PENGATURAN HUKUM TERHADAP KORBAN SALAH

TANGKAP DITINJAU DARI PERSPEKTIF SISTEM
PERADILAN PIDANA

Komang Panji Jayawisastra, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dilakukannya penelitian ini tidak lain untuk memberikan pemahaman kepada semua pihak bahwa didalam menjalankan proses hukum warga negara juga memiliki hak-hak yang tidak bisa dilanggar oleh para penegak hukum didalam proses peradilan pidana. Disisi lain didalam jurnal ini juga memuat mekanisme dan tanggug jawab negara jika terjadi kejadian salah tangkap yang merupakan penyalahgunaan asas praduga tak bersalah oleh penegak hukum. Jenis penelitian yang digunakan didalam menyusun jurnal ini adalah penelitian normtif dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa: Pertama, Perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap telah diatur secara yuridis pada pasal 50 hingga Pasal 68 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang pada intinya menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia korban termasuk mekanisme bagaimana jika terjadi salah tangkap. Kemudian, perlindungan hukum terhadap warga Negara dalam sistem peradilan pidana secara esensial diserap dari asas persamaan derajat dihadapan hukum, praduga tak bersalah dan Miranda rule. Kedua, konsekuensi hukum terhadap korban salah tangkap adalah Negara dalam hal ini wajib bertanggung jawab untuk memberikan hak-hak hukum yang semestinya diterima oleh korban sesuai dengan amanat pasal 95 hingga pasal 97 KUHAP serta Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 yang pada intinya mengatur bahwa negara harus memberikan ganti kerugian serta rehabilitasi kepada korban salah tangkap, namun didalam pengaturan norma tersebut tidak ditentukan secara tegas bentuk ganti rugi sehingga aturan tersebut tidak mencerminkan kepastian hukum baik bagi penegak hukum maupun masyarakat.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Sistem Peradilan Pidana, Salah Tangkap.

ABSTRACT

The research is pointed to giving understanding regarding to the citizen’s right on law enforcement process, in which it is forbidden to be violated by law enforcer on criminal justice process. Moreover, this research examines state responsibility and mechanism to every citizen regarding to wrongful arrestment referred as presumption of innocent principle violation by law enforcer. The research method on this paper utilizing legal normative method by observing relevant statutory act regarding to matter point of this journal. This research discovered several results, namely: First, legal protection to wrongful arrestment victim has been regulated in the Criminal Procedural Statutory Act of Indonesia article 50 to 68 in which respecting the victim’s Human Right. On the other hand, citizen’s legal protection on criminal law enforcement process is essentially absorbed from several legal principles such as: equality before the law, presumption of innocence and Miranda rule. Second, the state legal consequences to any wrongful arrestment victim is obligatory, according to article number 95 to 97 of Criminal Procedural Statutory Act of Indonesia and Government Act number 92 year 2015 which regulates state is liable to any wrongful arrestement victim equitable damages fulfillment, yet the regulation does not elaborate specific forms of damages fulfillment, this situation does not reflect legal certainty to law enforcer as well as citizen.

Keywords: Legal Protection, Criminal Justice System, Wrongful Arrestment.

  • I.    Pendahuluan

    Latar Belakang Masalah

Keberadaan hukum ditengah masyarakat menjadi kesatuan utuh dengan kehidupan manusia sehingga hukum dan manusia tidak bisa dipisahkan. Hal ini dikarenakan hukum selalu mengikuti kehidupan manusia sejak manusia masih di dalam kandungan sekalipun hingga manusia itu hidup dan mati. Sejalan juga dengan pemikiran seorang filsuf kenamaan, yakni Cicero mengungkapkan bahwa “di mana ada masyarakat, di situ ada hukum”. Hukum mengemban peran sentral yang sangat strategis dalam kehidupan sosial manusia yaitu dengan adanya hukum, hidup manusia dapat terproteksi, sehingga dapat membina kehidupan secara berdampingan dan mampu mempertahankan keberadaannya di dunia ini sepanjang sejarah peradaban manusia itu masih ada. Negara Indonesia merupakan Negara hukum, ketentuan itu sudah jelas dituangkan dalam pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Maka dari itu Indonesia sangatlah menjunjung tinggi hukum yang ada di negaranya serta seluruh tindak-tanduk yang ada di negaranya harus didasari dan berlandaskan oleh hukum yang sengaja dibuat untuk mengatur warga Negara dan juga tatanan pemerintahannya sendiri. Tentunya dengan keberadaan hukum di masyarakat tidak lepas dari tujuan dibuatkannya hukum yakni keadilan, kepastian dan kemanfaatan walaupun penerapan hukum pidana merupakan jalan terakhir dalam menyelesaiakan suatu permasalahan 1

Negara hukum sejatinya memiliki pondasi baku bersifat umum hingga prinsipil, layaknya suatu rekognisi serta proteksi terhadap suatu hak asasi2 Pengakuan terhadap hak asasi manusia merupakan salah satu hal penting bagi suatu negara hukum. Hal tersebut berlaku kepada setiap warga negara tak terkecuali seorang warga negara yang terlibat dengan hukum. Walaupun hukum pidana dikatakan sebagai pedang bermata dua yakni disatu sisi melindungi hak asasi dan disisi lain dapat pula mencabut hak asasi tetapi hal-hal yang bersifat dasar tentang konsep hak asasi manusia tidak dapat diabaikan. Dengan dikatakannya seseorang melakukan pelanggaran hukum bukan berarti hak asasinya dapat dikesampingkan apalagi suatu kejadian tersebut belum memiliki kekuatan hukum tetap. Indonesia sebagai negara hukum tentu sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia walaupun pada kenyataannya banyak sekali kejadian-kejadian salah tangkap yang kasusunya hanya menjadi cerita saja tanpa adanya tindakan hukum yang lebih jauh baik itu terhadap penegak hukum yang bersalah atau ganti kerugian terhadap korban. Salah satu kejadian yang sangat memilukan misalnya kasus Sengkon dan Karta.

