PENGATURAN KEDUDUKAN KONSUMEN SEBAGAI KREDITOR DALAM PERSPEKTIF HUKUM KEPAILITAN

I Komang Ari Buana Nusantara Panasea, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: aribuana82@gmail. com

Ida Ayu Sukihana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: [email protected]. id

ABSTRAK

Tujuan studi ini untuk mengkaji bagaimana hakikatnya kedudukan konsumen serta pengaturan-pengaturan konsumen dalam kepailitan. Studi ini menggunakan metode penelitian normatif dengan kajian yang berfokuspadaperaturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kedudukan konsumen sebagai kreditor dalam kepailitan. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa hingga saat ini, dalam kepailitan kedudukan konsumen masih menjadi teka-teki tersendiri karena belum adanya pengaturan yang jelas terhadap kedudukan konsumen itu sendiri. Saat perusahaan telah dinyatakan pailit, seluruh harta milik debitur pailit yang dinyatakan dalam budel pailit tentunya akan dibagikan kepada seluruh krediturberdasarkan status piutangnya yakni diantaranya sebagai kreditor separatis, preferen, maupun konkuren. Perusahaan yang telah dinyatakan pailit tersebut, tentu tidak memiliki wewenang untuk mengurus maupun mengelola harta miliknya, hal tersebut juga termasuk dalam membayar utang maupun ganti rugi kepada konsumen, sehingga, Undang-Undang Kepailitanyang pada dasarnya dibuat untuk memberikan perlindungan bagi seluruh kreditur maupun debitur, namun dalam pengaturan tersebut belum ada kedudukan yang jelas mengenai kedudukan konsumen sebagai kreditur dalam kepailitan.

Kata Kunci : Kepailitan, Konsumen, Kreditor

ABSTRACT

The aim of this study is to examine how the nature of the position of consumers and consumer arrangements in bankruptcy. This study uses normative research methods with studies that focus on legislation relating to the position of consumers as creditors in bankruptcy. The results of this study indicate that until now, in the bankruptcy of the position of consumers is still a puzzle because there is no clear regulation of the position of consumers themselves. When a company has been declared bankrupt, all the assets of the bankrupt debtors declared in the bankruptcy bank will certainly be distributed to all creditors based on their receivable status, including among them as separatist, preferred, or concurrent creditors. Companies that have been declared bankrupt, certainly do not have the authority to manage or manage their property, italso includes paying debts or compensation to consumers, thus, the bankruptcy law which is basically made to provideprotection for all creditors and debtors, but in this regulation there is no clear position regarding the position of consumers as creditors in bankruptcy.

Keywords: Bankruptcy, Consumer, Creditor

  • 1.    PENDAHULUAN

    • 1.1    Latar Belakang

Pasca adanya era reformasi telah banyak dibentuk pengaturan-pengaturan yang mengatur secara khusus dalam keperdataan dengan menyesuaikan kondisi masyarakat Indonesia pada saat itu.1 Semakin berkembangnya kondisi ekonomi tentunya harus diimbangi dengan adanya pengaturan yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi itu sendiri. Disisi lain, semakin berkembangnya ekonomi nasional tentunya tidak menutup kemungkinan adanya sengketa-sengketa yang terjadi antar pelaku usaha. Tidak sedikit perusahaan yang melakukan perjanjian utang piutang dalam upaya mengatasi sengketa-sengketa tersebut dengan tetap menjaga kestabilan kondisi keuangan perusahaan. Namun, proses utang-piutang ini tidak selalu berjalan dengan baik yang mengakibatkan beberapa perusahaan tidak dapat membayar utangnya yang berujung dengan kepailitan2.

Kepailitan perusahaan tentu masih sering menjadi dilema tersendiri bagi para konsumen yang merasa sangat dirugikan karena hingga saat ini status konsumen sebagai kreditor dalam kepailitan masih menjadi teka-teki tersendiri karena tidak adanya pengaturan yang jelas. Konsumen yang merasa dirugikan tentu memiliki hak untuk meminta pembayaran yang dikategorikan sebagai utang perusahaaan yang harus dibayarkan oleh perusahaan pailit yakni sebagai kreditor dan debitor. Namun, dalam kepailitan, perusahaan “dalam pailit” tidak memiliki wewenang untuk mengelola hartanya sendiri termasuk dalam memberikan bentuk ganti rugi terhadap para konsumen yang merasa dirugikan. 3 Tentu saja hal tersebut semakin menggambarkan tidak adanya kedudukan yang jelas terhadap konsumen bagi perusahaan yang dipailitkan.

