KEABSAHAN KESEPAKATAN PENYELESAIAN

SENGKETA WANPRESTASI MELALUI MEKANISME

MEDIASI YANG TIDAK DIDAFTARKAN KE PENGADILAN NEGERI

Maria Evita Indriani, Fakultas Hukum Universitas Udayana,Email: [email protected]

Dewa Nyoman Rai. A.P. , Fakultas Hukum Universitas Udayana,Email: [email protected]

ABSTRAK

Wanprestasi atau ingkar janji adalah salah satu sengketa perdata dimana unsurnya terdapat suatu perjanjian yang sah, ingkar janji serta somasi. Modern ini, pihak yang bersengketa lebih memilih mediasi sebagai cara yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa. Hal itu dianggap lebih menguntungkan dibanding peyelesaikan sengketa melalui jalur litigasi yang acap kali tidak mencerminkan trilogi pengadilan. Para pihak dibantu mediator melaksanakan perundingan hingga mendapatkan kesepakatan. Merujuk pada Pasal 6 ayat (7) “Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”, kesepakatan penyelesaian sengketa wajib didaftarkan ke Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 30 hari sejak kesepakatan ditandatangani. Tidak adanya penjelasan pasal dan pengaturan lebih lanjut membuat adanya kekosongan norma tentang akibat tidak terlaksananya kewajiban dalam pasal itu, sehingga menimbulkan perdebatan apakah suatu kesepakatan masih sah jika tidak didaftarkan. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan. Masalah yang peneliti angkat adalah keabsahan kesepakatan penyelesaian sengketa wanprestasi melalui mekanisme mediasi yang tidak didaftarkan ke pengadilan negeri sebagai implikasi penggunaan kata ‘wajib’ dalam pasal 6 ayat 7 “Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa” serta prosedur mediasi menurut PERMA nomor 1 Tahun 2016. Hasil penelitian menunjukkan, kesepakatan tidak semata-mata menjadi tidak sah namun kembali pada prinsip kebebasan berkontrak. Kesepakatan dapat pula dimohonkan menjadi akta perdamaian ke pengadilan setempat. Mekanisme lebih lanjut mengenai pelaksanaan mediasi di pengadilan diatur dalam PERMA No.1 Tahun 2016 sebagai pengganti PERMA No.1 Tahun 2008 yang memiliki perbedaan penting dalam penekanan itikad baik dalam mediasi sehingga meningkatkan keberhasilan mediasi.

Kata Kunci: Wanprestasi, Keabsahan kesepakatan penyelesaian sengketa, Mediasi

ABSTRACT

Wanprestasi is one of the civil case. There are 3 element of “wanprestasi”, a legal agreement, Nonperformance of contract, and legal notice to parties. In this modern, the way chosen to resolve a dispute is mediation.This is considered to be more profitable than resolving disputes through litigation that often does not reflect the court's trilogy. The parties and mediators carry out mediation to get an agreement. Referring to Article 6 paragraph (7) "Law Number 30 of 1999 Regarding Arbitration and Alternative Dispute Resolution", The agreement must be registered with the local District Court within 30 days of the agreement being signed. The absence of clarification of the article and further regulation creates a void of norms about the consequences of not carrying out the obligations in that article, thus causing debate whether an agreement is still valid if it is not registered. This is normative research with a legislative approach and a comparative approach. The problem that the writer adopts is the validity of the dispute resolution agreement with mediation mechanism which is not registered with the district court as the implication of the use of the word 'mandatory' in article 6 paragraph 7 “Law Number 30 of 1999 Concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution” and mediation procedure according to PERMA 1 of 2016. The results of the study showed that the agreement did not merely become invalid but returned to the principle ‘freedom of contract’. The agreement can also be applied for as a peace deed to the local court. Further mechanisms regarding the implementation of mediation in court are regulated in

PERMA No.1 of 2016 in lieu of PERMA No.1 of 2008 which has important differences in emphasizing good faith in mediation thereby increasing the success of mediation.

