KUALIFIKASI SYARAT MATERIEL KEADILAN

RESTORATIF BERDASARKAN PERATURAN

KAPOLRI NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA

I Gusti Ngurah Yoga Surya Nugraha, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gusti Ngurah Parwata, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan studi hukum ini adalah untuk mengetahui dan memahami korelasi antara kesalahan dengan Keadilan Restoratif serta kualifikasi dan jenis-jenis kesalahan yang memenuhi persyaratan untuk dapat diselesaikan melalui Keadilan Restoratif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual disertai dengan penalaran hukum. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat kekaburan norma pada Pasal 12 huruf a angka 4 sub-huruf a sub-angka 1 Peraturan Kepala Kepolisian Rakyat Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana. Kekaburan Norma tersebut berupa kualifikasi kesalahan yang dapat dijadikan alasan untuk menyelesaikan perkara melalui Keadilan Restoratif. Kualifikasi kesalahan dalam hukum pidana terbagi menjadi kesengajaan atau kelalaian dan alasan penghapus pidana. Berdasarkan ketentuan tersebut, kelalaian merupakan syarat mutlak untuk melakukan penyelesaian perkara melalui Keadilan Restoratif. Akan tetapi syarat tersebut tidak menyebut kedudukan alasan penghapus pidana. Dengan menggunakan penalaran hukum, ditemukan bahwa alasan penghapus pidana merupakan syarat komplementer dari Keadilan Restoratif. Meksipun keberadaan alasan tersebut dapat menghapus pertanggungjawabanpidana dari pelaku tindak pidana, alasan tersebut tidak menghapuskan pertanggungjawabanganti kerugian dalam Keadilan Restoratif sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf b angka 5 ketentuan tersebut. Pertanggungjawaban ganti kerugian dapat dialihkan kepada pihak-pihak lain sebagaimana ditentukan dalam Pasal 50, Pasal 51 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (2) KUHP atau kepada pengampu apabila terdapat alasan pemaaf sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP.

Kata Kunci: Kesalahan, Syarat Materiel, Keadilan Restoratif.

ABSTRACT

The purpose of this legal study is to find out and understand the correlation between errors and Restorative Justice and the qualifications and types of errors that meet the requirements to be resolved through Restorative Justice. This research method that used is a normative legal research method using a conceptual approach and by legal reasoning approach. The results shows that there is indeed norm obscurity inArticle 12 letter a number 4 sub-letter a sub-number 1 of the Regulation of the Head of the Indonesian People's Police Number 6 of 2019 concerning Criminal Investigation. The vagueness of norms is in the form of qualifications for errors that can be used as an excuse to settle cases through Restorative Justice. Qualification of errors in criminal law is divided into intentional or negligent and excuses for thepenalty. Based on these provisions, negligence is an absolute prerequisite for settling a case through Restorative Justice. However, this requirement does not state the position of the excuse for criminal offenses. Using legal reasoning, it is found that the excuse for criminal offense is a complementary requirement of Restorative Justice. Even though the existence of these reasons can remove criminal responsibilityfrom the perpetrator of the criminal act, this reason does not eliminate the liability for damages in RestorativeJustice as regulated in Article 12 letter b point 5 of this provision. The liability for such compensation can be transferred to other parties as specified in Article 50, Article 51 paragraph (1), and Article 51 paragraph

  • (2)    of the Criminal Code or to the officer if there is a reason for forgiveness as regulated in Article 44 of the Criminal Code.

Key Words: Guilt, Materiel Error, Restorative Justice.

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Aristoteles, salah seorang filsuf Yunani kuno membagi konsep keadilan menjadi dua yakni konsep keadilan distributif dan konsep keadilan korektif. Tujuan dari keadilan distributif adalah sebagai bentuk pembagian hak dan kewajiban masing-masing individu dalam suatu masyarakat secara seimbang, yang pembagiannya dilaksanakan tergantung pada masing-masing kebutuhan dan kompetensi masyarakat tersebut. Pengertian keadilan selanjutnya, yakni keadilan korektif merupakan bentuk keadilan yang ditujukan untuk mempertahankan atau mengembalikan hak-hak dari salah seorang anggota masyarakat yang dirampas secara melawan hukum. Pada dasarnya, Hukum Pidana di Indonesia sejak diberlakukanya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) sebagai Lex Generalis di era Kolonialisme Belanda hingga 74 (tujuh puluh empat) tahun semenjak kemerdekaan dengan berbagai Peraturan Perundang-Undangan Hukum Pidana lainnya sebagai Lex Specialis, telah menerapkan keadilan korektif secara represif terhadap Pelaku Tindak Pidana.1 Hingga saat ini, konsep keadilan korektif lama-kelamaan telah ditinggalkan karena terdapat perkembangan pendekatan penyelesaian perkara pidana dengan model yang berbeda, yakni Keadilan Restoratif atau Restorative Justice.2

