Perwujudan Prinsip Umum WTO dan Prinsip Resiprositas Dalam Kesepakatan Dagang Tiongkok Fase Pertama
on
PERWUJUDAN PRINSIP UMUM WTO DAN PRINSIP RESIPROSITAS DALAM KESEPAKATAN DAGANG
TIONGKOK FASE PERTAMA
Cresta Violy, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email : [email protected]
Putu Devi Yustisia Utami, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email : deviyustisia@unud. ac. id
ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji mengenai prinsip perdagangan internasional dalam GATT 1944 pada kesepakatan dagang yang dibuat oleh AS-Tiongkok sebagai dua negara yang memiliki ekonomi yang kuat serta untuk mengkaji mengenai pemenuhan prinsip resiprositas dalam kesepakatan dagang antara AS-Tiongkok. Adapun tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang yaitu merujuk pada Economic and Trade Agreement Between the United States of America and The People’s Republic of China (Phase One). Ketiadaan aspek resiprositas dalam kesepakatan ini terdapat pada bagian 6 pasal 6.2 mengenai perluasan perdagangan yang harus dipenuhi oleh Tiongkok. Pasal ini menyebutkan tentang ketentuan pembelian impor yang harus dilakukan Tiongkok terhadap produk AS. Pernyataan ini menunjukkan ketidakseimbangan dengan pembelian produk impor Tiongkok yang diwajibkan untuk dibeli oleh AS. Penulis menemukan bahwa pemenuhan terhadap prinsip timbal balik sesuai dengan prinsip GATT 1944 tidak berjalan sepenuhnya, sehingga dalam penerapan nya tidak menghasilkan keuntungan yang maksimal bagi kedua belah pihak sebagaimana dengan tujuan dari penerapan prinsip timbal balik dalam perdagangan internasional.
Kata Kunci : Kesepakatan Dagang, Prinsip Resiprositas, Perdagangan Internasional
ABSTRACK
This article aims to analyze about international trade principles that enacted in GATT 1944 with correlation in trade agreement made by the United States of America and The People’s Republic of China (US-China) as countries with strong economical state. This article contains analysis about the fulfillment of the reciprocity principle between US-China trade agreement. This article uses normative legal method with statute approach that refer to Economic and Trade Agreement Between (Phase One). The absence of the reciprocity principle in this agreement is contained in section 6 Article 6.2 concerning in Expanding Trade. This article mentions a clause about the obligation for China to comply in import purchases toward US’s product. This statement shows an imbalance with the purchase of China’s product conducted by US. The authors found that the fulfillment of the reciprocity principle in accordance with GATT 1944 did not fully accomplished. Thus, the application of this agreement does not obtain a maximum profits between two parties as the purpose of applying reciprocity principle in international trade.
Key Words : Trade Agreement, Reciprocity Principle, International Trade
-
I. Pendahuluan
-
1.1 Latar Belakang
-
GATT merupakan organisasi yang memiliki tujuan untuk memberikan perlindungan bagi negara-negara yang berpartisipasi dalam perdagangan internasional1Dalam pengaturannya bersifat mengikat terbatas pada sesama negara yang ada di dalam World Trade Organization (WTO) Agreement.2Hubungan antar negara di dalam lingkup lingkungan internasional direalisasikan dengan cara pembuatan perjanjian internasional.3 Dibentuknya perjanjian internasional antar negara akan membantu para pihak untuk membuat aturan yang lebih teratur dan dapat mencapai tujuan bersama. Membentuk perjanjian internasional memiliki tujuan untuk mengatur pelaksanaan kegiatan perdagangan internasional antar beberapa negara agar tercipta keteraturan dan ketertiban dalam pelaksanaannya sesuai dengan prinsip hukum perdagangan internasional itu sendiri. Bentuk perjanjian dalam perdagangan internasional dapat dilakukan oleh dua negara atau lebih, misalnya yang dilakukan oleh negara Amerika Serikat (AS)-Tiongkok.
Pada awal 2016 AS mengalami defisit neraca perdagangan terhadap Tiongkok sebesar US$ 347 miliar dan meningkat 8.2 % pada tahun 20174, dengan membaik nya neraca perdagangan AS ternyata tidak membuat Presiden AS senang, ia menuduh Tiongkok melakukan praktik dagang tidak adil walaupun Tiongkok tidak menganggap ada yang salah dengan dengan aktivitas perdagangan yang mereka lakukan. Tiongkok tidak merespon pernyataan tersebut. Pada Februari 2018 AS memberlakukan pengenaan tarif sebesar 20% untuk mesin cuci impor, 25% untuk baja dan 10% untuk alumunium. Dengan kenaikan pengenaan tarif impor yang dilakukan AS, tentu saja Tiongkok tidak tinggal diam, Tiongkok juga memberlakukan tarif 15-25% terhadap 128 produk AS5. Pembalasan tarif ini terus dilakukan dengan tujuan untuk menstabilkan stabilitas perdagangan dan neraca perdagangan AS-Tiongkok.
Pembalasan tarif ekspor-impor kedua belah pihak yang terus menerus berlangsung menimbulkan dampak bagi perekonomian dunia. Dampak langsung tidak hanya dirasakan oleh AS dan Tiongkok saja, tetapi juga oleh negara-negara
lain yang memiliki hubungan dagang dengan kedua negara. Perang dagang ini membuat pergerakan indeks pasar moodal di pasar global menjadi tidak stabil.6 Perlahan namun pasti perang dagang yang berlangsung mulai dari tahun 2016 namaknya mulai berakhir pada awal tahun 2020 yang ditandai dengan penandatanganan kesepakatan perdagangan tahap pertama.