Key Word: Wanprestasi, Validity, Peace Agreement, Mediation

  • 1.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Sengketa adalah suatu hal yang sering kita jumpai dalam kehidupan bermasyarakat, hal itu adalah cerminan dari watak dan kemauan diantara manusia yang tidak bisa sama, pertentangan terhadap hal yang sama-sama diinginkan oleh manusia itulah yang memicu suatu sengketa. Didalam masyarakat terdapat banyak cara untuk menyelesaikan sengketa. Menurut Laura Nader dan Harry F. Todd Jr diantaranya meliputi: 1) lumping it (membiarkan saja), 2) avoidance (mengelak), 3) exit (keluar saja), 4) coercion (paksaan), 5) negotiation (negosiasi), 6) mediation (mediasi), 7) arbitration (arbitrasi) 8) self help (main hakim sendiri), dan 9) Peradilan.1 Cara-cara itu kemudian dalam dunia modern digolongkan kedalam 2 (dua) pandangan, yaitu penyelesaian sengketa secara litigasi dan non-litigasi.

Salah satu sengketa yang sering kita jumpai dalam kehidupan bermasyarakat adalah sengketa wanprestasi (lebih lanjut disebut sengketa) atau dalam bahasa awam adalah ingkar janji. Tidak sembarang ingkar janji dapat digolongkan kedalam wanprestasi, lebih merinci terdapat beberapa unsur sehingga terpenuhinya suatu wanprestasi, dimana jika terdapat perjanjian oleh para pihak umumnya adalah perjanjian tertulis, terdapat pihak yang melanggar dan pihak sudah dikatakan lalai atau istilah yang akrab didengar adalah pernyataan somasi namun tetap tidak melakukan kewajibannya. Maka pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi mengacu pada pasal 1243 KUHPer. Wanprestasi juga tidak sempit pada tidak dilaksanakannya perjanjian, namun mencakup 3 hal lainnya yaitu: pihak melaksanakan namun tidak sesuai perjanjian, pihak melakukan perjanjian namun lewat batas waktu dan pihak melakukan apa yang menurut perjanjian dilarang dilakukan.

Meskipun penyelesaian sengketa secara litigasi sudah sangat lumrah di tengah masyarakat, namun dewasa ini pihak yang bersengketa sangat mempertimbangkan mengambil jalur non-litigasi, karena mempertimbangkan nilai harmoni, tenggang rasa dan komunal sehingga memungkinkan terjadinya kesepakatan win-win solution, dibanding melalui litigasi yang menghasilkan keputusan win-lose solution/salah satu pihak harus kalah dalam putusan. Sejatinya, penerimaan Alternatif Penyelesaian Sengketa (yang selanjutnya disebut APS) oleh bangsa Indonesia karena prosesnya sangat mencerminkan semangat bangsa yaitu musyawarah-mufakat.2 Banyaknya pihak bersengketa yang memilih jalur non-litigasi juga dipengaruhi oleh semakin runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan di Indonesia yang acap kali tak mencerminkan ‘Trilogi Pengadilan’, yaitu: Cepat-Sederhana-Berbiaya Ringan. Tak dipungkiri banyak kasus di pengadilan yang penyelesaiannya membutuhkan proses

yang lebih lama, mengeluarkan biaya yang mahal juga harus terdapat pihak yang kalah sehingga dapat menimbulkan konflik yang baru. 3

Mekanisme/ cara penyelesaian sengketa secara non-litigasi merujuk pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Alternatif dan Alternatif Penyelesaian Sengketa lebih lanjut disebut UUAAPS. Melihat pada judulnya, pembuat undang-undang memberikan kesan yang terpisah antara arbitrase dan APS atau dalam dunia internasional disebut Alternative Dispute Resolution (ADR). Menurut Pasal 1 angka 10, APS merupakan penyelesaian sengketa dengan cara Mediasi, Konsultasi, Konsiliasi, Negosiasi, atau Penilaian Ahli. Lebih khusus penulis akan membahas mengenai mediasi.