Model pendekatan Keadilan Restoratif mengedepankan penyelesaian secara kekeluargaan dan kepentingan pihak-pihak yang terkena dampak baik korban, masyarakat, bahkan pelaku.3 Keadilan Restoratif mampu meningkatkan jumlah penyelesaian perkara Pidana dengan lebih singkat, mengingat Keadilan Restoratif dapat menyederhanakan proses penyelesaian perkara. Dengan adanya upaya perdamaian antar pihak, yakni pelaku, korban, dan juga masyarakat, maka Aparat Penegak Hukum dapat menyelesaikan perkara tersebut tanpa perlu menempuh proses yang panjang dan berbelit-belit hingga memasuki tahap persidangan nantinya.4 Konsep Keadilan Restoratif pun eksistensinya sudah ada sejak lama dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, khususnya masyarakat adat yang eksistensinya sudah ada jauh sebelum penjajahan Kolonial Belanda yang membawa KUHP ke wilayah Nusantara. Value atau nilai yang termuat dalam Keadilan Restoratif juga memiliki kesinambungan dengan nilai yang mengakar dalam tatanan masyarakat adat di Indonesia, seperti harmonisasi serta kedamaian dalam masyarakat. Barulah ketika Indonesia memasuki era penjajahan

Kolonial Belanda, nilai-nilai keadilan restoratif tersebut berubah menjadi keadilan korektif yang sifatnya lebih rigid dan kaku. 5

Sejatinya dalam perkembangan Hukum Pidana di negara-negara lain, konsep pendekatan keadilan korektif yang bersifat represif sudah mulai ditinggalkan. Hal ini disebabkan dengan adanya stigma negatif dari masyarakat terhadap “koreksi” dari Pidana Penjara. Penerapan pidana penjara acap kali menjadi ruang dehumanisasi bagi para pelaku tindak pidana dan merugikan narapidana. Kerugian tersebut berupa ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan gejala sosial yang terjadi pada masyarakat, mengingat dinamisnya perkembangan dari masyarakat itu sendiri. Tidak hanya pelaku tindak pidana, keluarga dan orang-orang terdekat juga mengalami kerugian berupa pandangan buruk dari masyarakat karena hubunganya dengan pelaku tindak pidana tersebut.6

Seiring berjalannya waktu, secara perlahan-lahan para pembuat Undang-Undang di Indonesia mulai menyadari kelemahan dari pendekatan keadilan korektif, baik dari segi kepastian, keadilan, maupun kemanfaatan. Atas dasar hal tersebut, secara perlahan, para pembuat Undang-Undang mulai menerapkan Keadilan Restoratif pada beberapa bentuk tindak pidana tertentu seperti tindak pidana anak melalui diversi7. Salah satu instrumen hukum yang secara eksplisit menyebut dan menerapkan konsep Keadilan Restoratif adalah Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Penyidikan Tindak Pidana (selanjutnya disebut PERKAP-PTP).

Pengertian Keadilan Restoratif diatur dalam Pasal 1 angka 27 PERKAP-PTP. Pasal 12 PERKAP-PTP juga mengatur syarat-syarat dapat dilaksanakanya Keadilan Restoratif, yakni syarat materiel dan syarat formil sebagaimana diatur sebagai berikut: a. materiel, meliputi:

  • 1.    tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat;

  • 2.    tidak berdampak konflik sosial;

  • 3.    adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum;

  • 4.    prinsip pembatas:

  • a)    pada pelaku:

  • 1)    tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan; dan

  • 2)    pelaku bukan residivis;

  • b)    pada tindak pidana dalam proses:

  • 1)    penyelidikan; dan

  • 2)    penyidikan, sebelum SPDP dikirim ke Penuntut Umum;

  • b. formil, meliputi:

  • 1.    surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor);

  • 2.    surat pernyataan perdamaian (akte dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau

keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan Penyidik;

  • 3.    Berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif;

  • 4.    rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restoratif; dan

  • 5.    pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi.”

