PENGATURAN TERHADAP PELAKU

EKSIBISIONISME BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

Ni Kadek Dwi Oktiapiani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Sagung Putri M.E. Purwani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami tinjauan yuridis terhadap pelaku eksibisionis berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana. Metode penelitian didalam jurnal ini menggunakan metode normative untuk menganalisis norma kabur pengaturan eksibisionisme didalam KUHP. Berdasarkan hasil analisis Pasal 281 KUHP penderita eksibisionisme tidak dapat dijatuhkan hukuman dengan bukti resum medis dari dokter kejiwaan, karena penderita tidak dapat dimintai pertanggung jawaban secara pidana, disebabkan adanya gangguan psikologi dari pelaku. Disisi lain para pelaku tindakan asusila seperti penari striptis yang secara jelas tidak mengalami devisiasi sex dapat dijatuhi hukuman telah melanggar Pasal 10 UU No. 44 tahun 2008.

Kata Kunci : Pengaturan, Eksibisionisme, KUHP

ABSTRACT

The purpose of this research is to understand the juridical review of the exhibitionist perpetrators based on the Code of Criminal law. The research methods in this journal use the normative method to analyse norms blurred exhibitions in the criminal CODE. Based on analysis of article 281, the Criminal Code of exhibitionism can not be sentenced by evidence of medical and of psychiatric doctors, because the sufferer can not be asked for criminal liability, due to the psychological disorder of the perpetrator. On the other hand the perpetrators of immoral actions such as striptease dancers who clearly do not have sex deviation can be sentenced to have violated Article 10 Law No. 44 year 2008.

Keywords: Settings, Exhibitionism, CRIMINAL code

  • I.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum, yang mempunyai serangkaian peraturan untuk mengatur, memelihara dan menjamin nilai-nilai kehidupan didalam masyarakat demi menciptakan ketertiban dimasyarakat.1 Hukum pidana adalah suatu aturan yang mengandung keharusan dan larangan tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum yang diancam dengan hukuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi, dan ilmu pengetahuan, jenis kejahatan yang muncul dan berkembang semakin banyak. Perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas dan menyebabkan perubahan struktur sosial masyarakat yang secara signifikan berlangsung dengan cepat.2 Dampak negatif ditimbulkan oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab didalam penggunaan sesial media. Ragam perilaku menyimpang yang dilakukan seseorang dalam interaksi pada media sosial dapat berupa pelecehan seksual, bullying, penipuan, dan lainnya. Kemajuan teknologi yang semakin pesat layaknya pisau bermata dua, tidak hanya membawa dampak positif namun diikuti dengan serangkaian dampak negatif.3

Penyimpangan seksual merupakan kelainan perilaku seks seseorang yang tidak sesuai dengan norma agama, norma hukum dan norma kesusilaan yang berlaku didalam masyarakat.4 Jenis-jenis dari penyimpangan seksual yaitu :5 a. Homoseksual yaitu kelainan perilaku seksual dengan tertarik kepada lawan jenisnya.

  • b.    Transeksual yaitu penyimpangan seksual yang cenderung mengubah karakteristiknya, misalnya perempuan yang ingin menjadi laki-laki begitu juga sebaliknya.

  • c.    Sadomasokisme yaitu adanya kepuasan seksual yang diperoleh dengan menyakiti atau menyiksa pasanganya terlebuh dahulu.

  • d.    Eksibisme atau eksibisionis yaitu kepuasan seksual yang diperoleh dengan memamerkan alat kelaminya dengan lawan jenisnya.

  • e.    Voyeurism yaitu perilaku seksual yang memperoleh kepuasan seksual dengan melihat orang yang sedang telanjang.