Konsep kepailitan pada hakikatnya dibuat sebagai upaya untuk menjamin pelunasan utang dari debitor kepada para kreditornya. Upaya ini memberikan solusi terhadap permasalahan dalam ketidakmampuan untuk membayar utang secara terbuka, cepat, dan efektif.4 Dengan dibuatnya konsep kepailitian ini diharapkan agar terjaminnya harta milik debitor pailit; kreditor yang memiliki hak jaminan kebendaan dapat lebih memperhatikan hak dari kreditor lain; dan permasalahan-permasalahan lain yang dapat timbul baik oleh debitor maupun debitor bisa dihindari.5

Suatu tindakan pailit merupakan tindakan dalam hal untuk melakukan pengurusan atau pemberesan seluruh harta milik debitor yang dalam hal ini dilakukan oleh kurator atau tim kurator maupun pengurus atau tim pengurus dengan pengawasan dari Hakim Pengawas.6 Setelah itu,

proses pemberesan harta pailit milik debitor akan diberikan kepada para kreditornya sesuai porsi besar tuntutan dari kreditor itu sendiri. Oleh karena itu, prinsip kepailitan tersebut adalah bentuk aktualisasi yang mengacu pada Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu dimana hak kebendaan yang dimiliki oleh debitor menjadi bentuk jaminan bagi para keditor secara bersama-sama yang diberikan secara proporsional berdasarkan prinsip “Pari Pasu Prorata Parte”7. Berdasarkan hal tersebut, pada hakikatnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU) diundangkan untuk mengatasi masalah kepailitan di Indonesia. Pasca berlakunya Undang-Undag Kepailitan dan PKPU, permohonan kepailitan yang dimohonkan baik oleh debitor maupun oleh kreditor meningkat pesat, tidak terkecuali permohonan kepailitan suatu BUMN. 8 Selain itu ditemukan pula fakta bahwa, banyak timbul permasalahan-permasalahan yang terjadi yang salah satunya yaitu masalah terkait perlindungan konsumen. Contoh kasus yang ada dalam hal ini yaitu kasus PT Telkomsel yang pernah dipailitkan pada tahun 2012 yang sempat meresahkan ratusan juta pelanggannya. Putusan Nomor: 48/Pailit/2012/PN.JKT.PST tersebut memutuskan bahwa PT Telkomunikasi Selular Tbk. Pailit dan menjadi putusan yang kontroversial yang dinilai tidak masuk akal dan banyak kelemahan dalam penerapan hukum yang terdapat dalam putusan tersebut. Karena pada dasarnya, Perusahaan tersebut merupakan perusahaan jasa layanan teknologi dan informasi terbesar di Indonesia dengan nilai aset Triliunan serta ratusan juta pelanggan menjadi pailit hanya dengan utang yang dimiliki dengan kisaran 5 Miliar Rupiah yang tentunya sangat meresahkan konsumen di seluruh Indonesia.9 Walaupun pada akhirnya dilakuan pembatalan terhadap putusan sebelumnya oleh Mahkamah Agung yang ditetapkan dalam putusan Nomor: 704 K/Pst.Sus/2012 dengan isi putusan membatalkan putusan pada pengadilan tingkat pertama.

