HARTA BENDA YANG DAPAT DISITA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

Tjokorda Istri Agung Adintya Devi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Gusti Ngurah Parwata, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail:[email protected]

ABSTRAK

Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui ketentuan pidana tambahan pembayaran uang pengganti pada kasus tindak pidana korupsi di Indonesia dan untuk memahami kualifikasi aset yang dapat disita sebagai pelaksanaan pidana tambahan pembayaran uang pengganti pada kasus korupsi di Indonesia. Kajian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan analisis konsep hukum serta metode analisis deskriptif kualitatif. Kajian ini menunjukkan bahwa ketentuan pidana tambahan pembayaran uang pengganti pada kasus korupsi di Indonesia awalnya diatur pada Pasal 16 ayat (3) Perpu Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi dan diganti dengan Pasal 34 sub c angka 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan pidana tambahan pembayaran uang pengganti juga diatur dalam Perma PTUP 2014. Mengenai kualifikasi aset yang dapat disita untuk pembayaran pidana tambahan uang pengganti pada kasus korupsi di Indonesia belum diatur secara tegas kategori aset yang yang digunakan untuk mencari nafkah atau sebaliknya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kedepannya agar diatur lebih lanjut dan komprehensi oleh pemerintah dalam peraturan perundang-undangan agar memberikan kepastian hukum dalam upaya pemberatasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Serta mampu mengoptimalkan pengembalian kerugian negara akiba tindakan korupsi.

Kata Kunci: Harta Benda, Dapat Disita, Tindak Pidana Korupsi

ABSTRACT

The purpose of this study is to find out the provisions of additional criminal payment of replacement money in corruption cases in Indonesia and to understand the qualifications of assets that can be confiscated as carrying out additional criminal payments of replacement money in corruption cases in Indonesia. This study uses a normative legal research method with a statutory approach and analysis of legal concepts as well as a descriptive qualitative analysis method. This study shows that the provision of additional criminal payment of replacement money in corruption cases in Indonesia was originally regulated in Article 16 paragraph (3) Perpu Number 24 of 1960 concerning Investigation, Prosecution and Examination of Corruption and replaced with Article 34 sub c number 3 of the Law Number 3 of 1971 concerning Eradication of Corruption. The provision of additional criminal payment of replacement money is also regulated in 2014 PTUP Regulation. Regarding the qualifications of assets that can be seized for payment of additional substitute criminal money in corruption cases in Indonesia have not been explicitly stipulated the category of assets used to make a living or vice versa in the legislation in Indonesia. In the future, the government is to be further regulated and comprehended in the legislation in order to provide legal certainty in efforts to curb corruption in Indonesia. And able to optimize the return of state losses akiba acts of corruption.

Keywords: Property, Could Confiscated, Corruption

  • I.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Tindakan pemberantasan praktik korupsi telah menjadi agenda utama yang harus segera diwujudkan dalam pemerintahan di Indonesia. Agar tujuan negara untuk menyejahterakan rakyat yang adil dan makmur dapat terealisasi dengan segera. Pemberantasan tindak pidana korupsi oleh pemerintah menjadi agenda yang diprioritaskan mengingat bahwa korupsi sudah memasuki setiap sendi kehidupan manusia, sehingga diperlukan cara-cara khusus untuk menangani kasus korupsi. Pada praktiknya, korupsi dilakukan dengan strategi yang sistematis dan terorganisasi sempurna, sehingga sulit untuk mengungkapnya dengan cara biasa. Selain itu, alasan mengapa sulit melakukan pemberantasan praktik korupsi yang disebabkan sistematis dan terorganisisanya modus operandi serta berbagai dampak negatif yang ditimbulkan. Tidak hanya itu, praktik korupsi umumnya melibatkan kekuasaan dan menyangkut hajat hidup orang banyak dengan adanya kerugian keuangan negara, tidak salah apa bila korupsi dikategorikan sebagai tindak pidana khusus. Atas dasar itulah, korupsi termasuk kategori pidana yang terkualifikasi sebagai kejahatan luar biasa. Oleh karenanya, agar mampu mencegah sekaligus memberantas tindakan korupsi di Indonesia, maka diperlukan upaya-upaya luar biasa pula.