Salah satu jenis penyimpangan seksual yang sering terjadi saat ini adalah eksibisionisme. Eksibisionist disorder (gangguan eksibusionis) adalah gangguan yang memiliki ciri-ciri adanya dorongan seksual untuk memperlihatkan bagian

genital kepada orang lain.6 Alexandra menjelaskan, pengidap ekshibisionisme adalah sebuah gangguan seksual pada area psikologis yang mana seseorang akan merasa terangsang ketika menunjukkan alat kelamin atau organ seksualnya kepada orang lain yang bukan pasanganya.7 Ciri-ciri eksibisionisme adalah :8 a. Berulang, intens dan terjadi selama periode minimal 6 bulan, fantasi,

dorongan atau perilaku yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan memamerkan alat kelamin kepada orang yang tidak dikenal yang tidak menduganya.

  • b.    Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongan tersebut atau dorongan dan fantasi tersebut menyebabkan orang tersebut mengalami disstres atau mengalami masalah interpersonal.

  • c.    Orang yang ditunjukkan alat vital tersebut atau bisa disebut korban, tidak bersedia melihatnya, bahkan menghindar dan mencoba pergi.

  • d.    Aktifitas menunjukan alat vital terhadap korban sudah merupakan bentuk interaksi seksual tanpa adanya hubungan badan.

Seseorang yang mengalami kelainan seperti itu biasanya berbuat yang tidak senonoh tersebut ditempat-tempat keramaian. Kelainan seperti ini dapat dialami oleh pria maupun wanita, tetapi lebih dominan yang mengalami kelainan ini adalah laki-laki. Para pelaku eksibisionisme biasanya melakukan perbuatanya dengan duduk ditempat keramaian dan mengeluarkan alat kelaminya serta memegangnya untuk diperlihatkan dengan orang lain khususnya lawan jenis mereka. Tindakan yang mereka lakukan dapat menimbulkan keresahan, rasa tidak nyaman dan ketakutan bagi masyarakat yang melihatnya. Hal tersebut sangat meresahkan masyarakat, sehingga diperlukan aturan hukum untuk mengatur penyimpangan seksual seperti itu.

Didalam peraturan perundang-undangan diIndonesia secara umum belum diatur perilaku menyimpang para eksibisionisme ini. Dari penyimpangan tersebut penulis ingin mengkaji tentang “PENGATURAN TERHADAP PELAKU EKSIBISIONISME BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka permasalahan yang diangkat adalah :

  • 1.2.1    Apakah pelaku eksibisionisme dapat dihukum berdasarkan Pasal 281 didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

    1.3.1    Tujuan Umum

Tujuan dari penulisan jurnal ini adalah untuk memahami tinjauan yuridis terhadap pelaku eksibisionis berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana.

  • 1.3.2    Tujuan Khusus

Tujuan Khusus dari penulisan jurnal ini adalah untuk memahami secara khusus tentang eksibisionisme didalam Pasal 281 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

  • II.    Metode Penelitian

Jenis metode yang digunakan didalam penelitian jurnal ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian menggunakan pendekatan normatif yang tidak bermaksud untuk menguji hipotesa, maka titik berat penelitian tertuju pada penelitian kepustakaan.9 Penelitian hukum secara normatif adalah jenis penelitian yang berdasarkan kepustakaan atau penelitian yang datanya diperoleh dari data sekunder.10 Metode penelitian normatif yang dipilih oleh penulis bertujuan untuk menganalisis pengaturan pelaku eksibisionisme didalam kitab undang-undang hukum pidana.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1.    Apakah Pelaku Eksibisionisme Dapat di Hukum Berdasarkan Pasal 281 KUHP?

Eksibisionisme adalah salah satu penyakit golongan paraphilia, paraphilia atau fantasi seksual merupakan salah satu bentuk sexual disorder atau sexual deviation.11 Jenis-jenis dari eksibisionisme adalah sebagai berikut:12

  • 1.    Mooning yaitu menunjukan pantat dengan cara menurunkan celana dan pakaian dalam;

  • 2.    Flashing yaitu menunjukan bagian payudara baik wanita maupun pria dengan mengangkat baju ataupun pakaian dalamnya;

  • 3.    Reflectoporn yaitu mengambil foto orang yang sedang telanjang dari bayangan jatuh di atas suatu benda yang memiliki daya reflektif seperti stainless dan kaca selanjutnya akan di upload diinternet supaya bisa dilihat oleh banyak orang.