Walaupun judulnya adalah “Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa” ,namun sayangnya UUAAPS sangat minim membahas mengenai APS, yaitu hanya terdapat dalam pasal 6 ayat (1-7). Minimnya pengaturan dan tidak terdapatnya penjelasan lebih lanjut menimbulkan suatu kebingungan di semua pemerhati hukum terlebih pihak yang bersengketa dan hendak menyelesaikan dengan APS. 4 Isu yang penulis angkat dalam jurnal ini terdapat dalam pasal 6 ayat (7), yang berbunyi : “ Kesepakatan penyelesaian sengketa secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama tiga puluh hari sejak penandatanganan.”

Frasa “wajib” dalam “Pasal 6 ayat (7) UU AAPS” itu sangat menarik untuk ditelaah. Jika melihat pada penjelasan, pasal tersebut dianggap sudah cukup jelas. Hal itu membuat adanya kekosongan norma tentang akibat tidak terlaksananya perintah dalam pasal tersebut, apakah kesepakatan semata-mata menjadi tidak sah atau sebaliknya. Pemilihan kata wajib meyakinkan penulis maksud pembuat undang-undang bukanlah sekedar sebuah anjuran melainkan suatu keharusan. Hal itu menimbulkan suatu pertanyaan apa dampak yuridis jika kesepakatan itu tidak dicatatkan dalam waktu 30 hari sesuai dengan UU AAPS. Mengkaji permasalahan terkait diperlukan suatu penelusuran dan mengkaji penelitian yang bersangkutan, yaitu penelitian yang ditulis oleh Dewa Nyoman Rai A.P dengan I Putu Rasmadi A.P dengan judul Akibat Hukum Pendaftaran Penyelesaian Sengketa Alternatif.

Dalam penelitian yang sudah dipublikasikan tersebut belum ada yang membahas permasalahan dengan fokus penggunaan kata wajib sebagai norma perintah (gebod). Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai kekosongan norma ini agar para pihak yang menyelesaikan sengketa wanprestasi melalui mekanisme mediasi mendapat kepastian hukum apakah kesepakatannya sah jika tidak didaftarkan ke pengadilan negeri sesuai pasal 6 ayat 7 UU AAPS dan terdapat penjelasan terkait penyelesaian dengan mediasi sesuai PERMA 1/2016.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Setelah diuraikan masalah dalam latar belakang, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan yang menjadi fokus penulis:

  • 1.    Keabsahan kesepakatan penyelesaian sengketa wanprestasi melalui mekanisme mediasi yang tidak didaftarkan ke Pengadilan Negeri sebagai implikasi dari penggunaan kata “wajib” dalam Pasal 6 ayat (7) UU AAPS.

  • 2.    Mekanisme Mediasi setelah terbitnya PERMA Nomor 1 Tahun 2016.

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui Keabsahan kesepakatan penyelesaian sengketa perdata yang tidak didaftarkan menurut Pasal 6 ayat (7) UU AAPS ke PN setempat maksimal waktu tiga puluh (30) hari sejak kesepakatan ditandatangani dan Bagaimana mekanisme pelaksanaan mediasi sebagai salah satu cara APS yang termasuk dalam UU AAPS

  • 1.4.    Metode Penelitian

Metode penelitian adalah serangkaian usaha yang digunakan oleh penulis untuk menjawab hipotesis yang telah dibuat dengan cara-cara sistematis, hal itu berbanding lurus dengan tujuan penelitian. Dimana penulis berusaha menggali data-data baru ataupun jika data sudah ada sebelumnya namun disusun dan ditulis secara sistematis dengan tema yang baru maka akan menjadi sebuah kebaruan ilmu. Dalam penelitian yang dituangkan dalam karya ilmiah ini penulis menggunakan penelitian hukum normatif dengan beberapa pendekatan, yaitu: a. Pendekatan Perundang-undangan