Praktik korupsi telah terjadi di negara Indonesia dalam waktu yang lama, telah menimbulkan kerusakan secara luas di setiap sendi pada kehidupan masyarakat dan negara. Korupsi mengakibatkan masyarakat kehilangan hak-hak ekonomi dan sosial, selain itu korupsi juga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara.1 Dampak dari adanya korupsi yaitu terjadi kerugian negara. Sebagai tindakan konkret dan komitmen serius pemerintah dalam mengupayakan tindakan mencegah dan memberantas korupsi di negara ini, melalui lembaga legislatif DPR bersama lembaga eksekutif Pemerintah melahirkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (untuk selanjutnya disebut UU PTPK).

Adanya undang-undang ini diharapkan mampu menjadi pemacu semangat untuk memberantas praktik korupsi di negara ini sebagai wujud kehendak masyarakat yang dituangkan dalam hukum positif sebagaimana dapat dilihat pada konsideran UU PTPK ini. Pasca berlakunya UU PTPK, tindakan memberantas korupsi di Indonesia menunjukkan hasil yang positif. Tren positif ini pun didukung oleh semakin membaiknya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yaitu indeks yang menunjukan tingkat korupsi sebuah negara. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia mengalami hasil yang baik pada tahun 2019 jika dibandingkan dengan tahun 2018 lalu. Bahwa pada tahun 2019, Indonesia mendapat poin 40 dan berada di peringkat 85 dari total negara yang ada yaitu sekitar 180 negara. Untuk tahun 2018, Indonesia mendapat poin 38 dan berada di

peringkat 89, hal ini menunjukkan bahwa terjadi kenaikan 2 poin dan 4 peringkat di tahun 2019.2

Meskipun menunjukan hasil yang positif dari hasil pemeringkatan tersebut, bukan berarti penanganan kasus korupsi di Indonesia dapat dikatakan sudah optimal. Bilamana melihat pada realitas yang terjadi saat ini, akibat yang ditimbulkan dari adanya praktik korupsi yaitu menyebabkan kerugian negara yang belum mampu ditangani dengan baik. Meskipun demikian di dalam UU PTPK telah diatur ketentuan pidana untuk mengatasi kerugian keuangan negara diberlakukanlah pidana tambahan tersebut kepada terpidana kasus korupsi, akan tetapi dalam pelaksanaanya yang belum dapat dikatakan berhasil. Bahwa berlakunya ketentuan pembayaran uang pengganti sebagaimana pada Pasal 17 juncto Pasal 18 UU PTPK. Dalam ketentuan tersebut diatur jelas bahwa pembayaraan uang pengganti terpidana yang telah terbukti bersalah melakukan korupsi yaitu dengan jumlah maksimal setara aset yang diperoleh saat melakukan korupsi.3 Untuk membayar pidana tambahan terbebut, terpidana wajib melakukannya dalam kurun tidak lebih dari sebulan sejak ditetapkan dalam putusan pengadilan. Bilamana terpidana tidak membayarkan uang pengganti dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, maka penyitaan serta pelelangan aset terpidana dapat dilakukan.4 Dalam hal lain, ketika upaya penyitaan dan pelelangan atas harta tersebut tidak cukup untuk melunasi pidana tambahan tersebut, terpidana wajib untuk menjalankan pidana penjara sebagaimana yang ditetapkan putusan pengadilan.5 Waktu untuk melakukan pidana tersebut tidak melebihi dari ancaman masa pidana penjaranya (pidana pokoknya). Pada prinsipnya dijatuhkannya pidana ini dirumusakan agar menimbulkan efek jera kepada pelakunya dan juga dapat mengembalikan kerugian negara.

Ketentuan untuk melaksanakan pidana tambahan pembayaran uang pengganti selanjutnya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi (untuk selanjutnya disebut Perma PTUP 2014 ). Lahirnya peraturan ini dikarenakan masih terjadi kekosongan norma atas pelaksanaan ketentuan pembayaran uang pengganti dalam UU PTPK.6 Meskipun telah diatur lebih rinci lagi, namun ketentuan tersebut masih belum dapat menunjang pelaksanaan penyitaan terhadap harta benda terpidana baru dapat dilakukan oleh Jaksa Eksekutor. Hal ini dikarenakan substansi dalam peraturan saat ini menyatakan bahwa penyitaan hanya boleh dilakukan saat telah diputuskan hakim dan telah berkeekuatan hukum tetap. Adanya ketentuan itu, menyebabkan adanya ruang terbuka bagi terpidana yang tidak ingin harta bedanya disita oleh Jaksa Eksekutor dapat menyembunyikannya atau melakukan tindakan lainnya. Termasuk harta benda yang tidak ada kaitannya atau ada kaitannya dengan praktik korupsi tersebut yang acapkali susah untuk dilacak pasca putusan ditetapkan. Hal inilah yang menjadi penghambat Jaksa Eksekutor untuk melaksanakan putusan

