PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KELUARGA YANG MEMINTA UNTUK DILAKUKAN EUTHANASAIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF KUHP INDONESIA

Ni Putu Esa Bulan Purnamiyanti, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

Anak Agung Ngurah Wirasila, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui pengaturan euthanasia dalam hukum pidana di Indonesia, selain itu juga untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap keluarga yang meminta untuk dilakukan euthanasia ditinjau dari perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif yang digunakan yaitu mengkaji kekosongan norma dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sering dikaitkan dengan pertanggungjawaban tindakan euthanasia, karena pasal rumusan tersebut dianggap mendekati pengaturan mengenai euthanasia, meskipun di dalam pasal tersebut tidak menjelaskan secara tegas dan jelas mengenai euthanasia, pasal tersebut yaitu Pasal 344 dan Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Pertanggungjawaban pidana terhadap keluarga yang meminta untuk dilakukan euthanasia terhadap pasien dapat dijatuhi Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia karena perbuatan tersebut dikategorikan sebagi euthanasia pasif. Akan tetapi, hingga sekarang pengaturan mengenai euthanasia masih tidak jelas dan tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang euthanasia secara khusus.

Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Keluarga, Euthanasia

ABSTRACT

The aim of this writing is to understand about the regulation of euthanasia in a positive legal order in Indonesia and criminal liability to families who request to be euthanasia in terms of the perspective of the Indonesian Criminal Code. The writing of this journal uses normative research, normative research used is to examine the void of norms in The Indonesia Criminal Code and in The Health Act. Based on research, there are several articles in the Indonesian Criminal Code which are often linked with euthanasia, although the article does not explain clearly about euthanasia, it is Article 344, 345 Indonesian Criminal Code. Criminal liability towards families who request euthanasia to the patient can be sentenced to Article 345 of the Indonesian Criminal Code, because these actions can be categorized as passive euthanasia. But, until now the regulation of euthanasia in Indonesia is still unclear as far, and doesn’t have a specific regulation yet for concerning euthanasia.

Keywords: Criminal Liability, Family, Euthanasia

  • I . Pendahuluan

    • 1.1.    Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai negara yang dapat dikatakan bahwa segala perilaku masyarakatnya diatur oleh undang-undang. Pernyataan tersebut berkorelasi dengan bunyi ketentuan Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Hal terpenting dari negara hukum adalah memberikan menjaminan perlindungan terhadap hak asasi yang dimiliki oleh warga negaranya, menjunjung tinggi hak-hak tersebut serta memberikan jaminan mengenai persamaan kedudukan di hadapan hukum atau biasa disebut dengan equality before the law.1

Di zaman modern ini hukum atau peraturan perundang-undangan sudah menjadi suatu kebutuhan yang harus terus diperbaharui dan harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pada zaman yang serba canggih ini guna mencegah dan meminimalisir munculnya kejahatan-kejahatan yang timbul akibat dari kecanggihan ilmu, teknologi dan informasi pada dewasa ini.2

Euthanasia merupakan istilah yang berasal dari Yunani. Istilah tersebut kemudian dibagi menjadi dua suku kata yakni “eu” dan “thanatos”. “Eu” diartikan sebagai tanpa penderitaan sedangkan “Thanatos” diartikan sebagai tidak bernyawa/mati. Sehingga apabila digabungkan maka kata euthanasia memiliki arti mati tanpa merasakan penderitaan atau biasanya disebut dengan suntik mati.3