Melihat perkembangan dewasa ini banyak sekali hal-hal yang berkaitan dengan salah tangkap yang berujung pada pembiaran terhadap perkara-perkaranya dan samasekali tidak memikirkan keadaan korban. Aturan yang tidak jelas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hal tersebut dapat terjadi. Misalnya Pemerintah No. 92 Tahun 2015 mengenai mekanisme pemberian ganti kerugian terhadap korban salah tangkap banyak sekali terdapat aturan-aturan yang kabur sehingga kesannya didalam pemberian ganti kerugian diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing sub sistem pada sistem peradilan pidana tanpa adanya

batasan-batasan yang jelas. Hal tersebut sangat bertentangan dengan tujuan hukum yakni keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Suatu proteksi terhadap hak asasi manusia, dalam hal perlindungan setiap korban kejahatan dimaknai sebagai suatu wujud nyata atas adanya penjaminan dari hak asasi manusia. Upaya proteksi hak asasi manusia pastinya tentu diperlukan adanya peraturan yang bersifat larangan bagi suatu sistem hukum serta derajat suatu sistem peradilan pidana dalam perihal proteksi dan penegakan hak asasi manusia.3 Jika dilihat dalam sistem hukum nasional, perlindungan terhadap korban kejahatan sepertinya masih belum mendapatkan sorotan yang mengkhusus. Letak korban kejahatan didalam proses peradilan pidana di Indonesia tampaknya masih bersifat relatif, halnya dengan pelaku kejahatan (offender oriented). Kenyataan ini dibuktikan dengan kurangnya regulasi terkai dengan proteksi terhadap hak yang didapatkan oleh korban kejahatan dalam peraturan perundang-undangan skala nasional. Timbulnya ketidakadilan antara proteksi yang dihadapkan oleh pelaku kejahatan beserta perlindungan terhadap korban kejahatan termasuk suatu hal yang sangat menyimpang dari adanya Pasal 27 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 yang kemudian disebut UUD NRI 1945 yang secara eksplisit terdapat penjelasan bahwa setiap warga negara Indonesia itu memiliki kedudukan yang sederajat atau seimbang di mata hukum dan juga pemerintahan. Berkaitan dengan hal ini, warga negara diwajibkan untuk sangat menghormati hukum dan juga pemerintahan yang ada di Indonesia. Didalam konteks ini seluruh warga negara mempunyai hak setara di mata hukum sehingga wajib untuk diperlakukan secara baik dan adil sesuai dengan nilai yang terkandung dalam asas equality before the law.

Dewasa ini permasalahan yang terutama sering terdapat di dalam lingkungan proses peradilan pidana seperti misalnya adanya pelanggaran suatu hak yang terjadi pada salah satu ataupun juga semua tingkat proses pemeriksaan.4 Kejadian salah tangkap merupakan tanggung jawab sepenuhnya bagi subsistem sistem peradilan pidana khususnya Kepolisian dan Kejaksaan. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya salah tangkap ini adalah kurangnya wawasan dan profesionalisme para aparat penegak hukum menyebabkan kerap terjadinya pelanggaran prosedur dan juga kesalahan dalam mengidentifikasi para korban tindak pidana, dimana sering terjadi di Indonesia. Peristiwa cacat prosedur dan kesalahan proses penyidikan tentunya dapat berakibat adanya kesalahan didalam menentukan tersangka sehingga berujung kekeliruan, hal inilah yang disebut sebagai peristiwa salah tangkap. Kejadian salah tangkap biasa juga disebut sebagai error in persona, berawal oleh adanya kesalahan oleh manusia yang dimaksud dalam hal ini dilakukan oleh penyidik didalam proses penyidikan. Ternyata kesalahan yang dilakukan dalam proses penyidikan mempunyai dampak yang sangat besar bagi orang yang mengalaminya karena jika tidak dibenahi maka hal tersebut kelak kian merembet pada mekanisme berikutnya. Bilamana memang terdapat suatu kesalahan didalam proses penyidikan sebelum dikeluarkannya putusan oleh pengadilan secara resmi, tersangka maupun sanak keluarganya diperbolehkan mengajukan suatu praperadilan. Praperadilan merupakan suatu wewenang yang dimiliki suatu pengadilan negeri dalam memeriksa serta juga memutus guna menentukan sah atau tidak sahnya suatu upaya paksa, khususnya yang memiliki kaitan dengan penangkapan serta

penahanan. Akan tetapi bilamana kekeliruan dalam penangkapan tersebut baru diketahui kebenarannya sesudah perkaranya diputuskan oleh pengadilan maka kemudian yang terjadi adalah individu atau warga negara yang diproses di peradilan pidana bisa mengajukan upaya hukum luar biasa biarpun putusan hakim memiliki kekuatan hukum yang tetap.

Adanya peristiwa salah tangkap kepada individu atau warga negara yang sejatinya tidak memiliki kesalahan tentunya akan bersifat merugikan orang-orang tersebut. Orang yang mengalami peristiwa salah tangkap pastinya dengan sangat terpaksa harus merasakan dinginnya sel kurungan, siksaan batin yang sangat mempengaruhi kondisi orang tersebut selain itu dampak lainnya adalah tercemarnya nama baik seseorang di lingkungan masyarakat akan sangat merugikan dan disinilah perlu peran dari aparat penegak hukum agar kerugian misalnya dengan adanya rehabilitasi untuk pemulihan nama baik. Beberapa kasus bahkan juga harus menanggung beban hukuman yang sama sekali tidak dibuatnya sekalipun. Peristiwa salah tangkap sudah pasti jelas membuat kondisi mental seseorang itu menjadi dalam tekanan sehingga akan menimbulkan dampak yang buruk pada kepribadian orang tersebut. Kurang jelasnya melakinme mengenai regulasi yang mengatur tentang ganti kerugian dan rehabilitasi terhadap korban salah tangkap menimbulkan kebingungan baik bagi penegak hukum maupun korban. Mirisnya di Indonesia ini perkara salah tangkap yang merupakan kesalahan yang tentunya dibuat oleh aparat penegak hukum setelah diketahui fakta yang sebenarnya terjadi, sering hanya berujung pembebasan terhadap korban yang salah tangkap atau pemberian ganti kerugian yang dinilai sarat akan penilaian subjektif dari hakim. Tentunya permintaan maaf belaka tanpa melihat kembali kerugian yang telah didapat oleh korban salah tangkap tidak dapat dibenarkan dan sangat bertentangan dengan asas keadilan dan kepastian hukum bagi korban. Hal ini sudah jelas merupakan suatu hal yang sangat tidak adil dikarenakan pihak aparatur negara tidak melihat hak-hak orang tersebut serta telah dianggap teledor karena tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagai penegak hukum di Indonesia selain regulasi yang perlu diperbaiki agar tidak menimbulkan tafsir yang kabur didalam penerapannya. Dengan permasalahan yang telah dipaparkan diatas maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut.