pengadialn atas pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Tidak hanya itu, kualifikasi harta benda yang tidak dapat disita karena termasuk kategori harta benda penyangga pencarian nafkah terpidana dan keluarganya belum diatur secara tegas. Mengingat hal ini penting diatur kualifikasi harta benda yang terkait dengan tindakan korupsi dan yang tidak serta harta benda yang termasuk kategori penyangga nafkah dan yang tidak. Sehingga Jaksa Eksekutor dapat lebih mudah dalam melaksanakan tugasnya untuk menyita dan melelang aset terpidana untuk membayar ketetuan pidana tambahannya. Meskipun telah ada Fatwa Mahkamah Agung Nomor 37/T4/88/66/Pid yang menentukan harta benda yang dapat disita, namun kualifikasi terkait kategori harta benda penyangga pencarian nafkah terpidana dan keluarganya belum diatur secara tegas sehingga menyebabkan aparatur penegak hukum belum mampu bekerja secara optimal.

Atas ketentuan beberapa harta benda yang tidak dapat dilakukan penyitaan. Salah satunya harta benda yang digunakan sebagai penyangga mencari nafkah terpidana dan keluarganya, Jaksa Eksekutor menilai bahwa ketentuan ini di satu sisi memiliki niat baik yaitu bertujuan melindungi hak-hak ekonomi terpidana dan keluarganya, tetapi hal ini sering menjadi batu sandungan bagi Jaksa untuk mengembalikan kerugian keuangan negara. Penyebabnya, karena tidak adanya pengertian atau kategori yang jelas terkait harta benda yang digunakan untuk mencari nafkah. Bahwa dalam praktiknya Jaksa Eksekutor menilai bahwa harta benda tersebut tidak berkaitan dengan nafkah keluarga terpidana, namun keluarga bersikeras menolak upaya tersebut dengan dalih harta benda tersebut untuk mencari nafkah. Sehingga Jaksa Eksekutor tidak berdaya untuk menyita harta benda tersebut dikarenakan dapat dikatakan bentuk perampasan tanpa dasar hukum dan melanggar hak asasi manusia.

Penelitian ini disusun berdasarkan permasalahan yang muncul terkait pelaksanaan pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang dieksekusi oleh Jaksa Eksekutor yang belum optimal. Hal ini disebakan oleh beberapa faktor salah satunya belum jelasnya norma yang mengatur tentang kualifikasi harta benda yang dapat disita dan yang tidak dapat disita. Permsalahan ini ditemukan pada beberapa penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang efektivitas pelaksanaan pidana pembayaran uang pengganti. Misalnya pada judul artikel jurnal Kendala Jaksa Dalam Penerapan Pidana Tambahan Uang Pengganti Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi pada Jurnal Kertha Wicara Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan penulis Ni Nyoman Santiari dan I Gusti Agung Ayu DikeWidhiyaastuti mengkaji kendala yang dihadapi oleh Jaksa dalam menerapkan pidana tambahan uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi dan cara penyelesaian kendala-kendala tersebut. Perbedaan dalam kajian ini dengan kajian sebelumnya yaitu pada penelitian ini akan mengkaji pengaturan tentang kualifikasi aset yang dapat disita dan tidak untuk membayar pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang ketentuannya masih kabur. Hal ini penting untuk diteliti agar dalam pelakasanaan pidana tambahan ini Jaksa Eksekutor dapat lebih efektif dan optimal. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dikaji kembali dalam jurnal yang berjudul “Pengaturan Harta Benda Yang Dapat Disita Dalam Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Pada Tindak Pidana Korupsi.”

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana ketentuan pidana tambahan pembayaran uang pengganti pada kasus tindak pidana korupsi di Indonesia?

  • 2.    Bagaimanakah kualifikasi aset yang dapat disita sebagai bentuk peuntuk membayar pidana tambahan pembayaran uang pengganti?