Istilah euthanasia kini sudah tidak lagi terdengar asing di kalangan masyrakat. Beberapa contoh kasus tentang euthanasia yang pernah terjadi adalah salah satunya kasus di luar negeri yaitu Amerika Serikat tepatnya di New Jersey pada tahun 1975 terdapat seorang anak perempuan yang berumur 21 tahun harus melakukan rawat inap di rumah sakit akibat tidak sadarkan diri setelah mengkonsumsi minuman beralkohol dan zat psikotropika dengan dosis yang tidak sedikit, selama menjalani rawat inap perempuan tersebut dibantu menggunakan alat bantu pernapasan. Karena tidak sanggup melihat kondisi sang anak, maka orang tua dari anak perempuan itu, meminta bantuan kepada dokter agar dokter menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan yang telah dipasang. Kemudian orang tua perempuan tersebut mengajukan permohonan ke pengadilan akan tetapi tidak diterima dan ditolak, akan tetapi pada pengadilan tingkat banding permohonan tersebut diterima dan dikabulkan, oleh karena itu alat medis yang dipasang guna membantu pernapasan sang anak dilepas pada tahun 1976. Setelah dilepasanya alat bantu pernapasan sang anak, sang anak akhirnya bisa bernapas meskipun dalam kondisi tak sadarkan diri. Beberapa tahun kemudian, perempuan tersebut meninggal dunia akibat infeksi pada bagian

paru-paru.4 Kasus euthanasia pernah terjadi di Indonesia pada tahun 2004 yang menimpa istri dari Hasan yaitu Again Isna Nauli akibat tak sadarkan diri pasca melahirkan melalui operasi Caesar. Again mengalami koma yang cukup lama. Sehingga keluarga dari Again Isna Nauli yaitu suaminya mengajukan permohonan euthanasia atas istrinya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Alasan diajuakannya permohonan euthanasia lantaran adanya kendala ekonomi dalam membiayai biaya rumah sakit, dan juga ketidak sanggupan sang suami melihat istrinya tidak sadarkan diri karena koma yang cukup lama. Kasus lainnya juga dialami oleh Siti Julaeha, seorang pasien yang mengalami koma selama kurang lebih setahun akibat selesai menjalani operasi kandungan. Lantaran tak tega melihat kondisi sang istri, suami dari Siti Julaeha mengajukan permohonan euthanasia terhadap istrinya ke Pengadilan Negeri. Dari dua kasus tersebut, sampai saat ini belum ada putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan negeri terkait dengan permohonan euthanasia tersebut.5

Jika kita cermati dua kasus yang telah dipaparkan di atas, dalang dari di balik euthanasia ini adalah keluarga pasien itu sendiri, karena adanya kendala ekonomi dalam membiayai biaya rumah sakit, dan juga ketidak sanggupan sang suami melihat istrinya tidak sadarkan diri karena koma yang cukup lama membuat pihak keluarga memutuskan untuk meminta dokter melakukukan euthanasia dengan melepas semua alat bantu yang dipasang di badan pasien.6

Mengenai pengaturan euthanasia di Indonesia sampai saat ini masih belum ada satu pun peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas dan jelas mengenai euthanasia baik itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan juga dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (untuk selanjutnya disebut UU Kesehatan).

Akibat dari tidak diaturnya mengenai tindakan euthanasia dengan tegas dan jelas di dalam peraturan perundang-undangan menyebabkan penegakan hukum terhadap para pelaku euthanasia tidak dapat berjalan dengan seharusnya.

Berdasarkan pada beberapa penelitian terdahulu yang mengulas mengenai Euthanasia yaitu peneleitian yang berjudul “Tinjauan Yuridis Euthanasia Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana” yang ditulis oleh Ayu Agung Febry Dhamayanti dan Made Nurmawati yang menyimpulkan bahwa secara yuridis euthanasia memang belum diatur dalam hukum pidana yang ada di Indonesia termasuk dalam UU Kesehatan, terhadap tenaga medis yang melakukan tindakan euthanasia maka pertanggungjawaban yang dikenakan adalah tanggungjawab pidana, etis dan profesi. Selanjutnya yang kedua penelitian yang membahas mengenai euthanasia berjudul “Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Dokter Yang Melakukan Euthanasia” yang ditulis oleh Evander Reland Butar, Eko Soponyono, Purwonto, yang

menyimpulkan bahwa kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana terhadap dokter yang melakukan euthanasia dapat dikenakan hukuman pidana penjara paling lama dua belas tahun sesuai dengan yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (selanjutnya disebut KUHP Indonesia). Dan penelitian yang ketiga berjudul “Penghentian Tindakan Medis Yang Dapat Dikualifikasikan Sebagai Euthanasia” yang ditulis oleh Galih Nurdiyanningrum, yang menyimpulkan bahwa tindakan dokter yang menghentikan tindakan medis dapat dikatakan sebagai tindakan euthanasia pasif, persetujuan pasien atau keluarga merupakan dasar penghapusan pidana bagi dokter yang melakukan penghentian tindakan medis terhadap pasien.

