norma yang terdapat dalam hukum internasional. Prinsip tanggung jawab individual merupakan salah satu norma internasional yang ditafsirkan pada UU Pengadilan HAM dalam pasal 1 ayat (4) UU Pengadilan HAM9. Berdasarkan pada Pasal 6 UU Pengadilan HAM, Pengadilan HAM ditujukan pada individu. Sekalipun demikian Undang-undang ini tidak memiliki yurisdiksi dalam memeriksa anak dibawah usia 18 tahun dikala pelanggaran HAM berat tersebut terjadi. Pada Pasal 5 UU Pengadilan HAM menjelaskan bahwa wilayah yurisdiksi Pengadilan HAM tidak hanya sebatas diwilayah Indonesia akan tetapi termasuk juga pelanggaran HAM berat yang

terjadi diluar wilayah negara Indonesia yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.10

Berbeda dengan pengadilan pidana pada umumnya, pengadilan HAM hanya memiliki kewenangan dalam lingkup yang lebih kecil dibandingkan pengadilan pidana umum, pembatasan kewenangan pengadilan HAM sebagaimana disebutkan pada pasal 4 UU Pengadilan HAM menjelaskan “Pengadilan hak asasi manusia bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat” Kemudian, dalam Pasal 7 Undang-Undang Pengadilan HAM dan merujuk pada pasal 6 dan 7 “Rome Statute of The International Criminal Court ” menyatakan terdapat dua jenis pelanggaran HAM berat yang diantaranya dapat dijabarkan sebagai berikut:

  • 1.    Kejahatan genosida;

Penjelasan mengenai arti dari genosida terdapat dalam Pasal 7 huruf a UU Pengadilan HAM yang mendefinisikan genosida sebagai “setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:”

  • a.    Membunuh anggota kelompok;

  • b.    Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

  • c.    Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

  • d.    Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau

  • e.    Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Genosida juga dapat diartikan sebagai kejahatan pemusnahan atau kosnpirasi untuk memusnahkan sekelompok orang yang dikeompokkan dalam etnis, ras, kebangsaan dan/atau suatu agama.11 Dalam masa sekarang kelompok etnis merupakan kelompok-kelompok yang berpeluang cukup besar menjadi target dari kejahatan genosida.12 Kejahatan genosida juga memiliki arti kejahatan yang berhubungan dengan penghapusan suatu etnis.

Komite keenam majelis umum PBB atau yang kerap disebut komite hukum majelis umum PBB memberikan kesimpulan bahwa kejahatan genosida tidak hanya mencakup pemusnahan ras, etnis, atau agama, melainkan juga termasuk kejahatan terhadap kelompok-kelompok politik. Menurut pendapat komite hukum majelis umum PBB pemusnahan terhadap suatu kelompok politik tersebut

dapat menyebabkan gangguan internasional karena dapat menimbulkan berbagai masalah dalam bidang politik suatu negara.13

Kejahatan genosida memiliki perbedaan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Yang menjadi pembeda antara lain ialah, pertama dari sisi korban kejahatan genosida menargetkan pemusnahan terhadap suatu kelompok ras, agama, etnis, dan/atau bangsa tertentu, sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan menargetkan warga sipil dari suatu Negara. Kedua, dalam kejahatan genosida memiliki syarat “maksud untuk mengahancurkan kesuluruhan atau sebagian”, sedangkan dalam pengaturan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan tidak terdapat syarat tersebut.14

  • 2.    Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Kejahatan Terhadap kemanusiaan merupakaan satu dari dua jenis pelanggaran HAM berat yang disebutkan dalam UU Pengadilan HAM , berdasarkan pada pasal 7 huruf b UU Pengadilan HAM menjelaskan kejahatan terhadap kemanusiaan ialah “salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa” :

  • a.    Pembunuhan;

  • b.    Pemusnahan;

  • c.    Perbudakan;

  • d.    Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

  • e.    Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

  • f.    Penyiksaan;

  • g.    Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

  • h.    Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

  • i.    Penghilangan orang secara paksa; atau

  • j.    Kejahatan apartheid.

Dalam hukum HAM internasional, dapat disimpulkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dianggap sebagai kejahatan paling serius sehingga menyita banyak perhatian dari komunitas internasional, sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 5 Statuta Roma. Dalam hukum positif di Indonesia, kejahatan

terhadap kemanusiaan adalah pelanggaran hak asasi manusia berat sebagaimana diatur pada Pasal 7 UU Pengadilan HAM.15

Kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu pelanggaran berat sebagaimana diatur dalam UU Pengadilan HAM dan pelanggaran HAM biasa sebagaimana diatur dalam KUHAP, hal yang menjadi pembeda sehingga dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM berat antara lain sebagai berikut :16

  • a.    Kejahatan tersebut harus bersifat meluas dan sistematik;

  • b.    Kejahatan tersebut secara langsung ditujukan kepada warga sipil;

  • c.    Kejahatan tersebut merupakan kelanjutan kebijakan yang berkaitan dengan suatu organisasi.