Syarat materiel meliputi syarat-syarat yang mengacu pada penerimaan oleh masyarakat dan para pihak yang berperkara. Di sisi lain, syarat formil mengacu pada dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk mengajukan Keadilan Restoratif. Salah satu syarat yang patut dicermati adalah syarat materiel khususnya yang ditentukan dalam Pasal 12 huruf a angka 4, salah satunya syarat prinsip pembatas pada pelaku. Dalam ketentuan tersebut, Keadilan Restoratif dapat diajukan apabila tingkat kesalahan pelaku bukanlah suatu kesalahan yang berat. Kesalahan yang berat dalam konteks ini merupakan kesengajaan. Hal ini justru menimbulkan kekaburan norma, sebab tidak ada tolak ukur yang pasti terkait dengan berat atau ringannya kesalahan pelaku. Selain itu dalam hukum pidana di Indonesia, kesalahan tidak hanya diukur dari kesengajaan atau kelalaian pelaku namun juga ada atau tidaknya alasan pembenar dan pemaaf yang melekat pada pribadi pelaku tindak pidana. Alasan pembenar dan alasan pemaaf sebagai alasan penghapus pidana tersebut tidak diuraikan secara jelas kedudukanya dalam Pasal 12 huruf a angka 4 PERKAP-PTP sebagai alasan untuk pelaksanaan Keadilan Restoratif sehingga merupakan kekaburan norma. Kekaburan norma tersebut apabila dibiarkan akan menimbulkan permasalahan hukum berupa ketidakpastian hukum. Studi ini merupakan pengembangan dari studi hukum dalam bentuk Jurnal di Universitas Udayana yang telah ada sebelumnya, meliputi studi dengan judul Analisis Yuridis Tindak Pidana Pencurian Terhadap Pelaku Yang Mengidap Kleptomania8 yang ditulis oleh I Putu Yoga Ari Permana dan Anak Agung Ngurah Wirasila, studi dengan judul Keabsahan Kesepakatan Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Melalui Mekanisme Mediasi Yang Tidak Didaftarkan Ke Pengadilan Negeri9, yang ditulis oleh Maria Evita Indriani, dan Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, dan studi dengan judul Unsur Kesalahan Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Suatu Kajian Terhadap Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup10, yang ditulis oleh Ni Kadek Ayu Wistiani, I Made Tjatrayasa, dan Sagung Putri M.E Purwani. Oleh karena itu, perlu diteliti kembali mengenai kepastian berat atau ringanya suatu kesalahan pelaku agar terdapat kejelasan mengenai kualifikasi kesalahan yang dapat diajukan penyelesaian secara Keadilan Restoratif. Berdasarkan

hal tersebut, melalui penelitian ini diangkat judul “Kualifikasi Syarat Materiel Keadilan Restoratif Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana.”

  • 1.2.    Permasalahan

Terhadap Latar Belakang di atas, permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini yakni:

  • 1.2.1.    Bagaimana hubungan kesalahan dengan Keadilan Restoratif di Indonesia dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana?

  • 1.2.2.    Bagaimana kualifikasi kesalahan yang dapat diselesaikan melalui Keadilan Restoratif menurut Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami korelasi antara kesalahan dengan Keadilan Restoratif serta mengetahui serta memahami kualifikasi serta jenis-jenis kesalahan yang memenuhi persyaratan untuk dapat diselesaikan melalui Keadilan Restoratif.

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, mengingat permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah permasalahan pada norma yakni kekaburan norma pada Pasa 12 huruf a angka 4 PERKAP-PTP. Untuk dapat mengatasi kekaburan tersebut, maka diperlukan juga penalaran hukum (legal reasoning) guna mencegah peluang diskresi dari Aparat Penegak Hukum guna menjamin kepastian hukum sebagai dharma hukum.11 Untuk dapat mempermudah pelaksanaan penelitian hukum ini maka pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan Perundang-Undangan. Hal ini dilakukan dengan melakukan penguraian dan analisis terhadap konsep kesalahan dalam KUHP sebagai syarat materiel untuk mengajukan penyelesaian perkara pidana melalui Keadilan Restoratif yang berasal dari Literatur, Jurnal, artikel hukum lainnya, dan ensiklopedi hukum.12 Bahan hukum tersebut dikumpulkan melalui teknik bola salju13 dan kemudian dianalisa dengan menggunakan teknik deskriptif, evaluatif, dan argumentatif. 14

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Hubungan Kesalahan Dengan Keadilan Restoratif di Indonesia Dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Geen straf zonder schuld atau tiada pidana tanpa kesalahan merupakan salah satu asas dalam hukum pidana di Indonesia yang termaktub dalam Pasal 44 s/d Pasal 52a KUHP sebagai syarat untuk menuntut pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku

tindak pidana. Pengaturan tersebut ditujukan karena untuk menuntut pertanggungjawaban pidana tidak selalu membahas mengenai pemenuhan unsur-unsur suatu delik tindak pidana, namun juga harus memenuhi unsur-unsur kesalahan sebagai tolak ukur menentukan kemampuan bertanggung jawab dari para pelakunya. Selain untuk menentukan kemampuan bertanggungjawab, kesalahan juga diukur berdasarkan hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan melawan hukum pidana yang dilakukan serta ada atau tidaknya alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf. Hal ini merupakan dualisme dalam pembuktian tindak pidana, dikarenakan kesalahan merupakan konsep yang perlu dibedakan dari tindak pidana itu sendiri, mengingat tindak pidana lebih menitikberatkan pada ancaman atau sanksi pidana yang melekat pada suatu perbuatan melawan hukum pidana, sedangkan sifat dari pelaku tersebut merupakan bagian yang terpisah yakni dalam ruang lingkup pertanggungjawaban pidana. Pembedaan tersebut nantinya akan mempermudah Aparat Penegak Hukum dalam melakukan pembuktian atas tindak pidana beserta ancaman hukuman yang sesuai.

