PENJATUHAN PIDANA PELATIHAN KERJA BAGI ANAK DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

Oleh:

I Made Krishna Gelda Martha, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I GustiKetutAriawan, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan studi ini untuk mengkaji kepastian hukum terkait dengan penegakan hukum berupa pidana pelatihan kerja terhadap anak. Studi ini menggunakan penelitian hukum normative dengan pendekatan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hasil penelitian, dari permasalahan hukumyang diteliti oleh penulis, berkaitan dengan pidana pelatihan kerja dalam kaitannya pada tujuan pemidanaan harus dilihat dalam kerangka teoritis dari restorative justice yang menitikberatkan tidak kepada penghukuman semata atau retributive namun juga pada pemulihan pasca kejahatan terjadi. Selanjutnya berkaitan dengn tinjauan yuridis pengaturan lebih lanjut dari pidana pelatihan kerja kedalam Peraturanpelaksana ternyata masih belum terlaksana sehingga membuat terjadinya kekosongan norma.

Kata Kunci: Anak,Pemidanaan, Pidana Pelatihan Kerja

ABSTRACT

The purpose of this study is to examine the legal certainty related to law enforcement in the form of criminal work training for children. This study uses normative legal research with the statutory approach. Based on the results of the study, from the legal issues examined by the author, relating to criminal training in relation to criminal objectives must be seen in the theoretical framework of restorative justice which focuses not only on punishment or retributive but also on post-crime recovery occurs. Furthermore, in relation to the juridical review, further regulation of work training crimes into the implementing regulations apparently has not yet been carried out, thus creating a norm of emptiness.

Keywords: Children, Criminal, Criminal Job Training

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang Masalah

Perubahan yang terjadi dalam masyarakat dipengaruhi oleh adanya berbagai inovasi baru yang terjadi dan terdapat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan tersebut menimbulkan akibat yang sangat dirasakan oleh masyarakat di wilayah perkotaan, di mana sering terjadi suasana yang tidak harmonis dalam hubungan antara orang tua dengan anaknya. Orang tua dalam suasana yang tidak harmonis tidak lagi mempunyai wibawa dan panutan bagi anak-anaknya. Hal demikian mengakibatkan pola pikir dan perilaku anak sangat dipengaruhi oleh kelompok bermainnya. Dalam kehidupan masyarakat juga dijumpai banyak anak-anak yang tidak mendapat kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun sosial dari orang tuanya. Hal ini karena keadaan/kondisi keluarganya atau disengaja maupun tidak sengaja sering terdapat tindakan atau perilaku anak-anak yang dapat merugikan dirinya maupun masyarakat. Perilaku yang menyimpang atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak disebabkan berbagai faktor, antara lain akibat dampak

negatif dari perkembangan dan perubahan yang cepat, arus globalisasi informal dan komunikasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan-perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Kenakalan anak setiap tahun selalu meningkat, apabila dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari kualitas maupun modus operandi yang dilakukan, kadang-kadang tindakan pelanggaran yang dilakukan anak dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya para orang tua. Fenomena meningkatnya perilaku tindak kekerasan yang dilakukan anak seolah-olah tidak berbanding lurus dengan usia pelaku. Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak, perlu segera dilakukan.

