URGENSI PENGATURAN SUROGASI DENGAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Ni Putu Tya Suindrayani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

Sagung Putri M.E. Purwani, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penulisan ini ialah untuk mengkaji kedudukan surogasi tergolong dalam tindak pidana atau tidak serta peranan hukum pidana dalam pengaturan surogasi di Indonesia. Penulis menggunakan jenis metode penelitian hukum normatif. Hasil studi menunjukkan bahwa perbuatan surogasi tidak termasuk sebagai tindak pidana. Surogasi sangat penting untuk diatur dengan hukum pidana Indonesia, sehingga pemerintah perlu segera membentuk produk hukum terkait surogasi agar dapat memberikan kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum bagi masyarakat yang telah ataupun yang akan melakukan surogasi. Kata kunci : hukum pidana, kekosongan norma, surogasi.

ABSTRACT

The purpose of this paper is to examine the position of a surrogation classified as a criminal act or not and the role of criminal law regulating surrogation in Indonesia. The author uses a normative legal research method. The study results show that the act of surrogacy is not a criminal offense. Surrogation is very important to be regulated by Indonesian criminal law, so the government needs to immediately form a legal product related to surrogation in order to provide certainty, benefit and legal justice for people who have or will carry out surrogations.

Key words: criminal law, void norm, surrogacy.

  • 1.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang Masalah

Cita-cita bangsa Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia yang terkandung dalam preambule Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 alinea keempat ialah untuk dapat mengembangkan serta memajukan kesejahteraan umum, salah satu wujud memajukan serta mengembangkan kesejahteraan umum tersebut adalah dengan cara mewujudkan pembangunan serta pengembangan kesehatan yang layak bagi segenap bangsa Indonesia. Selain hal tersebut, Indonesia juga menjunjung tinggi hak asasi manusia yang dimuat secara kongkret pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yaitu Pasal 28 serta diatur pelaksanaannya dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999, hak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik tentu juga merupakan bagian daripada hak asasi manusia.

Pembangunan serta pengembangan kesehatan yang layak ini tak luput dari perkembangan ilmu kesehatan atau medis yang telah memiliki payung hukum di Indonesia, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun disetiap kode etik profesi kesehatan. Salah satu proses medis yang hangat diperbincangkan karena menjadi kontroversi di lingkungan masyarakat, baik dalam lingkup negara Indonesia maupun di lingkungan Internasional ialah surogasi atau ibu pengganti yang juga dikenal dengan sewa rahim. Surogasi (surrogate mother) atau ibu pengganti diartikan sebagai suatu kesepakatan atau perjanjian yang meliputi persetujuan oleh seorang wanita untuk melaksanakan proses kehamilan atau mengandung anak dari orang atau

pasangan lain yang akan menjadi orang tua setelah anak tersebut dilahirkan. Jenis dari surrogate mother tersebut dibedakan menjadi 2 (dua) jenis utama yaitu surogasi gestasional (gestational surrogacy) diartikan sebagai kondisi kehamilan yang terjadi karena transfer embrio dari hasil pembuahan sel telur dan sel sperma pasutri penyewa sehingga anak yang dilahirkan tidak memiliki kaitan secara genetik dengan si ibu pengganti atau ibu yang mengandung anak tersebut dan surogasi tradisional (traditional surrogacy) diartikan sebagai kondisi kehamilan yang terjadi akibat transfer embrio hasil pembuahan (vertilisasi) sel telur dan sel sperma, sel telur tersebut berasal dari si ibu pengganti dan sel sperma berasal dari suami pasangan yang ingin menyewa rahim dari si ibu pengganti, sehingga anak yang dilahirkan oleh ibu pengganti memiliki kaitan secara genetik dengan sang surrogate mother (ibu pengganti).

