KEBIJAKAN FORMULASI RECHTERLIJK PARDON (PEMAAFAN HAKIM) DALAM RKUHP

Putu Mery Lusyana Dewi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

I Ketut Rai Setiabudhi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan studi ini untuk mengkaji konsep, urgensi, serta tantangan formulasi Rechterlijk Pardon dalam RKUHP sebagai ius constituendum. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan konseptual, perbandingan, dan perundang-undangan. Hasil studi menunjukkan bahwa Rechterlijk Pardon menaruh konsep yang berbeda dengan diberikannya ruang kepada hakim dalam penjatuhan putusan bersalah tanpa pidana. Urgensi formulasi konsep ini dalam RKUHP adalah hadirnya putusan hakim yang sesuai dengan nilai keadilan dan kemanusiaan sebagai upaya mengelaborasikan nilai Pancasila dalam hukum Pidana dan bentuk respon terhadap banyaknya putusan hakim yang dianggap melukai perasaan hukum masyarakat. Berkaitan dengan analisis tantangan Rechterlijk Pardon ini ditinjau dari sudut penegak hukum dan budaya hukum dalam masyarakat.

Kata Kunci : Formulasi, Rechterlijk Pardon, RKUHP.

ABSTRACT

The purpose of this study to examine the urgency, defieance, and formulation of Rechterlijk Pardon in the RKUHP as an ius cosntituendum. This study uses a normative legal research method with a conceptual, comparative, and statutory approach. The results of the study showed that Rechterlijk Pardon put a different concept by giving space to the judge in the conviction without a criminal sanction. The urgency of this concept formulation in RKUHP is the presence of a criminal punishment system in accordance with the values of justice and humanity as an effort to elaborate the value of Pancasila in Criminal Law and forms of response to the many criminal decisions that are considered to hurt the legal feelings of the community. In connection with the analysis of challenges this formulation of Rechterlijk Pardon is viewed from the point of law enforcement and legal culture in society.

Keywords : Formulation, Rechterlijk Pardon, RKUHP.

  • 1.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang

Pada dasarnya manusia hidup sebagai makhluk monodualisme yakni sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagai mahluk sosial. Sejak manusia dilahirkan, manusia telah bergaul dengan sesama manusia lainnya. Hubungan antar manusia diawali dengan hubungan sederhana antara anak dan orang tua, kemudian ketika meningkat dewasa manusia mulai hidup bermasyarakat. Hubungan dalam bermasyarakat menimbulkan suatu kesadaran bahwa diperlukan pedoman yang berupa suatu aturan yang ditaati oleh kelompok masyarakat tersebut untuk dapat menjalankan kehidupan dengan tertib dan teratur. Secara historis, hubungan hukum

yang ada antara manusia dengan manusia lainnya merupakan suatu hubungan privat, namun seiring dengan perkembangannya masyarakat-masyarakat tersebut semakin maju dan bersepakat untuk membentuk suatu negara hingga akhirnya hubungan hukum tersebut berubah menjadi hukum dengan mengutamakan kepentingan umum (hukum publik)1. Hukum publik ialah salah satu bagian instrumen hukum yang menyajikan pengaturan serta perlindungan terhadap beberapa kepentingan dengan seimbang yaitu antara kepentingan negara, masyarakat, dan individu. Salah satu jenis dari hukum publik tersebut adalah hukum pidana. Keberadaan hukum pidana dalam upaya mewujudkan masyarakat yang tertib dan teratur adalah dalam hal penanggulangan kejahatan.

Di Negara Indonesia keberadaan hukum pidana direalisasikan dengan asas konkordasi terhadap Wetboek van Strafrecht voor Indonesie warisan dari Negara Belanda menjadi KUHP yang disahkan pada tahun 1915 dengan Staatsblad Nomor 732 dan berlaku semenjak tahun 1918. Cukup lama KUHP ini berlaku, hingga pada Tahun 1963 mulai tercetus upaya pembaharuan hukum pidana dalam Seminar Nasional I pada tanggal 11 Maret sampai 16 Maret 1963 yang mulai menyerukan kodifikasi terhadap hukum pidana agar dilakukan secepatnya. Beberapa alasan pembaharuan hukum pidana di Indonesia disampaikan oleh Soedarto yakni alasan praktis karena statusnya yang merupakan warisan kolonial Belanda, kemudian didukung dengan alasan yang bersifat politis sebagai tuntutan negara merdeka yang telah melepaskan diri dari penjajah maka sudah selayaknya memiliki suatu hukum pidana yang sifatnya nasional yang lahir dari dalam bangsa dan untuk bangsa Indonesia sendiri, serta alasan sosiologis karena belum tercerminnya nilai-nilai budaya bangsa yang khas Indonesia dalam KUHP2. Selain itu alasan adaptif ditambahkan oleh Muladi bahwa beragamnya modus operandi yang digunakan untuk melakukan suatu tindak pidana sebagai akibat perkembangan masyarakat Indonesia dan juga Internasional perlu disesuaikan untuk selanjutnya diinternalisasi dalam KUHP3. Tujuan pembaharuan ini pun jelas untuk menciptakan KUHP Nasional yang menghargai harkat dan martabat bangsa Indonesia4. Hasil rekomendasi Seminar Hukum Nasional I mengeluarkan konsep pertama pembaharuan KUHP pada tahun 1964 dan terus mengalami perubahan hingga pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya akan ditulis dengan RKUHP) terbaru sampai saat ini yaitu RKUHP per September 2019 yang memuat 628 Pasal dalam 2 (dua) BAB.

Penyusunan terhadap RKUHP sebagai pengganti KUHP warisan Belanda dengan segala bentuk perubahan dan penyesuaian kenusantaraan merupakan suatu karya besar dalam rangka pembangunan hukum nasional, oleh karena itu dalam usaha penyusunannya tidak hanya mengubah, mencabut ketentuan pasal yang tidak sesuai, atau menambahkan ketentuan pasal baru yang selama ini masih terdapat kekosongaan hukumnya. Penyusunan RKUHP dilakukan secara menyeluruh termasuk juga pada pembaharuan ide dasar terkait asas dan konsep-konsep hukum pidana. Salah satu

pembaharuan ide dalam RKUHP adalah terkait dengan ide formulasi Rechterlijk Pardon yang berkaitan erat dengan aktualisasi nilai hukum yang berorientasi pada Pancasila dan nilai yang hidup di masyarakat khususnya terkait penjatuhan putusan pidana oleh hakim dalam pengadilan.