Berkaitan dengan pemaparan di atas, maka penulis hendak mengkaji melalui penulisan jurnal yang berjudul Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Keluarga Yang Meminta Untuk Dilakukan Euthanasaia Ditinjau Dari Perspektif KUHP Indonesia”. Selanjutnya dalam penulisan jurnal ini penulis akan membahas mengenai pengaturan euthanasia dalam hukum pidana di Indonesia dan juga membahas bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap keluarga yang meminta untuk dilakukan euthanasia ditinjau dari perspektif KUHP Indonesia.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Mengacu pada bagian latar belakang, maka penulis mengangkat rumusan masalah sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana pengaturan euthanasia dalam hukum pidana di Indonesia ?

  • 2.    Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap keluarga yang meminta untuk dilakukan euthanasia ditinjau dari perspektif KUHP Indonesia ?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan jurnal ilmiah ini adalah untuk mengetahui pengaturan euthanasia dalam hukum pidana di Indonesia. Selain itu juga untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap keluarga yang meminta untuk dilakukan euthanasia ditinjau dari perspektif KUHP Indonesia

  • 2 .Metode Penelitian

Metode penelitian penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang digunakan dalam mengkaji suatu norma dalam peraturan perundang-undangan apakah norma dalam peraturan perundang-undangan telah dirumusakan secara jelas, apakah ada norma yang bertentangan, atau apakah suatu peraturan perundang-undangan tidak mengatur suatu perbuatan hukum yang seharusnya diatur sehingga terjadi kekosongan norma. 7 Penulisan jurnal ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan yang digunakan ialah pertama jenis pendekatan perundang-undangan atau statute approach, pendekatan perundang-undangan ini menggunakan regulasi yang ada8 seperti menelaah pasal-pasal yang ada

dalam KUHP Indonesia. Selanjutnya pendekatan kedua yang digunakan adalah jenis pendekatan konseptual atau conceptual approach, pendekatan ini bertujuan untuk menemukan serta memahami konsep-konsep, dan asas-asas hukum yang relevan dengan permasalahan euthanasia. Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah dengan menggunakan teknik deskriptif dan teknik sistematisasi. Teknik deskriptif ini teknik yang menguraikan apa adanya tentang suatu peristiwa hukum atau kondisi hukum. Teknik sistematisasi ini teknik yang mencari keterkaitan antara rumusan suatu konsep hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun dengan peraturan perundang-undangan yang tidak sederajat.9

  • 3 .Hasil dan Pembahasan

    • 3.1.    Pengaturan Euthanasia Dalam Hukum Pidana Di Indonesia

Sampai dewasa ini, euthanasia masih saja menjadi perdebatan di kalangan masyarakat, ada beberapa masyarakat yang berpendapat bahwasanya mereka setuju terhadap adanya euthanasia karena itu adalah salah satu hak asasi yang dimiliki oleh manusia atau HAM, karena selain berhak untuk hidup, setiap manusia juga berhak untuk menentukan nasib hidupnya atau “the right of selfdetermination”, dan juga berhak untuk menentukan kapan ia ingin mati, karena itu merupakan bagian dari hak asasi yang dimiliki oleh manusia. Lain halnya pendapat masyarakat yang tidak setuju terhadap adanya euthanasia karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama dan dianggap melanggar HAM.10

Akan tetapi di beberapa negara bagian barat, euthanasia sudah diakui eksistensinya dan tidak dianggap sebagai tindakan kejahatan atau pembunuhan, sehingga euthanasia dapat dilakukan karena sudah diakui eksistensinya dalam suatu peraturan perundang-undangan. Negara yang mengizinkan euthanasia adalah Negara Belanda, Belgia, dan Negara Swiss, tetapi harus memenuhi syarat-syarat tertentu.11

Sedangkan Indonesia yang menganut ideologi Pancasila dimana Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa sangat menghargai hak-hak asasi manusia sehingga euthanasia dianggap bertentangan pula dengan pandangan hidup bangsa Indonesia.

