KORUPSI SEBAGAI TRANSNATIONAL CRIME: PALERMO CONVENTION

I Wayan Aryya Sutia Juniartha, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan studi ini untuk mengkaji kerangka kejahatan sebagai transnational-organized crime dan pengaturan korupsi sebagai transnational-organized crime. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang mengkaji mengenai keberadaan aturan mengenai korupsi sebagai transnational-organized crime. Bahan hukum dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan dianalisis secara kualitatif. Kerangka kejahatan sebagai transnational-organized crime dapat dilihat pada United Nations Convention against Transnational Organized Crime dan doktrin-doktrin hukum yang terkait. Pengaturan korupsi sebagai transnational-organized crime terdapat pada Pasal 8 dan 9 The Palermo Convention yang meliputi kriminalisasi perbuatan yang tergolong tindak pidana korupsi dan tindakan melawan.

Kata Kunci: Korupsi, Kejahatan Transnasional Teroganisir, Lintas Batas Negara

ABSTRACT

The purpose of this study is to examine the framework of crime as transnational- organized crime and the regulation of corruption as transnational -organized crime. This research is a normative juridical study which examines the existence of rules regarding corruption as transnational-organized crime. Legal materials are collected through literature study and analyzed qualitatively. The framework of crime as a transnational-organized crime can be seen in the United Nations Convention against Transnational Organized Crime and related legal doctrines. Regulations on corruption as a transnational-organized crime are contained in Articles 8 and 9 of the Palermo Convention which includes the criminalization of acts classified as corruption and acts against.

Key Words: Corruption, Transnational-Organized Crime, Cross-Border

  • I.    Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Korupsi berdampak besar pada kehancuran bangsa dan negara. Korupsi menghilangkan hak rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan yang lebih besar serta merusak moral dan standar peraturan yang berlaku di masyarakat. Tindak pidana korupsi ini juga seakan didukung oleh masyarakat dengan memberikan kesempatan bagi aparat pemerintahan dan aparat penegak hukum untuk menerima suap dari masyarakat itu sendiri. Korupsi merupakan tindak pidana yang dilakukan secara sistematis, sistemik dengan kajian intelektual yang tinggi. Kejahatan ini berada pada dimensi yang tinggi.

Dimensi kejahatan korupsi ini seringkali dilekatkan pada istilah kejahatan transnasional terorganisir atau transnational-organized crime. Rafael Etges, and Emna Sutclliffe mengatakan “Organized crime is a multi-billion dollar industry that is subject to an

incredible level of competition, deadly risk, and massive regulatory pressure, and therefore requires an equally high level of sophistication in management practices, business intelligence, IT, logistics, finance, and education.1 (Terjemahan bebas: Kejahatan terorganisir adalah industri bernilai miliaran dolar yang tunduk pada tingkat persaingan, risiko mematikan, dan tekanan peraturan yang luar biasa, dan karena itu memerlukan tingkat kecanggihan yang sama dalam praktik manajemen, intelijen bisnis, TI, logistik, keuangan, dan pendidikan). Korupsi sebagai kejahatan transnasional dapat menautkan beberapa negara sehingga dapat dikatakan kejahatan yang memiliki dimensi internasional.2

Coruption Perseption Index Indonesia tahun 2019 sebagaimana yang dilaporkan Riset Transparency International Indonesia berada di skor 40/100 dan berada di peringkat 85 dari 180 negara yang telah disurvei.3 Dalam survei tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan di seluruh Indonesia, Rini, dan L. Damiyati menemukan bahwa terdapat 2,834 kasus untuk setiap 100.000 penduduk di suatu provinsi.4 Upaya untuk menanggulangi korupsi dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan kerjasama internasional. United Nations Conventions Against Transnational Organized Crime (General Assembly resolutions 55/25 of 15 November 2000) atau yang sering disebut dengan The Palermo Convention merupakan konvensi internasional yang mengkaji tentang kejahatan internasional yang terorganisir, dimana tindak pidana korupsi menjadi salah satu jenis kejahatannya. The Palermo Convention menjadi pedoman dalam kebijakan legislasi bagi negar-negara untuk memberantas korupsi.