Banyak kasus penjatuhan pidana melalui putusan hakim yang sering dinilai tidak sesuai dengan kemanusiaan dan bertentangan dengan perasaan hukum masyarakat terhadap tindak pidana kecil sehingga berbuah pada anggapan akan ketidakadilan suatu putusan hakim. Beberapa putusan hakim tersebut nampak pada Putusan Pengadilan Negeri Palu Nomor 31/Pid.Anak/PN.PL terkait kasus tuduhan pencurian sepasang sandal jepit seharga Rp.30.000;- milik anggota Brimob Polda Sulteng oleh seorang siswa SMK 3 Palu inisial AAL yang berujung proses hukum dengan ancaman pidana kurungan maksimal 5 tahun. Selain itu juga terdapat kasus Kakek Samirin yang dijatuhi pidana penjara 2 bulan 4 hari oleh Pengadilan Negeri Simalungun lantaran mengambil sisa getah karet pada areal perkebunan PT.Bridgestone. Kakek Samirin dipidana atas Pasal pencurian dengan kerugian sebesar Rp.17.480;-5. Masyarakat sangat menyayangkan putusan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap kasus-kasus seperti ini, karena dinilai dapat diselesaikan secara kekeluargaan ataupun dengan alternatif pidana lain sehingga tidak terkesan bahwa hukum itu tajam ke bawah.

Sejatinya putusan yang dijatuhkan oleh hakim merupakan sebuah cerminan daripada nilai dan struktur dalam masyarakat, tetapi dengan adanya putusan seperti kasus di atas tersebut nampaknya sama sekali tidak mencerminkan nilai dalam masyarakat. Jika mengamati ketentuan terkait putusan hakim yang berlaku saat ini, putusan hakim yang dianggap tidak adil atau tidak manusiawi tersebut terjadi lantaran pengadilan khususnya hakim hanya dapat menjatuhkan putusan secara limitatif sesuai dengan yang telah dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Putusan dalam perkara pidana tersebut hanya terdiri dari tiga jenis yakni putusan pemidanaan, bebas, dan lepas. Putusan Pemidanaan ialah putusan yang menjatuhkan sanksi atau pemidanaan setelah pengadilan menilai perbuatan dalam dakwaan ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan. Putusan Bebas ialah putusan yang dijatuhkan setelah pengadilan menilai bahwa perbuatan yang didakwakan ternyata tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai suatu tindak pidana. Sementara Putusan Lepas dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan tetapi terhadap perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana. Putusan-putusan tersebut hanya dapat dijatuhkan oleh hakim apabila telah terbukti secara sah dan meyakinkan atau minimal dua alat bukti yang sah serta keyakinan hakim bahwa terdakwa benar-benar bersalah.

Pada fenomena seperti ini telah terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) karena tidak adanya aturan yang mendasari putusan hakim tatkala suatu perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan tetapi hakim berkeyakinan bahwa tidak harus menjatuhkan sanksi pidana karena mempertimbangkan rasa keadilan dalam masyarakat dan kemanusiaan. Hakim tentu tidak dapat menjatuhkan putusan di luar dari apa yang telah ditentukan karena kaitannya dengan kepastian dalam hukum itu sendiri. Dalam hal ini diperlukan adanya penambahan jenis putusan hakim yang mengakomodir dan memperhatikan unsur keadilan serta kemanusiaan dengan tidak mengesampingkan asas legalitas sebagai ciri hukum pidana. Penjatuhan sanksi pidana oleh hakim dengan beberapa persyaratan

hendaknya mengacu pada suatu kondisi, perbuatan atau kelakuan terpidana dengan pola yang menghindarkan pemidanaan yang bersifat retributif6. Oleh karena itu lahirlah gagasan formulasi baru yaitu Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim ) sebagai ius constituendum yang dituangkan dalam RKUHP

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas mengenai Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim) yang dituangkan dalam tulisan dengan judul “Kebijakan Formulasi Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim) dalam RKUHP”. Dalam jurnal ini penulis menggunakan beberapa penelitian jurnal terdahulu sebagai rujukan ilmiah diantaranya, karya Asha Yosuki dan Dian Adriawan Daeng Tawang dalam Jurnal Hukum Adigama pada tahun 2018 dengan judul “Kebijakan Formulasi Terkait Konsepsi Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim) dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”. Penelitian tersebut membahas mengenai konsepsi Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim) dalam pembaharuan hukum pidana yang harus mempertimbangkan tujuan dan pedoman pemidanaan serta membahas mengenai hal-hal yang mendorong munculnya kebijakan formulasi Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim) yaitu sebagai respon terhadap perkembangan hukum pidana yang ada di Negara lain seperti Belanda dan Portugal dan dianggap sesuai dengan nilai hukum nasional yang berorientasi dengan Pancasila7. Selain itu adapun karya Khilmatin Maulidah dan Nyoman Serikat Putra Jaya pada tahun 2019 dalam Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia dengan judul “Kebijakan Formulasi Asas Permaafan Hakim dalam Upaya Pembaharuan Hukum Pidana Nasional” yang fokus membahas mengenai kebijakan formulasi pemaafan hakim dalam hukum pidana yang berlaku saat ini dan yang sebaiknya di masa mendatang. Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dalam hukum pidana yang berlaku saat ini pada dasarnya belum mengatur mengenai pemaafan hakim dan untuk di masa mendatang kebijakan formulasi pemaafan hakim sebaiknya sesuai dengan nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia dan selaras dengan tujuan pemidanaan dalam RKUHP8. Perbedaan dua penelitian terdahulu dengan tulisan ini adalah tulisan ini meninjau lebih dalam konsep dari Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim) dengan menjabarkan setiap unsur yang membentuk rumusan pasalnya, mengkaji urgensi diformulasikannya Rechterlijk Pardon dalam RKUHP yang ditinjau dari landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis, serta analisis tantangan yang dihadapi dalam mengimplementasikan kebijakan formulasi Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim).

  • 1.2    Rumusan Masalah.

Berdasarkan pada latar belakang, adapun beberapa masalah yang penulis rumuskan adalah :

  • 1.2.1    Bagaimanakah konsep formulasi Rechterlijk Pardon dalam RKUHP ?

  • 1.2.2    Apa urgensi diformulasikannya Rechterlijk Pardon dalam RKUHP ?

  • 1.2.3    Bagaimana tantangan implementasi Rechterlijk Pardon di masa mendatang ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam tulisan ini yakni :

  • 1.3.1    Untuk mencermati konsep formulasi Rechterlijk Pardon dalam RKUHP

  • 1.3.2    Untuk mengkaji urgensi diformulasikannya Rechterlijk Pardon dalam RKUHP

  • 1.3.3    Untuk menganalisis tantangan Rechterlijk Pardon di masa yang akan datang