Pendekatan ini memandang suatu masalah berdasarkan bahan hukum dengan cara menelaah teori, konsep, asas hukum ataupun peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan. Bahan Hukum dapat diperoleh dengan studi kepustakaan. Bahan hukum dibagi menjadi 3, yaitu bahan hukum primer,sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer, yaitu buku, jurnal, dan karya ilmiah ahli5

  • b. Pendekatan Perbandingan (comparison approach)

Pendekatan ini lumrah digunakan peneliti jika terdapat kekosongan norma. Peneliti akan melihat perbandingan dengan suatu persoalan yang serupa. 6 Sumber data penulis peroleh dari studi terhadap peristiwa serupa yang sebelumnya pernah terjadi (Expost Facto).

Setelah mendapat kan bahan hukum, selanjutnya dilakukan analisis bahan hukum dengan tujuan agar mendapat kesimpulan serta penjelasan yang menjawab masalah yang diteliti. Teknik analisis yang digunakan adalah dengan cara berfikir induktif yaitu cara mendapatkan suatu kesimpulan umum dengan menarik peristiwa-peristiwa khusus.

  • 2.    Hasil Penelitian

    • 2.1.    Keabsahan kesepakatan penyelesaian sengketa Wanprestasi yang tidak didaftarkan ke Pengadilan Negeri sebagai bentuk Implikasi Penggunaan kata wajib dalam Pasal 6 ayat (7) UUAAPS

Implikasi adalah kata yang sangat tidak asing didengar, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti keterlibatan atau keadaan terlibat. 7 Maka dalam penelitian ini akan dicari aspek yang terpengaruh dari penggunaan kata “wajib” dalam pasal 6 ayat (7) UU AAPS. Penggunaan kata wajib dalam perundang-undangan mencerminkan norma perintah (gebod)8, dimana berarti harus melakukan sesuatu, bukan semata-mata anjuran. Suatu kewajiban dalam perundang-undangan akan diikuti oleh sanksi apabila terjadi pelanggaran, namun dalam UU AAPS tidak memuat hal itu dan menimbulkan ketidakpastian, apakah kesepakatan perdamaian mediasi menjadi tidak sah karena tidak dicatatkan di PN dalam waktu tiga puluh (30) hari sejak ditandatangani.

Untuk menjawab hal ini dapat dilakukan perbandingan dengan problematika yang serupa dalam Pasal 31 ayat (1)(2) “Undang-Undang Nomor Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara” (selanjutnya disebut UU BBL) yang kurang lebih menyebutkan suatu kewajiban menggunakan bahasa indonesia dalam nota kesepakatan untuk seluruh subjek hukum indonesia tidak terkecuali jika melibatkan pihak asing. Hal itu menimbulkan pro kontra karena undang-undang ini tak menuliskan sanksi terhadap pelanggaran kewajiban.9 Hal itu terjadi setelah terdapat loan agreement yang dibatalkan oleh “Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar” antara PT. BKPL (Bangun Karya Pratama Lestari) dengan Nine AM Ltd. Untuk meluruskan ketidakpastian itu KEMENKUMHAM mengeluarkan “surat no. M.HH.UM.01.01-35 tahun 2009”, yang salah satu poinnya adalah mengenai asas kebebasan berkontrak atau “partij autonomie”.10 Asas kebebasan berkontrak memberikan pemahaman bahwa setiap subjek hukum dapat mengikatkan dirinya dalam kontrak dengan siapapun dan dalam bentuk apapun dan tentunya terbatas pada sebab yang halal. Kesepakatan yang telah disetujui oleh para pihak berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan itu lebih dikenal dengan istilah Pacta Sunt Servanda dan diatur dalam pasal 1338 KUHPer11