Berdasarkan Pasal 3 ayat (4) dan ayat (5), asas dan tujuan dari perlindungan konsumen adalah agar terciptanya suatu suatu yurisdiksi yang dapat melindungi setiap kepentingan konsumen dengan dasar kepastian hukum serta keterbukaan informasi. Hal tersebut bertujuan agar menumbuhkan kesadaran dari para pelaku usaha terkait esensi dari perlindungan konsumen. Hal tersebut pada akhirnya akan menciptakan sikap yang terbuka dan transparan, serta bertanggung jawab bagi para pelaku kegiatan usaha.10

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur kedudukan konsumen sebagai kreditor yaitu sebagaimana yang tercantum pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Mengenai kedudukan konsumen dalam kepailitan diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen), KUH Perdata, Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Perasuransian (selanjutnya disebut Undang-Undang Perasuransian). Melihat dari keempat Undang-Undang tersebut, yang mengatur mengenai status atau kedudukan konsumen

secara jelas hanya terdapat pada Undang-Undang Perasuransian yaitu mengatur konsumen sebagai kreditor preferen.11. Namun, dalam tiga undang-undang lainnya hanya mengatur kedudukan konsumen secara tersirat, yaitu sebagai kreditor konkuren.

Berdasarkan hal tersebut dalam tulisan ini penulis ingin melakukan tinjauan yuridis secara komperhensif mengenai bagaimana bentuk serta pengaturan-pengaturan mengenai konsumen sudah memberikan kedudukan yang jelas atau tidak bagi konsumen sebagai kreditor dalam kepailitan melalui tulisan yang berjudul “PENGATURAN KEDUDUKAN KONSUMEN SEBAGAI KREDITOR DALAM PERSPEKTIF HUKUM KEPAILITAN”. Sebelumnya, telah terdapat 2 penelitian serupa yang membahas mengenai kedudukan kreditor dalam kepailitan yang berjudul “Perlindungan Hukum Kreditur Separatis Dalam Kepailitan” yang ditulis oleh Sularto, yang lebih mengkhusus dalam membahas mengenai kedudukan serta bentuk perlindungan kreditur separatis dalam kepailitan, serta penelitian yang berjudul “Tanggung Jawab Direksi PT Dewata Abdi Nusa yang Pailit Kepada Konsumen (Studi Kasus Perumahan Graha Dewata Kota Malang)” yang ditulis oleh Maria Widya Samina Boro, yang lebih mengkhusus membahas mengenai tanggung jawab dierksi terhadap konsumen dalam hal terjadi kepailitan terhadap perushaaan. Sedangkan, dalam penelitian ini penulis lebih menitikberatkan kedudukan konsumen sebagai kreditor secara menyeluruh untuk mengkaji kedudukan serta pengaturan mengenai konsumen dalam perspektif hokum kepailitan.

  • 1.2    Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan mengenai kedudukan konsumen dalam kepailitan?

  • 2.    Apakah pengaturan hukum di Indonesia mengenai konsumen sudah memberikan kedudukan yang jelas bagi konsumen sebagai kreditor dalam kepailitan?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi apa saja bentuk-bentuk ketentuan yang ada mengenai kedudukan konsumen dalam kepailitan serta menganalisis pengaturan-pengaturan hukum di Indonesia mengenai jelas atau tidaknya kedudukan konsumen sebagai kreditor berdasarkan hukum kepailitan di Indonesia

  • 2.     Metode Penelitian

Penulisan pada jurnal ini menggunakan metode penulisan penelitian hukum normatif dengan acuan menggunakan bahan pustaka atau data sekunder serta mengkaji literatur-literatur pada bidang ilmu hukum. Penulisan jurnal ini juga merupakan pengkajian terhadap satu norma terhadap norma lain dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan yang dijadikan sebagai objek kajian dalam jurnal ini yang merupakan sebagai sebuah konstruksi system norma. Peraturan perundang-undangan yang digunakan diantaranya mengenai peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, putusan Mahkamah Agung, serta pendapat para ahli (doktrin). 12 Selain itu penulis

juga menggunakan jurnal-jurnal ilmiah atau penelitian terdahulu yang diunduh melalui internet sebagai sumber pelengkap dalam penulisan jurnal ini.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.1    Pengaturan mengenai Kedudukan Konsumen dalam Kepailitan