Kesalahan dalam pidana atau pertanggungjawaban pidana dapat diukur melalui schuldvormen (bentuk-bentuk kesalahan) yang meliputi dolus atau kesengajaan dan culpa atau kelalaian. Berdasarkan Memory van Toelichting (penjelasan resmi KUHP yang untuk selanjutnya disebut sebagai MvT) yang dimaksud dengan dolus melingkupi kehendak, maksud, serta kesadaran akan konsekuensi dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.15 Pertanggungjawaban hukum pidana akan melekat pada pelaku tindak pidana apabila terdapat willens en weten (kehendak dan kesadaran) dari pelaku tindak pidana. kesengajaan tindak pidana memiliki tiga jenis sifat yakni kesengajaan sebagai maksud atau tujuan, kesengajaan sebagai kesadaran akan kepastian, dan kesengajaan dengan kesadaran akan kemungkinan. Kesengajaan sebagai maksud dan tujuan adalah bentuk kesengajaan yang ancaman pidananya terberat dibandingkan kesengajaan lainnya, mengingat tolak ukur dari kesengajaan ini adalah adanya niat, maksud, dan kesadaran dari pelaku yang akan melakukan perbuatan melawan hukum terhadap akibat yang ditimbulkan dari perbuatan melawan hukum sebagai tujuan yang dicapai. Kesengajaan sebagai kesadaran akan kepastian merupakan bentuk kesengajaan dengan tolak ukur adanya pengetahuan akan konsekuensi perbuatan melawan hukum pidana oleh pelaku tindak pidana dan tidak menghendaki akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut namun hal tersebut tidak menghalangi pelaku untuk melakukan tindak pidana. Kesengajaan dengan kesadaran akan kemungkinan merupakan bentuk kesengajaan dengan tolak ukur bahwa suatu perbuatan memiliki lebih dari satu akibat hukum. Dalam bentuk kesengajaan tersebut, pelaku menghendaki akibat dari tindak pidana yang ia lakukan dan menyadari akibat-akibat lain dari tindak pidana tersebut namun tidak menghendaki akibat-akibat lain yang ditimbulkan.16

Kelalaian sebagai kesalahan atau pertanggungjawaban pidana merupakan bentuk tindak pidana yang terjadi sebagai akibat dari kegagalan, tidak hati-hati, atau tidak menerapkan upaya pencegahan sehingga mengakibatkan celaan terhadap perilaku dari pelaku tindak pidana sebagai akibat dari sikapnya yang kemudian menimbulkan kerugian bagi pihak lain bahkan masyarakat sekaligus. Pada mulanya kelalaian bukanlah suatu syarat untuk menuntut pertanggungjawaban pidana, namun

berdasarkan MvT terhadap rancangan KUHP Belanda kelalaian dianggap sebagai suatu kesalahan karena dianggap sebagai bentuk tidak hormat atau tidak mengindahkan larangan yang diatur dalam suatu Peraturan Perundang-Undangan. Apabila larangan tersebut diindahkan oleh pelaku maka terdapat kemungkinan bahwa tindak pidana tersebut dapat terhindari, sikap ketidak pedulian dari pelaku yang mencelakai atau merugikan pihak lain sehingga menimbulkan korban menjadi dasar bagi Penegak Hukum untuk melakukan penuntutan pidana. Dalam perkembanganya, kelalaian dibagi menjadi dua jenis yakni culpa lata (kesalahan kasar) dan culpa levis (kesalahan ringan).17

Kesengajaan dan kelalaian bukanlah satu-satunya tolak ukur untuk menentukan pertanggungjawaban pidana. Tolak ukur pertanggungjawaban pidana juga diukur melalui ada atau tidaknya alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana meliputi beberapa bentuk sebagaimana diatur dalam KUHP, diantaranya alasan pemaaf yakni terhadap pelaku yang memiliki sakit kejiwaan, perbuatan yang dilakukan dengan keadaan terpaksa, membela diri, pembelaan diri yang melampaui batas, dan alasan pembenar yang meliputi pelaksanaan peraturan perundang-undangan, melakukan perintah jabatan yang sah, dan melakukan perintah jabatan yang tidak sah namun tetap dianggap sah. Pasal 44 KUHP mengatur dimaafkannya suatu perbuatan pidana oleh pelaku tindak pidana apabila pelaku tindak pidana memiliki kesehatan jiwa yang terganggu, akibatnya pemidanaan terhadap pelaku bukanlah langkah yang tepat untuk memperbaiki akhlak pelaku. Pasal 48 KUHP mengatur bahwa suatu perbuatan pidana dapat dimaafkan apabila memang terdapat paksaan yang tidak dapat dicegah atau dilawan sehingga mendorong pelaku secara terpaksa untuk melakukan tindak pidana. Pasal 49 ayat (1) KUHP mengatur tidak dipidananya seseorang apabila melakukan perbuatan yang ditujukan untuk membela diri dengan catatan bahwa perbuatan tersebut ditujukan untuk mempertahankan tubuh atau kehormatan subyek hukum maupun obyek lain, dilakukan karena adanya serangan yang mengancam, dilakukan karena tidak ada pilihan lain. Dalam hal pelaku tindak pidana telah melakukan pembelaan yang melampaui batas-batas tersebut, hal tersebut tetap dapat dimaafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP mengingat adanya keadaan jiwa atau luapan emosi dari pelaku yang mendorong atau tidak dapat menghentikan pelaku sehingga melampaui batas-batas tersebut. Di sisi lain, dalam hal suatu tindak pidana dilakukan atas perintah Peraturan Perundang-Undangan hal merupakan alasan pembenar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 KUHP sehingga tuntutan pidana terhadap pelakunya dapat dihapus. Selain karena perintah Undang-Undng, alasan pembenar juga terdapat pada perintah jabatan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP dengan syarat bahwa perintah tersebut adalah perintah tertulis yang dibuat dalam lingkup kewenangan jabatan tersebut. Dalam hal perintah jabatan tersebut tidak sah, maka menurut Pasal 51 ayat (2) KUHP hal tersebut tetap digolongkan sebagai alasan pembenar selama pelaksanaan dari perintah jabatan tersebut didasari oleh itikad baik dan berasal dari pemangku jabatan yang lingkup kewenanganya mencakup perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku. 18