Berdasarkan perbandingan tersebut, bahwa tidak dicatatkannya kesepakatan perdamaian ke PN dalam waktu 30 hari sejak ditandatangani tidak semata-mata akan menyatakan kesepakatan itu tidak sah dimata hukum, namun kembali ke asas perjanjian sesuai dengan KUHPer mengenai perikatan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, Dewa Nyoman Rai A.P dan I. Putu Rasmadi A.P, bahwa pasal itu adalah pasal kosong karena tidak mempunyai daya laku dan tidak mengatur mengenai akibat hukum yang ditimbulkan jika dilanggar. 12

Kesepakatan perdamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa dapat dilakukan dengan mediasi diantara banyak cara yang dapat dipilih dalam APS. Selama proses mediasi berlangsung hingga tercipta kesepakatan, para pihak yang bersengketa dapat bertindak sendiri atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakili maupun sekedar mendampingi.13 Kesepakatan yang dihasilkan akan menjadi sebuah perjanjian yang lahir karena adanya persetujuan dari para pihak karena para pihak setuju untuk mengikatkan dirinya terhadap satu sama lain, hal ini sesuai dengan pasal 1313 KUHPer.

Maka keabsahan kesepakatan penyelesaian beda pendapat atau sengketa dapat dilihat jika kesepakatan itu memenuhi 4 syarat sahnya perjanjian, yaitu: a) Kesepakatan, b) Kecakapan, c) suatu hal tertentu dan d) sebab yang halal merujuk pada pasal 1320 KUHPer. 14 Walaupun tujuan awalnya adalah sabagai penyelesaian sengketa namun karena sifatnya sebagai suatu perjanjian, maka tidak menepis kemungkinan akan terjadi sengketa lagi di kemudian hari.

Untuk menghindari terjadinya sengketa lagi setelah adanya Kesepakatan damai atau kesepakatan penyelesaian beda pendapat maka, lebih baik hal itu didaftarkan di pengadilan negeri seperti yang tercantum dalam pasal 6 ayat (7) UU AAPS. Selanjutnya pencatatan itu akan dinaikan menjadi permohonan akta perdamaian sesuai pasal 27 ayat 5 “PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan” (selanjutnya disebut PERMA 1/2016).15 Menurut pasal 1 angka 10 PERMA 1/2016, akta perdamaian adalah sebuah akta yang memuat isi naskah perdamaian serta putusan hakim yang menegaskan/ menguatkan kesepakatan damai.

Jika para pihak berpendapat lain, yaitu memilih tidak menaikan kesepakatan tersebut menjadi akta perdamaian maka dianjurkan perjanjian harus menuliskan klausula bahwa sengketa sudah selesai dan/atau gugatan harus dicabut.16

Hasil penelitian sangat penting untuk menjawab kekosongan norma tentang akibat tidak didaftarkannya hasil mediasi, dimana hal itu tidak mempengaruhi kesahan suatu kesepakatan karena prinsipnya kembali pada kebebasan berkontrak.

  • 2.2.    Mekanisme Mediasi Sebagai Salah satu Cara Alternatif Penyelesaian Sengketa

    Menurut PERMA 1/2016

Mediasi merupakan model penyelesaian beda pendapat atau sengketa antara dua pihak atau lebih dimana menggunakan bantuan pihak luar atau pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa. Pihak luar atau pihak ketiga bernama mediator dan sifatnya adalah tidak memihak atau netral. Tujuannya tentu untuk membantu para pihak yang bersengketa guna memperoleh kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat. Peran mediator dalam mediasi hanya boleh memberikan bantuan substantif, prosedural, dan memberikan saran para pihak, lebih dari itu kewenangan dalam menyepakati keputusan tetap berada pada konsensus para pihak. Keuntungan menempuh jalur mediasi adalah prosedur lebih mudah, sederhana, efektif, dan keputusan dapat menghasilkan win-win solution.