Penandatanganan Economic and Trade Agreement Between the United States of America and The People’s Republic of China (Phase One), selanjutnya disebut dengan Kesepakatan Dagang AS-Tiongkok Fase Pertama, dilangsungkan pada tanggal 15 Januari 2020 dengan dihadiri oleh Presiden AS Donald Trump dan Wakil Perdana Menteri Tiongkok, Liu He. Perjanjian ini diterbitkan oleh USTR (United State Trade Representative)yang memuat 7 Chapter atau 7 Bagian. Di dalam Kesepakatan Dagang AS-Tiongkok memuat mengenai kesepakatan-kesepakatan dalam berbagai bidang yang bertujuan untuk memajukan perekonomian kedua belah pihak. Bidang-bidang tersebut menyangkut bidang kekayaan intelektual, bidang agrikultur, bidang teknologi, bidang farmasi dan bidang makanan. Di dalam kesepakatan ini berfokus pada penyelesaian permasalahan kedua negara yang sempat memicu perang dagang sebelumnya. Kesepakatan ini juga memuat aspek-aspek negosiasi terhadap barang palsu serta mengenai obat-obatan. Suatu perjanjian bilateral di bidang perdagangan internasional haruslah memenuhi prinsip- prinsip WTO. Prinsip ini tertera pada GATT 1994 yang memiliki prinsip utama yaitu Perlakuan khusus bagi Negara Berkembang, Prinsip Resiprositas,Prinsip Perlindungan melalui tariff, Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif, Prinsip Most Favoured-Nation, Prinsip National Treatment serta memuat prinsip-prinsip umum seperti Tariff Binding, Persaingan yang Adil, Waiver dan Pembatasan Darurat terhadap Impor, Perkecualian untuk Perdagangan Regional. Selain itu, prinsip-prinsip hukum umum dalam perjanjian internasional tetap menjadi rujukan dalam setiap penyusunan perjanjian termasuk kesepakatan dagang AS-Tiongkok.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merasa perlu untuk mengkaji mengenai kesepakatan dagang AS-Tiongkok fase pertama dalam tulisan ini, karena beberapa ketentuan yang tercantum di dalam kesepakatan ini menimbulkan berbagai polemik jika diterapkan tanpa dilakukannya persiapan maksimal dari kedua belah pihak. Dalam ketentuan salah satu pasal dalam kesepakatan dagang ini menetapkan jumlah barang impor AS yang harus dibeli Tiongkok dalam jumlah nominal yang ditentukan dengan periode waktu selama 2 tahun. Hal ini tentu saja akan memberatkan pedagang kecil yang merupakan roda penggerak perekonomian, karena akan sangat sulit bagi para pedagang kecil untuk beradaptasi dengan perubahan yang begitu cepat. Melihat dari kondisi tersebut, penulis merasa perlu mengkaji mengenai ketepatan langkah yang diambil kedua negara mengenai hal ini. Tulisan ini mencoba untuk memfokuskan mengenai kesepakatan dagang antara AS-Tiongkok ditinjau dari prinsip- prinsip perdagangan internasional. Setelah melakukan tinjauan terhadap beberapa jurnal, publikasi mengenai artikel terdahulu dengan judul serupa belum ditemukan. Kendatipun demikian, terdapat sejumlah referensi yang substansinya berkaitan dengan topik-topik yang dibahas dalam penelitian ini, di antaranya karya tulis artikel ilmiah milik Revy S. M. Korah
pada tahun 2016 yang berjudul “Prinsip-Prinsip Eksistensi General Agreement On Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO) dalam Era Pasar Bebas”7 sebagai acuan dalam artikel ini. Adanya kemiripan pembahasan penelitian ini dengan artikel milik penulis terletak pada penggunaan prinsip perdagangan internasional dalam GATT/WTO, Namun, objek pembahasan nya berbeda. Penelitian Revy S. M. Korah berfokus pada pasar bebas, sedangkan artikel ini memfokuskan pada kesepakatan dagang 2 negara. Selain itu, terdapat pula tulisan Inda Rahadiyan pada tahun 2019 dengan judul “Pemaknaan dan Penerapan Prinsip Resiprositas Berdasarkan ASEAN Banking Integration Framework”.8 Keterkaitan tulisan ini dengan artikel penulis adalah penggunaan prinsip resiprositas dalam mengkaji sebuah kebijakan. Keseluruhan tulisan maupun penelitian terdahulu yang disebutkan diatas memiliki rumusan masalah, tujuan penelitian dan hasil penelitian yang berbeda dari penerapan prinsip perdagangan internasional dengan artikel ini.
-
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
-
1. Bagaimana kesepakatan dagang AS-Tiongkok fase pertama ditinjau dari prinsip umum perdagangan internasional ?
-
2. Bagaimana perwujudan prinsip resiprositas dalam prinsip GATT 1944 dalam kesepakatan dagang AS-Tiongkok fase pertama?
-
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan artikel ini adalah sebagai berikut :
-
1. Untuk mengkaji prinsip-prinsip umum hukum perdagangan internasional terhadap perjanjian perdagangan AS-Tiongkok fase pertama.
-
2. Untuk mengetahui perwujudan prinsip resiprositas dalam kesepakatan perdagangan AS-Tiongkok fase pertama serta mengkaji keberlanjutan kesepakatan dagang AS – China fase pertama.