Indonesia mengartikan euthanasia sebagai pengakhiran hidup yang kemudian dibagi menjadi beberapa bentuk pengakhiran hidup. Dalam makalah yang ditulis oleh Fred Ameln yang bertindak selaku Wakil Ketua Perhimpunan Hukum Kedokteran Indonesia pada acara Kongres I Perhimpunan Untuk Hukum Kedokteran Indonesia yang berlokasi di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memaparkan mengenai bentuk-bentuk semu dari euthanasia yang dibagi menjadi12:

  • a.    Mati otak dan mengakhiri pengobatan;

  • b.    Menghentikan pengobatan yang tidak ada gunanya;

  • c.    Menolak perawatan medis atau pengobatan.

Secara umum euthanasia dibagi menjadi beberapa jenis. Jika dilihat dari segi pelaksanaannya maka euthanasia terdiri:

  • a.    Euthanasia Aktif: dapat dikatakan sebagai perbuatan yang secara sengaja dilakukan dengan langsung maupun tak langsung guna untuk mempercepat proses kematian seseorang. Seperti misalnya dengan memberikan obat-obatan atau suntikan secara berlebihan yang dapat menghilangkan rasa sakit pasien sekaligus menghilangkan nyawa pasien.

  • b.    Euthanasia Pasif: euthanasia pasif dapat dikatakan sebagai tindakan yang dengan sengaja dilakukan guna mempercepat proses kematian. Contohnya sengaja tidak memberikan/mengurangi alat bantu medis kepada pasien agar mempercepat proses menuju kematian. 13

Jika ditinjau dari bagaimana euthanasia didapatkan maka dibagi menjadi dua yakni:

  • a.    Euthanasia Atas Permintaan Pasien (voluntir):  euthanasia ini

merupakan dengan permintaan/kemauan dari pasien sendiri secara suka rela.

  • b.    Euthanasia Bukan Atas Permintaan Pasien (involuntir): merupakan atas pemintaan dari keluarga pasien itu sendiri dikarenakan pasien sudah lama tidak sadarkan diri, ketidakmampuan keluarga pasien untuk membayar biaya rumah sakit, dan juga merasa iba terhadap kondisi pasien.14

Euthanasia tidak sama dengan bunuh diri, karena dalam euthanasia terdapat perananan orang lain yang turut ikut campur dalam membantu mempercepat proses kematian, sedangkan dalam halnya bunuh diri tidak memerlukan bantuan orang lain untuk mempercepat proses kematiannya. 15

Dalam hukum positif Indonesia euthanasia dikenal dalam dua bentuk, yakni pertama euthanasia yang merupakan atas permintaan/kemauan dari pasien dan yang kedua yakni euthanasia yang bukan merupakan atas permintaan/kemauan dari pasien itu sendiri.

Sampai sekarang tidak ada pasal dalam undang-undang yang mengatur mengenai euthanasia secara konkret dan spesifik. Bahkan dalam UU Kesehatan yang merupakan pengaturan khusus tentang kesehatan, tidak ada pasal yang ditemukan menyebutkan secara jelas dan pasti berkenaan dengan tindakan euthanasia. Oleh karena itu dapat dikatakan hukum pidana di Indonesia belum ada yang memuat secara khusus, jelas dan pasti tentang euthanasia, maka dengan demikian dapat digunakan peraturan-peraturan yang dianggap mengarah pada tindakan euthanasia yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam mempertanggungjawabkan perbuatan yang dianggap melanggar hukum atau

dijadikan sebagai penyelesaian masalah apabila ada yang terbukti melakukan euthanasia. 16