Suatu pelanggaran HAM dapat dikatan sebagai Pelanggaran HAM berat hanya jika dalam peristiwa tersebut memnuhi ketiga unsur diatas. sedangkan apabila ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi maka kejahatan tersebut dianggap sebagai tindak pidana umum yang pengaturannya terdapat dalam KUHP dan kewenangan pemeriksaan dan memutus perkara tersebut terdapat pada pengadilan umum.

  • 3.2 Penanganan Ketidaklengkapan Hasil Penyidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat

Dalam UU Pengadilan HAM tidak terdapat pengertian mengenai penyidikan, akan tetapi pengertian penyidikan dapat diambil dari KUHAP sebagai lex generalis UU Pengadilan HAM. Berdasarkan pada Pasal 1 angka 1 KUHAP “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya” Dikarenakan oleh pelanggaran HAM berat merupakan extraordinary crimes, maka penyidikan dan penuntutan terhadap perkara pelanggaran HAM berat tidak dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.

Mengacu kepada KUHAP sebagai lex generalis dari UU Pengadilan HAM, suatu hasil penyidikan perkara pidana yang telah dilakukan oleh penyidik tidak dapat dituntut dan dilimpahkan secara langsung kepada pengadilan. Sebelum mengajukan file kasus ke pengadilan, jaksa penuntut harus melakukan beberapa hal, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

  • 1.    Penuntut umum harus mempelajari berkas perkara yang telah diajukan oleh pihak penyidik, apakah berkas perkara tersebut telah cukup kuat dan memiliki cukup bukti untuk menyatakan bahwa pihak terdakwa secara jelas melakukan suatu tindak pidana.

  • 2.    Jika menurut pendapat penuntut umum berkas perkara tersebut telah cukup kuat dan memeiliki bukti yang cukup, maka berdasarkan

kepada berkas perkara tersebut maka penuntut umum membuat surat dakwaan.

Adanya prosedur yang harus dilakukan oleh penuntut umum yaitu meneliti dan mempelajari hasil penyidikan tersebut, karena dimungkinkan adanya hasil penyidikan yang kurang lengkap oleh penyidik (polisi). Hasil penyidikan tindak pidana sangatlah penting dalam pembuktian suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa dalam persidangan di pengadilan. Memperhatikan ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP, bahwa hakim tidak dapat menjatuhkan pidana kepada seorang apabila tidak terdapat bukti yang kuat sekurang-kurangnya dua bukti, dan juga berdasarkan kepada bukti tersebut dapat diyakinkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana dan bahwa pihak terdakwa dapat dinyatakan bersalah atas tindakannya tersebut.

Mengadakan prapenuntutan, yang merupakan wewenang Jaksa yang diatur dalam Pasal 14 huruf b KUHAP bahwa :

“Penuntut umum mempunyai wewenang: mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.”

Mengenai rumusan Pasal 14 huruf b KUHAP tersebut, diadakannya prapenuntutan harus memperhatikan Pasal 110 ayat (3) KUHAP yang berbunyi “Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.” Dan juga Pasal 110 ayat (4) KUHAP yang berbunyi “Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum.”

Memperhatikan Pasal 138 ayat (1) j.o Pasal 138 ayat (2) KUHAP dapat disimpulkan bahwa penuntut umum harus melakukan penelitian dan peninjauan kembali segera setelah menerima hasil penyelidikan penyidik, dan harus memberi tahu penyidik tentang kelengkapan hasil penyelidikan dalam waktu 7 hari. Jika hasil investigasi tidak lengkap, penuntut umum mengembalikan file kasus kepada penyidik dengan instruksi yang harus diselesaikan, dan penyidik harus mengembalikan file kasus kepada penuntut umum dalam waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya dokumen.

Sebagaimana bahwa di dalam penanganan perkara pelanggaran HAM berat, Jaksa Agung selaku pimpinan institusi Kejaksaan Negara Republik Indonesia yang merupakan suatu institusi pelaksana kekuasaan kehakiman di bidang penuntutan, dalam Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (1) UU Pengadilan HAM Jaksa Agung diberi wewenang melakukan penyidikan sekaligus melakukan penuntutan. Di dalam melaksanakan wewenang sebagai penyidik dan penuntut umum Jaksa Agung diberi wewenang membentuk penyidik ad hoc dan penuntut umum ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan atau masyarakat. Peran ganda dari Jaksa Agung ini menimbulkan pertanyaan apabila terdapat

ketidaklengkapan hasil penyidikan terhadap perkara pelanggaran HAM berat apakah terdapat suatu lembaga prapenuntutan.