  • 2.    Metode Penelitian

Tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan mengkaji pokok permasalahan berdasarkan rumusan Rechterlijk Pardon dalam RKUHP. Dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum primer yakni UUD NRI 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kemudian untuk bahan hukum sekunder berupa buku, publikasi jurnal, naskah RKUHP per-September 2019 dan literatur lainnya yang terkait dengan Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim). Bahan primer dan sekunder tersebut penulis gunakan sebagai dasar untuk mengalisis konsep, urgensi, dan tantangan di masa yang akan datang terhadap adanya formulasi Rechterlijk Pardon dalam RKUHP. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual, perbandingan, dan pendekatan perundang-undangan melalui telaah terhadap aturan yang ada kaitannya dengan formulasi Rechterlijk Pardon yang sedang dibahas9. Selanjutnya untuk menganalisis bahan hukum tersebut penulis menggunakan teknik deskriptif analisis dan interprestasi gramatikal, yakni suatu teknik analisis data dengan cara menafsirkan kata atau kalimat dalam RKUHP sesuai dengan kaidah bahasa dan kaidah hukum dengan cara mengamati kemudian mengkaji dan menjelaskan hubungan antara pasal yang satu dengan yang lain, baik itu dalam RKUHP maupun dengan perundang-undangan lainnya10.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Konsep Kebijakan Formulasi Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim) dalam RKUHP Hadirnya rancangan baru RKUHP untuk memperbaharui KUHP yang saat ini berlaku pada esensinya merupakan suatu upaya untuk melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai sesuai dengan sentral sosiopolitik, sosiofilosofi dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia11. Upaya pembaharuan suatu sistem hukum salah satunya dapat dilakukan dengan kebijakan atau lebih sering disebut politik hukum pidana. Kebijakan hukum pidana itu sendiri berarti usaha untuk mewujudkan suatu peraturan perundang- undangan hukum pidana yang sesuai dengan keadaan waktu tertentu dan juga selaras dengan keadaan di masa mendatang. Kebijakan hukum ini ditempuh dengan 3 tahapan hingga dapat menciptakan suatu hukum pidana yang diharapkan. Tahapan tersebut terdiri dari tahap formulasi atau disebut juga dengan tahap legislatif dimana pada tahap ini dilakukan pembentukan hukum oleh badan yang berwenang (dalam hal ini DPR sebagai badan legislatif). Tahap

kedua adalah tahap aplikasi atau tahap penerapan dari hukum yang telah dibentuk, dan tahap ketiga adalah eksekusi yakni tahap dimana hukum pidana tersebut dilaksanakan secara konkrit oleh para aparat penegak hukum yang berwenang12. Berkaitan dengan topik Rechterlijk Pardon dalam tulisan ini, kebijakan yang dilakukan masih berada pada tahap formulasi yang dirumuskan dalam RKUHP.

Kebijakan Rechterlijk Pardon diatur pada BAB III RKUHP (per September 2019) Paragraf 2 tentangiPedoman Pemidanaan dan dimuat dalam ketentuan Pasal 54 ayat (2) dengan rumusan “ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”. Dalam bagian penjelasan kebijakan formulasi ini disebut sebagai Asas Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim). Kebijakan ini menjadi pedoman baru bagi Hakim dalam menjatuhkan putusan. Berdasarkan rumusan pasal 54 ayat (2) terlihat bahwa Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) memberikan peluang terhadap seseorang untuk tidak dijatuhkan sanksi pidana maupun tindakan. Adapun unsur – unsur pasal tersebut akan dijelaskan sebagai berikut

  • a.    Ringannya perbuatan

Ringannya perbuatan yang dimaksud dalam rumusan pasal ini dapat ditinjau dari penjelasan Pasal 54 ayat (2) adalah tindak pidana yang sifatnya ringan. Dalam hal ini RKUHP tidak memberikan batasan khusus terkait dengan tindak pidana mana yang dikategorikan sebagai tindak pidana ringan ataupun tindak pidana yang berat. Namun jenis tindak pidana ringan nampak tertera langsung dalam beberapa ketentuan pasal yakni 1) tindak pidana penghinaan ringan (Pasal 442) dengan kategori bahwa tindakan penghinaan tersebut tidak bersifat pencemaran lisan atau tertulis di muka umum maupun di muka orang yang dihina; 2) tindak pidana penganiayaan ringan (Pasal 477 ayat (1)) dengan kategori bahwa tindakan penganiayaan tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi atau mata pencaharian; 3) tindak pidana pencurian ringan dengan kategori bahwa pencurian tersebut tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup dan harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp 500.0000,00 (lima ratus ribu rupiah); 4) tindak pidana penggelapan ringan (493) dengan kategori bahwa penggelapan tersebut bukan terhadap ternak atau barang sumber mata pencaharian atau nafkah dengan nilai yang tidak lebih dari Rp 1.000.000.00 (satu juta rupiah); 5) tindak pidana penipuan ringan (Pasal 500) dengan kategori bahwa penipuan tersebut bukan terhadap ternak, sumber mata pencaharian, utang, atau piutang yang nilainya tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Maka dengan demikian, sesuai pada bagian penjelasan pasal 54 ayat (2) dan mengacu pada rumusan pasal yang ada dalam RKUHP hanya tindak pidana ringan tersebut di atas yang dimungkinkan menerapkan Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim).

  • b.    Keadaan pribadi pelaku

Unsur keadaan pribadi pelaku adalah mempertimbangkan aspek individu pelaku tindak pidana, yang dapat dilihat dengan mencari seluk beluk atau asal-usul pelaku hingga keluarganya serta kehidupannya dalam masyarakat atau dapat pula dilakukan dengan bantuan ilmu psikologis atau karakterologi13. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pembuktian hukum pidana memerlukan bantuan ilmu lain untuk membuktikan keabsahan suatu tindak pidana atau hal lainnya agar dapat memberikan keyakinan pada hakim.

  • c.    Keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana dan setelahnya

Selain mempertimbangkan keadaan pribadi pelaku tindak pidana, unsur ini melihat pada kondisi-kondisi yang mengikuti pelaku pada saat terjadinya tindak pidaan dan setelah tindak pidana itu terjadi seperti kecakapan dalam mempertanggungjawabkan perbuatan, perbuatan yang dilakukan merupakan pengulangan atau bukan, apakah perbuatan tersebut telah direncanakan, kerugian dan penderitaan yang dialami korban, serta peran korban terhadap terjadinya tindak pidana.

  • d.    Dapat dijadikan dasar pertimbangan

Unsur dapat dijadikan dasar pertimbangan dinilai memiliki makna yang subjektif lantaran kata ‘dapat’ merujuk pada arti ‘bisa’ atau ‘boleh’ sehingga apabila unsur-unsur yang dirumuskan telah dipenuhi tetapi karena tidak ada kewajiban untuk memberikan pemaafan kepada pelaku, hakim bisa saja tetap menjatuhkan sanksi pidana. Hal ini akan berdampak pada ketidakpastian hukum, karena dikhawatirkan akan menimbulkan putusan yang diskriminatif atau berpihak.

  • e.    Tidak menjatuhkan pidana atau tindakan

Unsur tidak menjatuhkan sanksi pidana atau tindakan dalam hal ini dapat diartikan bahwa pemberian maaf tersebut tetap dilakukan dengan mekanisme putusan hakim. Artinya dalam putusan hakim dicantumkan tidak menjatuhkan pidana ataupun tidak mengenakan sanksi tindakan namun tetap pula mencamtumkan bahwa terdakwa tetap dinyatakan bersalah dan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan suatu tindak pidana. Dalam hal ini akan dapat terlihat bahwa putusan yang diberikan berdasarkan pada Asas Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim).