Sistem Peradilan Pidana selama ini berlandaskan pada keadilan retributif hanya memberikan kewenangan negara yang didelegasikan pada aparat penegak hukum, memberikan wewenang kepada negara yang didelegasikan pada aparat penegak hukum polisi, jaksa, hakim , dan lembaga pemasyarakatan. Retributif mencapai keadilan dengan memberi balasan atas derita atau sakit yang ditimbulkan oleh pelaku dan karenanya pelaku dijatuhi hukuman yang setimpal. Negara yang menentukan derajat keadilan bagi korban dengan memberikan hukuman penjara pada pelaku. Selain itu sistem peradilan pidana terkait kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga kemasyarakatan merupakan sistem terpadu yang disebut dengan “criminal justice system”, yang dilaksanakan sebagai upaya untuk menanggulangi kriminalitas di masyarakat, namun sistem ini belum sepenuhnya terlaksana dengan baik karena pada kenyataannya tingkat kriminalitas semakin meningkat dan masih banyak pelaku kejahatan yang ternyata melakukan kejahatan lagi atau residivis. Dalam praktek tidak jarang dijumpai proses penyelesaian perkara oleh pihak yang berwenang kurang memperhatikan perlindungan anak. Anak sebagai pelaku tindak pidana terkadang diperlakukan seperti penjahat pada umumnya. Sikap petugasnya terkadang juga terlalu berlebihan dan terkesan menganggap ringan kejahatan yang dilakukan mereka, sehingga hal yang demikian bisa berakibat sebaliknya, yakni mereka bisa menjadi penjahat sesungguhnya. Upaya perlindungan bagi anak haruslah dilaksanakan secara komprehensif.1Secara eksplisit UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menentukan anak sebagai seseorang yang masih dalam kandungan dan mreka yang belum berumur 18 tahun.2 Penghayatan atas serangkaian hak-hak yang dimiliki anak menjadi hal yang penting dalam keberlangsungan hidup umat manusia. 3 Penjaminan atas hak asasi anak telah ditentukan dalam UUD 194 sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 28 B ayat (2); Pasal 28 H ayat (2) yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang khusus. Pemidanaan terhadap anak pelaku kejahatan haruslah dibedakan dengan para orang dewasa, hal ini didasarkan kepada pertimbangan kemantapan psikis dan kejiwaan anak yang berbeda dari orang dewasa. Berkaitan dengan dilakukannya suatu tindak pidana oleh anak tidaklah dapat dijustifikasi langsung sebagai sebuah kejahatan akan tetapi kondisi psikologis seorang anak yang mendorong dilakukannya kenalakan tersebut. Perbuatan nakal oleh anak ini disebut Juvenile Deliquency. Penerapan

pidana pelatihan kerja sebagai ganti pidana denda adalah bentuk pembaharuan pidana. Lebih lanjut pidana pokok berupa pelatihan kerja tersebut adalah pidana pengganti dari pidana denda, hal ini secara eksplisit ditentukan dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomo 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA) ditentukan bilamana hukum materiil didalamnya mengancam pidana kumulatif yakni pidana penjara dan denda.

Dalam hal ini pidana denda akan diganti dengan pidana pelatihan kerja Secara teoritis pidana memang diartikan Sebagai suatu nestapa atau penderitaan sehingga fungsi pidana juga dapat mengakibatkan dehumanisasi akan tetapi bilamana pemidanaan dilakukan terhadap anak tentu harus terdapat beberapa pertimbangan yang harus dipikirkan berkaitan dengan implikasi pada diri anak secara psikologis dan kejiwaan bilamana dipidana penjara serta bagaimana dapat mengembalikan anak kedalam masyarakat. Namun terhadap penerapan pidana pelatihan kerja ini masih mengalami perdebatan bilamana ditinjau dari kerangka teoritis tujuan pemidanaan. Lebih lanjut ketidakjelasan berkaitan dengan tindak lanjut pembuatan Peraturan Pemerintah terkait juga menjadi sebuah permasalahan hukum. Bebapa peniliti pernah mengkaji persoalan pidana pelatihan kerja ini. Yunita Inoriti menuliskan penelitian yang berjudul “Sanksi Pidana Pelatihan Kerja Bagi Anak Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak” membahas mengenai konsep pelatihan kerja yang bermanfaat bagi anak dimasa mendatang.4 Selanjutnya Kadek Widiantari juga menuliskan penelitian berkaitan dengan pidana pelatihan kerja dengan mengangkat judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Yang Dijatuhi Pidana Pelatihan Kerja”membahas berkaitan dengan penjaminan perlindungan hukum terhadap anak pasca diputuskannya suatu pidana pelatihan kerja. 5 Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah pernah ditulis sebelumnya oleh peneliti lainnya, maka kemudian penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait peninjauan terhadap pidana pelatihan kerja dalam perspektif tujuan pemidanaan serta menelisik terkait penindaklanjutan peraturan pelaksanaan UU SPPA, mengingat kedua masalah tersebut belum pernah diangkat sebelumnya. Oleh karena itu penulis akan menelisik lebih lanjut permasalahan hukum ini dengan mengangkat judul “PENJATUHAN PIDANA PELATIHAN KERJA BAGI ANAK DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA”.