Di dalam hukum acara peradilan HAM sebagai lex specialis yang terdapat satu lembaga yang menjadi penyidik sekaligus menjadi penuntut umum, dalam hal terjadi ketidaklengkapan hasil penyidikan perkara pelanggaran HAM berat terdapat prosedur yang diberikan oleh UU Pengadilan HAM. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 UU Pengadilan HAM, bahwa:

  • a.    Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan (3) wajib diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik.;

  • b.    Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.;

  • c.    Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.;

  • d.    Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dari hasil penyidikan tidak diperoleh bukti yang cukup, maka wajib dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung.;

  • e.    Setelah surat perintah penghentian penyidikan dikeluarkan, penyidikan hanya dapat dibuka kembali dan dilanjutkan apabila terdapat alasan dan bukti lain yang melengkapi hasil penyidikan untuk dilakukan penuntutan.;

  • f.    Dalam hal penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat diterima oleh korban atau keluarganya, maka korban, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga, berhak mengajukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan kepada Pasal 22 ayat (4) UU Pengadilan HAM sebagaimana tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa bila jaksa agung sebagai penyidik tidak dapat menemukan cukup bukti untuk menyatakan tindakan tersebut merupakan pelanggaran HAM maka penyidik wajib megeluarkan surat penghentian penyidikan17, hal tersebut sesuai dengan tersebut sesuai dengan yang terdapat dalam pasal 109 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya”.

Selanjutnya dalam Pasal 22 ayat (5) UU Pengadilan HAM Penghentian penyidikan sesuai yang tersebut diatas bersifat sementara yang dapat diartikan apabila disuatu waktu ditemukan bukti-bukti untuk memperkuat tindakan tersebut merupakan pelanggaran HAM berat maka penyidikan terhadap kasus tersebut dapat dibuka kembali. Apabila dalam waktu sesuai yang ditentukan pada pasal 22 ayat (1) hingga ayat (3) UU Pengadilan HAM penyidik dalam hal ini jaksa agung belum mengembalikan dan belum memperoleh hasil penyidikan yang lengkap pada proses penyidikan ataupun penyidikan tambahan sesuai dengan waktu tersebut dan penyidik tidak mengembalikan berkas acara hasil penyidikan yang telah diberi petunjuk oleh penuntut umum dalam hal ini jaksa agung karena merasa berkas perkara tersebut tidak bisa dilengkapi maka penyidik wajib segera memberitahukan hasilnya dan mengembalikan berkas perkara itu kepada pihak penuntut umum. Agar selanjutnya dapat ditindaklanjuti oleh pihak penuntut umum untuk mengembalikan berkas perkara tersebut kepada pihak penyidik ataupun mengeluarkan surat penghentian penyidikan (selanjutnya disebut SP3) untuk menghentikan proses penuntutan dengan segala konsekuensi hukum yang mungkin timbul.18

Mengenai pengeluaran SP3 tidak diatur dalam UU Pengadilan HAM, maka pengaturannya dapat ditarik kembali pada KUHAP yang merupakan lex generalis dalam undang-undang tersebut. Dijelaskan bahwa dalam hal ini penuntut umum memilik pendapat bahwa pada berkas perkara tersebut tidak ditemukan cukup bukti untuk dapat diajukan ke pengadilan, maka pihak penyidik wajib memberitahukan dalam bentuk laporan pada kepala kejaksaan negeri dan mempersiapkan “surat penetapan”. Surat penetapan ini disebutkan dalam Pasal 14 ayat (2) KUHAP yang disebut juga dengan istilah “SP3” yakni Surat Penetapan Penghentian Penuntutan. 19

Mengacu pada Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, Kejaksaan Negeri dapat mengeluarkan SP3 Jika salah satu dari kondisi berikut dipenuhi:

  • a.    Dalam proses penyidikan tidak ditemukan cukup bukti;

  • b.    Peristiwa tersebut bukan suatu tindak pidana; dan

  • c.    Perkara tersebut ditutup demi hukum.

Dalam pengadilan HAM yang dapat menjadi alasan dikeluarkannya SP3 hanya dapat disebabkan oleh tidak terdapat cukup bukti sebagaimana tertera dalam Pasal 22 ayat (4) UU Pengadilan HAM.

Selanjutnya dalam pasal Pasal 22 ayat (6) UU Pengadilan HAM disebutkan mengenai hak dari korban dan keluarga korban apabila tidak menerima penghentian penyidikan maka dapat mengajukan praperadilan. Mengacu pada pasal 1 angka 10 KUHAP, “praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang:

  • 1.    Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

  • 2.    Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

  • 3.    Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan”

Pada kasus ini, alasan kedua dapat digunakan sebagai alasan untuk permohonan praperadilan, Menurut prinsip pemeriksaan cepat, bentuk keputusan praperadilan harus sederhana dan singkat, dan tidak boleh mengurangi konten berdasarkan hukum dan pertimbangan eksplisit undang-undang.20

  • 4.    KESIMPULAN

Pengadilan HAM merupakan salah satu pengadilan khusus yang berada pada lingkungan Pengadilan Umum yang secara khusus dibentuk untuk menangani tindak pidana yang mencakup pelanggaran HAM berat berupa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 j.o Pasal 7 UU Pengadilan HAM.