  • f.    Keadilan dan kemanusiaan

Unsur ini memiliki penafsiran yang sangat luas jika dibandingkan dengan unsur yang lainnya. Keadilan dan kemanusiaan memiliki sifat yang abstrak dan tidak terbatas ruang dan waktu. Siapapun dapat memberikan definisi terhadap keadilan dan kemanusiaan tergantung dari sudut pandangnya masing-masing. Keadilan mempunyai kedudukan yang penting dalam setiap masyarakat begitupun dengan kemanusiaan tanpa memandang perbedaan satu sama lain. Menurut Aristoteles, keadilan dirumuskan ke dalam dua jenis yaitu keadilan umum atau sama dengan keadilan legal dalam arti menuntut perbuatan sesuai dengan undang-undang ataupun hukum negara yang ditujukan kepada kesejahteraan umum. Sementara keadilan khusus meliputi keberanian dan kebijaksanaan14. Dalam RKUHP batasan terhadap keadilan dan kemanusiaan yang dijadikan pertimbangan tidak dijelaskan lebih lanjut sehingga ini berdampak pada luasnya definisi yang dapat diberikan.

Berbicara mengenai keadilan pada hukum pidana maka harus disesuaikan dengan perbuatan pelaku, parameter keadilan dalam masyarakat , dan juga korban karena hal ini akan membawa implikasi pada hukuman yang dijatuhkan. Namun jika kita mengacu pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (untuk selanjutnya akan ditulis UU Kekuasaan Kehakiman), keadilan yang diharapkan diwujudkan oleh hakim pada tataran praktik dalam menjatuhkan putusan adalah keadilan yang ada dalam masyarakat. Pada situasi seperti ini maka tugas berat bagi seorang hakim karena diperlukan kebijaksanaan untuk memberikan pandangan keadilan dan kemanusiaan tersebut sebagai pertimbangan memberikan pemaafan sebagai wujud konkret keadilan yang diharapkan.

Dari keenam unsur di atas, beberapa unsur masih memiliki kekurangan seperti kata ‘dapat’ yang masih memberikan ruang kebolehan untuk menggunakan atau tidak menggunakan Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) serta makna keadilan dan kemanusiaan yang diharapkan dalam RKUHP itu sendiri. Namun perlu disadari bahwa penyusunan kodifikasi hukum pidana melalui RKUHP ini memang tidak mungkin dilakukan dengan sempurna karena diperlukan adanya penyesuaian dengan peraturan yang telah berlaku sehingga tidak terjadi ketimpangan. Selain itu beberapa materi hukum tertentu ada yang kompleks atau memang dalam teknis perumusannya materi hukum tersebut harus ditulis secara samar (tidak ditentukan kaku) karena adanya faktor sosial-politis yang berpengaruh pada perkembangan hukum itu sendiri. Maksudnya jika kita ambil contoh seperti unsur keadilan dan kemanusiaan di atas, rumusan ini memang tidak diberikan definisi ataupun pemaknaan secara limitatif, namun mengingat ketentuan pasal ini memberikan pedoman kepada hakim maka dapat diteliti dalam UU Kekuasaan Kehakiman, walaupun dalam UU Kekuasaan Kehakiman juga hanya hanya disebutkan rasa keadilan masyarakat yang menurut penulis juga masih begitu luas tetapi mengingat dengan semakin berkembangnya kehidupan manusia, maka makna keadilan dan kemanusiaan pun pasti akan ikut berkembang sehingga apabila dirumuskan secara limit pada parameter tertentu belum tentu dapat sesuai dengan kebutuhan hukum di masa mendatang15.

Selain dalam Pasal 54 ayat (2), konsep Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) juga diberikan perincian dalam Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) terkait hal apa saja yang harus dilakukan serta syarat yang harus dipenuhi demi memberikan kepastian hukum. Dalam Pasal 70 ayat (1) merumuskan ketentuan sebagai berikut :

“Dengan tetap mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 54, pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan:

  • a.    terdakwa adalah Anak;

  • b.    terdakwa berusia di atas 75 (tujuh puluh) tahun;

  • c.    terdakwa baru pertama kali melakukan Tindak Pidana;

  • d.    kerugian dan penderitaan Korban tidak terlalu besar;

  • e.    terdakwa telah membayar ganti rugi kepada Korban;

  • f.    terdakwa tidak menyadari bahwa Tindak Pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;

  • g.    tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;

  • h.    Korban tindak pidana mendorong atau menggerakkan terjadinya Tindak Pidana tersebut;

  • i.    tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi;

  • j.    kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan Tindak Pidana yang lain;

  • k.    pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;

  • l.    pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan diperkirakan akan berhasil untuk diri terdakwa;

  • m.    penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat berat Tindak Pidana yang dilakukan terdakwa;

  • n.    Tindak Pidana terjadi di kalangan keluarga; dan/atau

  • o.    Tindak Pidana terjadi karena kealpaan.”

Ketentuan pasal ini telah memperluas makna dan memprioritaskan pemaafan hakim yang telah ditentukan dalam Pasal 54 ayat (2) karena merumuskan secara lebih rinci kemungkinan penerapan konsep Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) dalam beberapa keadaan sehingga pemaafan yang diberikan memang sesuai dan tepat sasaran. Rumusan pasal 70 ayat (1) ini juga menjawab persolan hukum pidana yang selama ini dinilai cenderung kaku dan tidak memihak kepada pelaku dan masyarakat.

Dalam Pasal 70 ayat (2) kembali menekankan kualifikasi pidana yang sangat jelas dalam penerapan konsep Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) yang pada pokoknya menyatakan bahwa “ketentuan dalam Pasal 70 ayat (1) tidak dapat diterapkan dalam hal tindak pidana tersebut diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, tindak Pidana yang diancamkan dengan pidana minimum khusus, atau tindak pidana tertentu yang dinilai sangat membahayakan atau merugikan masyarakat, atau merugikan keuangan atau merugikan perekonomian negara”. Ketentuan pasal ini menunjukkan bahwa konsep Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) hanya berlaku pada kasus tertentu dan tidak mudah diputuskan begitu saja karena harus memenuhi unsur dan sesuai dengan spesifikasinya. Dengan diaturnya secara eksplisit ketentuan yang berkaitan dengan konsep Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) diharapkan penjatuhan sanksi pidana dapat dijalankan dengan baik dan dapat mewujudkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum itu sendiri.