Beberapa peneliti pernah mengkaji masalah korupsi yang dikaitkan dengan transnational crime. Marni Usman menuliskan penelitian yang berjudul “Pengembalian Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi ke Indonesia” membahas mengenai status harta kekayaan hasil dari tindak pidana korupsi dan upaya pengembalian harta kekayaan hasil dari tindak pidana korupsi ke Indonesia. Sebagai salah satu kejahatan transnasional, maka tindak pidana korupsi dapat menautkan beberapa negara, minimal negara tempat dilakukannya tindak pidana korupsi dan negara dimana aset hasil korupsi ditempatkan.5

Ririn Pratiwi Muhammad mengkaji tentang “Perjanjian Eksistensi Ekstradisi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994” yang menganalisi tentang kemungkinan pelaku kejahatan korupsi dapat diekstradisi menurut “Undang-undang No. 8 Tahun 1994 dan proses ekstradisi menurut undang-

undang No. 8 Tahun 1994”. Ekstradisi menjadi kerjasama internasional yang sangat penting dalam menanggulangi kejahatan transnasional. 6

Kajian tindak pidana korupsi dari sudut pandang kejahatan transnasional juga dibahas oleh Avinasa Suryagilang Wicaksana dalam penelitiannya yang berujudul “Penundaan Indonesia Dalam Meratifikasi Perjanjian Ekstradisi Dengan Singapura Tahun 2007-2014 (Studi Kasus: Korupsi BLBI).” Penelitian ini mengkaji mengenai perjanjian ekstradisi adalah salah satu strategi dari dua negara dalam mewujudkan penegakan hukum dengan meminta pengembalian pelaku kejahatan. Perjanjian ekstradisi sangat berperan penting dalam melakukan investigasi lanjutan pada kasus-kasus yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.7

Peningkatan kualitas dan kuantitas korupsi di Indonesia akan menempatkan tindak pidana ini sebagai transnational organized crime. Dalam kajian instrumen hukum internasional sendiri telah mengatur tindak pidana korupsi sebagai kejahatan transnasional. Oleh karena itu, sangat menarik untuk menyusun penelitian yang berjudul “Korupsi Sebagai Transnational Crime: Palermo Convention.”

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Pemasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah dua permasalahan yakni sebagai berikut:

  • a.    Bagaimanakah karakteristik transnational crime menurut konvensi internasional?

  • b.    Bagaimanakah pengaturan korupsi dalam Palermo Convention sebagai transnational crime?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis Korupsi Sebagai Transnational Crime: Palermo Convention. Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan yakni:

  • a.    Untuk menganalisis mengenai karakteristik transnational crime menurut konvensi internasional.

  • b.    Untuk menganalisis pengaturan korupsi dalam Palermo Convention sebagai transnational crime.

II.Metode Penelitian

Penelitian mengenai “Tindak Pidana Korupsi Sebagai Transnational-Organized Crime” merupakan penelitian yuridis normatif yang mengkaji mengenai keberadaan norma-norma dan dokrin-doktrin hukum yang mengatur tentang tindak pidana korupsi sebagai suatu kejahatan transnasional teroganisir. Bahan hukum primer yang digunakan yakni Uniteds Nations Conventions Against Transsnational Organizeds Crime (Generals Assembly resolution 55/25 of 15 November 2000), Uniteds Nations Conventions

against Corruption dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari literatur serta jurnal yang relevan dalam permasalahan yang sedang dikaji. Bahan hukum tersebut dikumpu1kan dan melalui studi kepustakaan, dan analisis terhadap bahan hukum ini dilakukan secara kualitatif.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Karakteristik Transnational Crime Menurut Konvensi Internasional

Philip C. Jessup merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan istilah transnational crime disamping international crime.8 Menurut Bassiouni transnational crime merupakan kejahatan yang melibatkan diantaranya lebih dari satu negara baik ditinjau dari segi dampak kejahatan, sarana, maupun metode yang digunakan dalam melakukan kejahatan yang melampaui batas-batas dari suatu negara.9 Kejahatan transnasional pada dasarnya merupakan suatu kejahatan yang diatur oleh masyarakat internasional dalam suatu kovensi internasional yang bersifat global. Konvensi internasional yang secara khusus mengatur terutama mengenai kejahatan transnasional teorganisir adalah United Nations Conventions Againsts Transnational Organizeds Crime (General Assembly resolution 55/25 of 15 Novemberr 2000). Kejahatan ini dilakukan oleh kelompok kriminal dalam jaringan internasional. Pasal 3 ayat (2) The Palermo Convention memberikan pengaturan mengenai sifat lintas batas negara dari suatu kejahatan. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan sebagai berikut:

“For the purpose of paragraph 1 of this article, an offence is transnational in nature if:

  • (a)    It is committed in more than one State;

  • (b)    It is committed in one State but a substantial part of its preparation, planning, direction or control takes place in another State;

  • (c)    It is committed in one State but involves an organized criminal group that engages in criminal activities in more than one State; or

  • (d)    It is committed in one State but has substantial effects in another State.

Untuk tujuan ayat 1 Pasal ini, kejahatan bersifat transnasional jika:

  • (a)    Dilakukan lebih dari satu negara;

  • (b)    Dilakukan di satu negara namun sebagian besar perencanaan , persiapan, arahan atau penguasaannya dilakukan di Negara lain;

  • (c)    Dilakukan di satu Negara tetapi melibatkan kelompok penjahat terorganisir yang melakukan kegiatan kriminal di lebih dari satu Negara Bagian; atau

  • (d)    Dilakukan di satu Negara namun memiliki dampak substansial di Negara lain. "

The Palermo Convention merupakan perjanjian internasional yang memiliki spektrum yang luas yang mengikat negara-negara serta berakibat pada kebutuhan

untuk menindaklanjutinya dalam kerjasama internasional. Mengenai The Palermo Convention, Giulio Illuminati10 mengatakan:

The Palermo Convention provides a broad spectrum of cooperation instruments. Among others, it is worth mentioning mutual assistance in the enforcement of coercive measures (arrest, seizure, confiscation); the rules for establishing jurisdiction over the offence and coordinating state actions in this respect; the improvement in mutual assistance in taking evidence and providing information; the establishment of joint investigative bodies; the conclusion of agreements on the use of special investigative techniques; and the establishment of channels of communications between the competent authorities.

(Terjemahan bebas: Konvensi Palermo menyediakan spektrum yang luas dari instrumen kerjasama. Antara lain, perlu disebutkan mengenai bantuan timbal balik dalam penegakan tindakan pemaksaan (penangkapan, perampasan, penyitaan); peraturan untuk menetapkan yurisdiksi atas kejahatan dan mengkoordinasikan tindakan negara dalam hal ini; peningkatan bantuan timbal balik dalam mengambil barang bukti dan memberikan informasi; pembentukan badan investigasi bersama; kesimpulan kesepakatan penggunaan teknik investigasi khusus; dan pembentukan saluran komunikasi antara pihak yang berwenang.

Berdasarkan Eropean Council (UE/12247/1Rev) kejahatan terorganisir dianggap terdiri dari perilaku yang memenuhi kriteria minimal yakni sebuah perkumpulan lebih dari dua orang, untuk jangka waktu yang panjang atau tidak terdefinisi (dan indikasi stabilitas dan ketetapan potensial), dinyatakan sebagai kejahatan serius dan pelaku termotivasi oleh akumulasi uang atau kekuasaan. Kejahatan transnasional dilakukan oleh kelompok kejahatan yang terorganisasi dengan menggunakan kekerasan seperti penyuapan, dan korupsi untuk melakukan usaha illegal mereka.

Kejahatan transnasional yang terorganisir membutuhkan unsur-unsur perbuatan tersebut dilakukan oleh beberapa orang secara lintas batas negara dengan tujuan untuk uang atau kekuasaan. Brewer sebagaimana dikutip oleh Terrance Ruth, Jonathan Matusitz Thomas T. H. Wan mengatakan:

Taken as a whole, ‘organised crime’ is a term that covers an extensive list of unlawful groups. Organised crime groups are traditionally hierarchical enterprises operated by unlawful individuals with the motivation of participating in illegal activity, most often for monetary benefit, in transnational, national or local boundary networks (Brewer, 2014).11

(Terjemahan bebas: Secara keseluruhan, ‘kejahatan terorganisasi’ adalah istilah yang mencakup daftar luas kelompok-kelompok yang melanggar hukum. Kelompok kejahatan terorganisir secara tradisional adalah perusahaan hierarkis yang dioperasikan oleh individu yang melanggar hukum dengan motivasi untuk berpartisipasi dalam kegiatan ilegal, yang paling sering untuk keuntungan moneter, dalam jaringan batas nasional transnasional, nasional atau lokal).