Surogasi sering kali dilakukan secara diam-diam oleh pasangan suami istri (selanjutnya disebut pasutri) yang kesulitan memiliki keturunan akibat dari berbagai faktor, salah satunya ialah permasalahan kesehatan yang dialami oleh sang istri sehingga tidak memungkinkan untuk melangsungkan kehamilan dan melahirkan. Permasalahan lain penyebab terjadinya surogasi ialah terletak pada kondisi ekonomi dari si ibu pengganti yang tergiur mendapatkan upah dari si penyewa rahim dengan nominal yang sangat besar dan menguntungkan. Jika perbuatan surogasi ini terjadi secara komersial dengan adanya kontrak penggunaan tubuh dari seorang wanita untuk mencari nafkah, secara aturan tertulis belum terdapat payung hukum yang mengaturnya. Sehingga hal tersebut tidak dapat memberikan suatu kepastian hukum bagi pasutri si penyewa rahim maupun bagi si ibu pengganti. Pemerintah Indonesia mulai memperhatikan terkait perbuatan surogasi, sebagaimana dalam RUU Ketahanan Keluarga terdapat beberapa pasal yang menyatakan bahwa adanya larangan untuk melakukan perbuatan surogasi.1 Dalam RUU tersebut juga memberikan ancaman pidana bagi mereka yang terbukti melakukan perbuatan surogasi atau ibu pengganti. Bila memang surogasi dapat menjadi jalan alternatif bagi pasutri yang kesulitan untuk memiliki keturunan kandung, maka perlu identifikasi lebih lanjut mengenai perbuatan surogasi tersebut tepat atau tidak untuk digolongkan sebagai tindak pidana sehingga dapat diancam dengan sanksi pidana. Selain daripada itu, adanya pandangan mengenai perbuatan surogasi yang bertentangan dengan tindakan medis sebagaimana diatur dalam Pasal 127 UU Kesehatan tentang proses pembuahan diluar cara alamiah yang hanya dapat dilakukan oleh pasutri yang sah, tindakan medis tersebut dapat menimbulkan suatu perbuatan pidana.2 Berdasarkan hal tersebut penulis merasa perlu untuk menelaah lebih jauh tentang perbuatan surogasi dengan hukum pidana, maka jurnal ilmiah ini memuat judul URGENSI PENGATURAN SUROGASI DENGAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Sebagaimana uraian latar belakang diatas, rumusan masalah yang penulis angkat ialah sebagai berikut:

  • 1.    Apakah perbuatan surogasi (ibu pengganti) tergolong dalam tindak pidana?

  • 2.    Mengapa diperlukan hukum pidana dalam pengaturan surogasi (ibu pengganti) di Indonesia?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan daripada penulisan jurnal ilmiah ini di antaranya sebagai berikut:

  • 1.    Untuk dapat mengetahui bahwa perbuatan surogasi (ibu pengganti) tergolong dalam tindak pidana atau tidak.

  • 2.    Untuk dapat mengetahui peran hukum pidana dalam pengaturan surogasi (ibu pengganti) di Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Ada pun jenis penelitian dalam pembentukan jurnal ilmiah ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif, penelitian dilakukan melalui penelitian hukum kepustakaan yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori hukum, serta doktrin dari para ahli terkemuka, hal tersebut disebabkan penulis menemukan suatu problem norma berupa kekosongan norma. Pendekatan Penelitian yang penulis gunakan ialah pendekatan perundang-undangan serta pendekatan konseptual. Jenis pendekatan perundang-undangan (statue approach), merupakan pendekatan dengan dipergunakannya legislasi dan regulasi. Dalam penulisan ini penulis mengkaji isi dari pada Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta peraturan lain yang terkait guna memecahkan permasalahan yang penulis angkat. Selanjutnya dengan menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach) sebagai sarana untuk mengerti, mengolah dan menelaah informasi yang diperoleh untuk mendapatkan konsep dan asas hukum yang sesuai dengan rumusan permasalahan mengenai surrogate mother (ibu pengganti).

Analisis dalam penulisan jurnal ilmiah ini, penulis kemudian menggunakan bahan hukum yang terdiri sebagai berikut:

  • 1.    Bahan hukum primer diantaranya peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(selanjutnya disebut KUHP), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 039/Menkes/SK/I/2010 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu.

  • 2.    Bahan hukum sekunder yang dalam hal ini merupakan materi penunjang, erat terhubung dengan bahan hukum primer serta memudahkan untuk membantu mengolah, menganalisis dan mencermati bahan hukum primer ialah yang terdiri atas hasil karya ilmiah para sarjana terkemuka dan hasil penelitian yang berupa jurnal ilmiah maupun menggunakan doktrin.

  • 3.    Bahan hukum tensier, dimana merupakan materi tentang informasi tambahan terkait bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yaitu berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI) dan Black’s law Dictionary.