Artikel ini ditulis dengan menggunakan metode penelitian normatif yakni bentuk penelitian yang menggunakan bahan-bahan literatur tertulis. Bentuk penelitian ini berangkat dari kekhasan ilmu hukum itu sendiri, yaitu bersifat normatif, bersifat praktis dan bersifat preskriptif. Artikel ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, yang dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai perjanjian internasional, terhadap Economic and Trade Agreement Between the United States of America and The People’s Republic of China
(Phase One). Teknik penelusuran bahan hukum dalam artikel ini menggunakan teknik studi dokumen dan menggunakan analisis kualitatif.
-
III. Hasil dan Pembahasan
Dalam suatu perjanjian internasional terlebih perjanjian bilateral mengenai keberlangsungan perdagangan wajib memuat prinsip-prinsip yang harus dipenuhi negara-negara jika ingin berada dalam lingkup perdagangan internasional. Penandatangan Kesepakatan dDagang AS-Tiongkok fase pertama telah menyebabkan berkurang nya tensi antara kedua negara ini yang diharapkan membawa dampak yang baik juga bagi perekonomian global. Kesepakatan yang disusun ini terbagi menjadi bagian,pasal dan annex atau tambahan yang telah merundingkan beberapa aspek ekonomi lain nya. WTO juga menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar nondiskriminatif, yakni semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan
Adapun prinsip-prinsip utama perdagangan internasional, sebagaimana termuat dalam GATT 1994 yaitu pertama, Prinsip Most Favoured-Nation (MFN) yaitu prinsip yang menegaskan bahwa tidak boleh ada diskriminasi antar negara dalam menjalankan kegiatan perdagangan internasional. Selain tidak diperbolehkan tindakan diskriminasi, prinsip MFN juga tidak mengijinkan suatu negara mendapat perlakuan khusus sebelum adanya perjanjian antar negara yang mengatur nya atau disebut dengan MFN dengan syarat.9 Implementasi nya di kesepakatan dagang AS-Tiongkok terdapat pada Chapter 3 mengenai perdagangan makanan dan produk agrikultur. Dalam Annex 2 mengenai Dairy and Infant Formula, AS dan Tiongkok akan saling menyesuaikan standar perlindungan produk susu formula mereka dalam rangka menyamakan standar perlindungan terhadap keamanan produk susu formula. Selanjutnya kedua, Prinsip National Treatment dimana keberlakuan prinsip ini adalah berkaitan dengan negara nya sendiri, perlakuan suatu produk dalam negeri dan luar negeri tidak boleh ada pembedaan. Dalam penerapan prinsip National Treatment akan berhubungan dengan b dengan Chapter 3 mengenai perdagangan makanan dan produk agrikultur. Dalam Annex 2 mengenai Dairy and Infant Formula bahwa tujuan dari penyamaan standar keamanan produk tersebut untuk memenuhi kebutuhan rakyat Tiongkok terhadap produk susu. Dapat diartikan lebih lanjut bahwa produk yang akan masuk ke negara Tiongkok dengan produk domestik mereka sendiri memiliki standar yang sama. Hal ini bertujuan agar pasar domestik dan internasional memiliki kedudukan yang sama agar kestabilan pasar yang bebas dapat tercapai.10 Prinsip lain dalam GATT 1994 yang ketiga adalah
Prinsip Perlindungan melalui tarif prinsip ini berkaitan juga dengan Article 6.1 dalam kesepakatan dagang AS-Tiongkok. Prinsip ini secara garis besar memperbolehkan suatu negara untuk mengenakan bea masuk kepada barang impor. Implementasi nya adalah saat barang impor dari AS yang masuk ke dalam pasar Tiongkok,akan dikenakan bea masuk impor. Hal ini dilakukan untuk melindungi produk domestik suatu negara agar harga di pasaran dapat bersaing.
Dalam kesepakatan dagang AS-Tiongkok fase pertama Chapter 6 tentang Expanding Trade dalam Article 6.2 mengenai Trade Oppurtunites mencakup beberapa prinsip-prinsip utama WTO, prinsip umum dan mengenai prinsip yang ada dalam perjanjian internasional. Pertama, dikaji melalui prinsip utama dalam WTO yaitu dengan Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif yang tidak mengijinkan suatu negara untuk melakukan penentuan jumlah kuota barang impor, prinsip ini tidak diimplementasikan dalam pasal ini dimana terdapat penetapan bahwa dalam periode 1 Januari 2020 sampai 31 Desember 2021 Tiongkok harus mengimpor produk AS seperti produk agrikultur atau pertanian, produk energi dan jasa sebagaimana yang tertera pada Annex 6.1 dengan jumlah besaran tidak kurang dari 200$ miliar. Walapun terlihat bahwa kesepakatan dagang ini melanggar prinsip utama dalam GATT 1994. Secara normatif, ketentuan ini tentu menyalahi prinsip larangan restriksi pembatasan kuantitatif, wlapaupun dalam implementasinya, Prinsip Waiver dan Pembatasan Darurat terhadap Impor AS memberikan pengecualian untuk dapat melakukan hal ini sepanjang terbukti adanya ketidakstabilan neraca pembayaran. Prinsip pengecualian ini hanya berlaku bagi produk agrikultur AS saja. Hal ini sudah diterapkan di AS sebelum ada nya GATT 199411. Prefential Treatment merupakan prinsip selanjutnya, prinsip ini memberikan keuntungan yang lebih bagi para pedagang yang terikat dalam perjanjian tersebut. Keuntungan yang dicapai dalam kesepakatan dagang ini lebih condong kepada pelaku usaha AS karena dipengaruhi oleh kebijakan yang telah ditetapkan dalam pasal ini.