  • 1.3.    Tujuan Penelitian

Mengacu pada rumusan masalah di atas, dalam kajian ini yang menjadi tujuannya yaitu untuk mengetahui ketentuan pidana tambahan pembayaran uang pengganti pada kasus tindak pidana korupsi di Indonesia dan kualifikasi aset yang dapat disita sebagai bentuk peuntuk membayar pidana tambahan pembayaran uang pengganti.

  • II.    Metode Penelitian

Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang memiliki metode penelitian untuk dapat menjawab permasalahan dalam penulisan karya ini. Maka dalam penelitian ini digunakan jenis penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengacu pada konsep hukum sebagai suatu kaidah yang metodenya yang doctrinal-nomologic yang bertitik tolak pada kaidah ajaran yang mengaidahkan perilaku. 7 Untuk menunjang penelitian hukum normatif digunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum. Seluruh bahan hukum yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan metode analisis deksriptif kualitatif dan hasil analisa disusun secara sistematis.8

III Hasil dan Pembahasan

3.1.    Ketentuan Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti

Pidana dalam Bahasa Belanda yaitu “straf” yang artinya “hukuman”. Menurut Sodarto kata “pidana” diartikan sebagai nestapa atau derita yang diterima oleh setiap orang yang melakukan suatu pelanggaran atas ketentuan undang-undang dalam hal hukum pidana secara sengaja yang diberikan oleh negara agar orang tersebut merasakan penderitaan. Hal ini sengaja diberikan agar orang yang melanggar hukum menjadi jera. Hal ini karena hukum pidana pada prinsipnya memang mengenakan penderitaan dengan sengaja kepada orang yang melangar hukum pidana agar tetap dapat mempertahankan norma-normanya yang telah diakui.9 Berdasarkan Pasal 10 KUHP, pada dasarnya pidana dapat dipisahkan menjadi dua jenis yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun yang termasuk jenis pidana pokok yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan antara lain pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Lebih lanjut, ketentuan tentang pidana tambahan juga ada yang diatur tersendiri misalnya dalam UU PTPK yang mengatur pembayaran uang pengganti sebagai pidana tambahan pada delik korupsi. Adanya ketentuan tersebut sebagai pidana tambahan yang diatur tersendiri tidak serta merta mengabaikan ketentuan umum dalam KUHP. Bahwa pengenaan pidana tambahan kepada terpidana wajib diawali oleh pengenaan pidana pokok dan hanya dapat dijatuhkan oleh majelis hakim yang tertuang dalam putusannya. Penjatuhan pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri dan tidak lepas

dari pidana pokok, hal ini sesuai dengan postulat ubi non est principalis, non potest esse accessories yang berarti, jika tidak ada hal yang pokok, maka tidak mungkin ada hal tambahan.10

Artinya pidana tambahan dapat dijatuhkan hanya bila telah ada pidana pokok yang dijatuhkan hakim. Ketentuan pembayaran pidana tambahan ini pada dasarnya bukan ketentuan yang baru dikonsepkan atau dinormakan, melainkan telah dirumuskan sebelum adanya UU PTPK. Pertama kali ketentuan ini diatur pada Pasal 16 ayat (3) Perpu Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi dan diganti dengan Pasal 34 sub c angka 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.11

Mencermati ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa ketentuan tersebut belum memuat pengertian uang pengganti pada penjelasan umumnya atau pun pada bagian penjelasan pasal per pasal. Meskipun demikian, pada dasarnya kedua peraturan tersebut rumusannya memiliki kesamaan dengan UU PTPK pada Pasal 17 juncto Pasal 18. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa konsep pembayaran uang pengganti sebagai salah satu jenis pidana tambahan pada kasus korupsi adalah kelanjutan dari ketentuan sebelumnya. Pada ketentuan Pasal 18 UU PTPK diatur jelas bahwa nominal uang pengganti yang harus terpidana yang telah terbukti bersalah melakukan korupsi bayarkan yaitu nominal maksimalnya setara dengan aset hasil dalam melakukan praktik korupsi.12

Ketentuan pidana tambahan ini sejatinya diatur dan dirumuskan guna mengembalikan keuangan negara yang telah dirugikan akbat tindak pidana korupsi tersebut. Melalui pendekatan implementatif, bahwa konsep kerugian keuangan negara yang secara terminologis diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negar (untuk selanjutnya disebut UU KN), bahwa kerugian keuangan negara merupakan:13

  • a)    Hilang atau berkurangnya kewajiban dan hak Negara;

  • b)    Hilang atau berkurangnya keuangan negara yang berasal kegiatan pelayanan pemerintah;

  • c)    Hilang atau berkurangnya penerimaan dan/atau pengeluaran keuangan negara;

  • d)    Hilang atau berkurangnya aset negara yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, aset, surat berharga, barang, piutang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang;

  • e)    Hilang atau berkurangnya kekayaan pihak lain yang yang dikelola negara.