Dalam teknik pengumpulan bahan hukum, penulis mengumpulkan bahan hukum menggunakan pengumpulan kepustakaan secara penelitian hukum normatif.

Kemudian melakukan pengkajian dan penafsiran dari peraturan perundang-undangan, mengumpulkan bahan dari buku-buku maupun karya tulis serta jurnal para sarjana terkait dengan permasalahan yang serupa untuk selanjutnya ditelaah agar mendapatkan inti sari, serta melakukan penyusunan secara sistematis guna menunjang penulisan jurnal ini. Teknik pengolahan bahan hukumyang penulis gunakan dalam penulisan jurnal ilmiah ialah berfokus pada penggunakan metode penelitian hukum normatif dengan dipergunakannya berbagai bahan kepustakaan yang disesuaikan dengan permasalahan yang diteliti. Acuan dari kerangka kepustakaan tersebut penulis gunakan sebagai kerangka konsepsional, dengan tahapan sebagai berikut: merumuskan definisi hukum serta kaidah hukum, dan memuat pembentukan batas-batas hukum.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Perbuatan Surogasi (ibu pengganti) Tidak Tergolong sebagai Tindak Pidana

Hukum pidana tergolong dalam hukum publik, sebagaimana yang dikemukanan oleh Simons mengenai hukum pidana ialah sebagai hukum publik dikarenakan hukum pidana dipergunakan untuk mengatur interaksi individu dengan masyarakatnya di lingkungan warga suatu negara. Keberadaan hukum pidana diterapkan untuk kepentingan rakyat secara luas dan diterapkan ketika masyarakat sangat memerlukannya. Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada3 sehingga dalam hukum pidana Indonesia menganut asas legalitas. Keberadaan asas legalitas menjadikan aparat penegak hukum tidak semena-mena dalam menerapan hukum pidana. Secara sederhana, dengan adanya asas legalitas mengakibatkan seseorang tidak dapat dipidana bila tidak ada aturan hukum yang mengaturnya. Oleh karenanya hukum pidana nasional dibuat secara tertulis guna menerapkan asas tersebut, sehingga sering kali disebutkan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebab ia telah melanggar daripada aturan hukum dengan ancaman pidana. 4 Merujuk pada permasalahan yang penulis angkat mengenai perbuatan surrogate mother (ibu pengganti) dapat digolongkan dalam tindak pidana atau tidak maka perlu diketahui apa dan bagaimana surrogate mother (ibu pengganti) tersebut.

Warga negara Indonesia memiliki suatu hak untuk berkeluarga serta melanjutkan keturunan dalam suatu ikatan perkawinan yang sah sebagaimana termaktub pada Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 begitu pula dalam Pasal 10 ayat (1) UU HAM yang mengatur terkait hak berkeluarga dan melanjutan keturunan. Lalu, bagaimana jika dalam suatu pernikahan yang sah pasutri tersebut tidak dapat memiliki keturunan secara alami dikarenakan sang istri mengalami ngangguan kesehatan sehingga tidak memungkinkan untuk hamil dan melahirkan? Biasanya mereka akan melakukan adopsi anak, baik dari panti asuhan ataupun beralih dengan menggunakan cara medis lainnya seperti proses bayi tabung. Akan tetapi beredar isu bahwa “sewa rahim” dianggap dapat membantu pasutri yang tidak bisa memiliki keturunan biologis atau anak kandung. Sewa rahim atau secara medis dikenal dengan istilah surogasi (surrogate mother) yang bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dikenal dengan ibu pengganti sering kali dijadikan sebagai jalan alternatif untuk mendapatkan keturunan kandung melalui proses yang mirip dengan bayi tabung, hanya saja perbedaannya

terletak pada siapa yang mengandung dan melahirkan embrio atau calon anak tersebut.5 Surogasi dibedakan menjadi dua jenis utama, pertama surogasi gestasional (gestational surrogacy) yang dimana calon anak tersebut dikandung oleh wanita lain atau bukan ibu penyumbangkan sel telurnya (istri dari pasutri penyewa rahim) saat dilakukan fertilisasi atau pembuahan sehingga anak yang dilahirkan tidak memiliki kaitan genetik terhadap si ibu pengganti, dan kedua surogasi tradisional (tradicional surrogacy), dimana calon anak tersebut dikandung oleh wanita lain yang sekaligus juga menyumbangkan sel telurnya (ibu pengganti) saat dilakukan fertilisasi sehingga anak yang dilahirkannya memiliki kaitan genetik dengan si ibu pengganti.6