Jika ditinjau lebih dalam, maka intisari dari konsep Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) adalah hakim menjatuhkan putusan bersalah tanpa pidana. Maksudnya, ketika Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan kepada Pengadilan dan terdakwa terbukti melakukan suatu tindak pidana tetapi hakim tidak menjatuhkan pidana ataupun mengenakan tindakan kepada terdakwa dengan kata lain bahwa hakim memberikan ‘maaf’ pada terdakwa karena mempertimbangkan keadilan dan kemanusiaan. Hakim diberikan ruang untuk memberikan pemaafan dalam wujud pembebasan dari hukuman kepada pelaku tindak pidana karena apabila pidana itu dijatuhkan akan tidak sesuai dengan keadilan yang dipandang oleh masyarakat. Konsep Rechterlijk Pardon yang difromulasikan pada RKUHP ini berkaitan erat dengan tujuan pemidanaan yang mengarah pada nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan sesuai nilai Pancasila. Suatu kemajuan pula dalam hukum pidana Indonesia karena secara terang kini tujuan pemidanaan dicantumkan dalam RKUHP yakni diatur dalam Pasal 51 yang pada pokoknya merumuskan 4 tujuan pemidanaan yakni mencegah dilakukannya tindak pidana; memasyarakatkan terpidana yang dilakukan dengan binaan dan bimbingan agar kembali menjadi orang baik; menyelesaikan konflik/permasalahan yang diakibatkan oleh terjadinya tindak pidana, mengembalikan keseimbangan,

menghadirkan perasaan aman dan juga damai dalam hati masyarakat; menumbuhkan perasaan menyesal serta membebaskan perasaan bersalah pada terpidana. Dengan dirumuskannya tujuan pemidanaan dalam RKUHP maka hakim harus lebih mempertimbangkan efektivitas dari pemidanaan itu sendiri, tidak hanya dorongan untuk memenjarakan pelaku tetapi juga melihat pada apa yang ingin dicapai dari pemidanaan tersebut.

Formulasi ini jauh berbeda dengan hukum pidana positif (KUHP) saat ini yang bersifat sangat kaku dimana pemidanaan hanya berpatokan pada tiga pokok masalah utama hukum pidana yaitu tindak pidana, kesalahan, dan sanksi (pidana). Sejatinya orientasi hukum pidana tidak patut hanya pada perbuatan yang dilakukan oleh manusia saja karena hal itu akan mengarah pada pembalasan dan hukum pidana yang tidak berperikemanusiaan, tetapi sebaliknya tidak dibenarkan pula apabila hukum pidana hanya berfokus pada pelaku saja, sebab jika demikian hukum pidana akan gagal menjadi bagian dari hukum publik karena mengabaikan kepentingan luas seperti kepentingan masyarakat, negara, dan korbannya. Pemidanaan dengan konsep Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) dalam RKUHP ini diharapkan dapat mengubah arah penjatuhan pidana yang bertujuan untuk menyeimbangkan standar umum keadilan dalam masyarakat terhadap suatu tindak pidana. Oleh karena itu ketika RKUHP ini disahkan maka hakim dalam memutuskan pemidanaan terhadap terdakwa (justifikasi pemidanaan) harus mempertimbangkan dari sudut tindak pidananya, kesalahan, serta tujuan pemidanaannya sesuai dengan yang telah dirumuskan16. Sehingga secara konseptual dengan diformulasikannya Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) dalam RKUHP telah menggeser pemidanaan yang bersifat kaku atau absolut menjadi lebih fleksibel dan menyesuaikan dengan tujuan dan nilai Pancasila.

  • 3.2    Urgensi Kebijakan Formulasi Pemaafan (Rechterlijk Pardon) dalam RKUHP

Hukum pidana sering dikategorikan hukum yang memiliki sifat kekhususan yaitu dalam sanksi atau penjatuhan pidananya. Pentingnya penjatuhan pidana bagi terdakwa sebagai reaksi sosial manakala terjadi pelanggaran mendorong dilakukannya berbagai upaya untuk menciptakan pengukuran pidana yang sesuai dengan kondisi terdakwa. Walaupun dalam upaya tersebut tidak selalu dapat mengakomodir kepentingan masyarakat secara seimbang sehingga seringkali putusan penjatuhan pidana dipandang tidak berkeadilan. Pada tahap mengadili yang menjadi pusat dari sistem peradilan pidana akan diputuskan apakah terdakwa terbukti bersalah sehingga dipidana atau tidak bersalah sehingga dapat dilepaskan dari tuntutan hukum. Dalam hal penjatuhan pidana banyak persoalan yang harus diperhatikan oleh pengadilan khususnya majelis hakim yang mengadili. Pertimbangan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seperti unsur kesalahan (sebagaimana adagium geenstraaf zonder schuld “tiada pidana tanpa kesalahan”), sikap bathin, modus operandi, latar belakang sosial dan ekonomi dari pelaku tindak pidana, stigmatisasi apabila dijatuhi pidana, bagaimana pengaruhnya tindak pidana pada diri pelaku sendiri, korban, dan masyarakat, serta pemaafan dari korban menjadi dasar penjatuhan pidana sebagai pemenuhan kepentingan masyarakat dan individu dengan pertimbangan keadilan dan

kemanusiaan berdasarkan daad-dader strafrecht17. Karakter daad-dader strafrecht kini semakin diunggulkan dalam RKUHP yang tercermin dalam beberapa ketentuan baru seperti diaturnya secara eksplisist verbis mengenai tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan yang di dalamnya mengatur mengenai Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim), pasangan sanksi pidana dan tindakan, serta adanya pengaturan batas minimum mengenai pemidanaan dan tindakan bagi anak. Berkaitan dengan formulasi Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) dalam RKUHP tentu bukan tanpa alasan yang kuat karena lahirnya norma dalam suatu peraturan perundang-undangan pasti didasarkan oleh alasan-alasan yang jelas. Berikut penulis uraikan pertimbangan dan pentingnya Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) diformulasikan dalam RKUHP.

Pertama ditinjau secara filosofis, sebagai Negara dengan Ideologi Pancasila, pembentukan suatu hukum yang nantinya berlaku di Indonesia sudah sepatutnya mengacu dan sesuai dengan Pancasila serta norma dalam UUD NRI 1945 sebagai grundnorm (norma dasar) dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Formulasi Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) mempertimbangkan nilai kemasyarakatan dan kemanusiaan sebagaimana yang diamanatkan dalam sila Pancasila ke-2 dan sesuai dengan tujuan dari pemidanaan dalam RKUHP yang meletakkan konsep bahwa pemidanaan bukan untuk penderitaan ataupun merendahkani martabat seseorang. Tidak hanya itu formulasi Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) di dalam RKUHP juga mempertimbangkan nilai keadilan yang ada di masyarakat. Dari tujuan yang dimiliki oleh hukum untuk menciptakan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan pada kenyataannnya ketiga tujuan hukum ini belum dapat berjalan secara berimbang, khususnya dalam putusan pidana oleh hakim yang condong pada kepastian hukum karena mengarah pada bagaimana mewujudkan hukum itu sesuai undang-undang sehingga semata-mata hanya menjadi corong undang-undang dan mengesampingkan keadilan dan kemanfaatan dari hukum bagi masyarakat. Bahkan dirumuskan dalam RKUHP ketika terjadi benturan antara kepastian dan keadilan hokum maka keadilan yang diutamakan karena ketika masyarakat merasakan keadilan dari suatu hukum maka saat itu kemanfaatan dari hukum juga diperoleh18. Hal ini sejalan dengan amanat dari sila Pancasila ke-5 yakni nilai keadilan bagi rakyat Indonesia. Selain itu dalam konstitusi UUD NRI 1945 khususnya bagian Pembukaan alinea keempat juga menegaskan salah satu tujuan negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Melalui dasar filosofis ini, pembentukan suatu hukum apalagi hukum pidana harus memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga keberadaan formulasi Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) sebagai ius constituendum yang dirumuskan dalam RKUHP merupakan wujud pemenuhan perasaan hukum masyarakat berdasarkan keseimbangan antara keadilan, kepastia, kemanfaatan dan kemanusiaan yang selama ini masih sangat kaku diterapkan dalam penjatuhan pidana.