Mediasi di pengadilan (court connected mediation) mempunyai landasan filosofis yaitu Pancasila, sila keempat yang mengandung nilai-nilai musyawarah-mufakat.17 Meskipun mediasi memiliki semangat sukarela, nyatanya usaha mediasi atau usaha perdamaian di pengadilan sifatnya adalah wajib dan terkesan memaksa. Dapat dilihat pasal 130 ayat 1 HIR / 154 Rbg, pada intinya menyatakan bahwa pengadilan harus mengupayakan perdamain saat pihak yang bersengketa datang. Jika hal dalam ketentuan itu tidak dilakukan, maka proses pemeriksaan dikualifikasikan under process, dan pemeriksaan dikatakan tidak sah sehingga putusan harus batal demi hukum. 18

Mekanisme mediasi melalui pengadilan diatur dalam PERMA 1/2016 sebagai pengganti PERMA 1/2008. Hal yang perlu ditekankan dalam mediasi adalah para pihak mengejar suatu kesepakatan bukan keputusan, maka posisi para pihak berada dalam level tawar menawar yang sama atau seimbang.19 Kedudukan seimbang itu membuat lebih elok para pihak disebut dengan mitra. Hal yang menjadi poin penting pembeda antara PERMA 1/2008 dengan PERMA 1/2016 adalah penekanan itikad baik antara para mitra untuk meningkatkan keberhasilan proses mediasi.20

Menurut PERMA 1/2016, seluruh sengketa perdata wajib menempuh jalur mediasi terlebih dahulu kecuali ditentukan lain dalam pasal 4 ayat (2) huruf a-e, salah satunya dalam huruf e, jika perkara telah coba diselesaikan diluar pengadilan dan tidak berhasil dibuktikan dengan pernyataan yang terdaftar di Pengadilan setempat yang ditandatangani oleh mediator bersertifikat dan hal itu dilampirkan saat mengajukan gugatan. Lebih lanjut dalam pasal 13 disebutkan mediator bersertifikat yaitu mediator yang pernah mengikuti pelatihan dari mahkamah agung dan lulus dibuktikan dengan sertifikat atau lembaga lain yang diakui oleh mahkamah agung. Dalam hal ini, mediator dapat berasal dari pihak swasta maupun seorang hakim. Hakim yang bertugas menjadi

seorang mediator perkara tersebut haruslah berbeda dengan hakim pemeriksa perkara untuk menjamin netralitasnya dan semua pernyataan dan pengakuan mitra dalam mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara jika mediasi tidak berhasil menemukan kesepakatan damai, hal ini merujuk pada pasal 35 ayat (3). 21

Tahapan mediasi dibagi menjadi 3, yaitu:

  • a.    Pra Mediasi

Pada tahap awal ini, mediator akan berbicara dengan mitra untuk mencari tahu latar belakang masalah dan juga menyusun strategi mediasi. Hal yang terpenting dalam proses ini adalah membangun kepercayaan dengan mitra sehingga mitra mau terbuka pada masalah yang dihadapi.

  • b.    Mediasi

Pada tahap ini, tantangan terbesar sebagai mediator adalah tetap netral di antara para mitra. Hal yang dapat dilakukan adalah memberikan kesempatan yang sama para mitra untuk mengeluarkan pendapat atau pertanyaan.

  • c.    Pasca Mediasi

Tahap ini adalah pengambilan kesepakatan antar mitra apakah, mediasi berhasil dengan kesepakatan damai atau mediasi gagal dan dilanjutkan dengan sidang pembacaan gugatan.22

Tak hanya mengatur mengenai mediasi dalam pengadilan, perdamaian luar pengadilan pun juga. Dimana hal ini terjadi sebelum gugatan masuk ke pengadilan. Jika perdamaian berhasil tercipta melalui mediasi, maka para pihak dapat mengajukan kesepakatan damai atau beda pendapat guna memperoleh akta perdamaian, untuk itu harus diajukan permohonan ke kepada pengadilan yang berwenang. Permohonan diajukan bersamaan dengan bukti hubungan antara para pihak dengan objek sengketa. Putusan akan dibacakan dalam sidang yang terbuka maksimal 14 (empat belas) hari sejak permohonan diajukan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Hasil penelitian sangat penting untuk menjawab prosedur penyelesaian sengketa melalui mekanisme mediasi sesuai PERMA 1/2016 yang menggantikan PERMA 1/2008.