Merujuk pada ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata bahwa menjelaskan definisi dari suatu perjanjian yaitu perjanjian sebagai suatu peristiwa atau perbuatan hukum oleh satu maupun kelompok orang untuk membuat hubungan hukum atau perikatan terhadap satu atau kelompok orang yang lainnya. Perjanjian yang dimaksud merupakan suatu persetujuan atau kesepakatan antara 2 orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu. Dalam dunia persaingan bisnis atau usaha yang sehat pada hakikatnya terdapat kesetaraan perlindungan dalam hukum antara konsumen dan pelaku usaha. Namun, pada faktanya tentu adanya kemungkinan- kemungkinan bahwa konsumen akan berada di posisi yang dirugikan jika tidak adanya pengaturan hukum yang seimbang antara pelaku usaha dengan konsumen itu sendiri. Karena pada dasarnya, pengaturan perlindungan konsumen adalah bagian yang fundamental dalam suatu kegiatan usaha, sehingga, hal ini dapat berakibat pada tidak selarasnya posisi atau hak yang dimiliki antara kedua pelaku kegiatan usaha tersebut.13

Melihat ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen bahwa konsumen didefinisikan sebagai orang yang mengkonsumsi atau menggunakan barang atau jasa yang terdapat dalam lingkungan masyarakat dengan tujuan baik untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan pribadi maupun dalam satu keluarga atau kelompok. Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Abdul Atsar & Rani Apriani dalam bukunya yang berjudul “Buku Ajar Perlindungan Konsumen” yang memberikan pernyataan bahwa “konsumen merupakan setiap orang yang memperoleh barang atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu.”14. Berdasarkan hal tersebut, menurut hemat penulis, bisa disimpulkan secara singkat bahwa konsumen merupakan pemakai dari sebuah produksi baik dalam bentuk barang maupun jasa untuk memenuhi tujuan atau kebutuhannya.

Dalam upaya pemenuhan tujuan maupun kebutuhannya, konsumen pada umumnya melakukan suatu perbuatan hukum dengan pelaku usaha untuk mendapatkan dan memiliki suatu barang atau jasa yakni melalui sebuah perjanjian. Misalnya dalam suatu perjanjian jual-beli barang atau jasa, pelaku usaha wajib untuk menyerahkan barang atau jasa yang dapat ia berikan, sedangkan disisi lain konsumen berkewajiban untuk melakukan pembayaran atas barang atau jasa tersebut. Mengenai pembayaran yang dilakukan oleh konsumen tersebut, maka timbulah piutang, sehingga, konsumen dikategorikan sebagai kreditor karena timbulnya suatu piutang tertentu akibat perjanjian maupun undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Sedangkan, berdasarkan

ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen didefinisikan sebagai suatu bentuk upaya jaminan terciptanya kepastian dan keadilan bagi konsumen (masyarakat) dalam memberikan perlindungan terhadap setiap konsumen. Sebagai bentuk perwujudan upaya tersebut, tentunya harus diwujudkan dengan adanya kejelasan pengaturan mengenai hal tersebut. Berikut beberapa pengaturan mengenai kedudukan konsumen dalam kepailitan adalah sebagai berikut :

  • a)    Ketentuan Pasal 1134 KUH Perdata, yakni mengatur tentang hak istimewa terhadap kreditor tertentu, dimana hak tersebut adalah hak yang timbul dari undang-undang kepada kreditor tertentu, sehingga kedudukan kreditor berpiutang memiliki kedudukan yang lebih didahulukan dibanding kreditor berpiutang lainnya, sehingga, semata-mata kedudukan tersebut dibedakan berdasarkan sifat dari piutangnya.

  • b)    Ketentuan Pasal 1135 KUH Perdata, yakni mengatur tentang tingkatan-tingkatan kreditor berpiutang berdasarkan masing-masing sifat hak istimewanya, diantaranya : • Kreditor separatis merupakan kreditor dengan kedudukan tertinggi yang memegang hak jaminan atas kebendaan, diantaranya seperti hak tanggungan, gadai, hipotek, fidusia atau hak lainnya15. Kreditor ini tetap dapat melaksanakan hak-hak yang dimiliki dengan seakan-akan bahwa kepailitan itu sendiri tidak terjadi.16

  • • Kreditor preferen yakni jenis kreditor yang sifat piutangnya diistimewakan atau diberi kedudukan istimewa oleh undang-undang.17 Kemudian, menurut Pasal 1149 dan 1139 KUH Perdata, kreditor preferen dibagi menjadi 2, yaitu :

  • 1)    umum; dan

  • 2)    khusus.