Dokter Sofwan Dahlan seorang pakar hukum kesehatan UNDIP mengatakan bahwa perbuatan penyewaan rahim secara dunia medis sangat mungkin untuk dilakukan mengingat prosesnya serupa dengan bayi tabung, hanya saja rahim inangnya yang digunakan berbeda. Prof Dr Agnes Widanti juga menyatakan bahwa terkait kasus penyewaan rahim memang tengah menjadi satu dilema, di satu sisi masyarakat memerlukannya, tapi secara legalisasi belum ada pengaturan mengenai sewa-menyewa rahim sehingga memungkinkan timbulnya permasalahan yang rumit di kemudian hari. Beliau juga menambahkan bahwa faktanya di Indonesia, perbuatan surrogate mother dibutuhkan dan dibeberapa lokasi telah dilakukan oleh masyarakat dengan cara diam-diam atau secara kekeluargaan.7

Dalam UU Kesehatan termaktub pada Pasal 127 ayat (1) mengenai pengaturan upaya untuk mendapatkan keturunan di luar cara alamiah yaitu diperbolehkan dengan ketentuan atau syarat sebagai berikut:8

  • 1)    Dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah

  • 2)    Hasil fertilisasi sel telur dan sel sperma dari suami istri tersebut ditanamkan ke dalam rahim istri dari asal sel telur tersebut

  • 3)    Tenaga kesehatan yang melakukan hal tersebut haruslah memiliki keahlian serta kewenangan

  • 4)    Adanya fasilitas pelayanan kesehatan tertentu

Hal yang dapat dilihat dari upaya memperoleh keturunan diluar cara alamiah dalam pasal tersebut mengacu pada teknologi reproduksi buatan seperti bayi tabung, namun secara implisit maupun eksplisit tidak diatur dan tidak disebutkan dalam UU Kesehatan negara Indonesia melarang ataupun melegalkan perbuatan surogasi atau ibu pengganti (surrogate mother) sebagai upaya untuk mendapatkan keturunan di luar cara alamiah. Begitu pula dalam aturan hukum lainnya yang mengatur mengenai upaya memperoleh keturunan diluar cara alamiah seperti Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 039 Menkes/SK/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu tidak mengatur secara limitatif terkait perbuatan surogasi. Walaupun dalam SK Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI Tahun 2000 Tentang Pedoman Pelayanan Bayi

Tabung di Rumah Sakit menyatakan tindakan surrogacy dilarang dilakukan dalam bentuk apapun9, hal tersebut tidak kuat untuk dijadikan dasar hukum bahwa perbuatan surogasi adalah suatu hal yang dapat digolongkan dalam tindak pidana. Karena keberadaan surogasi atau ibu pengganti di mata hukum Indonesia, baik dalam hukum kesehatan ataupun dalam hukum pidana dianggap sebagai kekosongan norma, atau belum terdapat payung hukum yang mengaturnya. Maka, surrogate mother (ibu pengganti) tidak dapat digolongkan dalam tindak pidana, sebab bila perbuatan tersebut dilakukan tidak ada aturan dan sanksi pidana yang dijatuhkan bagi mereka yang melakukannya.

  • 3.2    Perlunya Hukum Pidana dalam Pengaturan Surogasi (ibu pengganti) di Indonesia

Norma kosong mengenai surrogate mother (ibu pengganti) tersebut menjadi suatu persoalan hukum yang harus segera diselesaikan, sebab jika perbuatan surogasi belum ada aturan hukum konkret yang mengaturnya maka sangat perlu untuk membentuk payung hukum beserta sanksi pidananya terkait pengaturan sah atau tidak untuk diberlakukan, terdapat pembatasan atau bahkan dilarang pelaksanaan perbuatan surogasi secara keseluruhan. Secara sosial perbuatan surogasi atau ibu pengganti tidak diperkenankan untuk terlaksana di Indonesia karena dipandang tidak memenuhi aspek moral dan etika dalam masyarakat Indonesia, bahkan dalam islam hal tersebut diharamkan sebagaimana dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 26 Mei 2006 dimana beberapa isi dari fatwa tersebut ialah10:

  • a.      Bayi tabung dari pasangan suami-istri dengan titipan rahim istri yang lain

(misalnya dari istri kedua dititipkan pada istri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sad Az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya)

  • b.     Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami istri

yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd Az-zari’ah, yaitu untuk menghindari terjadinya perbuatan zina sesungguhnya

Adanya kemungkinan timbul permasalahan yang lebih rumit ketika proses surogasi dilakukan seperti masalah status anak dan waris menjadi momok utama sebagai kekhawatiran dari pelaksanaan surogasi (ibu pengganti), serta adanya kemungkinan dari pihak ibu pengganti yang tidak mau menyerahkan anak yang telah ia lahirkan kepada pihak pasutri penyewa rahim tersebut. 11 Tetapi apakah dengan begitu perbuatan surogasi dapat dikriminalisasikan? Walaupun dalam fatwa MUI tersebut dapat menggolongkan perbuatan surogasi dalam tindakan zina serta dengan melalui penafsiran hukum ekstensif perbuatan surogasi (surrogate mother) dapat dijerat dengan aturan hukum tentang perzinahan12, namun hal tersebut tidak bersesuaian dengan delik zina dalam KUHP sebagai delik aduan. Menurut R.Soesilo arti daripada

zina adalah persetubuhan suka sama suka yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan laki-laki atau perempuan yang bukan suami atau istrinya. Persetubuhan yang dimaksudkan ialah adanya peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi adanya tindakan bersanggama antara laki-laki dan perempuan tersebut, sebagaimana termaktub dalam Pasal 284 KUHP.13 Sejauh ini keberadaan surogasi dalam lingkungan masyarakat Indonesia dilakukan secara diam-diam dan hanya di lingkup keluarga saja, belum ada kasus yang muncul kepermukaan ataupun hingga ke pengadilan mengenai surogasi. Jika memang secara medis perbuatan tersebut dianggap dapat membantu pasutri untuk memperoleh keturunan kandung tentu saja pemerintah harus mempertimbangkan hal tersebut guna dapat memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal, dengan cara melakukan pengkajian yang komprehensif dari segala aspek kehidupan untuk kebaikan semua pihak bilamana surogasi (ibu pengganti) akan dilegalkan atau tidak.

Keberadaan hukum pidana sebagai salah satu ilmu penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan sifat mengatur dan mengikat secara luas, pada era sekarang hukum pidana mengarah kepada tujuan pemidanaan yang tidak hanya memberikan pembalasan namun juga menitikberatkan kepada pemulihan baik bagi pelaku dan masyarakat serta bertujuan menjaga dan melindungi kepentingan umum. Hukum pidana juga memberikan kepastian dan perlindungan hukum sehingga memungkinkan untuk mengurangi bahaya ataupun kerugian yang akan ditimbulkan dari perbuatan surogasi (ibu pengganti). Sebagaimana asas legalitas yang dianut negara Indonesia, maka perbuatan surogasi (ibu pengganti) tidak dapat dikriminalisasikan. Diperlukan hirarki hukum untuk menjamin pelaksanaan surogasi di Indonesia. Pembentukan payung hukum mengenai perbuatan surogasi harus meninjau dari berbagai aspek, baik tinjauan dari aspek medis, aspek HAM (kemanusiaan dan hak wanita), aspek sosial-ekonomi dan yang terpenting adalah aspek hukum. Sebab perbuatan sewa-menyewa rahim dalam surogasi tidak hanya persoalan biologis saja, namun juga mengenai kehidupan dan kemanusiaan, selain itu rahim bukan suatu objek yang lazim digunakan untuk mencari nafkah. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan suatu kepastian, keadilan serta kemanfaatan bagi pasangan suami-istri yang ingin memiliki keturunan kandung melalui proses surogasi dan juga bagi mereka para wanita yang menjadi surrogate mother jika pemerintah memang ingin melarang ataupun melegalkan perbuatan surogasi (ibu pengganti) di Indonesia.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana Indonesia perbuatan surogasi (ibu pengganti) tidak dapat digolongkan sebagai tindak pidana. Karena perbuatan surogasi (ibu pengganti) dalam hukum kesehatan maupun hukum pidana tergolong dalam kondisi kekosongan norma yang artinya belum ada payung hukum yang mengaturnya secara konkret dan mengikat secara luas. Perlunya hukum pidana dalam pengaturan surogasi (ibu pengganti) di Indonesia karena hukum pidana