Untuk mengembalikan keuangan negara seperti sediakala maka diberlakukanlah pidana tambahan uang pengganti yang tertuang pada putusan pengadilan. Sebagai Eksekutor putusan pengadilan, Jaksa Eksekutor dapat melakukan penyitaan serta pelelangan atas aset terpidana yang menjadi hasil dari tindakan korupsinya. Bahwa dalam hal penyitaan atas harta benda atau aset terpidana yang termasuk hasil korupsi

dapat dijadikan alat pembayaran dalam pemenuhan pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Ketika melakukan penyitaan tersebut, Jaksa yang bertugas tidak memerlukan izin lagi dari Ketua Pengadilan Negeri setempat karena tindakan tersebut merupakan perintah putusan pengadilan bukan merupakan pelaksanaan tugas Jaksa pada tahapan penyidikan. Hal ini karena dua hal tersebut berbeda secara yudiris mengenai tugas yang dilaksanakan meksipun oleh seorang Jaksa.

Lebih lanjut dalam Perma PTUP 2014 memberikan jaminan kepada Jaksa Eksekutor untuk dapat melakukan penyitaan selama terpidana belum selesai menjalankan pidana pokoknya ketika terpidana tidak melaksanakan pidana tambahan dalam tengat waktu satu bulan. Dalam hal pelelangan, Perma PTUP 2014 telah mengatur ketentuan bahwa dapat dilakukan pelelangan aset terpidana oleh Jaksa paling lambat tiga bulan setelah dilalukan penyitaan.14 Permasalahan lainnya, dalam tataran implementasi untuk menentukan nominal uang pengganti pada kasus tertentu digunakan mekanisme perhitungan yang didasarkan jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari praktik korupsi. Sedangkan kasus lainnya, nominal uang pengganti ditentukan dengan dasar perhitungan jumlah aset yang didapatkan terpidana dari praktik korupsinya. Oleh karena itu, diperlukan parameter yang tegas dan jelas untuk menjadi acuan dalam menghitung nominal uang pengganti. Mengingat ketentuan a quo dalam UU PTPK hanya mengatur nominal yang harus dibayarkan berdasarkan besarnya aset yang diperoleh terpidana yang dihasilkan dari praktik korupsinya. Ketentuan ini pun dipertegas Mahkamah Agung melalui Perma PTUP 2014. Dalam Perma ini ditegaskan bahwa tolak ukur perhitungan nominal uang pengganti yaitu semaksimalnya setara aset terpidana yang dihasilkan dengan melakukan korupsi. Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa tolak ukur perhitungan nominal uang pengganti mengacu pada seberapa besar kerugian negara pasca berlakunya ketentuan tersebut sudah tidak dapat diterapkan pada persidangan kasus korupsi di pengadilan tipikor di seluruh Indonesia. Untuk itu penting dibahas terkait ketentuan pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang berlaku saat ini agar diketahui kekaburan norma yang menjadi penghambat pelaksanaan pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi dengan menjatuhkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan penegakan hukum pidana tambahan pembayaran uang pengganti oleh Jaksa Eksekutor kedepannya.

  • 3.2.    Kualifikasi Aset Yang Dapat Disita Oleh Jaksa Eksekutor

Pelaksanaan penyitaan adalah tahapan dari penegakan atas ketentuan pidana tambahan pembayaran tersebut yang didasarkan pada pasal a quo UU PTPK sejatinya tidak memberikan pengertian frasa “uang pengganti” dan maksudnya untuk apa dalam kasus korupsi. Ketidakjelasan pengertian itulah yang menyebabkan dalam pelaksanaan eksekusinya masih mengalami hambatan. Merujuk pada pengertian dalam KBBI, makna dari frasa didapatkan/diperoleh dan dikaitkan dengan pendapat dari Komariah Emong Sapardja yang juga mencoba memberikan definisi uang pengganti. Bahwa pengertiannya yaitu aset/harta benda yang didapatkan dan dinikmati terpidana dari usaha praktik korupsi.15 Selain itu, terkadang juga terpidana maupun ahli waris terpidana tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar uang

pengganti sehingga menjadi salah satu hambatan dalampelaksanaan uang pengganti tersebut.16