Kedua ditinjau secara yuridis, dalam hukum pidana positif saat ini tidak terdapat aturan yang menerangkan mengenai Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim). Sebagaimana telah dijelaskan bahwa KUHP hanya meletakkan sistem pemidanaan yang kaku berdasarkan pada tiga persoalan pokok seolah-olah menunjukkan bahwa tujuan

pemidanaan berada di luar sistem sehingga tidak dirasakan oleh masyarakat. Diformulasikannya Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) di dalam RKUHP untuk menjawab persoalan kekosongan hukum (rechtsvacuum) ketika hakim berpandangan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana tidak harus dijatuhi pidana. Oleh karena itu dengan penegasan norma Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) di dalam RKUHP, hakim dapat memberikan pemaafan manakala penjatuhan tindak pidana tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan dan nilai-nilai yang terkandung Pancasila. Penegasan ini berkaitan dengan konsekuensi logis sebagai negara hukum yakni jaminan terhadap kepastian hukum maka harus dituangkan dalam norma peraturan perundang-undangan. Berdasarkan teori hukum progresif oleh Satjipto Raharjo yang menyatakan “hukum itu adalah untuk manusia bukan sebaliknya manusia untuk hukum dan hukum yang progresif merupakan bentuk pengembangan hukum dengan nilai keadilan di masyarakat karena hukum tidak hanya sekadar aturan pasal-pasal tetapi juga persoalan kepekaan nurani”, maka munculnya formulasi Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) menjadikan hukum pidana di masa mendatang sebagai reaksi daripada berlakunya hukum yang progresif tersebut19.

Ketiga ditinjau secara sosiologis selain sebagai respon terhadap perkembangan hukum pidana internasional dimana beberapa Negara di Eropa telah mengakomodir keberadaan formulasi Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) dalam hukum positifnya salah satunya Negara Belanda yang pertama kali memunculkan konsepsi Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim), tetapi yang terpenting tolak ukur pembentukan Hukum di Indonesia adalah harus sesuai dengan nilai dan budaya Bangsa Indonesia. Adanya formulasi Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) dalam RKUHP merupakan salah satu bentuk pemenuhan tuntutan, kehendak, serta kebutuhan hukum masyarakat. Pada konteks ini Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) diharapkan dapat menjadi hukum yang mewujudkan ide dan konsep yang diterima oleh masyarakat dalam bentuk yang konkret (the ideas and concepts of justice accepted by the people of justice in concrete forms)20, yakni dalam wujud putusan hakim yang dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat sesuai dengan karakter bangsa Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Pentingnya perumusan Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) dalam RKUHP jika berkaca pada penegakan hukum khususnya penjatuhan pidana oleh hakim, nampak putusan pemidanaan oleh hakim hanya dilakukan sebagai sebuah pekerjaan ‘mengadili’ yang hanya mengedepankan rumusan delik saja, jika hakim memandang perbuatan yang didakwakan telah terbukti memenuhi unsur dalam tindak pidana maka pidana akan dijatuhkan tanpa meneliti lebih jauh apakah perbuatan tersebut benar-benar bertentang dengan kepatutan yang ada di masyarakat, bagaimana kondisi pelaku pada saat dilakukan dan setelahnya serta dampak yang ditimbulkan dari perbuatan, dan juga jarang mempertimbangkan apakah dengan memberikan putusan pidana akan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat.

Untuk mendukung tinjauan secara sosiologis ini, dapat kita amati dari beberapa kasus yang melahirkan banyak kritik dari masyarakat Indonesia yang merasa bahwa kasus tersebut tidak sesuai dengan perasaan hukum masyarakat dan menyimpangjauh

dari tujuan pemidanaan dan hukum yang adil. Dalam kasus pencurian buah kakao misalnya, pelaku yang merupakan seorang lanjut usia (Nenek Aminah) diputus bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwekorto dengan Putusan No. 247/Pid. B/2009/PN. PWT. Dalam pertimbangan hukum atas kasus Nenek Aminah didasarkan pada rumusan delik pada Pasal 362 KUHP, bagi pengadilan dengan terbuktinya perbuatan mengambil tiga buah kakao milik perusahaan yang disadari dan didasari dengan niat untuk memiliki dianggap cukup sebagai dasar untuk menyatakan bahwa Nenek Aminah melakukan tindak pidana pencurian dan oleh karenanya dipidana. Kemudian dari segi melawan hukum perbuatannya, pertimbangan pengadilan hanya pada fakta bahwa buah kakao tersebut milik perusahaan yang hendak dimiliki secara tidak patut, pengadilan tidak mempertimbangkan apakah ketidakpatutan maksud pelaku untuk memiliki buah kakao tersebut mempengaruhi standar masyarakat. Di sisi lain, pengadilan menyampaikan argumentasi yang meringankan pidana yaitu karena Nenek Aminah lanjut usia, berprofesi sebagai petani tua yang tidak memiliki apa-apa, objek yang dicuri berupa tiga buah kakao dari sisi perusahaan tidak menyebabkan kerugian yang berarti, dan Nenek Aminah juga telah mengakui perbuatannya serta meminta maaf21. Terhadap kasus ini majelis hakim menjatuhkan pidana selama 1 bulan dan 15 hari dengan 3 bulan masa percobaan22. Putusan hakim ini menarik banyak empati dari masyarakat karena dianggap melukai hati rakyat. Selain itu masyarakat menilai bahwa putusan ini juga kurang memperhatikan bagaimana keadaan, keharusan hukum tersebut dilaksanakan, serta kepatutan dalam masyarakat karena dengan pertimbangan dan argumentasi dari hakim yang mengadili dinilai tidak seharusnya diajuhi hukuman atau dengan kata lain dapat dibebaskan. Walaupun akhirnya dalam putusan menyatakan bahwa Nenek Aminah tidak perlu menjalani pidana tersebut kecuali apabila masa percobaan 3 bulan belum habis dan terdapat putusan pidana yang inkrah karena kembali melakukan tindak pidana (dalam hal ini adalah pidana bersyarat), tetapi putusan ini tetap membuat masyarakat menaruh mosi tidak percaya terhadap penegak hukum23. Kasus-kasus seperti ini tidak jarang terjadi di Indonesia dan semakin membuat prihatin sistem pemidanaan di Negara Hukum ini. Bayangkan jika kasus-kasus seperti ini seluruhnya dijatuhi hukuman kurungan atau pidana penjara padahal pada kenyataannya saat ini kondisi penjara di Indonesia sudah over capacity yakni 260.281 narapidana yang tersebar di 524 lapas dengan kapasitas yang seharusnya hanya 130.00024. Hal ini pun juga tidak akan sesuai dengan tujuan daripada pemidanaan untuk memulihkan keseimbangan karena justru sebaliknya akan menyebabkan kerugian secara sistemik tidak hanya pada borosnya pengeluaran negara untuk membiayai para narapidana tetapi juga berdampak

pada tidak efektifnya tujuan pemasyarakatan dalam lapas. Apalagi dewasa ini penjatuhan pidana penjara dinilai tidak efektif lagi karena menimbulkan dampak negatif yang besar bagi narapidana yang cenderung tidak lagi memberikan efek jera tetapi justru memberikan ‘ruang belajar’ bagi narapidana untuk menjadi lebih jahat lagi25.