Prinsip-prinsip umum WTO lain nya adalah Tariff Binding, pengertian tariff binding ini adalah negara tidak diijinkan untuk menaikkan bea masuk barang impor sesuai dengan komitmen tarif yang terdapat dalam GATT Article XXVII. Prinsip ini juga penting dalam kesepakatan dagang AS-Tiongkok agar peristiwa perang dagang seperti tempo lalu tidak terulang kembali. Perang dagang AS-Tiongkok sebelumnya telah tidak menaati prinsip tariff binding ini. Prinsip Persaingan yang Adil, Perkecualian untuk Perdagangan Regional12 juga ikut masuk sebagai prinsip yang bertujuan untuk menjaga stabilitas perekonomian global. Untuk mencapai prinsip persaingan yang adil dan menghindari kegiatan dumping, AS sebagai negara pengeskpor harus mengenakan Anti Dumping Duties dan Countervailing duties kepada pengekspor di industri AS. 13
Selain prinsip umum yang telah ditentukan WTO, ada juga prinsip yang dimanfaatkan dalam pembuatan perjanjian internasional menurut George Schwarzenberger14 yang juga berkaitan dengan prinsip umum tersebut yaitu Prinsip standard of equitable treatment, prinsip ini berguna sebagai tindakan perlindungan bagi negara yang terganggu arus perekonomiannya. Dalam implementasi nya, prinsip standard of equitable treatment berkaitan dengan prinsip Waiver dan Pembatasan Darurat terhadap Impor. Berbeda halnya dengan AS yang di dalam pengecualian nya boleh melakukan pembatasan darurat terhadap impor produk agrikultur, prinsip standard of equitable treatment berlaku untuk semua produk selain produk agrikultur. Selanjutnya, Prinsip minimum standard, prinsip ini merupakan prinsip yang mengharuskan setiap negara memberikan perlindungan kepada rakyatnya yang ada di luar negeri dan memberikan perlindungan kepada warga negara asing di negara nya dan harus memenuhi hukum perlindungan yang telah ditetapkan hukum internasional.15 Di dalam keberlakuan nya, suatu negara dapat diadili jika tidak memasukkan unsur perlindungan terhadap keselamatan diri dan harta asing di dalam suatu perjanjian. Implementasi dari prinsip perlindungan terhadap warga negara kedua belah pihak tertera pada Chapter 3 mengenai Trade in Food and Agricultural Product Article 3.1 huruf (b) menyatakan :
“considering that science- and risk- based sanitary and phytosanitary (SPS) measures play a crucial role in the protection of human, animal, and plant life and health, while the use of SPS measures for purposes of protectionism negatively impacts the welfare of consumers and producers, and recognizing the importance of ensuring that SPS measures are science-based, non-discriminatory, and account for regional differences in sanitary and phytosanitary characteristics, agree that neither Party shall apply sanitary or phytosanitary measures in a manner which would constitute a disguised restriction on international trade;”
Ketentuan di atas menyadari penentuan resiko sanitasi dan fitosanitasi berbasis ilmu pengetahuan (SPS) memainkan peran yang sangat penting dalam perlindungan manusia, binatang dan kehidupan tumbuhan dan dalam aspek kesehatan. Pihak-pihak dalam kesepakatan ini diwajibkan untuk menerapkan penentuan sanitasi dan fitosanitasi dengan pembatasan yang telah ditetapkan secara restriktif dalam perdagangan internasional. Prinsip Standard of Identical Treatment adalah prinsip yang memberikan hak yang sama kepada semua penjual. Perwujudan nya dapat dilihat dalam Chapter 4 mengenai Financial Services pada Article 4.7. Pasal ini menentukan bahwa bahwa setiap pihak dalam kesepakatan ini harus menyediakan lingkup layanan perbankan yang sama sebagai lembaga keuangan yang berlisensi.
Pemenuhan terhadap prinsip-prinsip yang tertuang dalam GATT 1944 bukan hanya semata-mata untuk memenuhi syarat-syarat yang dicantumkan oleh GATT 1944 sebagai kesepakatan yang dibuat melalui proses yang panjang. Urgensi pemenuhan prinsip-prinsip diatas nanti nya akan menghasilkan
kemanfaatan dengan jangka waktu yang panjang dan meminimalisir kontroversi yang menyebabkan kestabilan ekonomi global terganggu. Utama nya, sebelum menghasilkan dampak yang besar untuk perekonomian global, kesepakatan dagang ini ideal nya menyejahterakan warga negara nya terlebih dahulu. Lebih jauh lagi mengenai dampak kesejahteraan rakyat adalah dengan bertambah nya lapangan kerja dan perusahaan-perusahaan yang akan menjadi sumber pendanaan bagi pasar modal.16Pasar modal merupakan sarana untuk perputaran uang dalam suatu negara yang mencerminkan kondisi perekonomian negara tersebut apakah baik atau tidak. Agar dapat mewujudkan peningkatan pendapatan negara.
Setelah kesejahteraan masyarakat kedua belah negara dapat dimaksimalkan, kemanfaatan ini juga akan berpengaruh kepada arus perdagangan kedua negara maupun global. Karena perdagangan kedua negara ini juga ikut termasuk dalam perdagangan bebas. Urgensi yang menjadi fokus utama WTO sangat berkaitan dengan pasal-pasal yang tertuang dalam kesepakatan dagang AS-Tiongkok.