Kendala lainnya yaitu belum jelasnya pengertian harta benda yang tidak dapat disita karena termasuk harta benda penyangga nafkah keluarga. Ketika dalam maupun setelah proses pelacakan harta benda selesai dilakukan, Jaksa eksektor harus memperhatikan Fatwa Mahkamah Agung Nomor 37/T4/88/66/Pid dalam menentukan harta benda yang dapat disita. 17 Hal ini karena terdapat beberapa harta benda yang tidak dapat dilakukan penyitaan, salah satunya harta benda yang digunakan sebagai penyangga mencari nafkah terpidana dan keluarganya. Jaksa menilai bahwa ketentuan ini di satu sisi memiliki niat baik yaitu bertujuan melindungi hak-hak ekonomi terpidana dan keluarganya, namun disatu sisi hal ini menjadi penghambat Jaksa untuk mengembalikan kerugian keuangan negara. Penyebabnya, karena tidak adanya pengertian atau kategori yang jelas terkait harta benda yang digunakan untuk mencari nafkah. Jaksa menerangkan dalam prakteknya terkadang Jaksa Eksekutor menilai bahwa harta benda tersebut tidak berkaitan dengan nafkah keluarga terpidana, namun keluarga bersikeras menolak upaya tersebut dengan dalih harta benda tersebut untuk mencari nafkah.

Belum jelasnya kualifikasi harta benda yang dapat disita atau tidak dikarenakan termasuk aset penyangga nafkah keluarga dari terpidana korupsi menyebabkan terjadinya hambatan dalam proses penegakan hukumnya. Selain itu, tidak adanya pengaturan yang mengatur kualifikasi harta benda yang dapat disita juga menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum yang dapat menjadi celah bagi terpidana untuk mengatakan Jaksa Eksekutor melanggar hak asasinya sebagaimana dijamin dalam konstitusi Pasal 28H ayat (4). Agar dalam melaksanakan ketentuan tersebut yang nantinya akan bersinggungan dengan HAM terpidana dan keluarganya, maka sangat perlu diatur ketentuan yang jelas dan pasti dalam UU PTPK ataupun Perma yang mengatur kualifikasi harta benda yang dapat disita dan yang mana termasuk harta benda penyangga nafkah yang tidak dapat disita sebagai jaminan adanya kepastian hukum baik bagi terpidana maupun Jaksa Eksekutor. Dapat dikatakan bahwa pengaturan dalam Pasal 18 UU PTPK maupun Perma PTUP 2014 masih sederhana dan belum jelas dalam menyikapi perkembangan modus korupsi termasuk dalam hal menyembunyikan hasil korupsinya.

Lebih lanjut, dalam hal proses penyitaan yang dilakukan oleh Jaksa Eksekutor atas aset terpidana hanya dilakukan saat ada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Apabila dicermati, ketentuan ini sebenarnya menjadi celah juga untuk terpidana dalam menyembunyikan atau melarikan harta benda miliknya. Termasuk pada harta benda yang tidak ada hubungannya dengan hasil korupsi atau digunakan untuk praktik korupsi. Oleh karena itu, sering sekali Jaksa Eksekutor mengalami hambatan untuk mengungkap dan menemukan aset apa saja yang dimiliki terpidana. Padahal dalam UU PTPK telah ada ketentuan yang dapat digunakan sebagai landasan untuk memaksimalkan upaya pembayaran uang pengganti merujuk pada Pasal 28 dan Pasal 29 UU PTPK. Dalam ketentuan tersebut, Penyidik dapat mewajibkan terpidana untuk

menerangkan perihal harta benda miliknya, keluarganya, dan atau korporasinya untuk kepentingan penyidikan sebagaimana diatur pada UU PTPK Pasal 28. Kemudian, pada Pasal 29 UU PTPK, bahwa penyidik, penuntut umum ataupun hakim memiliki kewenangan untuk meminta pernyataan bank terkait kondisi finansial dari tersangka/terdakwa/terpidana. Namun, upaya penyitaan dan perampasan tidak dapat dilakukan terhadap seluruh harta benda milik terpidana yang ditemukan melalui pelaksanaan kedua pasal tersebut. Hal ini disebabkan adanya ketentuan Pasal 39 KUHAP, di mana penyitaan dan perampasan hanya dapat dilakukan terhadap harta benda yang merupakan hasil atau digunakan untuk kejahatan. Sedangkan harta benda yang tidak ada kaitannya dengan Pasal 39 KUHAP masih dimiliki oleh pelaku.18