Unsur kesalahan tidak menjadi satu-satunya cara untuk menentukan perlu atau tidaknya suatu pelaku tindak pidana dituntut atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Keadilan Restoratif juga dapat menjadi tolak ukur untuk menentukan apakah suatu tindak pidana perlu dituntut atau tidak. Pada dasarnya Keadilan Restoratif merupakan gagasan baru dalam keseluruhan sistem Hukum Pidana di Indonesia. Keadilan Restoratif memandang tindak pidana sebagai konflik antara pelaku tindak pidana dengan korbannya. Pada mulanya KUHP dan KUHAP di Indonesia menggunakan pandangan retribusi dimana pemidanaan ditujukan untuk mengembalikan hak korban yang dirampas secara melawan hukum, akan tetapi dalam pelaksanaanya justru korban tidak dilibatkan. Hal ini justru sangat kontradiktif karena Aparat Penegak Hukum belum tentu memahami kepentingan korban. Di sisi lain terdapat alasan-alasan tertentu yang melatarbelakangi pelaku melakukan tindak pidana serta kepentingan-kepentingan masyarakat lain yang juga harus diakomodir. Sehingga dalam hal ini Keadilan Restoratif berfungsi sebagai alat penyeimbang kepentingan pelaku dan korban serta masyarakat yang terlibat dengan melibatkan seluruh pihak dalam penyelesaian perkara. Tujuanya untuk mengembalikan keseimbangan dan ketertiban dalam masyarakat mengingat tindak pidana tersebut diselesaikan secara lebih sederhana, cepat, dan dampaknya dapat dirasakan oleh para pihak yang terlibat secara langsung.19

Status quo di Indonesia saat ini, tidak banyak peraturan yang telah memuat Keadilan Restoratif sebagai upaya penyelesaian tindak pidana, namun salah satunya terdapat pada peradilan anak yang saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang tersebut membuka ruang mediasi bagi anak sebagai pelaku tindak pidana untuk melakukan perundingan dengan di luar jalur pengadilan dengan pihak korban melalui diversi. 20 Tujuanya untuk menghindari pandangan-pandangan atau stigma buruk dari masyarakat terhadap anak sehingga justru mendorong anak untuk menjadi residivis. Keadilan Restoratif pada kenyataanya merupakan suatu langkah hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat, hanya saja penerapanya di Indonesia belum maksimal. Hingga pada tahun 2019 melalui PERKAP-PTP, ruang untuk melaksanakan Keadilan Restoratif semakin terbuka lebar.

PERKAP-PTP yang mengatur tentang Keadilan Restoratif memang memberikan kesempatan bagi pelaku tindak pidana untuk menghindari pemidanaan dengan melakukan penyelesaian perkara secara kekeluargaan dengan korban, namun penerapan Keadilan Restoratif ditentukan dengan memperhatikan ada atau tidaknya unsur pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dari pelaku. Hal ini merupakan dampak dari lahirnya paham keseimbangan monodualistik, yakni paham dimana pemidanaan tidak serta-merta bertujuan untuk pembalasan melainkan untuk mengembalikan keharmonisan dalam masyarakat dengan mengindahkan kepentingan korban atau kepentingan umum dan perlindungan pelaku. Keseimbangan monodualistik sejatinya telah diakomodir dalam Pasal 12 huruf 1 PERKAP-PTP sebagai syarat materiel dilakukanya Keadilan Restoratif yakni tidak menimbulkan keresahan dan penolakan oleh masyarakat, tidak mengakibatkan konflik sosial, adanya