Prinsip-prinsip yang telah terkandung dalam kesepakatan dagang ini, dilihat juga bagaimana 2 negara ini harus membawa keuntungan yang bersifat timbal balik sesuai dengan prinsip utama dalam WTO yaitu prinsip resiprositas. Walaupun di dalam kesepakatan terdapat pengecualian-pengecualian yang telah diterapkan, prinsip resiprositas juga perlu dikaji, Sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam kesepakatan ini bahwa kedua pihak mengetahui bahwa sangat penting dilakukan hubungan bilateral mengenai ekonomi dan hubungan dagang. Kedua pihak juga menyadari bahwa perkembangan ekonomi kedua negara harus menaati norma internasional dengan cara menciptakan hubungan yang harmonis dan mentaati norma-norma internasional sebagai acuan dalam meningkatkan penghasilan berbasis pasar. Pembahasan mengenai prinsip timbal balik selanjutnya akan dibahas pada pembahasan selanjutnya.
Sebagaimana telah penulis sampaikan pada pokok bahasan sebelumnya, bahwa prinsip dalam perdagangan internasional dapat diklasifikasikan menjadi prinsip umum dan prinsip utama dan didukung dengan beberapa prinsip yang ada dalam pembuatan perjanjian internasional. Pada pokok bahasan ini akan dikaji lebih lanjut mengenai perwujudan prinsip resiprositas pada kesepakatan dagang AS-Tiongkok Fase Pertama Prinsip resiprositas adalah prinsip yang telah menjadi kebiasaan internasional dan bertujuan agar iklim perdagangan internasional menjadi stabil dan adanya hubungan mutualisme antar negara-negara. Prinsip resiprositas juga diartikan sebagai hakikat sebuah negara saling melepas sebagian haknya, karena keberadaan hukum internasional tidak dapat di junjung ketika tiap-tiap negara dalam
hubungan internasional tetap mempertahankan haknya secara penuh. 17 Walaupun di dalam hukum internasional jika suatu negara melanggar hukum tidak akan dapat dikenakan sanksi yang mengikat atau memaksa, keadaan iklim internasional yang mengandalkan koordinasi dan dalam penerapan nya memerlukan asas resiprositas agar Hukum internasional dapat dijunjung18 Sifat timbal balik ini juga dapat berupa keadilan dalam perdagangan internasional. Pencapaian dari prinsip timbal balik akan menciptakan sebuah keseimbangan dalam perdagangan internasional. Pencapaian keseimbangan dalam perdagangan internasional tentunya harus berangkat dari teori keadilan itu sendiri. Teori keadilan ini diprakarsai oleh John Rawls. Menurut John Rawls aspek kesamarataan atau fairness harus ada dalam perdagangan internasional agar semua pihak dapat saling menguntungkan. 19
Kesepakatan Dagang AS-Tiongkok menyepakati untuk meningkatkan kerjasama antar kedua belah pihak mengenai aspek kekayaan intelektual sebagaimana yang tercantum dalam Chapter 1. Permasalahan dalam aspek kekayaan intelektual merupakan hal yang krusial bagi kedua pihak. Tercantum dalam Article 1.12 section E mengenai pembajakan dan pemalsuan dalam bidang e-commerce, Tiongkok telah menyetujui bahwa akan ada prosedur yang lebih efektif dan jelas mengenai permasalahan ini. Selain pemalsuan dalam e-commerce, disetujui pula pemalsuan lain seperti obat-obatan, keamanan dalam sector kesehatan, paten dan indikasi geografis. Kesepakatan ini tentu akan membuat Tiongkok lebih berhati-hati terhadap pemalsuan-pemalsuan beberapa produk untuk menciptakan keuntungan yang setara bagi industri AS. Perwujudan prinsip resiprositas juga terlihat dalam section J yang mengatur mengenai kerjasama bilateral dalam perlindungan kekayaan intelektual. Dengan ada nya kerjasama ini akan membawa keamanan dan perlindungan bagi kedua belah pihak yang juga merupakan tujuan dari prinsip timbal balik.
Beranjak ke Chapter 3 mengenai perdagangan makanan dan produk agrikultur, Tiongkok dan AS menyetujui akan diadakan kerjasama dalam bidang pertanian ini. Dalam implementasinya sesuai dengan kesepakatan yang tercantum dalam Annex 1 mengenai Agricultural Cooperation bahwa General Administration of Customs Of the People’s Republic of China (GACC) yang merupakan badan yang memeriksa berbagai kebijakan di Tiongkok. Untuk bekerjasama dalam peningkatan kualitas produk Tiongkok khusus nya produk susu dan formula untuk bayi. GACC bekerjasama dengan US Food and Drug Administration (USFDA) . Tiongkok sepakat untuk memproduksi produk susu mereka dengan fasilitas yang telah di daftarkan oleh USFDA dan disertai dengan sertifikat oleh AMS (Agricultural Marketing Service). Ketentuan selanjutnya menyatakan bahwa dalam waktu 10 hari sejak kesepakatan ini di undangkan, kedua belah pihak menyetujui bahwa sistem keamanan produk
olahan susu AS menyediakan level perlindungan yang sama dengan sistem keamanan produk olahan susu milik Tiongkok. Adanya kesepakatan ini memperlihatkan usaha kedua belah negara untuk saling menguntungkan pihak satu sama lain tanpa diskriminasi yang berhubungan erat dengan Prinsip Most Favoured Nation pada pembahasan sebelumnya.