Jika merujuk ketentuan Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat menyebabkan upaya pelaksanaan pidana tambahan ini tidak optimal. Bahwa sebagai salah satu tindak pidana khusus terlebih korupsi merupakan kejahatan luar biasa, maka diperlukan penyimpangan-penyimpangan dari peraturan pidana umum, dalam hal ini penyimpangan dari Pasal 39 KUHAP. Penyimpangan yang dimaksudkan yaitu adanya pengaturan tersendiri dalam UU PTPK yang mengatur bahwa penyitaan dapat dilakukan tidak hanya pada aset terpidana hal ini dijelaskan pada Pasal 39 KUHAP, akan tetapi juga aset milik terpidana hasil temuan sejak proses penyidikan secara terbatas. Maksudnya, dilakukan secara terbatas adalah harta benda milik terpidana akan berada di bawah pengawasan penyidik dan/atau penuntut umum dan tidak dapat dialihkan selama perkara masih berjalan. Meskipun disita, pelaku maupun keluarganya masih dapat menggunakan harta benda tersebut. Tujuannya yaitu untuk menghindari upaya-upaya pelaku ataupun keluarganya untuk mengalihkan harta bendanya dan memudahkan Jaksa Eksekutor untuk melaksanakan pidana tambahan ini. Apabila proses persidangan telah selesai, maka hakim dapat mempertimbangkan harta benda yang telah disita untuk dirampas dan digunakan sebagai pembayaran atas uang pengganti. Melalui mekanisme ini dengan tujuannya yaitu untuk mengoptimalkan pelaksanaan pidana tambahan ini sebagai bentuk pengembalian atas kerugian negara yang disebabkan atas tindakan korupsi dibandingan dengan cara-cara sebelumnya.

Dapat dicermati mekanisme tersebut sejatinya menerapkan konsep sita jaminan atau conservatoir beslag, yang bisa digunakan sebagai cara agar memudahkan Jaksa untuk mengembalikan kerugian negara dari aset yang menjadi sita jaminan baik yang dari hsil korupsi atau bukan. Meskipun diketahui bahwa sita jaminan yang dianut dalam proses acara perdata ada perbedaan antara penyitaan pada hukum acara pidana secara konsepsinya. Perbedaan yang mendasar diantara keduanya adalah konsep penyitaan dalam ranah hukum acara pidana dapat digunakan hanya terhadap benda yang tergolong instrumenta delicti atau juga corpora delicti. Untuk konsep sita jaminan yang mengandung pengertian bahwa barang-barang yang dapat dikenakan sita jaminan yaitu benda yang dimiliki oleh debitor secara keseluruhan sebagai jaminan untuk melaksanakan putusan.19 Perbedaan paling fundamental diantara konsep sita jaminan dan penyitaan adalah pada penyitaan adanya upaya paksa pengambilan benda-benda yang dikuasai oleh tersangka atau terdakwa oleh aparat penegak hukum yang mana mengakibatkan penguasaan benda-benda sitaan tersebut ada pada pihak yang

berwenang. Sedangkan penguasaan pada conservatoir beslag tetap ada pada Tersangka atau Terdakwa. Hanya saja terhadap benda-benda yang diletakkan titel sita jaminan terhadapnya, berarti barang tersebut dibekukan dan tidak dapat dialihkan ataupun dijual. Karakter hukum yang ditawarkan oleh sita jaminan adalah salah satu langkah yang efektif untuk mengembalikan kerugian yang dialami negara.