  • 1.2.    Permasalahan

  • 1.    Bagaimana Pengaturan Pidana Pelatihan Kerja Ditinjau Dalam Perspektif Tujuan Pemidanaan?

  • 2.    Bagaimana Tinjauan Yuridis Peraturan Pelaksanaan UU SPPA ?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penulisan jurnal ini ditujukan yang pertama agar sistem hukum Indonesia khusunya dalam perspektif hukum pidana dapat mewujudkan suatu keadilan, kepastian dan kemanfaatan dalam peminadanaannya yang sesuai dengan restorative justice. Lebih lanjut yang kedua diharapkan dari penelitian ini para pembaca dapat

mengetahui terkait sudah atau belum diaturnya peraturan pelaksanaan dari pengaturan pidana pelatihan kerja.

  • II.    Metode Penelitian

Jenis penelitian jurnal Penjatuhan Pidana Pelatihan Kerja Bagi Anak Dalam Perspektif Hukum Positif ini didasarkan pada metode penelitian hukum normatif yang berangkat dari problema norma yang ada yakni kekosongan norma terkait bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana pelatihan kerja. Lebih lanjut penelitian hukum normatif menempatkan hukum sebagai bangunan dalam sistem norma. 6 Dalam penelitian hukum normatif terdapat tiga sumber bahan hukum yang terdiri atas sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Penelitian ini didasarkan pada pendekatan peraturan perundang-undangn atau statue approach yakni suatu pendekatan yang didasarkan kepada bahan pustaka yakni peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan hukum yang diteliti. 7 Penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan bahan hukum kepustakaan dengan teknik pengumpulan bahan hukum dengan studi dokumen dan teknik analisis secara deduktif yakni berangkat dari premis umum menuju premis khusus.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengaturan Pidana Pelatihan Kerja Ditinjau Dalam Perspektif Tujuan Pemidanaan

Pidana merupakan penderitaan yang dibebankan pada mereka yang bersalah melakukan tindak pidana. Sanksi pidana adalah sanksi yang paling kejam dari hukum, sehingga dalam penjatuhannya harus memperhatikan manfaatnya. Pidana memiliki beberapa istilah dalam bahasa asing yakni dalam bahasa latin poena yang berarti nestapa seperti denda, pembalasan. Kemudian dalam bahasa yunani poine yaitu ganti rugi atau uang pengganti. Pada dasarnya pidana adalah penderitaan yang sengaja dikenakan oleh pihak yang berwenang pada seseorang yang terbukti melakukan perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana. Dalam penjatuhan pidana dikenal dengan pemidanaan. Pemidanaan sendiri sebenarnya melanggar Hak Asasi Manusia walaupun dilakukan atas nama negara, berdasar kepada hal tersebutlah maka dicari pembenarannya atau alasan untuk apa pemidanaan itu diberikan. Alasan pembenaran pemidanaan tersebut kemudian berkembang menjadi teori pemidanaan yang mencari suatu kebenaran dari tujuan dari pemidanaan. Secara umum dikenal tiga teori tujuan pemidanaan yaitu pembalasan (retribution), tujuan (utilitarian/ doeltheorieen) dan teori gabungan (verenigingstheorieen). Menurut Karl O. Cristiansen karakteristik dari teori pembalasan adalah menempatkan suatu pembalasan sebagai satu-satunya tujuan dari pidana dan tidak mengandung tujuan lain seperti untuk kesejahteraan masyarakat. Lebih lanjut karakteristik dalam teori pembalasan ini ialah kesalahan sebagai satu-satunya syarat untuk adanya pidana serta pidana melihat kebelakang yang berarti ia merupakan pencelaan murni dan tujuannya tidak untuk mendidik, memperbaiki atau memasyarakatkan kembali pelaku kejahatan.8