kesepakatan dan pernyataan tidak keberatan antar pihak dan tingkat kesalahan pelaku. Tingkat kesalahan pelaku tersebut dapat diukur dengan memperhatikan unsur-unsur yang melekat pada pelaku yakni bentuk-bentuk kesalahan baik berupa kesengajaan atau kealpaan dan alasan penghapus pidana berupa alasan pemaaf atau alasan pembenar yang sifatnya sangat subyektif. Keadilan Restoratif memiliki kaitan yang sangat erat dengan kesalahan pelaku tindak pidana karena fungsinya sebagai tolak ukur untuk menentukan dapat atau tidaknya suatu tindak pidana diselesaikan dengan Keadilan Restoratif.

  • 3.2.    Kualifikasi Kesalahan yang Dapat Diselesaikan Melalui Keadilan Restoratif Menurut Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Niat semula (Original Intent) dari pembentukan PERKAP-PTP khususnya tentang Keadilan Restoratif adalah untuk menjaga dan menjamin kepentingan korban atau masyarakat serta perlindungan terhadap pelakunya. Dalam hal adanya ruang terbuka untuk perdamaian melalui Keadilan Restoratif selama masih memenuhi syarat materiel dan syarat formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 PERKAP-PTP, maka hal tersebut merupakan primum remidium (obat pertama) yang diupayakan untuk menyelesaikan suatu perkara tindak pidana. Ruang untuk melaksanakan perdamaian diimplementasikan melalui surat pernyataan perdamaian yang di dalamnya memuat pertanggungjawaban dan ganti kerugian. Hal ini mengubah bentuk penyelesaian tindak pidana secara keperdataan karena adanya surat pernyataan perdamaian yang pada intinya berisi janji antara pelaku dan korban terkait kewajiban pelaku untuk bertanggungjawab dan menanggung biaya kerugian yang ditimbulkan terhadap korban sebagai haknya. Meskipun telah diatur sedemikian rupa, Pasal 12 PERKAP-PTP memiliki sebuah kekurangan berupa kekaburan norma yang dapat dilihat pada huruf a yakni syarat materiel angka 4 sub-huruf a yakni syarat pada pelaku sub-angka 1 yang mengatur bahwa untuk dapat melakukan Keadilan Restoratif tingkat kesalahan pada pelaku harus relatif tidak berat yakni kesalahan dalam bentuk ketidaksengajaan. Pasal tersebut memang secara eksplisit telah memberikan limitasi dilaksanakanya Keadilan Restoratif yakni dengan mengacu pada tingkat kesalahan yakni bukan merupakan kesengajaan, melainkan kelalaian. Meskipun telah diatur sedemikian rupa, patut disayangkan karena tolak ukur dari kesalahan sebagai bagian dari pertanggungjawaban pidana tidak hanya terletak pada unsur kesengajaan atau kealpaan namun juga dilihat dari ada atau tidaknya alasan pemaaf atau alasan pembenar yang melekat pada pelaku yang sifatnya subyektif.

Berdasarkan Pasal 44 s/d Pasal 52a KUHP, alasan pemaaf dan alasan pembenar memang merupakan alasan penghapus pidana yang secara otomatis akan menghapuskan pertanggungjawaban pidana yang melekat pada pelakunya sepanjang memenuhi unsur atau syarat dalam ketentuan tersebut dan dapat dibuktikan kebenaranya. Akan tetapi dengan dihapuskannya alasan penuntutan pertanggungjawaban pidana tersebut justru akan menyingkirkan ruang pelaksanaan dari Keadilan Restoratif, mengingat perkara tersebut dianggap telah selesai karena cukup degan dibuktikan dari ada atau tidaknya alasan pemaaf dan alasan pembenar. Penyingkiran atas Keadilan Restoratif tersebut justru nantinya akan meminggirkan upaya-upaya pertanggungjawaban dan penggantian kerugian yang merupakan hak bagi korban sebagai kompensasi atas kerugian yang dideritanya. Hal ini menunjukan adanya kekaburan norma terkait dengan kedudukan alasan pemaaf dan alasan pembenar sebagai kualifikasi materiel dalam penyelesaian perkara melalui Keadilan

Restoratif. Kekaburan norma tersebut berupa ketidakjelasan kedudukan alasan penghapus pidana tersebut bersifat substitutif atau bersifat komplementer dengan kesengajaan dan kelalaian.