Umumnya orang yang mengidap eksibisionisme mempunyai beberapa perilaku seperti :13

  • a.    Mempunyai keinginan untuk memamerkan alat kelaminya kepada lawan jenisnya berulang kali tanpa adanya niatan untuk melakukan hal-hal yang lebih dari itu.

  • b.    Eksibisionisme terbatas kepada laki-laki hetero sexsual yang memamerkan alat kelaminya ditempat umum kepada wanita remaja ataupun dewasa, jika yang melihat merasakan ketakutan atau terkejut hal tersebut membuat gairah seksual pengidap eksibisionisme meningkat.

  • c.    Bagi sebagian penderita, eksibisionisme merupakan satu-satunya penyalur seksualnya, namun sebagian penderita lainya eksibisionisme ini dilanjutkan bersamaan dengan kehidupan seksual yang aktif didalam suatu hubungan.

  • d.    Penderita eksibisionisme biasanya tidak dapat mengendalikan dorongan keinginan mereka.

Dorongan melakukan hal tersebut sangat kuat bahkan para penderitanya tidak dapat mengendalikan dirinya, terutama pada saat mereka mengalami kecemasan dan gairah seksualnya. Penderita eksibisionisme ini saat memamerkan alat kelaminya tidak dapat memperdulikan lingkunganya maupun konsekuensi sosial dan hukum dari tindakanya tersebut. Biasanya penderita cenderung mengalami perasaan yang tertekan dan strees atas gangguanya tersebut, karena penyimpangan yang terjadi telah pelanggaran norma social dan budaya didalam masyarakat.

Eksibisionisme terjadi karena adanya gangguan kesehatan psikologi yang melibatkan fantasi, nafsu dan perilaku untuk memamerkan alat kelamin mereka kepada orang lain dan tanpa persetujuan orang tersebut dengan tujuan mendapatkan kepuasan seksual bagi para pelaku. Beberapa kasus eksibisionisme tersebut diikuti dengan melakukan tindakan masturbasi, namun

hal itu tidak akan disertai melakukan perilaku seksual dengan orang dihadapanya. Gangguan ini cenderung lebih banyak dialami oleh kaum laki-laki dan umumnya yang menjadi korban adalah perempuan baik yang sudah dewasa atau anak dibawah umur yang sedang lengah.

Perbuatan ini tentunya akan menimbulkan keresahan dan mengganggu ketentraman dalam masyarakat. Dari definisi eksibisionisme tersebut dapat dipahami bahwa perbuatan eksibisionisme adalah tindakan yang melanggar norma kesusilaan dan kesopanan, oleh karenanya norma hukum disertai dengan norma kesusilaan harus mampu ditegakkan demi memelihara dan menjaga ketertiban, ketentraman, dan kepastian hukum serta nilai-nilai kesusilaan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun didalam perkembangan dunia modern seperti saat ini perilaku menyimpang tersebut tidak hanya dialami oleh orang yang mengalami gangguan psikolog atau gangguan mental. Salah satu contoh yang terjadi adalah di club-club malam lavender kuta pada kamis, 8 mei 2014, polisi mengamankan sebelas orang penari telanjang.14 Para penari tersebut tidak dapat dikatakan mengalami gangguan mental, karena yang mereka lakukan adalah murni untuk hiburan bagi para pengunjung tersebut dan para pengunjung tidak merasa dirugikan atau membuat para pengunjung merasa dilecehkan, namun dilihat dari norma kesopanan dan kesusilaan para penari tersebut dapat dikatakan telah melanggar norma tersebut.