Berikut adalah beberapa pasal yang dianggap mengarah pada tindakan euthanasia dan akan digunakan apabila terjadi kasus euthanasia di Indonesia17:

  • a.    Pasal 344 KUHP Indonesia yang menyatakan “Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri dengan kesungguhan hati orang itu, maka akan diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

  • b.    Pasal 345 KUHP Indonesia yang menyatakan “Setiap orang dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepada seseorang tersebut untuk itu, apabila hal tersebut terjadi, maka diancam dengan pidana penjara maksimal empat tahun”.

Pasal 344 dan Pasal 345 KUHP Indonesia yang dianggap mendekati tindakan euthanasia dan akan dijadikan sebagai dasar hukum ketika nantinya terjadi tindakan euthanasia di Indonesia.

Di dalam Pasal 344 KUHP Indonesia menyatakan “Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri dengan kesungguhan hati orang itu, maka akan diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Isi ketentuan tersebut menjelaskan bahwa euthanasia tidak boleh dilakukan meskipun itu atas permintaan atau kemauan pasien sendiri. Pasal 344 KUHP Indonesia ini mengarah pada jenis euthanasia aktif. Mengenai ancaman hukuman yang dijatukan terhadap siapapun yang melakukan tindakan euthanasia aktif, ancaman pidana yang dikenakan berupa hukuman pidana penjara dua belas tahun paling lama.

Pasal 345 KUHP Indonesia yang menyebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja menganjurkan seseorang untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepada seseorang tersebut untuk itu, apabila apabila hal tersebut terjadi, maka dikenakan hukuman pidana penjara empat tahun paling lama. Ketentuan ini mengarah ke jenis euthanasia pasif. Pasal tersebut menyatakan bahwa euthanasia tidak boleh dilakukan sekalipun itu atas permintaan dari keluarga pasien. Berkenaan dengan ancaman yang dijatuhkan pada pelaku euthanasia pasif, ancaman pidana yang didapatkan berupa pidana penjara maksimal empat tahun.

Euthanasia ini dapat dikatakan sebagai tindakan malpraktek karena malpraktek adalah praktek yang tidak sesuai dengan standar profesi yang telah ada dan menyalahi undang-undang serta kode etik yang ada. 18 Tindakan euthanasia ini dikategorikan sebagai tindakan malpraktek pidana (criminal malpractice) karena dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaian.19

Sehingga pengaturan euthanasia sangatlah penting dicantumkan di dalam KUHP Indonesia dan juga di dalam UU Kesehatan, sehingga tidak terjadi kekosongan norma mengenai euthanasia, dan Indonesia memiliki regulasi yang secara spesifik dan jelas mengatur mengenai euthanasia, agar nantinya tindakan seperti ini tidak disalahgunakan mengingat belum adanya aturan hukum yang tegas dan jelas mengenai euthanasia ini.

  • 3.2. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Keluarga Yang Meminta Dilakukan Euthanasia Ditinjau Dari Perspektif KUHP Indonesia

Keluarga ialah lingkup terdekat dari masyarakat, yang beranggotakan ayah selaku kepala keluarga, ibu selaku ibu rumah tangga dan anak. Sebagai orang tua tentunya mereka selalu berhadap dan menginginkan yang terbaik untuk anaknya serta tidak menginginkan anaknya sedih menderita, bahkan segala upaya apapun itu akan dilakukan oleh orang tua untuk memastikan bahwa anaknya hidup dengan bahagia, sehat dan terhindar dari sakit.20 Jika keluarga pasien tega meminta kepada dokter untuk melakukan tindakan euthanasia pada salah satu anggota keluarga yang sedang koma di rumah sakit, bagaimanakah pertanggungjawaban pidana yang didapatkan oleh keluarga pasien tersebut.