Dari sudut pandang masyarakat menilai bahwa hukum dalam putusan hakim ini runcing ke bawah apalagi jika dibandingkan dengan tindak pidana pencurian oleh elit politik tetapi jika ditinjau dari sudut pandang hakim dalam pengadilan juga tidak memiliki pilihan hukum lainnya selain menjatuhkan pidana sebagaimana yang disyaratkan dalam hukum positif yang berlaku. Walaupun dalam keyakinannya hakim ingin membebaskan terdakwa, tetapi karena terganjal dengan ketentuan yuridis formal yakni asas legalitas dalam hukum pidana positif yang tidak memberikan ruang bagi hakim untuk membebaskan dari hukuman terdakwa yang terbukti bersalah, maka demi kepastian hukum agar tidak menyimpangi asas legalitas hakim tetap menjatuhkan pidana26. Oleh karena itu Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) penting dan sangat tepat dirumuskan dalam RKUHP karenaa apabila ini diterapkan dalam sistem pemidanaan di Indonesia, maka hukuman yang bersifat penderitaan seperti pidana penjara atau kurungan dapat dijadikan alternatif jika tidak ada hukuman lain yang dapat diputus tentunya dengan tetap mempertimbangkan berbagai aspek sehingga memenuhi seluruh dimensi keadilan.

  • 3.3    Tantangan Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim) di Masa Mendatang

Penerapan suatu hukum pada hakikatnya merupakan penyelenggaraan setiap aturan kesatuan hukum dalam masyarakat27. Keberhasilan penerapan hukum tidak dapat terlepas dari unsur sistem hukum sebagaimana yang disampaikan oleh Lawrence M. Friedman dalam teorinya “sistem hukum atau legal system” yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Proses penjatuhan pidana tidak dapat dilepaskan dari dari proses hukum sebelumnya yang dimulai dari proses penyelidikan kemudian dilanjutkan dengan penyidikan, dan penuntutan sampai pada proses persidangan di pengadilan. Sebagai pusat sistem peradilan pidana, dalam konteks penjatuhan pidana dengan konsep Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) diperlukan adanya pemikiran, pemahaman, dan pertimbangan yang teliti dan cermat, karena jika tidak, maka dikhawatirkan konsep Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) ini hanya akan berperan sebagai ‘menara gading’ yang nampak indah di permukaan atau mungkin hanya akan menjadi pasal mati. Dalam hal ini peran hakim menjadi sangat strategis karena keadilan yang ingin dicapai dalam konsep Rechterlijk Pardon ini hanya dapat diberikan oleh hakim. Pada tahapan sebelumnya seperti penyelidikan, tahap penyidikan, dan penuntutan tidak memiliki kewenangan untuk memberikan pemaafan apalagi bukti

permulaan dan petunjuk lainnya menguatkan bahwa tindakan tersebut merupakan tindak pidana sehingga harus diproses hukum28.

Selain itu dalam rumusan Pasal 54 ayat (2) unsur-unsur yang dibentuk bukanlah sebagai kesatuan yang kumulatif, terbukti dengan penggunaan tanda baca koma(..,) dan atau(…/…) sehingga apabila hanya salah satu unsur yang terpenuhi maka hakim tetap bisa memberikan putusan dengan Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) dan tantangan besar bagi hakim sebagai puncak peradilan karena bila hakim tidak dengan cermat dan bijaksana dalam menerapkan formulasi ini maka bukan keadilan yang di dapat tetapi justru akan banyak kasus yang lepas dari hukuman.

Dari sudut budaya hukum dalam masyarakat, sudah barang tentu berkaitan dengan rasa keadilan masyarakat (moral justice) yang selama ini dianggap jarang terpenuhi dan dilukai oleh adanya putusan-putusan hakim sehingga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap para penegak hukum. Tantangan formulasi Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) ini berkaitaan pada bagaimana dapat mengembalikan citra dan wibawa penegak hokum serta kepercayaan masyarakat pada hukum yang berkeadilan dan dapat menjadi cerminan dari pemidanaan yang dilaksanakan dengan nilai kemanusiaan sesuai tujuan pemidanaan dan falsafah Pancasila. Di sisi lain tantangan yang muncul adalah bagaimana konsep Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) yang diformulasikan dalam RKUHP tidak menurunkan tingkat ketaatan masyarakat terhadap hukum yang berlaku. Jangan sampai dengan adanya konsep Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) justru memberi celah melakukan tindak pidana, oleh karena itu dalam hal ini tentunya diperlukan adanya keasadaran hukum dari masyarakat itu sendiri dan sosioalisasi edukasi dari pihak yang berwenang terhadap konsep yang baru ini.

  • 4.1    Kesimpulan

Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) dalam RKUHP menaruh konsep bahwa hakim diberikan ruang untuk tidak menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana sesuai dengan yang didakwakan dengan memenuhi unsur-unsur dan alasan keadaan yang ditentukan pada Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) dengan mempertimbangkan keadilan dalam masyarakat dan kemanusiaan.

Urgensi Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) yang diformulasikan dalam RKUHP ditinjau secara filosofis telah sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila serta tujuan Pemidanaan yang tidak merendahkan martabat manusia, secara yuridis sebagai bentuk konsekuensi logis Negara hukum sehingga harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, dan secara sosiologis berkaca pada kasus-kasus yang telah terjadi ternyata putusan hakim dinilai hanya menerapkan hukum secara imperatif dan mengesampingkan nilai keadilan dalam masyarakat dan kemanusiaan.

Tantangan yang akan muncul di masa mendatang adalah terletak pada hakim yang harus secara cermat dan bijaksana menerapkan konsep Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) sehingga dapat mewujudkan keadilan bagi seluruh pihak dan tantangan untuk bagaimana menetapkan ketaatan atau kepatuhan hukum masyarakat apabila konsep Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) diterapkan.