Didalam peraturan hukum di Indonesia secara khusus belum ada pengaturan tentang perilaku eksibisionisme tersebut. Namun pengaturan secara umum tentang tindakan kejahatan terhadap kesusilaan dapat ditemui didalam Pasal 281 sampai Pasal 303 KUHP. Dan pengaturan tentang pornografi diatur didalam Undang-Undang No 44 Tahun 2008. Eksibisionisme tersebut dapat ditafsirkan berkaitan dengan pelanggaran kesusilaan dan pornografi. Pasal 10 Undang-Undang No. 44 tahun 2008 menyebutkan “Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya”.

Didalam kitab undang-undang hukum pidana Pasal 281 tentang kejahatan terhadap kesusilaan disebutkan “Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

  • 1.    Barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;

  • 2.    Barangsiapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan

Delik didalam kalimat ini merupakan delik sengaja. Kata “sengaja” tersebut mempunyai tiga bentuk yaitu :15 a. Kesengajaan sebagai suatu maksud b. Kesengajaan dengan sadar kepastian c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan

Jika didepan suatu rumusan delik tercancum kata “dengan sengaja” maka kalimat dibelakang kata “sengaja” tersebut secara langsung dipengaruhi oleh kata tersebut dan semua unsur selanjutnya harus dilakukan dengan sengaja. Analisis dari unsur-unsur Pasal 281 KUHP, Pasal 281 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 28 ayat (1) barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan.

  • 1.    Barangsiapa

Ditafsirkan sebagai subyek dari pelaku tindak pidana tersebut

  • 2.    Dengan sengaja dan terbuka

Dapat ditafsirkan bahwa suatu delik dilakukan dengan sengaja atau memang adanya niat dari pelaku tindak pidana tersebut dan dilakukan secara terbuka

  • 3.    Melanggar kesusilaan

Dapat ditafsirkan sebagai melanggar kesopanan dibidang seksual.

Analisis unsur-unsur dari Pasal 28 ayat (2) “barangsiapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan”. Unsur-unsurnya :

  • 1.    Barangsiapa

Ditafsirkan sebagai subjek dari yang melakukan suatu delik;

  • 2.    Dengan sengaja

Seperti yang sudah dijelaskan diatas adanya kata “dengan sengaja” maka sama halnya didalam Pasal 28 ayat (2) secara langsung akan mempengaruhi kalimat selanjutnya harus dilakukan dengan sengaja.

  • 3.    Dan didepan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya Dapat ditafsirkan sebagai melakukan sesuatu perbuatan didepan orang lain dimana orang tersebut tidak menghendaki melihat ataupun mendengar sesuatu yang dilakukan tersebut.

  • 4.    Melanggar kesusilaan

Dapat ditafsirkan sama dengan penafsiran didalam ayat (1) yaitu melanggar kesopanan dibidang seksual.

Didalam hukum pidana terdapat pengertian tentang pertanggung jawaban pidana. Seseorang akan dapat dipertanggung jawabkan secara pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :16

  • 1.    Memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab

  • 2.    Mempunya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatanya (dolus atau culpa)

  • 3.    Tidak terdapat alasan penghapus kesalahan (schuld uitsluitingsground)

  • 1.    Seseorang dapat dimintai pertanggung jawaban secara pidana dan mampu untuk bertanggung jawab jika jiwanya dalam keadaan tidak terganggu dengan penyakit, dalam keadaan sadar, serta tidak mengalami gangguan Alasan pembenar berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah Pasal 48 (keadaan darurat), Pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), Pasal 50 (peraturan perundang-undangan) dan Pasal 51 ayat (1) (perintah jabatan).

  • 2.    Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP ialah Pasal 44 (tidak mampu bertanggungjawab), Pasal 49 ayat (2) (bela paksa lampau atau noodweer exces), Pasal 51 ayat (2) (dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah). Adapun mengenai Pasal 48 (daya paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.

kejiwaan atau cacat didalam pertumbuhan. Walaupun seseorang memenuhi semua unsur-unsur sebagai pertanggung jawaban pidana tersebut, apabila orang tersebut tidak dapat dimintai pertanggung jawaban secara pidana maka perbuatan yang dilakukan tidak dapat dimintai pertanggung jawabanya.

Dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf:17

Untuk menentukan hukuman penderita eksibisionisme dengan Pasal 281 tersebut maka semua unsur-unsur dari Pasal tersebut harus dipenuhi dan penderita tersebut harus mampu dimintai pertanggung jawaban secara pidana. Analisis tentang perilaku eksibisionisme tersebut para penderita eksibisionisme

pada umumnya dengan sengaja memperlihatkan kelaminya dihadapan masyarakat umum yang tidak menghendaki melihat kejadian tersebut.

Tindakan yang dilakukan penderita eksibisionisme itu dapat dikatakan telah melanggar kesusilaan atau dapat dikatakan berbuat pornografi. Tetapi berdasarkan pengertian tersebut diatas disebutkan bahwa perilaku eksibisionisme merupakan gangguan seksual atau psikologi seseorang, sehingga orang tersebut tidak dapat mengkontrol perbuatan yang dilakukanya.

Oleh orang-orang yang mengalami gangguan seksual tidak dapat dimintai pertanggung jawabanya secara pidana. Didalam kitab undang-undang hukum pidana dijelaskan tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pidana. Pasal yang mengatur tentang penghapusan tindak pidana adalah Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 KUHP.

Didalam Pasal 44 ayat (1) KUHP disebutkan “Barang siapa melakukan perbuatan, yang tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit sehingga akalnya berubah, tidak dapat dihukum”. Untuk membuktikan orang tersebut mengalami gangguan mental dapat dilakukan secara deskriptif normative. Deskriptif merupakan keterangan yang didapat dari dokter bahwa adanya gangguan jiwa atau mental dari seseorang tersebut, dan normative dari hakim yang melihat adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dengan pembuatanya.18

Bagi para pelaku eksibisionisme yang memang mengalami gangguan mental, psikologi atau kejiwaan dalam bentuk perilaku eksibisionisme tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah tindakan kejahatan, karena berdasarkan Pasal 44 KUHP tersebut tidak dapat dijatukan hukuman pidana, karena mereka tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatan mereka secara pidana. Yang diperlukan bagi pelaku eksibisionisme adalah terapi atau penanganan secara kejiwaan maupun psikologi untuk memulihkan kejiwaanya kembali. Penjatuhan hukuman penjara bagi penderita eksibisionisme tidak dapat membuat efek jera untuk mereka kalau masih mengalami gangguan psikologi. Apabila dinyatakan bersalah dan dijatuhkan hukuman mereka tetap akan melakukan hal tersebut sehingga membawa dampak buruk bagi orang lain yang berada dilingkungan sekitarnya.

Akan tetapi bagi pelaku eksibisionisme yang sengaja melakukan perbuatan seperti itu tanpa adanya gangguan kesehatan didalam dirinya dapat dikategorikan sebagai sebuah kejahatan, karena dalam keadaan sadar atas kemauan sendiri dapat memilih secara rasional untuk melakukan tindakan

kejahatan atau tidak melakukanya. Sebagai contohnya adalah para penari striptis, mereka dapat dipidanakan karena telah melanggar norma kesusilaan dan norma hukum. Para penari tersebut telah melanggar Pasal 10 undang-undang pornografi dan dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan Pasal 36 undang-undang pornografi. Didalam Pasal 36 disebutkan ”Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.

  • IV. PENUTUP

  • 4.1    Kesimpulan

Pelaku eksibisionisme yang mengalami penyimpangan sekual karena adanya gangguan penyakit psikologi atau mental dari seseorang tidak dapat dimintai pertanggung jawaban secara pidana dengan adanya bukti surat resum medis dari dokter kejiwaan bahwa orang tersebut mengalami devisiasi sex. Jadi pelaku eksibisionisme yang terbukti bersalah telah melanggar kesusilaan dan terbukti mengalami gangguan mental tidak dapat ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana. Jika pelaku eksibisionisme yang terbukti melakukan tindakan melanggar kesusilaan secara sengaja dan dalam keadaan sehat serta tidak dapat membuktikan mengalami gangguan seksual (devisiasi sex) jenis eksibisionisme dapat dijatuhi hukuman karena telah melanggar Pasal 10 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi.