merupakan ilmu dasar dalam proses pembentukan suatu aturan hukum yang memiliki sifat mengikat secara umum dan dalam lingkup yang luas, serta dengan adanya hukum pidana yang memuat sanksi pidana diharapkan dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum jika terjadi perbuatan surogasi yang memungkinkan untuk mengurangi timbulnya bahaya ataupun kerugian dari perbuatan surogasi (ibu pengganti) tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Judiasih, Sonny Dewi, Susilowati Suparto Dajaan, dan Deviana Yuanitasari. Aspek hukum sewa rahim dalam perspektif hukum Indonesia. (Bandung, Refika Aditama, 2016).

Ratman, Desriza. Surrogate mother dalam perspektif etika dan hukum: bolehkan sewa rahim di Indonesia?. (Jakarta, Elex Media Komputindo, 2012).

JURNAL

Arikhman, Nova. "Tinjauan Sosial, Etika dan Hukum Surrogate Mother di Indonesia." Jurnal Kesehatan Medika Saintika 7, No. 2 (2016): 140-151.

Halimah, Mimi. "Pandangan Aksiologi Terhadap Surrogate Mother." Jurnal Filsafat Indonesia 1, No. 2 (2018): 51-56.

Komalawati, Veronica, dan Abdul Aziz Hakim. "Pemenuhan Hak Reproduksi Pasangan Suami Istri yang Mengalami Infertilitas Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan." Jurnal Surya Keadilan: Jurnal Ilmiah Nasional Terbitan Berkala Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bengkulu 3, No. 1 (2019): 38-56.

Muntaha, Mr. "Surrogate Mother Dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia." Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 25, No. 1 (2013): 76-86.

Sanjaya, Aditya Wiguna. "Aspek Hukum Sewa Rahim (Surrogate Mother) dalam Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Pidana." Jurnal Rechtens 5, No. 2 (2017): 36-47.

Tandirerung, Dewi Astika. "Analisis Perjanjian Innominaat terhadap Peminjaman Rahim (Surrogate Mother) di Indonesia." Amanna Gappa 26, No. 1 (2018): 12-22.

Wijaya, N.A.P. dan I. W. N. Purwanto. “Surrogate Mother Menurut Hukum di Indonesia.” Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum 3, No. 1 (2015) : 1-5.

Wulandari, R.J. dan I.N. Darmadha. “Legal Qonsequences Surrogate Mother Ditinjau Dari Hukum Pidana.” Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum 8, No.1 (2019) : 1-14.

WEBSITE

Letezia Tobing, “Status Hukum Anak Hasil Sewa Rahim”, hukumonline.com, April 11, 2013, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt514dc6e223755/status -hukum-anak-hasil-sewa-rahim (accessed May 9, 2020).

Randy Ferdi Firdaus, "Draf RUU Ketahanan Keluarga: Larangan soal Ibu Pengganti, Bisa Dipenjara 5    Tahun,"    Liputan6.com,    February 19,    2020,

https://www.liputan6.com/news/read/4182791/draf-ruu-ketahanan-keluarga-larangan-soal-ibu-pengganti-bisa-dipenjara-5-tahun (accessed April 10, 2020).

Tim Advokat Suara Keadilan, “Sudah Cukupkah Bukti untuk Delik Aduan Perzinaham?,”       hukumonline.com,       May       5,       2009,

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6787/sudah-cukupkah-bukti-untuk-delik-aduan-perzinahan/ (accessed May 9, 2020). Tri Jata Ayu Pramesti, “Aspek Hukum Tentang Surrogate Mother (Ibu Pengganti),”

hukumonline.com,              March              28,              2018,

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4c562a3b4bba4/aspek-

hukum-tentang-surrogate-mother-(ibu-pengganti)/ (accessed March 29, 2019).

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

“Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

“Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”

“Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan”

“Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia”

“Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi”

“Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 039/Menkes/SK/I/2010 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu”

SUMBER LAIN

“Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga”

Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 10 Tahun 2020, hlm. 1-9