Tindakan euthanasia pasif sebenarnya sangatlah lumbrah terjadi di dunia medis, akan tetapi kurang sadarnya tingkat pemahaman keluarga pasien akan kode yang sering diberikan oleh dokter menyebabkan ketidaktahuan akan maksud dari dokter, seperti misalnya dokter sering mengatakan bahwa yang dirawat tidak memiliki harapan untuk hidup, yang dirawat tak bisa kami tolong lagi, tidak ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit pasien, pasien diizinkan rawat jalan meskipun pasien dalam keadaaan koma. Kode-kode itu sering disampaikan oleh dokter saat mengetahui bahwa pasien yang dirawatnya sudah tidak memiliki peluang untuk hidup atau sembuh dari penyakit yang dideritanya. Selain itu ketidak terus terangan informasi dari dokter yang terkesan menutup-nutupi informasi mengenai penyakit yang di derita pasien membuat pihak keluarga tidak dapat mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan21.

Sehingga jalan satu-satunya yang harus dilakukan oleh keluarga saat melihat orang yang dia sayangi terbaring lemah tidak berdaya dan hidupnya bergantung pada alat-alat bantu medis di rumah sakit, adalah mengakhiri penderitaan dari orang yang dia sayangi itu dengan bantuan dari dokter. Alasan keluarga memilih untuk mengakhiri penderitaan orang yang dia sayangi itu adalah karena beberapa faktor yaitu:

  • a.    Para tenaga medis mengatakan orang yang dirawat tak memiliki harapan untuk terbebas dari penyakitnya sehingga dokter menyarankan untuk menghentikan tindakan serta pengobatan medis sudah tidak ada gunanya lagi pengobatan yang diberikan kepada pasien22;

  • b.    Keluarga merasa iba sehingga tidak menginginkan orang tersebut menahan sakit lebih lama23;

  • c.    Semakin banyak mengeluarkan uang untuk membayar biaya rumah sakit24;

  • d.    Selain itu juga kondisi psikologis dari keluarga yang merawat orang sakit pasti akan mengalami rasa tertekan/menderita melihat orang yang disayanginya terbaring di rumah sakit dan tak tahu apakah orang tersebut akan bisa kembali sehat atau bahkan sebaliknya.

Berdasarkan formulasi Pasal 345 KUHP Indonesia menyebutkan “setiap orang dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepada seseorang tersebut untuk itu, apabila hal tersebut terjadi, maka diancam dengan pidana penjara maksimal empat tahun”. Oleh karena itu tindakan keluarga yang meminta dilakukan euthanasia dapat dikenakan Pasal 345 Kitab KUHP Indonesia. Meskipun dalam Pasal 345 KUHP Indonesia ini tidak menjelaskan secara terperinci mengenai Euthanasia, akan tetapi Pasal 345 KUHP Indonesia ini dianggap sebagai pasal yang paling mendekati tindakan euthanasia pasif.

Berbeda dengan Indonesia, perkembangan euthanasia di Jepang dilegalkan dapat dilihat dari Yurisprudensi Pengadilan Tinggi di Nagoya, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan euthanasia antara lain pasien yang mengajukan permintaan untuk melakukan euthanasia, tindakan euthanasia dilakukan oleh dokter yang berwenang, kematian harus melalui cara kedokteran dan secara manusiawi. Tindakan euthanasia yang pernah terjadi di Jepang dapat dibuktikan euthanasia dilegalkan di negara Jepang yaitu pada kasus yang menimpa Yamaguchi pada tahun 1962, ia diperbolehkan melakukan euthanasia voluntary setelah dikeluarkannya keputusan dari salah satu pengadilan tinggi di Jepang. 25