Kemudian karakteristik dari teori tujuan adalah pencegahan sebagai tujuan dari pidana. Pencegahan bukan merupakan tujuan akhir tetapi suatu sarana untuk tujuan yang lebih ideal yaitu kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya pidana melihat kedepan yang berarti pidana dapat mengandung unsur pencelaan akan tetapi unsur pembalasan dan pencelaan tidak dapat diterima apabila tidak dapat membantu dicegahnya suatu kejahatan yang bisa terjadi. Berkaitan dengan pidana sebagai sarana pencegahan dikenal suatu teori pencegahan umum (general prevention) dan teori pencegahan khusus (special prevention). Teori pencegahan umum memiliki tujuan untuk mempengaruhi tingkah laku masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana sedangkan teori pencegahan khusus bertujuan untuk mempengaruhi tingkah laku terpidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi/agar menjadi lebih baik. Lebih lanjut harus terdapatnya anasir yang membinasakan bagi yang dianggap sudah tidak dapat diperbaiki. Dalam perkembangannya berkaitan dengan teori pencegahan khusus berkembang teori behavorial deterrence (rehabilitation dan incapasitation) yang membuat terpidana agar tidak melakukannya perbuatannya lagi maka terpidana dipenjarakan atau dihukum mati, khusus terhadap pelaku kejahatan yang tidak dapat dibina lagi. 9 Selanjutnya teori tujuan pemidanaan yang ketiga yaitu teori gabungan merupakan gabungan dari pemikiran teori pembalasan dan teori tujuan. Penjatuhan pidana terhadap seseorang yang melakukan kejahatan tidak boleh lebih berat dari perbuatan yang dilakukan. Lebih lanjut pemidanaannya juga mesti mengandung perbaikan dan pengaruh baik untuk masyarakat. Peligrino Rossi menyatakan bahwa teori gabungan dapat terbagi menjadi tiga golongan yang pertama adalah teori gabungan yang menitikberatkan pada teori pembalasan pembalasan, tetapi tidak boleh melebihi batas yang diperlukan untuk memperatahankan ketertiban dalam masyarakat. Hukuman dimaknai sebagai pembalasan dengan maksud untuk melindungi tata hukum (zevevenbergen “hormat terhadap hukum dan pemerintah”) adanya keseimbangan antara teori pembalasan dan teori tujuan. Kemudian yang kedua adalah teori gabungan yang menitikberatkan pada usaha untuk mempertahankan ketertiban dalam masyarakat dimana hukuman tidak boleh lebih berat dari perbuatan yang dilakukan. Pidana yang dijatuhkan adalah untuk menjaga/melindungi ketertiban yang dapat memberikan kesejahteraan dan kepuasan pada masyarakat. Terakhir, yang ketiga adalah teori gabungan yang menghendaki adanya keseimbangan antara teori pembalasan dan teori tujuan. Dalam perkembangannya untuk mengatasi kelemahan dalam SPP yang menekankan pada retributive yang menempatkan pelaku dan korban kejahatan secara pasif, sehingga muncullah restorative justice. Berdasarkan pendekatan historis restorative justice sudah ada sejak tahun 1970 di Kitchener, Onatrio, Kanada.

Selanjutnya muncul empat jenis praktek restorative justice, yang terdiri victim offender mediation (VOM), family group conferenceng , circles, reparative board/ Youth Panel. Keempat jenis praktek tersebut telah berkembang di Negara Eropa, Amerika Serikat, Canada, Australia, dan New Zealend. 10 Secara mendasar restorative justice memandang yang pertama dan paling awal serta langsung dilukai oleh pelaku adalah anggota individu masyarakat, sehingga seharusnya mereka ( korban dan pelaku tindak pidana) diberi kesempatan untuk menyelesaikan konflik dan memulihkan kerugian yang ditimbulkan dan mengijinkan pelaku tindak pidana untuk bertanggung jawab secara

langsung atas tindakannya.11 Restorative justice bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Pemidanaan merupakan suatu pemahaman atas penjatuhan sanksi pidana Pemidanan terhadap anak pada sebuah tindak pidana haruslah ditinjau dalam kerangka teoritis tentang tujuan pemidanaan.12Dalam Pasal 1 angka 2 UU SPPA anak pelaku kejahatan terdapat pengaturan anak berkonflik dengan hukum yakni anak yang berkedudukan sebagai saksi dalam tindak pidana dan anak dengan status korban tindak pidana. Merujuk dalam Pasal 71 ayat (1) UU SPPA ditentukan bahwa pelatihan kerja merupakan hukuman terhadap anak pelaku tindak pidana. Lebih lanjut dalam Pasal 71 ayat (3) UU SPPA pada pokoknya menentukan berkaitan pidana pelatihan kerja sebagai pengganti pidana denda dalam hal ancaman sanksi hukuman pidana tersebut merupakan kumulatif yang menyertakan pidana denda. Selanjutnya dalam Pasal 78 UU SPPA ditentukan pada pokoknya bahwa harus terdapat penyesuaian atas umur anak pelaku kejahatan dalam penerapan pidana pelatihan kerja tersebut.