United Nations Conventions Against Corruption (UNCAC) memiliki pengaturan yang lebih luas mengenai tindak pidana korupsi, yakni meliputi bidang publik dan swasta. Adapun dalam UNCAC dinyatakan sebagai berikut:

The Convention introduces a comprehensive set of standards, measures and rules that all countries can apply in order to strengthen their legal and regulatory regimes to fight corruption. It calls for preventive measures and the criminalization of the most prevalent forms of corruption in both public and private sectors.

Konvensi memperkenalkan seperangkat standar, langkah-langkah dan aturan yang komprehensif yang dapat digunakan oleh semua negara guna memperkuat rezim hukum dan peraturan mereka dalam memerangi korupsi. Ini menyerukan langkah-langkah pencegahan dan kriminalisasi bentuk korupsi yang paling umum di bidang publik dan swasta. Jenis-jenis tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam Chapter III UNCAC tentang Criminalization and law enforcement dimana tindak pidana korupsi meliputii:

  • 1.    Sektor publik

  • a.    Bribery of national public officials (Suap terhadap pejabat publik nasional)

  • b.    Bribery of foreign public officials and officials of public international organizations (Suap terhadap pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional publik)

  • c.    Embezzlement, misappropriation or other diversion of property by a public official (Penggelapan, penyalahgunaan, atau pengalihan harta lainnya oleh pejabat publik).

  • 2.     Sektor swasta

  • a.    Bribery in the private sector (Suap di sektor swasta)

  • b.    Embezzlement of property in the private sector (Penggelapan properti di sektor swasta).

Tindak pidana korupsi pada mulanya adalah kejahatan tradisional, bahkan bibit-bibit korupsi sangat mudah ditemukan dalam praktik-praktik kegiatan di masyarakat. Pada perkembangannya, korupsi dilakukan secara lintas batas negara dengan metode yang canggih dan melibatkan kelompok jaringan kejahatan.

  • 3.2 Pengaturan Korupsi dalam Palermo Convention Sebagai Transnational Crime

Masalah korupsi ditinjau dari lemahnnya aturan hukum hingga penegakan hukum.12 Aspirasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi dan hal penyimpangan lainnya semakin meningkat. Akibat yang ditimbulkan dari tingginya kasus korupsi di Indonesia tidak hanya sebatas uang melainkan juga taraf hidup masyarakat. Korupsi menghambat penegakan hukum di Indonesia.13 Korupsi dalam pembangunan fasilitas jalan tentu akan membahayakan keselamatan pengguna jalan, begitu pula pada alat-

alat kesehatan yang secara otomatis akan meniadakan hak atas kesehatan dari masyarakat. Negara-negara mengalami kerugian akibat korupsi.14

Kejahatan ini dilakukan dengan metode yang semakin canggih. Batas negara tidak lagi menjadi persoalan, karena korupsi dapat melintasi batas-batas teritorial negara. Jeremy Pop memandang bahwa korupsi telah menggugah keprihatinan global.15 The Palermo Convention merupakan perjanjian multilateral yang ditandatangani 15 November 2000, melalului resolusir 55/25 dan berlaku sejak 29 September 2003. Konvensi ini mempunyai tujuan dalam hal mempromosikan kerja sama dalam pencegahan dan memerangi kejahatan transnasional terorganisir secara lebih efektiff sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 The Palermo Convention. The Palermo Convention mengatur mengenai korupsi sebagai transnational-organized crime yakni dalam Pasal 8 dan Pasal 9 The Palermo Convention. Konvensi ini mengatur mengenai instrumen internasional yang menangani perdagangan perempuan dan anak-anak, memerangi pembuatan dan perdagangan gelap senjata api, bagian-bagiannya dan komponen serta amunisinya, dan perdagangan ilegal dalam dan pengangkutan migran, termasuk melalui laut, termasuk juga korupsi.