  • 1.2    Rumusan masalah

  • 1.    Bagaimana bentuk pengaturan hukum bagi korban salah tangkap didalam proses sistem peradilan pidana?

  • 2.    Bagaimana pengaturan tanggung jawab negara terhadap korban salah tangkap ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana?

  • 1.3    Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk memberikan pemahaman serta informasi mengenai bentuk suatu perlindungan hukum wajib didapatkan atau diberikan terhadap seorang individu atau warga negara yang sedang menjalani atau terlibat di dalam sistem peradilan pidana. Selain itu, untuk dapat mengetahui bagaimana bentuk tanggung jawab yang wajib diberi oleh negara terhadap korban salah tangkap yang ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana. Tidak dapat dipungkiri bahwa di Indonesia ini masih sering terjadi adanya peristiwa salah tangkap yang sering dilaksanakan oleh para aparat penegak hukum didalam menjalankan sistem peradilan pidana, hal ini kerap terjadi dikarenakan adanya faktor human eror yang kemudian dampaknya sangat besar dirasakan oleh korban salah tangkap tersebut. Bahkan didalam proses penyelesaiannya pun hanya berujung permintaan

maaf dari para aparat penegak hukum tanpa melihat hak-hak dari korban salah tangkap tersebut padahal yang sebenarnya negara harus memberikan tanggung jawab dari adanya peristiwa salah tangkap tersebut. Oleh karena itu dalam jurnal ini akan lebih berfokus dalam menjelaskan tentang hak-hak yang didapat oleh seseorang didalam menjalani proses sistem peradilan pidana serta tanggung jawab yang diberikan oleh negara bilamana terjadinya peristiwa salah tangkap yang dilaksanakan oleh para aparat penegak hukum.

  • II.    Metode Penelitian

Didalam penulisan jurnal ilmiah tentunya menggunakan berbagai metode-metode penelitian sebagai acuan baku penulisan. Metode yang digunakan merupakan suatu metode yang dinamakan metode kepustakaan atau dikenal secara luas dengan sebutan metode penelitian normatif yang memang sering digunakan dalam kajian-kajian ilmu hukum. Pendekatan seperti halnya menggunakan peraturan perundang-undangan artinya menelaah peraturan yang berkaitan dengan pokok bahasan, kemudian juga menerapkan pendekatan konseptual yang berarti merujuk pada suatu konsep, serta menggunakan pendapat atau pandangan para ahli (doktrin) yang berkaitan dengan ilmu hukum. Pengumpulan bahan dengan menggunakan metode studi pustaka melalui berbagai literatur, jurnal ilmiah, serta literatur lain yang berkaitan dengan pembahasan dan juga dalam pengolahan bahan jurnal tersebut menggunakan metode deskripsi dengan cara melihat suatu fenomena yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai bahan pokok hukum primer yaitu UUD NRI 1945, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP, Peraturan Pemerintah No 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan KUHAP. Kemudian bahan hukum sekunder didalam pembuatan jurnal ini yakni meliputi literatur serta karya ilmiah yang memiliki korelasi terhadap rumusan masalah juga bahan hukum tersier yang mencorakkan elaborasi terhadap bahan hukum sebelumnya sebagai penopang dalam penulisan jurnal ilmiah ini.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Hukum Bagi Korban Salah Tangkap didalam Proses Sistem Peradilan Pidana

Sebagai sebuah Negara hukum, Indonesia mengenal suatu sistem baku yang berkorelasi dengan proses penegakan hukum serta proteksi penuh terhadap suatu Hak Asasi Manusia. Sistematika peradilan integratif tersebut dikenal secara luas dengan sistem peradilan pidana (integrated criminal justice system). Eksistensinya ditengah kehidupan masyarakat, proses peradilan pidana memiliki tujuan demi mengatasi permasalahan kejahatan yang berada di tengah lingkungan masyarakat. Keberhasilan sistem peradilan pidana dilihat dari mayoritas laporan maupun aduan korban kriminal dapat dituntaskan dengan cara diseretnya pelaku tersebut ke meja hijau dan diputus bersalah dan mendapatkan hukuman pidana yang setimpal. Ruang lingkup sistem tersebut mecakup pada pencegahan timbulnya kejahatan di dalam masyarakat, menuntaskan kejahatan yang telah terjadi sehingga masyarakat merasa aman dalam menjalankan kehidupannya, kemudian memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan agar tidak mengulangi perbuatan yang telah dilakukannya. Didalam menjalankan proses peradilan pidana di Indonesia terdapat

komponen mutlak dalam menggerakkannya. Komponen tersebut yakni instansi di pemerintahan seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, serta Lembaga permasyarakatan.

Sistem peradilan pidana di Indonesia sejatinya sebagai suatu proses dalam menegakkan dan menjalankan hukum pidana yang didalamnya terbagi atas 4 (empat) macam subsitem walaupun dalam perkembangan ilmu hukum dewasa ini memasukkan advokat sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana yang artinya ada 5 sub sistem yang berperan didalam proses peradilan pidana di Indonesia. Sistem yang dimaksud yakni sistem penyidikan yang dilaksanakan oleh kepolisian, sistem penuntutan yang dilakukan lembaga kejaksaan, sistem mengadili dan juga memutuskan putusan hukuman pidana yang dilakukan dari badan peradilan, serta sistem proses putusan pidana yang dilaksanakan oleh Lembaga permasyarakatan Keempat pelaksanaan subsistem inilah yang merupakan suatu paket dalam penegakan hukum pidana yang tak terpisahkan sehingga disebut sebagai Sistem Peradilan pidana Terpadu. Lembaga yang menjalankan proses peradilan pidana di Indonesia memiliki ikatan erat sehingga menimbulkan suatu koneksivitas antara Lembaga satu dengan Lembaga lainnya. Hal ini dapat dibuktikan dari kedudukan Lembaga kepolisian yang merupakan Lembaga yang menjadi gerbang utama dalam melakukan tindakan terhadap suatu perkara didalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Kepolisian berwenang dalam mendeterminasi orang yang pantas untuk disidik serta ditangkap dan juga ditahan. Secara nyata Lembaga kepolisian dalam menjalankan sistem peradilan pidana memiliki tupoksi yang berhubungan dengan penindakan semacam penyelidikan, penyidikan, penangkapan, dan penahanan, serta juga penyitaan. Dalam sistem peradilan pidana integratif, tindakan seperti itu bertujuan untuk menuntaskan setiap perkara yang telah masuk ke dalam Lembaga kepolisian dengan maksud agar proses tersebut dapat ditempuh dengan waktu yang efektif.