Pembuatan suatu kesepakatan dagang yang baik adalah jika kesepakatan dagang tersebut dapat mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak. Dalam penandatangan kesepakatan dagang ini, dapat dilihat bahwa pemenuhan terhadap prinsip-prinsip perdagangan internasional cukup baik. Chapter 3 mengatur mengenai perdagangan makanan dan produk agricultural, pada Annex 1 nomor 1 menyatakan bahwa :
“The Parties intend to strengthen and promote cooperative activities, to be mutually agreed upon by the Parties, in agricultural science and agricultural technology. Such activities may include mutually agreed information exchanges and cooperation. The Parties intend their cooperative activities to be based on, among other things, the principles of integrity, reciprocity, openness, transparency, science, and rule of law”
Diterjemahkan secara bebas oleh penulis bahwa tujuan dari kesepakatan ini adalah untuk menguatkan dan meningkatkan aktivitas kerjasama antara kedua belah pihak. Setiap pihak sudah menjalankan kesepakatan ini sesuai dengan prinsip integritas, resiprositas, keterbukaan, transparansi, ilmu pengetahuan dan peraturan perundang-undangan. Di dalam Chapter 3 Annex 1 kedua belah pihak ingin meningkatkan kerjasama mereka dalam aspek agrikultur dan ingin mengadakan komunikasi lebih lanjut dalam bidang ini. Kedua belah pihak menyetujui untuk mengimplementasi dan meningkatkan kerjasama mengenai Scientific Cooperation Program untuk menyelesaikan permasalahan agrikultur yang terjadi antara AS-Tiongkok. Di sini terlihat usaha kedua belah pihak negara untuk menjunjung tinggi aspek timbal balik.
Setelah dilakukan analisis lebih lanjut, ketiadaan aspek timbal balik mulai nampak dalam Chapter 6 Article 6.2 mengenai Trade Opportunities. Kesepakatan Dagang AS-Tiongkok ternyata kurang mencerminkan bahwa kedua belah pihak dapat menciptakan iklim perdagangan internasional yang sehat karena ketentuan yang diatur pada nomor 1 dalam Chapter 6 Article 6.2 mengenai Trade Opportunities mengatur mengenai besaran barang yang wajib di impor oleh Tiongkok dengan kurun waktu 2 tahun, terhitung dari 1 Januari 2020 sampai dengan 31 Desember 2021. Ketidakhadiran prinsip resiprositas juga dapat menyebabkan suatu negara melakukan kegiatan monopoli yang sangat tidak dianjurkan dalam perdagangan internasional, kegiatan jual beli antara konsumen dan produsen juga akan terganggu. 20 Tidak ada suatu larangan bahwa dalam suatu kesepakatan terdapat klausula mengenai kewajiban kuantitas sebuah produk, tetapi dikhawatirkan dalam penentuan target ini hanya mewajibkan satu negara saja yang harus memenuhi nya dapat menciptakan keadaan yang kurang baik sehingga kesepakatan tersebut tidak mencerminkan adanya asas resiprositas yang dijunjung dalam perdagangan internasional.
Dapat dilihat lebih lanjut bahwa pada kesepakatan perdagangan AS-Tiongkok Fase Pertama ini, perwujudan prinsip resiprositas tidak terlihat pada Chapter 6 Article 6.2 huruf a- d yang ada dalam kesepakatan ini mengenai pembelian produk impor AS yang harus dibeli Tiongkok. Produk-produk tersebut adalah produk industri, produk agrikultur, produk energi dan jasa. Di pasal tersebut telah ditentukan masing-masing produk harus dibeli dengan kurun waktu kurang lebih 2 tahun. Terdapat pula besaran wajib yang harus dipenuhi. Dalam kategori produk yang harus dibeli pun sudah tercantum secara detail dalam Annex 6.1.
Menciptakan keadaan yang saling menguntungkan dicapai dengan melalui keadilan distributif.21 Keadilan distributif memiliki pandangan bahwa ada nya keadilan bagi negara miskin dan negara maju. Pada tulisan ini mengacu pada pelaku usaha di Tiongkok yang terdampak dari ketiadaan prinsip timbal balik ini. Jika Tiongkok telah menandatangani perjanjian tersebut maka artinya Tiongkok telah menyanggupi pembelian produk impor tersebut. Hal ini tentu akan berpengaruh kepada pelaku usaha kecil yang merupakan roda penggerak dalam perekonomian yang akan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan perubahan ini.
Prinsip resiprositas tidak dapat terwujud dalam perjanjian ini oleh karena tidak adanya pengaturan secara tertulis mengenai besaran produk yang harus di beli AS kepada Tiongkok, agar proses perdagangan dapat berjalan dengan aspek mutualisme yang tinggi. Wajar saja ketika AS mewajibkan Tiongkok dalam hal pembelian produk impor, dikarenakan sedikitnya produk impor yang di beli Tiongkok pada periode sebelumnya yang menyebabkan ketidakstabilan neraca perdagangan AS. Namun ketika membahasmengenai perwujudan prinsip resiprositas atau timbal balik, maka dapat kita lihat bahwa AS tidak mencantumkan kewajiban pembelian produk Tiongkok dalam perjanjian perdagangan AS-Tiongkok fase pertama ini sebagai timbal balik atas kewajiban Tiongkok untuk membeli produk AS. Hal ini menyebabkan perjanjian perdagangan AS-Tiongkok belum sepenuhnya dapat memenuhi prinsip resiprositas sebagai salah satu prinsip utama dalam WTO. Dampak perdagangan internasional akan membawa arus informasi dan ekonomi yang bersifat bebas. Sehingga suatu negara akan melakukan berbagai tindakan untuk melindungi pasar dalam negerinya di perdagangan internasional. Alasannya, tentu untuk menjaga kepentingan nasional. Salah satu tindakan perlindungan pasar dalam negeri yang dapat dilakukan oleh suatu negara ini misalnya adalah tindakan proteksionisme. 22 Tindakan proteksionisme yang digunakan negara untuk melindungi pasar nya juga harus memanfaatkan sifat timbal balik. Hal ini sebaiknya dilakukan oleh Tiongkok agar kerugian yang ditimbulkan tidak membawa dampak yang
sangat signifikan. Tindakan proteksionisme dapat berupa pengenaan bea masuk produk impor dengan prinsip sesuai dengan GATT 1994 yaitu prinsip perlindungan melalui tarif agar lebih terjamin nya perdagangan internasional dan prediksi terhadap keadaan selanjutnya lebih terjaminKesimpulan Kesepakatan dagang AS-Tiongkok fase pertama telah memenuhi sebagian besar prinsip utama dalam WTO dan prinsip umum WTO beserta pengecualian-pengecualiannya.