  • • Kreditor konkuren yakni jenis kreditor yang berbeda dari kreditor di atas dimana tidak memiliki jaminan kebendaan maupun kedudukan istimewa sebagaimana seperti kedua jenis kreditor sebelumnya, yang tercantum dalam Pasal 1131-1132 dan Pasal 1134-1135 KUH Perdata.18 Berdasarkan hal itu, kedudukan konsumen dalam kepailitan diposisikan sebagai kreditor konkuren, yang memiliki kedudukan paling rendah dibandingkan 2 jenis kreditor lainnya.

  • c)    Ketentuan Pasal 36, 37, dan 249 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, yakni :

  • •    Pasal 36 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, mengatur mengenai adanya perjanjian timbal balik yang timbul dalam kondisi tertentu oleh debitor pada saat putusan pailit diucapkan.

  • •    Pasal 249 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, mengatur mengenai adanya perjanjian timbal balik yang timbul dalam kondisi tertentu oleh debitor pada saat putusan PKPU diucapkan.

  • •    Pasal 37 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, yakni ketentuan mengenai hapusnya perjanjian timbal balik sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 36 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU telah diperjanjikan penyerahan benda

dagangan, dengan kondisi adanya putusan pailit sebelum dilasanakannya peneyerahan tersebut.

Ketiga ketentuan tersebut tidak menentukan dengan jelas mengenai kedudukan konsumen di dalam kepailitan. Namun, ketiganya hanya mengatur sebatas hal berkaitan dengan perjanjian timbal balik.

  • d)    Ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Perasuransian, yakni mengatur bahwa pemegang polis memiliki kedudukan istimewa jika terjadi kepailitan terhadap Perusahaan Asuransi maupun Perusahaan Reasuransi. Ketentuan tersebut menyatakan pemegang polis yang dalam hal ini sebagai konsumen bagi perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi, memiliki kedudukan sebagai kreditor preferen. Dalam ketentuan tersebut telah diatur secara tegas jelas bahwa kedudukan konsumen dalam hal kepailitan perusahaan asuransi maupun reasuransi yaitu sebagai kreditor preferen.

  • 3.2    Jelas atau Tidaknya Kedudukan Konsumen dalam Kepailitan

Penegakan hukum pada dasarnya ditujukan guna menjamin adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam lingkungan masyarakat. 19 Penegakan hukum dapat dikatakan sebagai proses dilakukannya upaya untuk ditegakannya suatu kaidah hukum sebagai bentuk implementasi nyata dari pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan hukum di lingkungan masyarakat. Pada hakikatnya, syarat dalam proses penegakan hukum harus memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang ada yang terdiri dari beberapa faktor proses penegakan hukum, yaitu diantaranya :

  • a)    Faktor Hukumnya Sendiri (Undang-Undang)

Yakni dimana hukum atau undang-undang itu sendiri yang memenuhi unsur-unsur yuridis, sosiologis, dan filosofis suatu undang-undang yang memadai. Namun, pada prakteknya dalam penyelenggaraan penegakan hukum sering timbul konflik hukum antara mewujudkan kepastian hukum dan mewujudkan keadilan dikarenakan konsep keadilan yang cenderung bersifat abstrak sedangkan konsep kepastian hukum yang lebih cenderung ditentukan secara normatif (mutlak).

  • b)    Faktor Aparat Penegak Hukum

Yakni lembaga yang memiliki wewenang dalam menegakkan hukum. Dalam faktor ini, yang menjadi penentu berhasilnya penegakan hukum yaitu kepribadian dari para aparat penegak hukumnya itu sendiri, sehingga, para aparat penegak hukum harus menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran dalam menegakkan hukum yang berlaku.

  • c)    Faktor Masyarakat.

Yakni lingkungan, yang dalam hal ini adalah lingkunan dalam masyarakat yang ditegakkan harus melaksanakan hukum yang berlaku dan dapat diatur dengan baik.

  • d)    Faktor Sarana dan Prasarana

Yakni seluruh fasilitas atau infrastruktur yang tersedia dalam mendukung proses berjalannya penegakan hukum itu sendiri.