Konsep sita jaminan yang dapat dijadikan alternatif untuk pengoptimalan pembayaran uang pengganti sebagai bentuk pengembalian kerugian negara akibat praktik korupsi pernah digunakan dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung No 2190/K/Pid.Sus/2010. Dalam putusan ini majelis hakim menyatakan bahwa harta benda yang tidak memiliki kaitan dengan perkara yaitu sebuah rumah dapat dijadikan jaminan pembayaran uang pengganti. Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 39 KUHAP sejatinya terjadi ketidaksesuaian hukum antara putusan kasasi tersebut dengan hukum formilnya. Berdasarkan yurisprudensi tersebut, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung menerima konsep sita jaminan sebagai penjamin pelunasan pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Agar menjadi penguat bahwa konsep sita jaminan dapat diterapkan untuk mengoptimalkan pelaksanaan pidana tambahan uang pengganti. Tentu ini dapat dilakukan selama kualifikasi aset yang dapat disita dan yang tidak karena sebagai penyangga nafkah keluarga belum jelas diatur dalam UU PTPK maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan atas ketentuan yang mengatur pidana tambahan uang pengganti pada UU PTPK agar tidak terjadi kekaburan norma terkait aset atau harta benda terpidana yang dapat disita dan yang tidak dapat disita dalam pelaksanaan pidana tambahan uang pengganti.

  • III.    Penutup

    3.1. Kesimpulan

Ketentuan pidana tambahan pembayaran uang pengganti pada kasus korupsi di Indonesia awalnya diatur pada Pasal 16 ayat (3) Perpu Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi dan diganti dengan Pasal 34 sub c angka 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengaturan lebih lanjut diatur juga dalam Perma PTUP 2014. Mengenai kualifikasi aset yang dapat disita untuk pembayaran pidana tambahan uang pengganti pada kasus korupsi di Indonesia belum diatur secara tegas kategori aset yang yang digunakan untuk mencari nafkah atau sebaliknya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan tersebut perlu untuk diatur lebih lanjut dan komprehensi oleh pemerintah dalam peraturan perundang-undangan agar memberikan kepastian hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Agar mampu mengoptimalkan pengembalian kerugian negara akibat tindakan korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hiariej, Eddy O.S. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi. (Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2015).

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum (Kencana Prenada, Jakarta, 2010).

Jurnal

Arjaya, Bagus Widipradnyana. "Peran Vital Penelusuran Aset Guna Menentukan Besaran Pidana Tambahan Uang Pengganti Terhadap Koruptor." Jurnal Cita Hukum 4, No.1 (2016).

Damanik, Kristwan Genova. "Antara Uang Pengganti Dan Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi." Masalah-Masalah Hukum 45, No.1 (2016).

Mahardika, Muhammad Dzakir Gusti. "Tinjauan Penerapan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) Dalam Tindak Pidana Korupsi." Jurist-Diction 3, No.2 (2020).

Mahmud, Ade. "Dinamika Pembayaran Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi." Jurnal Hukum Mimbar Justitia 3, No.2 (2017).

Mulatua, Saut, and Ferdricka Nggeboe. "Efektifitas Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi." Legalitas: Jurnal Hukum 9, No.1 (2019).

Rahim, Arhjayati, and Noor Asma. "Analisis Substansi Pidana Uang Pengganti Dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi." Gorontalo Law Review 3, No.1 (2020).

Santiari, Ni Nyoman, and I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti. "Kendala Jaksa dalam Penerapan Pidana Tambahan Uang Pengganti pada Perkara Tindak Pidana Korupsi." Jurnal Kertha Wicara 5, No.2, (2016).

Sidabutar, Lambok Marisi Jakobus. "Hukum Kepailitan dalam Eksekusi Harta Benda Korporasi sebagai Pembayaran Uang Pengganti." Integritas: Jurnal Antikorupsi 5, No.2 (2019).

Suhariyanto, Budi. "Penerapan Pidana Uang pengganti Kepada Korporasi Dalam Perkara Korupsi Demi Pemulihan Kerugian Keuangan Negara." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 7, No.1 (2018).

Tajuddin, Mulyadi Alrianto. "Penerapan Pidana Tambahan Uang Pengganti Sebagai Premium Remedium Dalam Rangka Pengembalian Kerugian Negara." Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum 2, No.2 (2015).

Wardanie, Ismaya Hera. "Efektifitas Eksekusi Pidana Tambahan Dengan Pembayaran Uang Pengganti Dalam Kasus Korupsi." Jurnal Hukum Responsif 7, No.2 (2019).

Internet

Komisi Pemberantasan Korupsi. “Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Membaik.” (Berita KPK, Jakarta, 2019), URL: https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk/1462-indeks-persepsi-korupsiindonesia-membaik.

Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 10 Tahun 2020, hlm. 1-11