Chapter 3 dalam Annex 2 mengenai Dairy and Infant Formula mencerminkan prinsip Most Favoured-Nation dan Prinsip National Treatment. Article 6.1 memenuhi prinsip perlindungan tariff dan Chapter 6 tentang Expanding Trade dalam Article 6.2 mengenai Trade Oppurtunites sebagai perwujudan prinsip Waiver, Pembatasan Darurat terhadap Impor dan Prinsip standard of equitable of treatment.
Pemenuhan prinsip minimum standard dapat ditemukan pada Chapter 3 mengenai Trade in Food and Agricultural Product Article 3.1 huruf (b). Dilanjutkan dengan pemenuhan prinsip Standard of Identical Treatment pada Article 4.7 Chapter 4 mengenai Financial Services. Disambung dengan pemenuhan terhadap prinsip Tariff Binding, Prinsip Persaingan yang Adil, dan prinsip Perkecualian untuk Perdagangan Regional. Kesepakatan dagang AS-Tiongkok fase pertama belum memenuhi Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif. Pemenuhan kesekapakatan dagang AS-Tiongkok terhadap prinsip WTO bukan hanya untuk memenuhi syarat-syarat yang terkandung dalam GATT 1994, tetapi untuk menstabilkan kondisi perekonomian kedua negara beserta kesejahteraan rakyat nya.
Pemenuhan prinsip resiprositas juga belum sepenuhnya diwujudkan dalam kesepakatan dagang AS-Tiongkok fase pertama. Asas resiprositas memang sudah terwujud dalam Article 1.12 section E, section J, Chapter 3 Annex 1 nomor 1, tetapi dalam Chapter 6 Article 6.2 mengenai Trade Opportunities menunjukkan ketiadaan aspek timbal balik dikarenakan kewajiban antara AS dan Tiongkok tidak seimbang karena ketentuan pasal tersebut mengatur mengenai besaran barang yang wajib diimpor oleh Tiongkok dan tidak ada pengaturan mengenai besaran barang yang wajib di beli oleh AS terhadap produk Tiongkok. Ketidakhadiran prinsip resiprositas dalam ketentuan tersebut akan berpengaruh pada kondisi perekonomian pelaku usaha kecil. Hendaknya dalam kesepakatan dagang AS-Tiongkok pada fase selanjutnya dapat memperbaiki beberapa ketentuan nya agar dapat memenuhi prinsip-prinsip WTO seutuhnya.
Kesepakatan dagang AS-Tiongkok fase pertama telah memenuhi sebagian besar prinsip utama dalam WTO dan prinsip umum WTO beserta pengecualian-pengecualiannya. Chapter 3 dalam Annex 2 mengenai Dairy and Infant Formula mencerminkan prinsip Most Favoured-Nation dan Prinsip National Treatment. Article 6.1 memenuhi prinsip perlindungan tariff dan Chapter 6 tentang Expanding Trade dalam Article 6.2 mengenai Trade Oppurtunites sebagai perwujudan prinsip Waiver, Pembatasan Darurat terhadap Impor dan Prinsip standard of equitable of treatment. Pemenuhan
prinsip minimum standard dapat ditemukan pada Chapter 3 mengenai Trade in Food and Agricultural Product Article 3.1 huruf (b). Dilanjutkan dengan pemenuhan prinsip Standard of Identical Treatment pada Article 4.7 Chapter 4 mengenai Financial Services. Disambung dengan pemenuhan terhadap prinsip Tariff Binding, Prinsip Persaingan yang Adil, dan prinsip Perkecualian untuk Perdagangan Regional. Kesepakatan dagang AS-Tiongkok fase pertama belum memenuhi Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif. Pemenuhan kesekapakatan dagang AS-Tiongkok terhadap prinsip WTO bukan hanya untuk memenuhi syarat-syarat yang terkandung dalam GATT 1994, tetapi untuk menstabilkan kondisi perekonomian kedua negara beserta kesejahteraan rakyat nya.
Pemenuhan prinsip resiprositas juga belum sepenuhnya diwujudkan dalam kesepakatan dagang AS-Tiongkok fase pertama. Asas resiprositas memang sudah terwujud dalam Article 1.12 section E, section J, Chapter 3 Annex 1 nomor 1, tetapi dalam Chapter 6 Article 6.2 mengenai Trade Opportunities menunjukkan ketiadaan aspek timbal balik dikarenakan kewajiban antara AS dan Tiongkok tidak seimbang karena ketentuan pasal tersebut mengatur mengenai besaran barang yang wajib diimpor oleh Tiongkok dan tidak ada pengaturan mengenai besaran barang yang wajib di beli oleh AS terhadap produk Tiongkok. Ketidakhadiran prinsip resiprositas dalam ketentuan tersebut akan berpengaruh pada kondisi perekonomian pelaku usaha kecil. Hendaknya dalam kesepakatan dagang AS-Tiongkok pada fase selanjutnya dapat memperbaiki beberapa ketentuan nya agar dapat memenuhi prinsip-prinsip WTO seutuhnya.