  • 4.2    Saran

Pemerintah agar melakukan tinjauan kembali mengenai peraturan hukum untuk mengatur para pelaku eksibisionisme. Disatu sisi pelaku melakukan tindak kejahatan disisi lain hal tersebut adalah penyakit gangguan psikologi dari seseorang. Sehingga pemerintah diharapkan membuat aturan lebih khusus tentang eksibisionisme.

Daftar Pustaka

Buku

Amiruddin, 2004, Pengantar Metode dan Penelitian Hukum, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Ketut Mertha et. al., 2016, Buku Ajar Hukum Pidana, Denpasar.

Morgan, Clifford Thomas, 1986, Introduction to Psychology

(International Edition), McGrew-Hill Book Co, Singapore.

Rusdi Maslim, 2013, Diagnosis Gangguan Jiwa, Cetakan ke-2 Nuh

Jaya, Jakarta.

Satjipto Raharjo, 2006, Ilmu Hukum, Cetakan ke-16, Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Taufiq Rohman Dhohiri et. al., 2007, Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat, Cetakan Ke-2, Ghalia Indonesia.

Jurnal Ilmiah

Fahrul Rozi, dan Nuram Mubina. “Gambaran Perilaku Eksibisionis Pada Perempuan Dalam Komonitas Nude Photography di Jakarta”. Jurnal Psikologi Universitas Buana Perjuangan Karawang 1, No.2 (2016).

Feryna Nur Rosyidah dan M. Fadhil Nurdin. “Perilaku Menyimpang Media Sosial Sebagai Ruang Baru Dalam Tindak Pelecehan Seksual Remaja”. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi 2, No.2 (2019).

Gusti Ayu Trimita Sania. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Pemerkosaan”. Jurnal Ilmu Hukum 9, No.3 (2020).

Ida Ayu Indah Puspitasari. “Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Mutilasi Yang Mengidap Gangguan Jiwa Skizofrenia ( Studi Putusan No. 144/PID.B/2014/PN CJ). Recidive 8, No.2 (2019).

Kolompoy, Grant P. “Eksistensi Tindak pidana Pelanggaran Kesusilaan Didepan Umum (Pasal 281 KUHP). Lex Crimen 4, No. 7 (2015).

Purwadi Wahyu Anggoro. “Korban Kekerasan Seksual: Studi Kasus Penyimpangan Seksual Terhadap Anak di Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurisprudence 5, No.1 (2015).

Roudotulaula, Mila, dkk. “Eksibisionisme Dalam Perspektif Hadis”. Jurnal Kelas Menulis Mahasiswa Ushuluddin, (2020).

Twenty Purandari. “Pertanggung Jawaban Hukum Pelaku Eksploitasi

Seksual Pada Anak Melalui Internet”. Media Luris 2, No.2 (2019).

Internet

Antara, 2014, “Polisi Denpasar Amankan 11 Penari Telanjang, https://regional.kompas.com/read/2014/05/08/2137496/Polisi.Denpasar.Am ankan.11.Penari.Telanjang, diakses Kamis Tanggal 28 Mei 2020

Margaretha, 2014, Memahami Gangguan Eksibisionistik Sebagai Gangguan Penyimpangan        Seksual        Dengan        DSM        V,

https://psikologiforensik.com/2014/01/05/memahami-gangguan-eksibisionistik-sebagai-gangguan-penyimpangan-seksual-dengan-dsm-v/#more-455, diakses pada tanggal 9 November 2019.

Cynthia Lova, 2020, “Psikolog Ungkap Pelaku Eksibisionisme Senang DivideokanKorbanya”,https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/28/062 84971/psikolog-ungkap-pelaku-ekshibisionisme-senang-jika-divideokan-korbannya, diakses Sabtu Tanggal 18 Juli 2020.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang No. 44 Tahun 2008

Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 9 Tahun 2020, hlm. 1-12