  • 3.    Kesimpulan

    • 3.1    Penggunaan kata wajib dalam perundang-undangan mencerminkan norma perintah (gebod), dimana berarti harus melakukan sesuatu, bukan semata-mata anjuran salah satunya terdapat dalam pasal 6 ayat (7), iaitu suatu keharusan mencatatkan kesepakatan penyelesaian sengketa perdata ke PN setempat dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak para pihak menandatangani. Namun hal itu menjadi suatu yang kabur karena kewajiban tersebut tidak diimbangin dengan adanya suatu konsekuensi. Maka dapat dipertanyakan keabsahan suatu kesepakatan yang tidak didaftarkan. Membandingkan dari persoalan yang serupa,

yaitu penggunaan kata wajib dalam penyusunan kontrak dalam bahasa indonesia bagi seluruh subjek hukum tak terkecuali pihak asing. Titik terang muncul dalam “surat KEMENKUMHAM No: M. hh. um. 01.01-35” pada tanggal 28 Desember 2009, dimana pada pokoknya akan kembali pada asas kebebasan berkontrak. Karena sifatnya yang menyerupai suatu perjanjian,maka berlaku pula hukum perjanjian dalam KUHPer pada kesepakatan penyelesaian perkara perdata. Maka pen tidak catatan tidak semata-mata membuat kesepakatan itu menjadi tidak sak. Para pihak dapat pula memohon kepada pengadilan setempat untuk membuatkan akta perdamaian atas kesepakatan tersebut, bila tidak dapat dimasukan klausul bahwa gugatan akan dicabut dan/atau sengketa sudah menemukan kata damai. Walaupun demikian, penulis berpendapat alangkah lebih baik jika terdapat pembaharuan dalam UU AAPS mengingat sangat minimnya peraturan mengenai APS dan juga perkembangan situasi selama 21 tahun sejak Undang-Undang diresmikan.

  • 3.2    Mekanisme mediasi di pengadilan diatur dalam PERMA 1/2016 yang menggantikan PERMA 1/2008. Titik poin perbedaan antara dua peraturan tersebut adalah penekanan itikad baik selama proses mediasi sehingga dapat meningkatkan tingkat keberhasilan mediasi. Dalam PERMA 1/2016, diatur bahwa seorang mediator haruslah mempunyai sertifikasi, dapat berasal dari mediator swasta maupun hakim mediator. Hakim mediator tidak boleh sama dengan Hakim Pemeriksa Perkara. Proses mediasi dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: a) Pra Mediasi, b) Mediasi, dan C) Pasca Mediasi. Jika pada akhirnya para mitra tidak menemukan kata sepakat untuk berdamai, maka pernyataan mitra selama mediasi tidak boleh dijadikan sebagai alat bukti dalam proses pengadilan. Perdamaian luar pengadilan pun juga diatur dalam PERMA ini. Sebelum gugatan didaftarkan, perdamaian berhasil tercipta melalui mediasi, maka para pihak dapat mengajukan kesepakatan damai atau beda pendapat kepada pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian. Permohonan diajukan bersamaan dengan bukti hubungan antara para pihak dengan objek sengketa. Putusan akan dibacakan dalam sidang yang terbuka maksimal 14 (empat belas) hari sejak permohonan diajukan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Daftar Pustaka

Buku

Diantha, I. Made Pasek, and MS SH. Metodologi penelitian hukum normatif dalam justifikasi teori hukum. Prenada Media, 2016

Nugroho, Susanti Adi, and MH SH. Manfaat Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa. Prenada Media, 2019.