Dari berbagai kasus euthanasia yang telah disebutkan pada bagian latar belakang sebagian besar pihak keluarga yang menjadi dalang dibalik dilakukannya euthanasia karena telah meminta kepada dokter untuk melakukan euthanasia kepada si pasien dengan alasan para tenaga medis mengatakan orang yang dirawat tak memiliki harapan untuk terbebas dari penyakitnya sehingga dokter menyarankan untuk menghentikan tindakan serta pengobatan medis sudah tidak ada gunanya lagi pengobatan yang diberikan kepada pasien26, karena keluarga merasa iba sehingga tidak menginginkan orang tersebut menahan sakit lebih lama, semakin banyak mengeluarkan uang untuk membayar biaya rumah sakit, selain itu juga kondisi psikologis dari keluarga yang merawat orang sakit pasti akan mengalami rasa tertekan/menderita melihat orang yang disayanginya terbaring di rumah sakit dan tak tahu apakah orang tersebut akan bisa kembali sehat atau bahkan

sebaliknya. Sesungguhnya perbuatan tersebut dikatakan sebagai tindak pidana, karena telah menganjurkan seseorang untuk mengakhiri hidup orang lain, sesuai dengan ketentuan Pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Tetapi tindakan yang dilakukan oleh dokter dikarenakan keinginan dari pihak keluarga pasien tidak dapat dikatakan sebagai tindakan yang melanggar kode etik, maupun tindakan pidana karena tindakan pemberhentian alat-alat bantu medis serta tindakan medis dilakukan dengan dasar yang sah berdasarkan pada etika profesi maupun undang-undang yang ada mengenai persetujuan melakukan tindakan medis (informed consent)27. Dalam hal ini dokter melaksanakan pekerjaannya yang sah dan menjalankan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan profesinya yang sesuai dengan etika profesi kedokteran, dan hal itu dilakukan atas permintaan keluarganya, dengan niat baik demi kepentingan si pasien. 28

Adapun dokter tidak dapat dituntut karena terdapat alasan penghapusan pidana yaitu:

  • a.    Adanya alasan suatu pembenar tercantum dalam beberapa pasal

di KUHP Indonesia Pasal 48 tentang keadaan darurat, Pasal 49 tentang pembelaan terpaksa, Pasal 50: tentang menjalankan ketentuan undang-undang, Pasal 51: Perintah jabatan.

  • b.    Adanya alasan pemaaf yaitu telah adanya persetujuan(consent)

dari keluarga/persetujuan keluarga. 29

Sedangkan bagi pihak keluarga yang meminta untuk dilakukannya euthanasia terhadap pasien dapat dikenakan Pasal 345 KUHP Indonesia yang menyebutkan “setiap orang dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepada seseorang tersebut untuk itu, apabila hal tersebut terjadi, maka diancam dengan pidana penjara maksimal empat tahun”. Meskipun dalam Pasal 345 KUHP Indonesia ini tidak menjelaskan secara terperinci mengenai Euthanasia, akan tetapi Pasal 345 KUHP Indonesia ini dianggap sebagai pasal yang paling mendekati tindakan euthanasia pasif.

Dengan demikian, maka dokter yang diminta untuk melakukan euthanasia tidak dapat dipidana karena tindakan yang dilakukan dokter telah mendapat persetujuan keluarga, hal itu dijadikan sebagai dasar penghapus pidana bagi dokter sedangkan dari pihak keluarga yang meminta untuk dilakukannya euthanasia terhadap pasien yang sedang dalam kondisi koma dapat dikenakan hukum pidana penjara maksimal empat tahun karena perbuatan tersebut termasuk dalam kategori euthanasia pasif dan diancam pidana penjara maksimal empat tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 345 KUHP Indonesia.

  • 4. Kesimpulan

Pengaturan euthanasia dalam peraturan perundangan-undangan yang yang ada di Indonesia masih tidak jelas dan belum ada yang mengatur mengenai euthanasia secara konkret dan spesifik sehingga hal tersebut

menyebabkan terjadinya kekosongan norma mengenai euthanasia. Bahkan dalam UU Kesehatan pun tidak ditemukan pasal yang mengatur dan menyebutkan secara tegas, jelas dan konkret mengenai euthanasia. Pasal 344 dan 345 KUHP Indonesia yang dianggap paling mendekati euthanasia meskipun dalam pasal tersebut tidak menjelaskan secara tegas dan konkret mengenai euthanasia. Dan diharapkan Indonesia segera membentuk regulasi yang secara spesifik dan jelas mengatur mengenai euthanasia, agar nantinya tindakan euthanasia ini tidak disalahgunakan Mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap keluarga yang meminta dilakukan euthanasia terhadap si pasien dapat dikenakan Pasal 345 KUHP Indonesia karena pasal ini dianggap mendekati dengan euthanasia pasif, dengan hukum pidana penjara maksimal empat tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode dan Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 18.