Lebih lanjut terdapat beberapa lembaga yang harus menyesuaikan dalam pelaksanaannya adalah lembaga pendidikan vokasi dan balai latihan kerja. Kemudian dalam ayat (2) ditentukan berkaitan dengan jangka waktu pidana pelatihan kerja yakni paling singkat adalah tiga bulan dan yang paling lama adalah satu tahun. Penegakan hukum atas ABH haruslah didasarkan pada beberapa pertimbangan khusus dalam penegakannya sehingga dapat benar-benar dipastikan ABH tersebut tidak akan merasakan hukuman dalam tatanan sosial masyarakat. Upaya perbaikan diri pada ABH menjadi hal yang penting untuk dikedepankan disamping pemulihan psikis seperti trauma healing dan rehabilitasi pasca terjadinya tindak pidana tersebut. Dalam hal penjatuhan hukum berdasarkan vonis hakim telah dijatuhkan terhadap anak yakni pelaku tindak pidana tersebut maka selanjutnya ia akan berstatus sebagai anak binaan masyarakat untuk menjalani rehabilitasi refleksi sebagai bentuk pembinaan. Keadilan restoratif atau restorative justice tidak menitikberatkan penghukuman semata dalam penegakan keadilan akan tetapi lebih daripada itu, keadilan restoratif berfokus pada pemulihan pasca terjadinya suatu tindak pidana oleh karena itulah jenis pemidanaan pada restorative justice berupa ganti rugi, pelayanan masyarakat dan bentuk sanksi hukuman lainnya selain penjara. 13 Pidana pelatihan kerja dalam kerangka keadilan restoratif tentu telah membuat pergeseran daripada tujuan pemidanaan itu sendiri. Pada mulanya pemidanaan diarahkan untuk memberikan pembalasan atau suatu kejahatan yang dilakukan seseorang inilah yang kemudian memunculkan istilah tangan dibalas tangan dan mata dibalas mata (retributive). Penjatuhan pidana pelatihan kerja akan mampu memanusiakan anak agar dapat kembali kemasyarakat dengan cara yang tepat. Lebih lanjut pemidanaan pelatihan kerja terhadap anak juga akan mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab dari anak, ditambah lagi pelatihan kerja yang diberikan pun senantiasa disesuaikan dengan usia anak yang bersangkutan tentu ini akan memberikan banyak kebermanfaatan.

  • 3.2    Tinjauan Yuridis Pembuatan Peraturan Pelaksanaan UU SPPA

Menelaah dalam Pasal 107 UU SPPA, secara eksplisit menentukan adanya kewajiban Pemerintah untuk membentuk peraturan pelaksanaan baik dalam bentuk produk hukum Peraturan Pemerintah (selanjutnya disebut PP) maupun Peraturan Presiden (selanjutnya disebut Perpres) sebagai peraturan pelaksanaan UU SPPA dalam kurun waktu paling lambat adalah satu tahun sejak UU SPPA diundangkan, atau dapat diartikan paling lambat 30 Juli 2015 silam, namun tindak lanjut untuk meneteapkan peraturan pelaksana UU SPPA tersebut belum seluruhnya tereksekusi. Berdasarkan perkembangan aktual, dapat dipahami bahwa terdapat sembilan amanat pengaturan lebih lanjut dari UU SPPA yang dapat diuraikan sebagai berikut:

No

Pasal yang diamanatkan untuk diatur lebih lanjut kedalam Peraturan Pelaksanaan

Peraturan Pelaksanaan

1

Pasal 15 Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses Diversi, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan Diversi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

2

Pasal 21 ayat (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan keputusan serta program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

3

Pasal 25 ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman register perkara anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2017 tentang Pedoman Register Perkara Anak Dan Anak Korban

4

Pasal 71 ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Belum ditetapkan

5

Pasal 82 ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Belum ditetapkan

6

Pasal 90 ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan hak Anak Korban dan Anak Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Hak Anak Koraban dan Anak Saksi

7

Pasal 92 ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.