Permasalahan kekaburan norma tersebut dapat diselesaikan dengan menggunakan penalaran hukum. Penalaran hukum yang digunakan adalah penalaran deduksi melalui silogisme. Silogisme tersebut dapat dilakukan dengan mencari kesimpulan dari suatu premis yang dapat dilihat dari proposisi yang lebih umum. Selain itu, aturan penalaran hukum yang dipergunakan adalah aturan interpretasi hukum yakni dengan melaukan dekonstruksi atas makna yang tertuang dalam hukum yang akan diamati dan aturan penyimpulan hukum yakni dengan menarik kesimpulan yang berasal dari konsekuensi dari ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang dimaksud. 21 Memperhatikan Pasal 12 huruf a yakni syarat materiel Keadilan Restoratif pada angka 4 sub-huruf a yakni syarat pada pelaku sub-angka 1, yang dimaksud dengan Kesalahan yang relatif ringan adalah kesalahan yang bukan merupakan kesengajaan melainkan merupakan suatu kelalaian. Memperhatikan premis tersebut dapat dikatakan bahwa kelalaian merupakan syarat mutlak dapat diajukanya Keadilan Restoratif. Dengan dasar argumentasi demikian, maka kesalahan yang dilihat dari ada atau tidaknya alasan pemaaf dan alasan pembenar memiliki sifat komplementer.

Sifat komplementer sebagaimana dimaksud diatas memiliki maksud berkaitan dengan ada atau tidaknya alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang melekat pada pelaku tindak pidana tidaklah berpengaruh pada dapat atau tidaknya dilakukan Keadilan Restoratif untuk menyelesaikan perkara. Meksipun demikian, hal tersebut tidak berarti bahwa para pelaku tindak pidana yang pada dirinya melekat alasan pemaaf dan alasan pembenar yang luput dari pertanggungjawaban pidana bisa luput dari pertanggungjawaban terhadap korban, sebab Pasal 12 huruf b angka 5 PERKAP-PTP mensyaratkan adanya kesukarelaan dari pelaku untuk bertanggungjawab dan mengganti kerugian yang ditimbulkan terhadap korban. Dikarenakan terdapat alasan pemaaf dan alasan pembenar, maka dapat dilakukan peralihan pertanggungjawaban atas ganti kerugian yang ditimbulkan terhadap korban oleh pihak-pihak tertentu. Dalam hal terdapat alasan pembenar sebagaimana ditentukan dalam Pasal 50, Pasal 51 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (2) KUHP, maka yang bertanggungjawab untuk mengganti kerugian tersebut adalah mereka yang memberikan perintah jabatan kepada pelaku tindak pidana. Hal ini dikarenakan perintah jabatan yang sah merupakan mandat dari pemberi mandat, sehingga pertanggungjawaban atas mandat tersebut terletak pada pemberi mandat yang diatur dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.22 Dalam hal terdapat alasan pemaaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 KUHP, maka pertanggungjawaban dapat dibebankan kepada keluarga atau pengampu dari pelaku tindak pidana mengingat kecacatan jiwa dan pikiran dari pelaku memang mengakibatkan pelaku tidak bisa bertanggungjawab baik secara pidana maupun secara perdata. Sedangkan dalam hal terdapat alasan pemaaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, 49 ayat (1), dan Pasal 49 ayat (2) maka pertanggungjawaban atas ganti kerugian korban dapat dimintakan kepada pelaku tindak pidana sendiri selama dapat dibuktikan bahwa hal tersebut

merupakan kelalaian.23 Dengan penalaran hukum seperti demikian, maka kepentingan korban atau masyarakat serta perlindungan pelaku dapat terakomodir dan Keadilan Restoratif dapat dilaksanakan dengan baik sehingga lebih menjamin keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.

  • IV.    Kesimpulan

Kesalahan merupakan salah satu tolak ukur dapat atau tidaknya dilaksanakan Keadilan Restoratif terhadap suatu perkara pidana. Hal yang dapat dikatakan sebagai suatu unsur kesalahan terletak pada subyektifitas dan keadaan pribadi yang melekat pada pelaku tindak pidana. Hal-hal tersebut dapat berupa kesengajaan atau kelalaian dan ada atau tidaknya alasan penghapus pidana berupa alasan pemaaf dan alasan pembenar. Pasal 12 PERKAP-PTP mengatur bahwa hanya kelalaian saja yang dapat diselesaikan melalui Keadilan Restoratif namun pada kenyataanya kesalahan tidak hanya diukur melalui kelalaian atau kesengajaan pelaku tindak pidana sehingga dalam hal ini terjadi kekaburan norma. Kekaburan norma tersebut dapat diselesaikan melalui penalaran hukum secara deduktif yakni dengan melihat bahwa kelalaian memang merupakan syarat mutlak dari diajukanya penyelesaian perkara melalui Keadilan Restoratif namun alasan penghapus pidana juga dapat dikaitkan sebagai pelengkap syarat materiel tersebut. Urgensi dikaitkanya alasan penghapus pidana sebagai syarat pelengkap terletak pada kewajiban pertanggungjawaban dan penggantian kerugian sebagai syarat formil dari Keadilan Restoratif sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf b angka 5 PERKAP-PTP. Sehingga dalam hal ini perlu diukur dan ditentukan pihak-pihak mana yang dapat menggantikan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana apabila terdapat alasan penghapus pidana yang melekat pada pelaku tindak pidana tersebut. Dalam hal terdapat alasan pembenar sebagaimana ditentukan dalam Pasal 50, Pasal 51 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (2) KUHP, maka yang bertanggungjawab untuk mengganti kerugian tersebut adalah mereka yang memberikan perintah jabatan kepada pelaku tindak pidana sebagai pemberi mandat, sehingga pertanggungjawabanya masih melekat pada pemberi perintah. Dalam hal terdapat alasan pemaaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 KUHP, maka pertanggungjawaban dapat dibebankan kepada keluarga atau pengampu dari pelaku tindak pidana, sedangkan dalam hal terdapat alasan pemaaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, 49 ayat (1), dan Pasal 49 ayat (2) maka pertanggungjawaban atas ganti kerugian korban dapat dimintakan kepada pelaku tindak pidana sendiri selama dapat dibuktikan bahwa hal tersebut merupakan kelalaian.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asep Mulyana, Deferred Presecution Agreement Dalam Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2019).