Effendi, Jonadi dan Ibrahim, Jhonny. “Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris”. (Depok, Premeda Media Group, 2018), 123.

Petter, Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenamedia Group, 2015), 137.

Jurnal Ilmiah:

Aziz, Abdul Hakim. “Tinjauan Yuridis Euthanasia Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Etika Kedokteran.” National Journal of Law 1, no. 1 (2019)

Badu, Lisnawaty. “Euthanasia Dan Hak Asasi Manusia.” National Journal of Law 5, no.1: (2012).

Butar-butar, Evander Reland, and Purwoto Eko Soponyono. “Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Dokter yang Melakukan Euthanasia.” Diponegoro Law Journal 5, no. 2 (2016): 1-14.

Dhamayanti, Ni Gusti Ayu Agung Febry, and Made Nurmawati. “Tinjauan Yuridis Euthanasia Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana.” Kertha Wicara: Journal Ilmu Hukum: 1-23.

Haryadi, H. “Masalah Euthanasia Dalam Hubungannya Dengan Hak Asasi Manusia.” Inovatif| Jurnal Ilmu Hukum, no.5 (2011)

Kurniati Sitio, E., Wirasila, A., and Putri M.E Purwani, S. “Hukum Pidana Dan Undang-Undang Praktek Kedokteran Dalam Penanganan Malpraktek”. Kerta Wicara: Journal Ilmu Hukum, no.2 (2017): 1-15.

Listyaningrum, Novita. “Informed Consent Dalam Perlindungan Dokter Yang Melakukan Euthanasia.” Jurnal Advokasi 6, no. 1 (2016).

Manoppo, Olivia Debora. “Tanggungjawab Pidana Dokter Sebagai Tenaga Medis Yang Melakukan Tindakan Euthanasia Kepada Pasien.” Lex Et Societatis 5, no. 1 (2017).

Nurdiyanningrum, Galih. “Penghentian Tindakan Medis Yang Dapat Dikualifikasikan Sebagai Euthanasia.” Jurnal Panorama Hukum 3, no. 1 (2018): 47-58

Suwarto, Suwarto. “Euthanasia Dan Perkembangannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.” Jurnal Hukum Pro Justitia 27, no. 2 (2009).

Tania, Lieta Vina. “Analisis Perspektif Victimologis Terhadap Korban Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen Tenaga Kerja Wanita.” (2018).

Purwani, Sagung Putri ME, and IB Putra Atmadja. “Perlindungan Hukum Pasien Euthanasia Ditinjau Dari Perspektif Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Hukum Konsumen.” Jurnal Aktual Justice 3, no.1 (2018): 58-61.

Wahab, Rochmat. “Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Psikologis Dan Edukatif.” Unisia 61, (2010): 247-256.

Yudaningsih, Lilik Purwastuti. “Tinjauan Yuridis Euthanasia Dilihat Dari Aspek Hukum Pidana.” Jurnal Ilmu Hukum Jambi 6, no. 1 (2015): 43316

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)

Internet:

Dengan Syarat Limitatif. URL :

https://m.hukumonline.com/berita/baca/hol11434/eutahanasia-dimungkinkan-dengan-syarat-limitatif. Diakses tanggal 23 Januari 2020

Sejarah Euthanasia. URL :

https://www.kompasiana.com/novitutu/550051c3a33311926f510b69/sejarah-euthanasia. Diakses tanggal 24 Desember 2019

Jurnal Kertha Wicara Vol.9 No.9 Tahun 2020, hlm. 1-12,