Dalam Pengadilan HAM proses pengembalian berkas penyidikan yang belum lengkap oleh jaksa agung sebagai penuntut umum kepada jaksa agung sebagai penyidik diatur dalam Pasal 22 ayat (1) sampai dengan Pasal 22 ayat (5) UU Pengadilan HAM, dan untuk pengaturan mengani proses pengembalian berkas penyidikan oleh penuntut umum kepada penyidik dalam UU Pengadilan HAM yang kurang jelas dapat mengacu kepada KUHAP sebagai lex generalis dari UU Pengadilan HAM.

  • 5.    SARAN

Penulis berharap penyidik dalam hal ini Jaksa Agung beserta penyidik ad hoc sebaiknya tetap memperhatikan wewenang yang diberikan oleh KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) sebagai lex generalis dari UU Pengadilan HAM, selain ditentukan lain dalam UU Pengadilan HAM agar dalam proses penyidikan diperoleh hasil semaksimal mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Azhary, H. Muhammad Tahir. Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana dan Hukum Islam. Prenada Media, 2015

Nasution, Bahder Johan. Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Mandar Maju, 2011 Rozali, Abdullah. Perkembangan HAM dan Keberadaan Pengadilan HAM di Indonesia. ghalia indonesia, 2002.

Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Edisi revisi. Cahya Atma Pustaka, 2014.

Jurnal :

Afandi, Ridwan. "Pengembalian Berkas Perkara Tindak Pidana dari Kejaksaan Kepada Kepolisian." Lex Crimen 2, no. 6 (2013).

Anaada, Demis F. "Mekanisme Penyidikan Dan Penuntutan Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM." LEX PRIVATUM 6, no. 4 (2018).

Faisal, Fatma. "Eksistensi Pengadilan Hak Asasi Manusia Terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan." Gorontalo Law Review 2, no. 1 (2019): 33-48.

Halili, Halili. "Pengadilan Hak Asasi Manusia dan pelanggengan budaya impunitas." Jurnal Civics: Media Kajian Kewarganegaraan 7, no. 1 (2010). Hassanah, H. (2017). “Kejahatan Genosida Dalam Ketentuan Hukum Nasional Sebagai Kejahatan Tradisional”. Maleo Law Journal, 1(2).

Hermanto, Bagus. "Rekonstruksi Penguatan Eksistensi Pengadilan Hak Asasi Manusia Di Indonesia Berlandaskan Pancasila Dan Statuta Roma Terhadap Pengaturan Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia." Jurnal Legislasi Indonesia 16, no. 1 (2019): 89-106

Kumendong, Wempie JH. "Kajian Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Menurut Uu No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM." (2012).

Kusnadi, Nandang. "Perspektif Penegakan Hak Asasi Manusia Melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia." PAKUAN LAW REVIEW 3, no. 1 (2017). Makamea, R. (2018). “Pengembalian Berkas Perkara Dari Penuntut Umum Kepada Penyidik”. Lex Crimen, 7(5).

Oka Mahadewi, I Gusti Ayu. Skripsi “Kajian Yuridis Kedudukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”. Fakultas Hukum Universitas Mataram

Prasetyo, Teguh, and Jeferson Kameo. "Peradilan Hak Asasi Manusia: Suatu Perspektif Menurut Jurisprudence Keadilan Bermartabat." DiH: Jurnal Ilmu Hukum 15, no. 2 (2019): 143-154.

Situngkir, Danel Aditia. "Perbandingan Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dengan Pengadilan HAM." Indonesian Journal of Criminal Law 1, no. 2 (2019): 109-120.

Turangan, Doortje D. "Tindakan Kejahatan Genosida dalam Ketentuan Hukum Internasional dan Hukum Nasional." (2011)

Wiratraman, R. H. P. (2008). “Konsep dan Pengaturan Hukum Kejahatan terhadap Kemanusiaan”. Jurnal Ilmu Hukum Yuridika, (2

Wulandari, Sri. "Kajian tentang Praperadilan dalam Hukum Pidana." Serat Acitya 4, no. 3 (2016): 1.

Instrumen Internasional :

Rome Statute of The International Criminal Court 1998

Peruaturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 2018; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026

Jurnal Kertha Wicara Vol.9 No.10 Tahun 2020, hlm. 1-14.