  • 4.2    Saran

Diperlukan adanya penjelasan dari masing-masing unsur yang terdapat dalam rumusan pasal terkait Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) sehingga tidak menimbulkan banyak intepretasi hakim dalam penerapan konsep ini nantinya. Mengacu pada begitu pentingnya pembaharuan hukum pidana nasional khususnya pada keperluan terhadap pemenuhan tuntutan hukum yang berkeadilan bagi masyarakat lebih spesifik lagi melalui adanya konsep Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim), maka kiranya bagi lembaga pembentuk undang-undang agar dapat dengan segera merampungkan perubahan-perubahan dalam RKUHP dan segera mengesahkan RKUHP sehingga sistem peradilan pidana yang sesuai dengan Bangsa Indonesia dapat segara diterapkan.

Diperlukan adanya suatu upaya adaptasi tambahan khususnya bagi para hakim terkait dengan konsep Rechterlijk Pardon (pemaafan hakim) ini karena apabila konsep ini diterapkan dengan benar maka keadilan yang diharapkan dalam masyarakat akan terwujud, tetapi sebaliknya apabila keliru menerapkan konsep ini maka banyak kasus tindak pidana yang seharusnya ditindaklanjuti akan lepas dari hukuman.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Asyhadie, H. Zaeni dan Rahman, Arief. Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2014).

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum (Jakarta, Prenada Media, 2005).

Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana Edisi Revisi (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2016)

Setiabudhi, I Ketut Rai. Hukum Adat Pidana (Denpasar, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2020).

Zaidan, Ali. Menuju Pembaharuan Hukum Pidana (Jakarta, Sinar Grafika, 2015).

Jurnal Ilmiah :

Achmad, Ruben. “Hukum Pidana Sebagai Suatu Sistem”. Jurnal Legalitas 3, no.2 (2012): 66 - 95.

Barlian, Aristo Evandy A dan Arief, Barda Nawawi. “Formulasi Ide Pemaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) dalam Pembaharuan Sistem Pemidanaan di Indonesia.” Jurnal Law Reform 13, no.1 (2017) : 28 - 44.

Darmadi, AA Ngurah Oka Yudistira. "Konsep Pembaharuan Pemidanaan dalam Rancangan Kuhp." Jurnal Magister Hukum Udayana 2, no. 2 (2013): 44212.

Destria, Erna Dewi dan Monica, Dona Raisa. “Prospektif Penerapan Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim) dalam Putusan Pengadilan (Studi Konsep RKUHP 2018).” Poenale: Jurnal Bagian Hukum Pidana 7, no. 1 (2015) : 1 - 11.

Dwiatmodjo, Haryanto. “Penjatuhan Pidana Bersyarat dalam Kasus Pencurian Kakao, Kajian Putusan Nomor 247/Pid. B/2009/ PN.PWT.” Jurnal Yudisial 5, no.1 (2012): 96 - 116.

Farikhah, Mufatikhatul. “Konsep Judicial Pardon (Pemaafan Hakim) dalam Masyarakat Adat di Indonesia”. Jurnal Media Hukum 25, no.1 (2018): 81 – 92.

Farikhah, Mufatikhatul. “Rekonseptualisasi Judicial Pardon Dalam Sistem Hukum Indonesia (Studi Perbandingan SIstem Hukum Indonesia dengan Sistem Hukum Barat).” Jurnal Hukum & Pembangunan 48, no. 3 (2018): 556 - 588.

Gunarto, Marcus Priyo. "Asas Keseimbangan Dalam Konsep Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana." Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 24, no.1 (2012): 83 - 97.

Hakim, Lukman. “Penerapan Konsep ‘Pemaafan Hakim’ sebagai Alternatif Dalam Menurunkan Tingkat Kriminalistas di Indonesia”. Jurnal Keamanan Nasional 5, no. 2 (2019): 185 - 201.

Irsan, Koesparmono. “Arah Politik Hukum Pidana dalam Rencana Undang-Undang Hukum Pidana.” Jurnal Keamanan Nasional 1, no.1 (2015): 79 - 104.

Marbun, Rocky. "Grand Design Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana Indonesia Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945." Padjadjaran Journal of Law 1, no. 3 (2014): 558-577.

Maulidah, Khilmatin dan Jaya, Nyoman Serikat Putra. “Kebijakan Formulasi Asas Permaafan Hakim dalam Upaya Pembaharuan Hukum Pidana Nasional”. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia 1, no.3 (2019) : 281 - 293.

Putra, Surya Desismansya Eka. “Bingkai Keadilan Hukum Pancasila dalam Perspektif Hukum dan Relevansinya dengan Keadilan di Indonesia.” Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Th 27, no.1 (2014): 49 - 57.

Putri, Ni Putu Yulita Damar, and Sagung Putri M.E Purwani. “Urgensi Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”. Jurnal Kertha Wicara 9, no.8 (2020): 1-13.

Putro, Widodo Dwi. “Mencari Kebenaran Materiil dalam Hard Case Pencurian Tiga Buah Kakao (Kajian Putusan Nomor 247/Pid. B/2009/ PN. PWT).” Jurnal Yudisial : Pergulatan Nalar & Nurani 3, no.3 (2010) : 220 - 236.

Rohayati, Dewi. “Pengaturan Yudisial Pardon dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia “. Wacana Paramarta : Jurnal Ilmu Hukum 15, no. 2 (2016): 1- 15.

Rumengan, Nova J. “Pemaafan dan Restorative Justice dalam Perkara Pidana di Indonesia”. Jurnal Lex Privatum 5, no.7 (2017): 107 - 115.

Saputro, Ardery Ardhan. “Konsepsi Rechterlijk Pardon atau Pemaafan Hakim dalam Rancangan KUHP”. Jurnal Mimbar Hukum 26, no. 1 (2016): 61 - 67.

Sudiarawan, Kadek Agus, Putu Edgar Tanaya, and Bagus Hermanto. "Discover the Legal Concept in the Sociological Study." Substantive Justice International Journal of Law 3, no. 1 (2020): 94-108.

Yosuki, Asha dan Tawang, Dian Adriawan Daeng. “Kebijakan Formulasi Terkait Konsepsi Rechterlijk Pardon (Pemaafan Hakim) dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”. Jurnal Hukum Adigama 1, no.1 (2018): 1 - 25.

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Sumber Lain :

Naskah Akademik Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana per September 2019

Putusan Pengadilan Negeri Purwekerto Nomor 147/Pid. B/2009/PN. PWT

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana per September 2019

Website :

Direktori Putusan Mahkamah Agung, URL: https://putusan3.mahkamahagung.go.id/ diakses tanggal 27 Mei 2020

https://nasional.kompas.com/read/2020/04/14/134536291/kemenkumham-asimilasi-dan-pembebasan-bersyarat-tak-serta-merta-selesaikan/ diakses pada 27 Mei 2020

https://icjr.or.id/icjr-dalam-kasus-samirin-jaksa-penuntut-umum-dan-pengadilan-harus-perhatikan-penerapan-restorative-justice/ diakses pada 26 Juli 2020

Jurnal Kertha Wicara Vol.9 No.9 Tahun 2020, hlm. 1-18