Kemudian setelah Lembaga kepolisian masuklah suatu perkara yang sedang diproses ke Lembaga Kejaksaan. Kejaksaan merupakan sebuah Lembaga di pemerintah yang menjalankan kewenangan negara perihal penuntutan beserta kekuasaan lainnya berdasarkan apa yang ada Undang-Undang. Kejaksaan di Indonesia memiliki fungsi yang ganda dalam menjalankan tugasnya yakni selain menjadi aparat penegak hukum kejaksaan ternyata juga memiliki pengaruh di lingkupan kekuasaan eksekutif maka dari itu kejaksaan kerap disapa sebagai Penuntut umum atau juga Jaksa. Sebagai penuntut umum, kejaksaan menjalankan tugasnya saat sudah mendapatkan berita acara pemeriksaan dari hasil penyidikan oleh Lembaga kepolisian. Setelah suatu berita acara pemeriksaan itu diberikan oleh kepolisian kepada kejaksaan, barulah penuntut umum mulai bekerja dalam membuat surat dakwaan sesuai dengan kasus atau perkara di berita acara pemeriksaan tersebut. Maka dari itu sudah sepatutnya kepolisian dan juga kejaksaan bias menjalin komunikasi yang baik sehingga dapat terwujudnya keadilan dalam menangani perkara hukum yang ada.

Setelah kejaksaan kemudian ada Lembaga Pengadilan yang memiliki tugas menjalankan kekuasaan kehakiman yang dilakukan dengan cara menyelenggarakan proses peradilan yang dilakukan oleh hakim yang memiliki fungsi menerima, memeriksa, juga mengadili, serta juga menyelesaikan seluruh proses perkara yang diterima olehnya. Lembaga Kepolisian dan Lembaga Pengadilan memiliki hubungan, hal ini ditinjau dari sisi dimana sewaktu penyidik mengajukan suatu permintaan perihal perpanjangan proses penahanan, juga ijin penggeledahan, serta penyitaan dan pemeriksaan surat-surat. Korelasi diantara penyidik serta hakim juga dapat dilihat saat tahap pemeriksaan yang berada di proses persidangan. Sementara hubungan antara kejaksaan selaku penuntut umum di dalam persidangan dengan hakim yaitu bilamana di proses peradilan, seorang hakim berpandangan

bahwa suatu surat dakwaan yang dirilis oleh kejaksaan sebagai penuntut umum tidak lengkap, jadi hakim mempunyai wewenang untuk mengembalikan surat dakwaan tersebut ke penuntut umum dengan tujuan agar surat dakwaan tersebut direvisi oleh Kejaksaan selaku penuntut umum.

Selesainya proses di Lembaga Pengadilan, sistem peradilan pidana selanjutnya berjalan menuju Lembaga Permasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan merupakan suatu tempat yang berguna untuk menampung para terpidana yang sedang menjalani proses hukumannya yang telah dipustuskan oleh Lembaga Pengadilan. Didalam Lembaga Pemasyarakatan para terpidana mendapatkan pembinaan secara fisik dan mental seperti misalnya pendidikan, mempelajari ilmu agama, dan juga mempelajari ilmu kewirausahaan agar nantinya kelak jika para terpidana dibebaskan mempunyai tingkat kreativitas yang bias digunakan dalam menjalani hidup di masyarakat tanpa mengulangi perbuatan yang melanggar hukum.5 Keterkaitan yang terjadi antara Lembaga Pemasyarakatan didalam proses peradilan pidana yakni disaat Lembaga Kejaksaan melakasanakan konteks tugas atau ditugaskan menjadi penuntut umum kemudian mengeksekusi suatu putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap yaitu dengan cara menyerahkan terpidana ke Lembaga Pemasyarakatan untuk menjalani proses masa hukuman terpidana tersebut. Semua proses inilah yang dinamakan Sistem Peradilan Pidana yang merupakan wujud nyata dari fungsi dan juga tugas dalam penegakan hukum pidana yang terpadu demi menciptakan situasi yang aman kondusif dan sejahtera serta menjunjung tinggi keadilan social seluruh rakyat Indonesia.

Implementasi konsepsi negara hukum didalam menerapakan sistem peradilan pidana dikenal menganut sistem Due Process Model (DPM). Sistem ini dilihat sebagai proses didalam sistem peradilan pidana yang berfokus dalam penanganan seorang terdakwa dilakukan dengan cara yang adil dan sejalan dengan konstitusi yang berada di Indonesia. Dalam Due Process Model hak-hak tiap individu dan juga martabatnya di dalam proses peradilan itu sangat dijunjung tinggi dan sangat dihargai tentunya. Sistem Due Process Model ini adalah cerminan kualitas terbaik dari proses hukum integratif sehingga diharapkan mampu menciptakan keadilan untuk semua pihak. Pengadilan yang bisa dibilang adil merupakan pengadilan yang mampu menjunjung hak-hak individu serta memberikan jaminan kepada setiap individu bahwa tidak mungkin dihukum secara tidak imbang. Suatu sistem hukum yang baik dan adil akan terwujud bilamana aparat penegak hukum yang dalam menangani perkara didalam proses peradilan pidana itu tidak hanya menjalankan tugasnya belaka akan tetapi juga aparat tersebut harus ikut memastikan bahwa segala hak setiap individu atau warga negara yang sedang berada di dalam sistem peradilan pidana tersebut sudah diterapkan sesuai prosedur baku yang obyektif. Indonesia dikenal menggunakan sistem Due Process Model atau DPM dalam menjalankan proses sistem peradilan pidananya, hal ini bisa dilihat dari beberapa asas dan juga peraturan perundang-undangan yang terdapat di Indonesia. konsewensi penerapan DPL ialah adanya pengakuan yang mutlak atas Hak Asasi Manusia didalam menjalankan sistem peradilan pidana.6