Peraturan Presiden No. 175 Tahun 2014 tentang Pendidikan Dan Pelatihan Terpadu Bagi

Penegak Hukum Dan Pihak Terkait Mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak

8

Pasal 94 ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan Sistem Peradilan Pidana Anak

9

Pasal 105 ayat (1) angka/huruf e Dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah diberlakukannya Undang-Undang ini: e. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum wajib membangun LPKA dan LPAS di provinsi; dan

Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 17 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Penempatan Anak Sementara

Berdasarkan uraian tabel diatas dapat dipahami bahwa masih terdapat persoalan besar dalam penjaminan kepastian hukum terkait sistem peradilan pidana anak. Persoalan besar tersebut ialah masih terdapatnya suatu kekosongan norma atau wet vacuum dari pengaturan lebih lanjut Pasal 71 ayat (5) dan Pasal 82 ayat (4) UU SPPA. Sebenarnya dua materi muatan ketentuan yang harus diatur lebih lanjut tersebut telah termuat dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana bagi Anak serta Tindakan yang Dapat Dikenakan kepada Anak, yang merupakan Program Penyusunan PP Tahun 2015 berdasarkan Keppres No. 9 Tahun 2015 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2015 hanya saja sampai saat ini PP tersebut tidak kunjung ditetapkan. Berdasarkan pendekatan peraturan perundang-undangan Pasal 71 ayat (5) UU SPPA menentukan pada pokoknya terkait bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

Belum ditetapkannya peraturan pelaksanaan terhadap pasal tersebut tentu menimbulkan persoalan kepastian hukum terkait bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana pelatihan kerja terhadap anak mengingat pidana pelatihan kerja adalah pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 71 ayat (1) huruf c yang telah ditegaskan melalui Pasal 71 ayat (5) UU SPPA untuk diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan pelaksanaan. Lebih lanjut implikasi dari terdapatnya kekosongan norma tersebut tentu akan menimbulkan kebingungan bagi penegak hukum untuk dapat menerapkan pidana pelatihan kerja. Disamping itu tidak ditindak lanjutinya beberapa PP dan Perpres memberikan pengaruh kepada tindakan-tindakan serta legalitas penegak hukum dalam melaksanakan pidana pelatihan kerja kepada anak. Secara sederhana beberapa masalah yang akan muncul karena kekosongan norma ini dapat ditinjau dari permasalahan koordinasi para penegak hukum seperti antara Kepolisian dan Pengadilan berkaitan dengan pidana pelatihan kerja bagi anak. Kepolisian, pengadilan dan penegak hukum

lainnya dalam SPP harus dapat diintegrasikan dalam penegakan hukum. Bilamana terjadi disintegrasi antara para penegak hukum sebagai salah satu komponen dari SPP tentu akan menjadi hambatan utama dalam mewujudkan tujuan daripada hukum itu sendiri yakni kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Letak penting fungsi legislasi haruslah dilihat dalam kerangka pemikiran legalitas penegak hukum untuk melakukan penegakan hukum yang berkaitan erat dengan kepastian hukum. 14

SPP merupakan integrasi dari beberapa sub sistem yang secara simultan bekerja untuk mewujudkan suatu tujuan dari hukum pidana. Integrasi para penegak hukum pada SPP menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Dalam konsepsi Indonesia sebagai negara hukum menimbulkan persoalan legalitas pada setiap tindakan yang dilakukan pemerintah. Kekosongan norma karena belum ditindaklanjutinya amanat UU SPPA untuk menetapkan PP dan Perpres yang berkaitan dengan pidana pelatihan kerja akan memberikan implikasi pada persoalan legalitas para penegak hukum dan tidak adanya suatu acuan bersama dalam melaksanakan pidana pelatihan kerja

  • IV.    Penutup

    4.1.    Kesimpulan

  • 1.    Pengaturan pidana pealtihan kerja bagi anak sebagaimana yang ditentukan dalam UU SPPA haruslah dilihat dalam kerangka pemikiran dengan meletakkan anak sebagai salah satu komponen penting dalam keberlangsungan suatu bangsa. Pemidanaan yang dilakukan tidaklah berorientasi pada tujuan retributive atau pembalasan semata akan tetapi lebih kepada orientasi restorative justice yang menitikberatkan pada suatu letak penting agar dapat menghilangkan trauma anak, dan kembali memasyarakatkan anak sebagai insan penerus bangsa.