Joanedi Efendi dan Ibrahim. Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris. (Jakarta: Kencana 2016).

Diantha, I Made Pasek. Metode Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. (Jakarta: Kencana, 2017).

Jurnal

Ansori, Lutfil. "Diskresi dan Pertanggungjawaban Pemerintah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. " Jurnal Yuridis 2, no. 1 (2017).

Apshari Pinatih, I., & Rai Setiabudi, I. “Diversi Terhadap Anak yang Berhadapan Dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.” Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum, (2014).

Evita, Maria, dan Putra, Dewa Nyoman Rai Asmara. “Keabsahan Kesepakatan Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Melalui Mekanisme Mediasi Yang Tidak Didaftarkan Ke Pengadilan Negeri.” Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum. v.9 n.10. (2020). h. 1-11.

Flora, Henny Saida. "Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Dan Pengaruhnya Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia." University Of Bengkulu Law Journal 3, no. 2 (2018).

Hikmawati, Puteri. "Pidana Pengawasan Sebagai Pengganti Pidana Bersyarat Menuju Keadilan Restoratif (Criminal Conditional Supervision As A Substitute Of Probation Sentence Towards Restorative Justice)." Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan 7, no. 1 (2017).

Kadek Ayu Wistiani, Ni. Tjatrayasa, I Made. dan Purwani, Sagung Putri M.E. “Unsur Kesalahan Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Suatu Kajian Terhadap Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.” Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum. v.5. n.2. (2016). h.1-5.

Komariah, Komariah, and Tinuk Dwi Cahyani. "Efektifitas Konsep Diversi Dalam Proses Peradilan Anak Pelaku Tindak Pidana Menurut UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Dalam Proses Peradilan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Kabupaten Malang). " Legality: Jurnal Ilmiah Hukum 24, no. 2 (2017).

Lendo, Diane JA. "Perbuatan Menghilangkan Nyawa Orang Lain Karena Alasan Pembenar Sesuai Dengan Pasal 49 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana." LEX CRIMEN 7, no. 2 (2018).

Liemena, P., & Sugama, I. “Analisis Konsep Penyelesaian Diversi Dalam Peradilan Anak Menggunakan Restorative Justice (Studi Kasus Di Bapas Klas 1 Denpasar)”. Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum 8, no. 5 (2019).

Makanoneng, Doddy. "Cacat Kejiwaan sebagai Alasan Penghapus Pidana." Lex Crimen 5, no. 4 (2016).

Muhaling, A. J. “Kelalaian Yang Mengakibatkan Matinya Orang Menurut Perundang– Undangan Yang Berlaku.” LEX CRIMEN, 8 (2019).

Natakharisma, K., & Suantra, I. “Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara Pidana di Indonesia”. Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum 8, no. 8 (2013).

Permana, I. Putu Yoga Ari, dan Anak Agung Ngurah Wirasila. "Analisis Yuridis Tindak Pidana Pencurian Terhadap Pelaku Yang Mengidap Kleptomania. " Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum. v. 8. n. 5. (2019). h. 1-14.

Rais, M. I. “Tinjauan Hukum Delik Pembunuhan, Delik Penganiayaan Yang Menyebabkan Kematian Dan Delik Kealpaan Menyebabkan Kematian.” Jurnal Yustisiabel Volume I Nomor I April, (2017).

Rochaeti, Nur. "Implementasi Keadilan Restoratif Dan Pluralisme Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. " Masalah-Masalah Hukum 44, no. 2 (2015).

Weruin, Urbanus Ura. "Logika, Penalaran, dan Argumentasi Hukum. " Jurnal Konstitusi 14, no. 2 (2017).

Widiartana, G. “Paradigma Keadilan Restoratif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Menggunakan Hukum Pidana.” JURNAL UAJY (2017).

Yudha, N., & Utari, A. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika”. Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum 9, no. 2 (2020).

Zulfa, Eva Achjani. "Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia. " Indonesian Journal of Criminology (2010).

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332).

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601).

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 11, hlm. 1-13