Indonesia memiliki Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP. Pasal-pasal dalam KUHAP memang tidak secara ekplisit terdapat pasal yang mejelaskan mengenai Indonesia menganut sistem Due Process Model akan tetapi secara substantive pasal-pasal didalam KUHAP dapat dikatakan mengarah ke sistem Due Process Model. Prinsip dari Due Process Model dapat dilihat pada pertimbangan yang ada di KUHAP yang bertujuan untuk memberikan suatu jaminan, perlindungan hukum, serta juga penegakan Hak Asasi Manusia. Perlindungan hukum tentu mengampu alur terpenting didalam proses peradilan pidana. Perlindungan hukum adalah suatu upaya hukum yang bersifat wajib didapatkan setiap masyarakat dari para aparat penegak hukum sebagaiana fungsinya agar memberikan rasa aman dan nyaman secara jasmani maupun rohani demi terciptanya keadilan bagi seluruh masyarakat. Perlindungan hukum itu menggambarkan kewajiban dan bentuk tanggung jawab yang menjadi tugas dari negara dalam rangka melindungi suatu Hak Asasi Manusia.7

Seluruh rangkaian yang ada pada sistem peradilan pidana ditentukan oleh KUHAP tentunya. Maka sebab itu kewajiban dalam memberikan jaminan oleh suatu proteksi hak asasi manusia terhadap warga negara yang sedang menghadapi proses sistem peradilan pidana hingga mengikuti keputusan final hukum diatur juga didalam Hukum Acara Pidana. Didalam proses peradilan pidana tentu saja para penegak hukum harus melihat hak-hak serta perlindungan hukum yang didapatkan oleh warga negara yang tentunya sedang mengikuti proses peradilan pidana tersebut. Di dalam KUHAP telah banyak mengatur mengenai perlindungan hukum yang diberikan untuk individu yang berada dalam proses peradilan pidana. Perlindungan hukum yang diberikan dari negara sudah disinggung di tiap-tiap pasal UUD 1945 dan KUHAP yang ada seperti halnya asas equality before the law, asas praduga tidak bersalah, dan Miranda Rule. Asas equality before the law merupakan suatu asas yang memiliki arti bahwa setiap warga negara memiliki derajat atau posisi yang sama di dalam hukum dan juga pemerintahan serta berkewajiban menghormati hukum dan pemerintahan tidak ada pengecualian.8 Prinsip dari asas equality before the law sejalan dan tertera pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, selain itu prinsip persamaan ini juga dapat kita lihat didalam UU No 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman khususnya pada pasal 4 yang pada intinya didalam pengadilan tidak membeda-bedakan orang didalam mencari keadilan. Asas equality before the law harus dilaksanakan bagaikan suatu prinsip utama didalam penerapan hukum yang ada di Indonesia yang dilakukan secara setara pada setiap orang. Persamaan perlakuan di depan hukum harus diartikan secara dinamis yang memiliki arti bilamana ada persamaan perlakuan untuk semua orang di depan hukum yang dimaksudkan dinamis ini diberi kepercayaan untuk memberikan jaminan adanya jalan demi memperoleh suatu keadilan bagi seluruh warga negara tanpa memperdulikan asal usulnya maupun latar belakang warga negara atau individu tersebut.

Bentuk implementasi penegakan hak asasi manusia di dalam proses peradilan pidana, KUHAP juga mengenal asas pokok yang dinamakan asas praduga tidak bersalah. Asas praduga tak bersalah (Presumtion of Inosence) merupakan suatu asas yang dapat membuat seorang warga negara sebagai individu hukum yang tidak bersalah sehingga pengadilan

sendiri yang memutuskan bahwa individu tersebut dapat dikatakan bersalah atau tidaknya.9 Jika dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur didalam KUHAP maka ada pasal-pasal khususnya pada penjelasan umum KUHAP butir ke 3 huruf c. Asas ini berarti dibenarkan adanya karena secara hukum individu dapat dikatakan bersalah hanya bila pengadilan yang memutuskan individu tersebut bersalah sehingga tidak ada terciptanya tuduhan-tuduhan secara sembarangan dan tidak berdasarkan adanya bukti. Didalam asas ini tentu memuat isi yang sangat kental dan erat kaitannya dengan Hak Asasi manusia maka dari itu para aparat penegak hukum tidak boleh menindas individu yang sedang diproses di sistem peradilan pidana. Asas praduga tak bersalah memang tidak tertera eksplisit terdapat di KUHAP namun tetapi di bagian penjelasan umum Angka 3 didalam KUHAP tersinggung mengenai asas praduga tidak bersalah dimana yang pada intinya menjelaskan mengenai suatu asas yang berisi mengenai suatu perlindungan harkat serta mertabat terhadap para orang atau individu yang sedang menjalani proses peradilan pidana masih dianggap tidak memiliki kesalahan hinnga memperoleh putusan di dalam peradilan atau kekuatan hukum tetap pastinya. Asas praduga tak bersalah memiliki tujuan dalam melindungi hak yang mesti diperhatikan oleh para aparat penegak hukum yang sedang menangani suatu kasus di peradilan pidana sebagaimana yang dimaksud oleh KUHAP.