  • e)    Faktor Kebudayaan

Yakni kebudayaan sebagai dasar berlakunya hukum adat.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa seluruh faktor tersebut bersifat saling mempengaruhi sebagai esensi dari penegakan hukum serta menjadi pedoman atau acuan dalam mewujudkan penegakan hukum itu sendiri secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, mengenai berhasil tidaknya penegakan hukum sangat bergantung pada faktor-faktor tersebut.20

Sedangkan, menurut Lawrence Friedman terdapat 3 (tiga) hal yang harus dipahami yang menjadi unsur penentu dalam penegakan hukum itu sendiri, diantaranya : a) Struktur Hukum

Struktur hukum yang dimaksud yaitu berkaitan dengan wilayah yurisdiksi pengadilan, jumlah hakim, serta tingkat pengadilan.

  • b)    Substansi Hukum

Substansi hukum merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai bagamaina sebuah institusi atau lembaga harus berperilaku.

  • c)    Budaya Hukum

Budaya hukum merupakan perilaku atau elemen nilai-nilai sosial yang berperan dalam memberikan jiwa terhadap kedua unsur di atas.

Berdasarkan seluruh pendapat ahli tersebut, dapat dilihat bahwa, dalam halnya kedudukan konsumen dalam kepailitan terdapat kelemahan dari ketentuan yang membahas mengenai kedudukan yang tidak memenuhi unsur substansi hukum serta menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, Undang-UndangPerlindungan Konsumen, serta KUH Perdata tidak mengatur secara tegas mengenai kedudukan konsumen dalam kepailitan. Kedudukan konsumen dalam kepailitan secara tegas hanya diatur pada Pasal 52 Undang-Undang Perasuransian yaitu sebagai kreditor preferen.21 Namun, hal tersebut hanya terbatas pada konsumen yang dalam hal ini yaitu para nasabah atau pemegang polis. Selain itu, ketentuan tersebut berbeda dengan ketentuan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang mengatur konsumen sebagai kreditor konkuren, dikarenakan konsumen tidak memiliki kedudukan yang istimewa atau hak jaminan kebendaan, sebagaimana kedudukan konsumen dalam kasus Telkomsel dan Batavia Air yang tidak memiliki kedudukan yang jelas dalam kasus tersebut.22

Pada dasarnya dalam hukum berlaku asas yang menyatakan “ketentuan yang bersifat lebih khusus dapat mengesampingkan ketentuan lain yang bersifat lebih umum umum”. Dalam menerapkan hal tersebut, terdapat beberapa prinsip yang harus dipahami, diantaranya :23

  • a)    Dalam hal terdapat peraturan yang bersifat lebih umum maka akan tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam peraturan yang bersifat lebih khusus tersebut;

  • b)    Peraturan yang bersifat khusus tersebut harus memiliki kedudukan sederajat dengan peraturan yang bersifat umum;

  • c)    Jika terdapat suatu kondisi sebagaimana yang dimaksud dalam poin a dan b, harus berada dalam lngkungan hukum yang sama dengan peraturan yang bersifat lebih umum (KUHD dan KUH Perdata yang dalam hal ini keduanya berada dalam lingkup hukum perdata).

Berdasarkan uraian di atas, walaupun perkara tersebut merupakan perkara kepailitan, namun mengenai kedudukan pemegang polis sebagai konsumen diatur secara mengkhusus dalam Undang-Undang Perasuransian. Sebagaimana dalam kasus kepailitan perusahaan perasuransian yakni Bumi Asih Jaya, kedudukan seluruh nasabah atau pemegang polis sebagai kreditor preferen yaitu kreditor yang memiliki utang yang muncul sebagai akibat dari suatu kewajiban atau oleh Undang-Undang (Undang-Undang Perasuransian) diberi kedudukan istimewa.