Oleh sebab itu, dalam hukum pidana selalu mengatur kriminalisasi terhadap perbuatan yang menjadi tindak pidana. Article 8 The Palermo Convention mengatur mengenai Criminalization of corruption yakni sebagai berikut:

  • 1.    “Each State Party shall adopt such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences when committed intentionally:

  • (a)    The promise, offering or giving to a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another person or entity, in order that the official act or refrain from acting in the exercise of their official duties;

  • (b)    The solicitation or acceptance by a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another person or entity, in order that the official act or refrain from acting in the exercise of their official duties.

  • 2.    Each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences conduct referred to in paragraph 1 of this article involving a foreign public official or international civil servant. Likewise, each State Party shall consider establishing as criminal offences other forms of corruption. “

  • 3.    “Each State Party shall also adopt such measures as may be necessary to establish as criminal offence participation as an accomplice in an offence established in accordance with this article”.

  • 4.    For the purposes of paragraphs 1 of thiss articles and articles 9 of this Convention, “public official” shall mean a publicc “official or a person who provides a public service as defined in the domestic law and as applied in the criminal law of the State Party in which the person in question performs that function. ”

  • 1.    Setiap Negara Pihak harus mengadopsi tindakan legislatif dan tindakan lainnya yang mungkin diperlukan untuk menetapkan sebagai tindak pidana, ketika di1akukan dengan sengajaa:

  • (a)    Janji, menawarkan kepada pejabat publik, secara 1angsung atau tidak langsung, keuntungan yang tidak semestinya, untuk pejabat itu sendiri atau dirinya sendiri atau orang atau badan lain, agar pejabat tersebut bertindak atau menahan diri dari bertindak dalam tugas resminya;

  • (b)    Permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, dari keuntungan yang tidak semestinya, untuk pejabat itu sendiri atau dirinya sendiri atau orang atau badan lain, agar pejabat bertindak atau menahan diri dari bertindak dalam pelaksanaan nya atau tugas resminya.

  • 2.    Setiap Negara Pihak wajibmmempertimbangkan untuk mengadopsi tindakann legislatif dan tindakan lain yang mungkin diperlukan untuk menelapkan sebagai suatu tindak pidanaa yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 pasal ini yang melibalkan yakni pejabat publik asing atau pegawai negeri sipil internasional. Demikian juga, setiap Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk menetapkan sebagai bentuk tindak pidana bentuk korupsi lainnya.

  • 3.    Setiap Negara Pihak harus juga mengambil tindakan yang mungkin diperlukan untuk menetapkan partisipasi sebagai tindak pidana sebagai kaki tangan dalam suatu tindak pidana yang ditetapkan sesuai dengan pasal ini.

  • 4.    Untuk keperluan ayat 1 pasal ini dan pasal 9 Konvensi ini, "pejabat publik" berarti pejabat publik atau orang dalam menyediakan layanan publik seperti didefinisikan oleh hukum domestik dan diterapkan dalam hukum pidana Negara Pihakk di mana pejabat publik tersebut melakukan fungsi itu.

Pasal 9 The Palermo Convention mengatur mengenai tindakan melawan korupsi yakni dengan sistem hukumnya, mengadopsi langkah-langkah legislatif, administratif atau tindakan efektif lainnya dalam hal peningkatan integritas serta pencegahan, mendeteksi dan menjatuhkan hukuman korupsi kepada pejabat publik. Setiap Negara Pihak harus bertindak dengan mengambil langkah untuk memastikan tindakan yang efektif oleh otoritasnya guna pencegahan, mendeteksi serta hukuman korupsi pejabat publik, salah satunya memberikan kebebasan yang memadai kepada otoritas tersebut sehingga mencegah pengerahan pengaruh yang tidak pantas pada tindakan mereka.

  • IV.Kesimpulan

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  • a.    Kerangka kejahatan sebagai transnational-organized crime dapat dilihat pada United Nations Convention Againsts Transnational OrganizedsCrime

(Generals Assembly resolution 55/25 of 15 Novemberr 2000) dan doktrin-doktrin hukum mengenai kejahatan transnasional teorganisir.