Penulis berharap hal ini dapat diperbaiki sebelum kedua negara sepakat melanjutkan kesepakatan dagang ini ke tahap kedua. Agar iklim perdagangan yang baru saja terkena dampak dari kesepakatan ini dapat segera distabilkan
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Kartadjoemena, H.S. GATT dan WTO : Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan (Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 2002)
Putra, Ida Bagus Wyasa dan Dharmawan, Ni Ketut Supasti. Hukum Perdagangan Internasional (Bandung, Refika Aditama, 2017)
Jurnal Ilmiah
Anggraeni, Nita. "Perang Dagang Dalam Hukum Perdagangan Internasional. " Al-
Ahkam 15, no. 1 (2019).
Dharmawan, Ni Ketut Supasti. "Keberadaan dan Implikasi Prinsip MFN dan NT Dalam Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia. " Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 3, no. 2 (2014).
Djaja, Hendra. "Penegakan Prinsip Special And Differential Treatment Dalam Persepektif Hukum Perdagangan Internasional. " Jurnal Cakrawala Hukum 19, no. 1 (2014).
Gunawan, Didik, dan Yenni Arfah. "Dampak Perang Dagang Amerika-Tiongkok Terhadap Integrasi Pasar Modal Global." Dalam Prosiding Seminar Nasional Kewirausahaan, no. 1 , vol. 1 (2019).
Hastuti, Dwi. "Menciptakan Rezim Perdagangan Bebas Yang Adil: Sebuah Pendekatan Teori Keadilan. " Jurnal Paradigma Madani 3, no. 2 (2016).
Hata, Hata. "Pemberlakuan Hukum Internasional Publik Dalam Instrumen Dan Praktik World Trade Organization. " Jurnal Wawasan Yuridika 23, no. 2 (2014).
Juliati, Yenni Samri. "Peranan Pasar Modal Dalam Perekonomian Negara. " HUMAN FALAH: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam 2, no. 1 (2015).
Korah, R. S. “Prinsip-prinsip Eksistensi General Agreement on Tariffs and Trade (Gatt) Dan World Trade Organization (WTO) Dalam Era Pasar Bebas” Jurnal Hukum Unsrat 22, no. 7 (2016).
Latifah, Emmy. "Eksistensi Prinsip-prinsip Keadilan dalam Sistem Hukum Perdagangan Internasional. " Padjadjaran Journal of Law 2, no. 1 (2015).
Priyono, FX Joko. "Prinsip Most Favoured Nations Dan Pengecualiannya Dalam World Trade Organization (WTO)." Masalah-Masalah Hukum 42, no. 4 (2013).
Purwanto, Harry. "Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Perjanjian Internasional." Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 21, no. 1 (2009).
Putri, Acinta Bunga, and Suhadak Suhadak. "Uji Beda Ekspor Dan Impor Indonesia Sebelum Dan Sesudah Terjadi Perang Dagang Amerika Serikat Dan China (Studi pada Badan Pusat Statistik Periode September 2017-September 2018)." Jurnal Administrasi Bisnis 71, no. 1 (2019).
Putri, Adinda Kartika, Darminto Hartono Paulus, and FX Djoko Priyono. "Konsep Like Product Dalam Penyelesaian Sengketa Oleh Panel World Trade Organization (WTO). " Diponegoro Law Journal 5, no. 2 (2016).
Rahadiyan, Inda. "Pemaknaan Dan Penerapan Prinsip Resiprositas Berdasarkan ASEAN Banking Integration Framework." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 26, no. 3 (2019).
Sumartini, Siti. "Tinjauan Hukum Mengenai Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Dihubungkan Dengan Prinsip Standar Mimum Internasional Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. " Yustitia 4, no. 2 (2018).
Wibawa, Tubagus Satria dan Yasa, Made Maharta. “Kebijakan Anti-Dumping World Trade Organization Sebagai Bentuk Tindakan Proteksi : Studi Kasus Bea Masuk Anti-Dumping Uni Eropa Kepada Impor Biodiesel Indonesia”. Jurnal Kertha Negara 7, no. 06 (2019).
Yustitianingtyas, Levina. "Masyarakat dan Hukum Internasional (Tinjauan Yuridis terhadap perubahan-perubahan Sosial Dalam Masyarakat
Internasional). " Perspektif 20, no. 2 (2015).
Peraturan Perundang-Undangan
Economic and Trade Agreement Between the United States of America and The People’s Republic of China (Phase One)
GATT (The General Agreement on Tariffs and Trade) 1994
Sumber lainnya
The People’s Republic of China”, Office of the United States Trade Representatives, diakses pada 23 April 2020 pukul 20.51, https://ustr.gov/countries-regions/china-mongolia-taiwan/peoples-republic-china/
Alexander Chipman Koty dan Dorcas Wong, “The US-China Trade War : A Timeline”, China Briefing, diakses pada 23 April 2020, https://www.china-briefing.com/news/the-us-china-trade-war-a-timeline/
Jurnal Kertha Wicara Vol.9, No.9 Tahun 2020, hlm. 1-15
Discussion and feedback