Selain asas persamaan di mata hukum dan asas praduga tak bersalah yang terdapat didalam sistem peradilan pidana di Indonesia juga mengenal istilah miranda rule. KUHAP juga memuat ketentuan secara tersirat ketentuan-ketentuan asas Miranda Rule, pasal pasal tersebut dimulai dari pasal 50 sampai dengan pasal 68 yang pada intinya merupakan implementasi asas tersebut. Miranda rule merupakan suatu hak konstitusional yang dimiliki oleh individu yang sedang menjalani proses sistem peradilan pidana yang berisi mengenai hak untuk tidak menjawab atau memberikan respon kepada pertanyaan yang diajukan oleh aparat penegak hukum serta hak untuk ditemani oleh pihak pengacara selama menjalani seluruh tingkat sistem peradilan pidana.10 Prinsip oleh miranda rule ternyata sudah tertera di dalam KUHAP seperti halnya di dalam Pasal 18 ayat (1) dijelaskan bahwasannya setiap adanya pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan penangkapan yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum haruslah dilaksanakan dengan cara mempertunjukkan surat tugas yang ada selain itu juga mengirim surat untuk individu yang terkait dalam hal penangkapan yang didalamnya tertera jelas berisi mengenai identitas dan alasan dilakukannya penangkapan tersebut.

Hak-hak yang wajib dihormati oleh para aparat penegak hukum ketika sedang menjalani tugas nya di sistem peradilan pidana telah diatur didalam BAB VI KUHAP yang dimulai berdasarkan pasal 50 hingga pasal 68. Sistem peradilan pidana pada intinya merupakan lembaga-lembaga yang berperan dimasing-masing sub sistem akan tetapi peran dari aparat atau operator yang berdedikasi sangat penting demi tegaknya keadilan yang substantif.11 Perlindungan hukum yang didapat oleh warga negara yang sedang menjalani sistem peradilan pidana yang tertera dari pasal 50 sampai pasal 52 KUHAP dimana menjelaskan bahwa setiap individu yang sedang di proses wajib memberika keterangan

dengan bebas dan mendapat pemeriksaan dari penyidik kemudian diserahkan kepada penuntut umum sehingga dapat diputus di pengadilan, Pasal 54 dan Pasal 55 dalam KUHAP yang memberikan hak untuk warga negara memperoleh bantuan hukum serta dapat memilih siapa penasehat hukum yang dipercayai oleh individu tersebut, pasal 58 yang menjelaskan bahwa individu yang menjalani proses peradilan pidana mempunyai hak untuk mengunjungi ataupun dikunjungi oleh seorang dokter pribadi miliknya, kemudian pasal 59 hingga pasal 62 yang menjelaskan bahwa tiap individu yang menjalani proses peradilan pidana berhak memberitahukan kepada keluarganya bahwa dirinya sedang ditahan serta individu tersebut berhak untuk mendapatkan kunjungan serta mendapatkan hak untuk berkomunikasi terhadap keluarganya. Selain itu bentuk perlindungan hukum yang diberikan di dalam pasal 64 hingga pasal 68 KUHAP terkait dengan proses pengadilan yaitu menjelaskan bahwa individu yang terkait peradilan pidana mempunyai hak untuk diadili dalam sidang yang terbuka, tidak dibebani dalam hal kewajiban suatu pembuktian, dan juga mempunyai hak untuk menghadirkan saksi maupun juga saksi ahli dengan tujuan untuk memberikan keterangan, serta berhak untuk mendapatkan ganti rugi bilamana didapatkan suatu tindakan yang tidak sah atau wajar yang diperbuat oleh para aparat.

Dengan berlakunya setiap hak-hak yang berada di dalam KUHAP dalam menjalankan suatu sistem peradilan pidana maka secara tidak langsung KUHAP dianggap sudah memposisikan kedudukan individu atau warga negara yang tengah menghadapi sistem peradilan pidana menjadi sederajat dengan posisi aparat penegak hukum.12 Oleh sebab itu berlakunya asas-asas yang berada pada KUHAP dalam sistem peradilan pidana menyebabkan semua individu atau warga negara yang sedang berada di dalam proses peradilan pidana memiliki kedudukan sama tingkatnya dan juga tidak dapat dikatakan bersalah hingga proses persidangan yang memutuskannya serta semua warga negara berhak untuk diam dalam memberikan keterangan sehingga individu atau warga negara tersebut mendapatkan bantuan hukum. Maka dari itu semua pihak manapun itu termasuk juga aparat harus mesti tetap menghormati tinggi hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap orang termasuk penjahat sekalipun masih berhak untuk mendapatkan perlindungan hukumnya sebagai warga negara Indonesia.

  • 3.2    Pengaturan Tanggung Jawab Negara Terhadap Korban Salah Tangkap Ditinjau dari Perspektif Sistem Peradilan Pidana

Indonesia yang merupakan negara hukum haruslah selalu menciptakan rasa keadilan dan juga wajib menciptakan rasa aman seluruh warga negaranya. Hukum memiliki peran yang sangat penting dalam hal mengatur dan juga mengawasi pemerintahan di dalam suatu negara yang bertujuan untuk melindungi segenap kehidupan yang berada di bangsa Indonesia. Sesuai dengan apa yang tertera pada bagian pembukaan UUD 1945 bahwasannya Indonesia mempunyai impian untuk terciptanya suatu ketertiban, keamanan, dan keadilan, serta kepastian hukum. Didalam menegakkan hukum melalui sistem peradilan pidana tidak hanya memfokuskan dan menafsirkan hukum secara laterlijk tetapi hendaknya memasukkan hal-hal yang bersifat sosial agar keadilan dapat dirasakan oleh semua kalangan.13 Berbicara

mengenai negara hukum tentunya yang pertama kali harus dipahami yaitu mengenai ciri-ciri negara hukum itu sendiri. Menurut F.J. Stahl yang merupakan seorang ahili hukum mengemukakan ciri-ciri negara hukum ada empat yakni ikrar terhadap suatu hak asasi manusia yang dipunyai oleh setiap manusia, adanya pemisahan terhadap kekuasaan negara, kemudian adanya sistem pemerintahan yang berdasarkan oleh undang-undang, dan yang terakhir yaitu adanya peradilan administrasi negara. Oleh adanya pendapat tersebut dapat dibilang bahwa perlindungan dan penegakan hak asasi manusia adalah factor yang penting didalam suatu negara hukum tentunya.

Salah tangkap biasanya diakukan oleh sub sistem peradilan pidana terutama pihak kepolisian dan kejaksaan. Hal tersebut terjadi karena kedua lembaga ini memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Aturan-aturan yang jelas dan tidak berkesan kabur akan sangat memberikan kepastian hukum terutama yang menyangkut dengan pelaksanaan tugas kepolisian dan kejaksaan guna menghindari terjadinya salah tangkap.

Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Hak asasi manusia dapat dimaknakan sebagai segala hak yang sifatnya tertanam sehingga menjadi dasar dan merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Esa yang patut dihormati dan dilindungi oleh negara beserta juga komponen didalamnya. Hak asasi manusia merupakan unsur yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari yang namanya sistem peradilan pidana. Implementasi dari hak asasi manusia yang berada di dalam sistem peradilan pidana bisa dilihat dari adanya asas equality before the law, asas praduga tak bersalah, dan miranda rule yang semua dari asas-asas tersebut telah didapatkan di dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan yang membahas mengenai hak-hak warga negara disaat menjalani proses peradilan pidana di Indonesia. Dewasa ini dalam jalannya sistem peradilan pidana di Indonesia masih sangat amat disayangkan karena adanya tindakan-tindakan yang kerap dilakukan oleh aparat penegak hukum yang membuat tercemarnya nama hukum dan keadilan yang dalam konteks ini disebut sebagi peristiwa salah tangkap. Peristiwa salah tangkap terbilang sering terjadi di Indonesia karena tidak profesionalnya para aparat penegak hukum dalam menjalankan aturan. Peristiwa salah tangkap terjadi karena adanya pelanggaran hak yang dilakukan selama proses pemeriksaan di peradilan pidana.

Peristiwa salah tangkap yang terjadi di Indonesia ini tentunya sangat jelas merugikan pihak korban salah tangkap tersebut. Negara wajib memberi perlindungan hukum terhadap peristiwa tersebut dikarenakan perlindungan hukum merupakan cerminan tanggung jawab negara yang sifatnya wajib diberikan serta dijamin oleh negara didalam melakukan tugasnya sebagai penyelenggara negara. Peristiwa salah tangkap yang dilakukan saat sistem peradilan pidana berjalan dengan alasan yang tidak tercantum dengan undang-undang atau kekeliruan mengenai aparatnya maupun hukumnya adalah suatu hal yang terjadi sejak dulu memang telah mendapatkan perhatian pemerintah. Peristiwa salah tangkap yang terjadi di Indonesia nyatanya lebih sering terjadi ditimbang dari adanya peristiwa kesalahan hukum lainnya, hal ini pastinya menimbulkan konsekuensi bahwa warga negara yang terkena peristiwa salah tangkap berhak untuk menuntut negara untuk meminta ganti kerugian maupun rehabilitasi. Di dalam pasal yang terdapat di KUHAP sendiri sudah jelas tertera mengenai peristiwa salah tangkap yang terjadi merupakan menjadi tanggung jawab yang diberikan oleh negara terhadap warga negara atau individu yang terkena peristiwa salah tangkap tersebut. Penyelesaian yang dapat ditempuh selain seperti yang diatur didalam peraturan perundang-

undangan juga dapat diselesaikan melalui penyelesaian sengketa alternatif yang mengalami perkembangan ilmu hukum dewasa ini. 14

Tanggung jawab yang diberikan negara mengenai peristiwa salah tangkap dapat disimak dari pasal 95 sampai dengan pasal 97 KUHAP lebih lanjutnya menjelaskan mengnai perihal ganti kerugian dan juga rehabilitasi yang diberikan kepada korban peristiwa salah tangkap akibat adanya pelanggaran hak-hak maupun pelanggaran hukum yang administrative dan diadili tanpa suatu alasan yang jelas yang tidak sesuai dengan undang-undang. Perihal tanggung jawab negara mengenai ganti kerugian dapat pasal 95 dan pasal 96 KUHAP, dilihat dari Pasal 1 angka 22 KUHAP ganti kerugian kurang lebihnya dijelaskan sebagai hak individu atau warga negara untuk mendapatkan suatu pemenuhan atas tuntutan yang diperolehnya berupa uang karena individu atau warga negara tersebut telah ditangkap, ditahan, dan dituntut, maupun diadili tanpa adanya suatu dasar hukum sesuai undang-undang atau juga karena kekeliruan yang telah dilakukan oleh aparat maupun hukum yang diterapkan sesuai cara yang diatur didalam undang-undang ini. Sedangkan bentuk tanggung jawab negara perihal rehabilitasi terhadap individu atau warga negara yang salah tangkap dapat dilihat pada pasal 97 KUHAP. 15 Dilihat dari Pasal 1 angka 23 KUHAP rehabilitasi kurang lebih diartikan sebagai hak individu atau warga negara yang sedang menjalankan proses peradilan pidana untuk mendapatkan kembali haknya dalam kemampuan, harkat martabatnya saat ditingkat penyidikan, penuntutan maupun peradilan karena telah ditangkap dan diproses tanpa alasan yang berlandaskan undang-undang atau karena kekeliruan yang dibuat oleh aparat maupun hukum yang diterapkan sesuai cara yang diatur didalam undang-undang ini.

Peraturan mengenai ganti kerugian terhadap korban salah tangkap di dalam menjalani proses sistem peradilan pidana sejatinya terdapat didalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan KUHAP yang disahkan oleh Presiden Soeharto kemudian pada tahun 2015 direvisi oleh Presiden Jokowi menjadi Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 tentang perubahan kedua atas PP No. 27 Tahun 1982. Hal penting yang didapat dari adanya PP no 92 Tahun 2015 bagi korban salah tangkap di Indonesia yakni dalam hal ganti kerugian sesuai pasal 77 huruf b juga pasal 95 KUHAP nominal yang diberikan oleh negara dalam rangka mengganti kerugian yang didapat oleh individu atau warga negara yang menjadi korban salah tangkap yaitu sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) hingga Rp. 100.000.000 (serratus juta rupiah), terdapat juga ganti kerugian akibat menerima luka berat sesuai yang diatur didalam pasal 95 KUHAP yaitu nominalnya sebesar Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) hingga Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah), hingga ada juga ganti kerugian yang apabila terjadi kematian nominal ganti kerugiannya dari Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) hingga mencapai Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).

Pemberian tanggung jawab negara wajib memberikan ganti rugi sesuai dengan undang-undang yang ada maksimal sejak 14 (empat belas) hari dimulai saat Ketua Pengadilan Negeri yang memutuskan terkait ganti rugi dapat diterima oleh pemerintah.