Mengacu pada uraian sebelumnya, muncul ketidakselarasan yang terlihat antara Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dan Undang-Undang Perasuransian serta Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Adanya ketidakselarasan tersebut tentu memunculkan problematika pertentangan dengan asas yang menjadi dasar dalam setiap pembentukan peraturan di Indonesia yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara garis besar mengatur mengenai sistem tingkatan peraturan perundangan di Indonesia, yakni dalam hal jenis, hierarki, serta penyusunannya. Asas-asas tersebut terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdiri sebagai berikut :

  • a)    Asas kejelasan tujuan, yakni setiap dalam pembentukannya, dalam mencapai tujuannya wajib memiliki tujuan yang jelas;

  • b)    Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, yakni setiap pembentukannya harus dilakukan oleh suatu pejabat yang berwenang dalam pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri. Apabila dalam pembentukannya tidak dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang maka hasil pembentukan peraturan tersebut menjadi batal atau tidak berlaku;

  • c)    Asas kesesuaian, yakni setiap muatan dalam pembentukan peraturan tersebut haruslah tepat dan sesuai dengan jenis maupun hierarki yang berlaku di Indonesia;24 d) Asas dapat dilaksanakan, yakni dalam kehidupan masyarakat dari faktor filosofis, sosiologis, dan yuridis, setiap pembentukan peraturan tersebut harus diperhitungkan berdasarkan faktor-faktor tersebut agar dapat dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat;

  • e)    Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, yakni setiap pembentukan peraturan harus benar-benar memperhatikan serta mementingkan adanya manfaat dalam setiap pembentukannya

  • f)    Asas kejelasan rumusan, yakni, dalam penyusunan atau perumusan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan sistematika dan menggunakan diksi yang baik agar dapat mudah dipahami dan tidak menimbulkan banyak penafsiran; dan

  • g)    Asas keterbukaan, yakni dalam setiap tahap pelaksanaan maupun proses dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan harus menjunjung tinggi keterbukaan serta transparan, sehingga dapat diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.25

Mengacu pada asas-asas tersebut, jika melihat pada ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Perasuransian yang mana mengatur mengenai kedudukan konsumen dalam kepailtan. Dalam hal ini seharusnya dalam perumusan ketentuan pasal tersebut disesuaikan terhadap ketentuan Pasal 36 dan Pasal 249 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang dalam hal ini menjadi ketentuan khusus yang dapat mengkesampingkan ketentuan umum, yakni Undang-Undang Perasuransian. Mengacu pada penjabaran tersebut maka ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Perasuransian telah bertentangan asas “kesesuaian”. Selain itu, Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa dalam pemenuhan prestasi disesuaikan berdasarkan hasil kesepakatan antara kreditor dengan kurator atau pengurus. Hal tersebut menyebabkan ketentuan Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Pasal 52 Undang-Undang Perasuransian tidak dapat dilaksanakan. Maka, hal tersebut juga menyebabkan adanya pelanggaran terhadap asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yakni asas “dapat dilaksanakan”.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut menyebabkan ketentuan-ketentuan yang ada terhadap kedudukan konsumen menjadi tidak jelas dan kabur. Selain itu, mengakibatkan sering terjadinya tindakan-tindakan penegak hukum yang merugikan konsumen yang disebabkan oleh ketidakjelasan dari kedudukan konsumen itu sendiri yang pada akhirnya membuat banyak pihak kecewa akan hal tersebut. Oleh karena itu, hal tersebut bertentangan dari 3 (tiga) tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.26 Pada akhirnya hal tersebut menyebabkan banyak masyarakat mulai memilih proses penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi karena dinilai lebih cocok dan memberikan kepastian dalam penyelesaian perkara utang-piutang.

  • 4. Kesimpulan

Dalam proses kepailitan dikenal adanya 3 jenis kreditor yang diantaranya separatis, preferen, dan konkuren. Namun, dari ketiga jenis kreditor tersebut, kedudukan konsumen dalam kepailitan masih belum diatur secara jelas dan tegas dalam pegaturan yang lebih khusus mengenai kepailitan di Indonesia. Baik dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU maupun Undang-Undang Perlindungan Konsumen hingga ini belum ada pengaturan-pengaturan yang menyataan dengan jelas mengenai kedudukan konsumen tersebut. Namun, di dalam Pasal 52 Undang-Undang Perasuransian diatur secara jelas dan tegas dengan memberikan kedudukan

istimewa kepada konsumen yakni pemegang polis mengatur secara khusus terhadap konsumen sebagai kreditor preferen dalam kepailitan yang memiliki hak istimewa sehingga dapat didahulukan dibandingkan dengan kreditor lainnya, yakni kreditor konkuren. Dalam implementasinya, pengaturan mengenai kedudukan konsumen dalam kepailitan belum diatur secara jelas dan pasti. Dimana, masih adanya ketidakselarasan antara Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, Undang-Undang Perasuransian, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Ketidakselarasan tersebut didasari dengan terjadinya beberapa pelanggaran terhadap asas-asas dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Tutik, Titik Triwulan Tutik. “Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional”. (Jakarta, Prenada Media Group, 2011), 2.