  • 2.    Pemerintah berkewajiban menetapkan sedikitnya enam PP dan dua Perpres sebagai peraturan pelaksanaan UU SPPA sebagaimana yang diamanatkan dalam UU SPPA. Dalam hal ini masih terdapat kekosongan norma yakni belum diundangkannya beberapa PP dan Perpres yang menimbulkan implikasi pada persoalan legalitas dan acuan pelaksanaan pidana pelatihan kerja. Kekosongan acuan pelaksanaan bagi para penegak hukum ini dapat menimbulkan disintegrasi pada law enforcement yang dilaksanakan para penegak hukum.

  • 4.2.    Saran

  • 1.    Pengaturan Pidana Pelatihan Anak perlu kembali ditinjau mengenai letaknya dalam hukum pidana Indonesia berkaitan dengan pemahaman peletakkan pidana pelatihan kerja bagi anak sebagai sanksi tindakan atau matregel atau sebagai sanksi pidana.

  • 2.    Pemerintah harus segera mendorong proses pengundangan terhadap beberapa peraturan teknis berkaitan dengan pidana pelatihan kerja bagi anak yang tak urung selesai. Kekosangan Pengaturan ini menimbulkan implikasi pada kerancuan proses penegakkan hukum atau law enforcement yang berimplikasi akhir pada sulitnya untuk dapat mewujudkan tiga dasar tujuan hukum itu sendiri yakni Keadilan, Kepastian dan kemanfaatan hukum.

  • 14    Agus Putra Yuda, I Gusi Made. “Peranan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali Menjalankan Fungsi Legislasi Dan Pengawasan Dalam Rangka Memberikan Perlindungan Terhadap Anak di Provinsi Bali.” Journal Ilmu Hukum 6, no. 2 (2018): 1-13.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Dewi, Ds. Mediasi Penal Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia (Depok, Indie Publishing, 2011): 4.

Yulianto Achmad dan Mukti Fajar ND. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2017), 34.

Soerjono Soekanto. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2009), 13.

Jurnal Ilmiah

Agus Putra Yuda, I Gusi Made. “Peranan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali Menjalankan Fungsi Legislasi Dan Pengawasan Dalam Rangka Memberikan Perlindungan Terhadap Anak di Provinsi Bali . Jurnal Kertha Negara 6, No. 2 (2018): 3.

Jaelani, Elan. “Penegakan Hukum Upaya Diversi”. Jurnal Kertha Patrika 40, No. 2 (2018): 74.

Marliani. Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice ( Bandung, Refika Aditama, 2009): 23.

Murniyati, Ni Nyoman. “Sistem Permidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Anak Di Indonesia”. Jurnal Kertha Negara 1, No. 4 (2013): 3.

Purwati A. “Diversi Sebagai Wujud Kebijakan Pemidanaan Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia”. de jure Jurnal Syariah dan Hukum 7, No. 1 (2015): 5-6.

Rhadana, Ida Ayu. “Efektivitas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Dalam Aspek Hak Anak Atas Pendidikan”. Jurnal Kertha Semaya 6, No. 2 (2018): 2.

Rianingsih Waringin, Ni Ketut . “Peran Dinas Sosial Dalam Menangani Anak Terlantar Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak”. Jurnal Kertha Negara 7, No. 1 (2018): 3.

Usman. “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum 7, No. 1 (2011): 69.

Widodo. “Diversi dan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di

Indonesia”. Jurnal Ilmu Hukum Rechtside 10 (2015): 7.

Yulianingsih, Ari. “Pengaturan Terthadap Perlindungan Pekerja Anak Menurut Hukum Positif Indonesia”. Jurnal Kertha Semaya 7, No. 12 (2019): 7.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republlik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ( Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332 )

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak(LembaranNegaraRepublik Indonesia Tahun 2003 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235)

Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 11, hlm. 1-11