  • b.    Pengaturan korupsi sebagai transnational-organized crime terdapat pada Pasal 8 The Palermo Convention yang mengatur mengenai kriminalisasi perbuatan yang tergolong tindak pidana korupsi dan Pasal 9 The Palermo Convention yang mengatur mengenai tindakan melawan korupsi yang perlu dilakukan oleh negara-negara yang terikat pada The Palermo Convention.

Berdasarkan simpulan tersebut, maka ada hal-hal yang dapat disarankan yakni sebagai berikut:

  • a.    Setiap negara hendaknya mengharmonisasikan ketentuan hukum nasionalnya dengan The Palermo Convention maupun instrumen hukum internasional lainnya.

  • b.    Negara juga perlu mengambil kebijakan untuk melawan tindak pidana korupsi dan melakukan perjanjian internasional dengan negara lain.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Illuminati, Giulio. Transnational Inquiries in Criminal Matters and Respect for Fair Trial Guarantees, Stefano Ruggeri (ed.). Transnational Inquiries and the Protection of Fundamental Rights in Criminal Proceedings A Study in Memory of Vittorio Grevi and Giovanni Tranchina, (New York, Springer, 2013).

Jurnal

Andika, Stefanus Reynold. "Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Lintas Negara Melalui Perjanjian Ekstradisi (Suatu Catatan Menarik Untuk Diskusi)." Era Hukum-Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum 16, No. 2 (2019.

Djalal, Hasjim. "Menentukan Batas Negara Guna Meningkatkan Pengawasan, Penegakan Hukum, Dan Kedaulatan NKRI." Jurnal Pertahanan & Bela Negara 3, No. 2 (2018).

Etges, Rafael and Emma Sutcliffe. “An Overview of Transnational Organized Cyber Crime.” Information Security Journal: A Global Perspective 17, No. 1 (2018).

Gukguk, Roni Gunawan Raja, and Nyoman Serikat Putra Jaya. "Tindak Pidana Narkotika Sebagai Transnasional Organized Crime." Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 1, No. 3 (2019).

Hartono, M. Rudi. "Tinjauan Yuridis Normatif Peran KPK dalam Mencegah Tindak Pidana Korupsi." Jurnal LEX SPECIALIS 21, No. (2017).

Manan, Abdul. "Pembaharuan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Pasca Ratifikasi Konvensi Anti Korupsi Tahun 2003." Maleo Law Journal 2.2 (2018).

Muhammad, Ririn Pratiwi. "Perjanjian Eksistensi Ekstradisi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994." Lex Administratum 5 No.1 (2017).

Mulyadi, Mahmud. "Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Criminal Policy Corruption Reduction In Criminal Policy Perspective." Jurnal Legislasi Indonesia 8.2 (2018).

Rini, Rini, and L. Damiyati. "Analisis hasil audit pemerintahan dan tingkat korupsi pemerintahan provinsi di indonesia." Jurnal Dinamika Akuntansi dan Bisnis 4 No. 1 (2017).

Ruth, Terrance, Jonathan Matusitz Thomas T. H. Wan, “Understanding Predatory Organised Crime through Network Governance Theory”, Social Change 45, No. 4, (2015).

Usman, Marni. "Pengembalian Harta Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi Ke Indonesia." Lex Crimen8.10 (2020).

Wibiyono, Ary Fahli. "Tindak Pidana Korupsi Sebagai Kejahatan Transnasional Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Konvensi Pbb Anti-Korupsi, 2003." Lex Privatum 5, No. 10 (2018).

Wicaksana, Avinasa Suryagilang, Hermini Susiatiningsih, and Marten Hanura. "28. Penundaan Indonesia Dalam Meratifikasi Perjanjian Ekstradisi Dengan Singapura Tahun 2007-2014 (Studi Kasus: Korupsi Blbi)." Journal of International Relations 2, No. 4 (2016).

Wawan Suyatmiko, (2020), “Skor CPI Indonesia”, Accesed from: https://riset.ti.or.id

Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 10 Tahunn 2020, hlm. 1-10.