  • IV.    Penutup

    4.1    Kesimpulan

Perlindungan hukum yang diberikan bagi warga negara yang sedang berada atau menjalani proses sistem peradilan pidana yang bertujuan untuk terciptanya keadilan dan juga bentuk wujud nyata bagi penegakan hak asasi manusia sudah diatur semuanya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang terdapat dalam BAB VI yang dimulai dari Pasal 50 hingga Pasal 68 di KUHAP. Selain itu perlindungan hukum terhadap individu atau warga negara yang sedang berada didalam proses peradilan pidana juga disinggung di tiap-tiap pasal UUD 1945 dan juga KUHAP seperti misalnya asas equality before the law, asas praduga tak bersalah, serta miranda rule.

Peristiwa salah tangkap yang terjadi didalam sistem peradilan pidana yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum tentunya menanggung konsekuensi, oleh sebab itu negara mempunyai tanggung jawab untuk memberikan hak-hak yang seharusnya diberikan untuk korban salah tangkap. Sesuai dengan pasal 95 hingga pasal 97 KUHAP negara harus memberikan ganti kerugian serta rehabilitasi kepada korban salah tangkap. Hal ini diatur didalam Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 akan tetapi didalam pengaturannya terdapat pasal-pasal dengan aturan yang bersifat kurang jelas atau kabur sehingga berpotensi membingungkan baik bagi aparat penegak hukum yang termasuk kedalam sub sistem peradilan pidana maupun dalam perspektif korban itu sendiri.

  • 4.2    Saran

Aparat penegak hukum didalam menjalankan tugasnya di sistem peradilan pidana diharapkan agar lebih professional supaya tidak ada terjadinya peristiwa salah tangkap yang terjadi kepada individu atau warga negara didalam jalannya proses peradilan pidana. Aparat penegak hukum juga harus selalu menjunjung tinggi hak yang merupakan kepunyaan oleh setiap individu atau warga negara yang sedang menjalani peradilan pidana sesuai dengan apa yang ada di KUHAP yang memiliki tujuan untuk menciptakan keadilan dan menegakkan Hak Asasi Manusia yang ada di Indonesia.

Aturan hukum mengenai pemberian ganti kerugian mauapaun rehabilitasi hendaknya dilakukan harmonisasi lagi guna mencerminkan kepastian hukum bagi penegak hukum dan keadilan bagi masyarakat dan tidak memberikan kesan aturan yang kabur. Saat ini ketentuan yang mengatur mengenai pemberian ganti rugi dan rehabilitasi hanya menyerahkan kepada penilaian penegak hukum dalam hal ini hakim untuk mementukan bagaimana bentuk tanggung jawab negara didalam memberikan ganti rugi maupun rehabilitasi bagi para korban sehingga penilaian yang timbul dikhawatirkan memuat hal-hal yang subjektif para hakim. Disinilah peran hukum yang baik agar dapat membatasi hal-hal yang subjektif dari para penegak hukum. Selain itu Negara didalam memberikan tanggung jawab terhadap korban peristiwa salah tangkap di dalam sistem peradilan pidana diharapkan dapat lebih memberikan kemudahan didalam hal mengurus semua prosedur terkait ganti kerugian terhadap korban salah tangkap. Negara diharapkan mampu mengubah dasar hukum terkait pengajuan ganti rugi yang dikatakan hanya bisa diajkuan selama 3 (tiga) bulan yang dihitung sejak adanya putusan pengadilan. Hal ini dikarenakan hak individu atau warga negara didalam meminta ganti kerugian atau dalam kata lain untuk memperoleh keadilan atas terjadinya peristiwa salah tangkap merupakan sesuatu yang tidak harus dibatasi oleh adanya jangka waktu.

Daftar Pustaka

Buku

Djoko Prakoso. “Upaya Hukum yang di atur dalam KUHAP”. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

Hatta, Mohammad. “Sistem peradilan pidana terpadu”. Jakarta: Galang press Group, 2008.

Muladi. “Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana”. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997.

O.C Kaligis. “Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana ”. Bandung: Pt. Alumni, 2006.

Jurnal Ilmiah

Agustina, Lena. “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap. Journal Online Mahasiswa”, Vol. 1, No.2, (2014).

Aiswarya, I Dewa, “Bagus Dhanan. Penerapan Prinsip Miranda Rule Aebagai Penjamin Hak Tersangka Dalam Praktik Peradilan Pidana Di Indonesia”, Journal Kertha Wicara, Vol.5, No.6, (2016).

Ali, Mahrus. “Sistem Peradilan Pidana Progresif; Alternatif dalam Penegakan Hukum Pidana”. Journal Hukum Ius Quia Iustum, No.2 Vol.14, (2007).

Asnawi, Habib Shulton. “Hak Asasi Manusia Islam dan Barat: Studi Kritik Hukum Pidana Islam dan Hukuman Mati Supremasi Hukum”. Journal Kajian Ilmu Hukum Vol.1, No.1, (2012).

Azaria, Vida. “Keterkaitan Asas Presuption Of Inosense Didalam Pemberitaan Pers”. Journal Kertha Wicara, Vol.7, No.2, (2018).

Bismantara, I Putu Gede Titan. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana”. Journal Kertha Wicara, Vol. 9, No. 6, (2020).

Dzikriyah, Wajihatut. “Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan Status Tersangka Dalam Putusan Pra Peradilan”. Journal Kertha Wicara, Vol.4, No.3, (2015).

Manggala, Ibrahim. “Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap Dalam Peradilan Pidana”. Journal Universitas Lampung, (2018).

Mulyadi, Lilik. “Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Pengkajian Asas, Norma, Teori Dan Praktik”. Journal Hukum Yustisia, Vol. 2, No.1, (2013).

Putra, I Gede, Adi, Pramana. “Perlindungan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme Perspektif Perundang-Undangan”. Journal Kertha Wicara, Vol.9, No. 6, (2020).

Wulandari, Sri. “Efektifitas Sistem Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Terhadap Tujuan Pemidanaan”. Journal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat Vol.9, No.2 (2016).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia (Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3886).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76).

Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Jurnal Kertha Wicara Vol 9 No.9 Tahun 2020, hlm. 1-14.