Yahman, S. H. Karakteristik Wanprestasi & Tindak Pidana Penipuan. Prenada Media, 2017.

Jurnal

Achmad, Bili, and Suradi Bambang Eko Turisno. "Keabsahan Kontrak Berbahasa Asing dan Kepastian terhadap Akibat Hukum Berdasarkan Asas Kebebasan Berkontrak, Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 dan Surat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M. hh. um. 01.01-35 (Studi Putusan Pengadilan Neg." Diponegoro Law Journal 5, no. 2 (2016): 1-13.

Chandra Hadiningrat, AAN Wira, Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, and Nyoman A. Martana. "Tinjauan Alternatif Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi dari Perspektif Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum

Farida, Farida. "Kedudukan Mediasi Bagi Para Pihak dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan untuk Menjamin Kepastian Hukum Ditinjau dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan." PROGRESIF: Jurnal Hukum 10, no. 1 (2016)

Lestari, Rika. "Perbandingan Hukum Penyelesaian Sengketa Secara Mediasi di Pengadilan dan Di Luar Pengadilan di Indonesia." Jurnal Ilmu Hukum 4, no. 2 (2013): 217-237

Paramartha, I. Made Winky Hita, and Cok Istri Anom Pemayun. "Kekuatan Hukum Mediasi Sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan." Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum (2018): 1-13

Putra, D. N. R. A., & Putra, I. P. R. A. (2020). Akibat Hukum Pendaftaran Penyelesaian Sengketa Alternatif. ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, 6(1), 73-86

Sridana, Claudia Verena Maudy, and I. Ketut Suardita. "Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Didaftarkan." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 6, no. 8 (2018)

Sururie, Ramdani Wahyu. "Implementasi mediasi dalam sistem peradilan agama." Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan 12, no. 2 (2012): 145-164.

Talib, Idris. "Bentuk putusan penyelesaian sengketa berdasarkan mediasi." Lex et Societatis 1, no. 1 (2013).

Tjukup, I. Ketut, I. Putu Rasmadi Arsha Putra, and Dewa Gede Pradnya Yustiawan. "Effectiveness Of Mediation As A Typology Of Civil Dispute Settlement (ADR) At District Court Of Bali." KERTHA WICAKSANA: Sarana Komunikasi Dosen dan Mahasiswa 12, no. 2 (2018): 104-111.

Wasi, Rahadi. "Kajian Ontologis Lembaga Mediasi di Pengadilan." Jurnal Penelitian 257 (2016): 121-142

Wiantara, I. Komang. "Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016." Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 7, no. 4 (2018): 456-467

Yesak, Erik. "Daya Kekuatan Mengikat Putusan Pasca Keluarnya Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2003 jo. PERMA No. 1 TAHUN 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan." Lex Administratum 6, no. 3 (2019)

Disertasi

Amanda, Sari Wahyuni. "Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Jalur Non Litigasi di Badan Pertanahan Nasional Kota Jakarta Selatan." PhD diss., Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, 2019

Budiarsih, Ati. "Implementasi Itikad Baik Sebagai Syarat Dalam Proses Mediasi Perkara Perdata Berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2016." PhD diss., UNNES, 2019.

Peraturan


Perundang-undangan

“Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”

“Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3872”

“Undang-Undang Nomor Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 109 , Tambahan Lembaran Negara Nomor 5035”

“Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008”

“Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016”

Internet

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b84cb774f63b/catatan-tentang-kewajiban-penggunaan-bahasa-indonesia-dalam-kontrak-broleh-chandra-kurniawan-?page=2” diakses pada 9 Juni 2020 Pukul 19.12 WIB

Jurnal Kertha Wicara Vol 09 No. 10 Tahun 2020, hlm. 1-11