Atsar, Abdul, and Rani Apriani. Buku Ajar Hukum Perlindungan Konsumen. Deepublish, 2019.

Shubhan, M. Handi. Hukum Kepailitan. Prenada Media, 2015.

Amin, Rahman. Pengantar Hukum Indonesia. Deepublish, 2019.

Jurnal:

Sinaga, Niru Anita, dan Nunuk Sulisrudatin. "Hukum Kepailitan Dan Permasalahannya Di Indonesia. " Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 7, No. 1 (2018), 160.

Rumiasih, Trias. "Analisis Yuridis Terhadap Peraturan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Perkara Kepailitan Perusahaan Penerbangan." Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum 1, No. 1 (2014).

Utomo, Yunintio Putro. "Kedudukan Perseroan Terbatas Yang Tetap Aktif Menjalankan Perusahaannya (Going Concern) Setelah Dipailitkan." Notarius 12, No. 2: 565-579.

Andrian, Robby. ”Tinjauan Yuridis Putusan Kepailitan PT. Telkomsel (Studi Kasus Putusan No.48/Pailit/2012/PN.Niaga.JKT.PST)”, (2013), 2.

Nurhafni, Nurhafni, and Sanusi Bintang. "Perlindungan Hukum Konsumen dalam Perjanjian Baku Elektronik." Kanun Jurnal Ilmu Hukum 20, No. 3 (2018): 473-494.

Novitasari. “Tinjauan Yuridis Pembatasan Jangka Waktu Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang terhadap Debitor”. Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana 39, No. 2 (2017): 92.

Sularto, Mr. "Perlindungan Hukum Kreditur Separatis dalam Kepailitan. " Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 24, No. 2 (2012): 241-253.

Saraswati, Ida Ayu Agung, and AA Gede Agung Dharmakusuma. "Kedudukan Hukum Pemegang Polis pada Perusahaan Asuransi yang Dinyatakan Pailit." Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana 7, No. 7, (2019), 2.

Kusumantari, Nikita & Udiana, I Made. “Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Aspek Hukum Perdata”. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana 6, No. 7 (2018), 3.

Marcella, Cloudiya. "Kajian Yuridis Kedudukan Pemegang Polis dalam Kepailitan Perusahaan Asuransi." Diponegoro Law Journal 5, No. 4 (2016): 1-13.

Karianga, Anthonius. "Analisis Hak Konsumen Terhadap Perusahaan yang Dinyatakan Pailit Oleh Hakim Pengadilan Niaga. " Lex Administratum 5, No. 7 (2017).

Hanum, Cholida. "Analisis Yuridis terhadap Asas-Asas Pembentukan dan Asas-Asas Materi Muatan Peraturan Daerah: Kajian Perda Syariah di Indonesia." IN RIGHT: Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia 7, No. 1 (2017).

AR, Andi Bau Inggit. "Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah. " Jurnal Restorative Justice 3, No. 1 (2019): 1-13.

Julyano, Mario, and Aditya Yuli Sulistyawan. "Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum. " Crepido 1, No. 1 (2019): 13-22.

Tanaya, Putu Edgar, and Kadek Agus Sudiarawan. "Akibat Hukum Kepailitan Badan Usaha Milik Negara Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara." Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) 3, no. 1 (2017): 117-126.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaan Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Rrepublik Indonesia Nomor 4443) .

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Rrepublik Indonesia Nomor 5618).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Rrepublik Indonesia Nomor 3821).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Rrepublik Indonesia Nomor 5234).

Jurnal Kertha Wicara Vol 9 No.8 Tahun 2020, hlm. 1-12.