PERLINDUNGAN ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM HUKUM PIDANA

Oleh

Ida Bagus Putu Raka Palguna

Nyoman A.Martana

Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

ABSTRACT

Children is an object that become a target of domestic violence. In constitution article 34 give a big attention for children in this country but it can’t give a guarantee children is protected from violence. This paper use normatif analysis method. This paper will be explain the step of anticipation which can minimalized the violence to children and law protection for children if become domestic violence victim.

Keywords: Children, Victim, Violence

ABSTRAK

Anak merupakan objek yang menjadi sasaran kekerasan dalam rumah tangga. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 memberikan dasar perhatian yang besar pada keberadaan anak dalam negara namun tetap saja tidak menjamin anak benar-benar terlindungi dari kekerasan. Paper ini menggunakan metode bersifat normatif. Paper ini akan menjelaskan langkah antisipatif agar kekerasan pada anak dapat diminimalisir dan perlindungan hukum terhadap anak jika menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Kata Kunci:Anak, Korban, Kekerasan

  • I.   PENDAHULUAN

    1.1    LATAR BELAKANG

Berbicara mengenai anak adalah hal yang sangat penting karena anak merupakan potensi nasib suatu generasi atau bangsa di masa mendatang. Anak merupakan cerminan sikap hidup bangsa dan penentu perkembangan bangsa tersebut.1 Hal ini tentunya menjadi suatu perhatian luas bagi setiap orang untuk meletakkan posisi anak sebagai suatu insan yang perlu untuk diperhatikan dan mendapat segala kebutuhan yang sesuai kebutuhan anak itu sendiri. Namun dewasa ini terjadi begitu banyak anak yang mengalami tindak kekerasan dalam kehidupannya, bahkan hal tersebut dimulai dari lingkungan terdekatnya yakni oleh keluarganya sendiri. Kekerasan seksual merupakan hal yang sangat sering terjadi. Situasi ini semakin diperparah dengan ideologi jaga praja

atau menjaga ketat ideologi keluarga, khususnya dalam budaya Jawa “membuka aib keluarga berarti membuka aib sendiri”, situasi demikian menurut Harkristuti Harkrisnowo dalam berbagai kesempatan menyebabkan tingginya the “dark number” karena tidak dilaporkan.2Hal seperti ini tentunya semakin memberi keleluasaan dan ruang bagi pelaku untuk bertindak semakin buruk.

Ini yang menjadi penting untuk memberi solusi antisipatif bagi korban kekerasan terutama anak sehingga mengetahui hak-hak yang seharusnya didapatkan dan perlindungan bagi anak itu sendiri.

  • 1.2    TUJUAN

Adapun tujuan dari penulisan jurnal ini adalah untuk memenuhi kewajiban sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S1) serta untuk mengetahui bagaimana langkah antisipatif bagi anak korban kekerasan dalam rumah tangga, serta untuk mengetahui perlindungannya di Indonesia.

II ISI MAKALAH

2.1    METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan untuk membahas masalah dalam tulisan ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menguraikan terhadap permasalahan-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.3 Analisis terhadap bahan hukum yang diperoleh adalah secara deskriptif, analisis dan argumentatif.4 Karena menggunakan penelitian normatif maka sumber datanya adalah sumber data sekunder yang berupa bahan hukum baik bahan hukum primer maupun sekunder.5

  • 2.2    HASIL DAN PEMBAHASAN

    • 2.2.1    Langkah dan Solusi Antisipatif Bagi Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Korban (victims) menurut Muladi adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.6 Terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak ini hendaknya perlu dipahami begitu banyak faktor yang memicu terjadinya kekerasan pada anak ini, contohnya tidak adanya kontrol sosial pada pelaku kekerasan pada anak meskipun pelaku merupakan orang tua atau kerabat dekat sekalipun, hubungan antara anak dan orang tua dianggap sebagai suatu bidang hierarki dalam hal ini dimaksudkan ada batasan komunikasi karena anak dianggap mahluk kecil yang suaranya dianggap tidak penting untuk orang dewasa, hal terakhir adalah kemiskinan yang merupakan faktor dominan yang dianggap sebagai pusat masalah sehingga anak menjadi pelampiasan amarah, ketidakpuasaan, luapan kesedihan karena kemiskinan tersebut sehingga kekerasan tertuju pada anak karena tidak dapat melakukan perlawanan.

Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 34 menjelaskan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Ini menjadi tendensi positif dalam usaha negara untuk memberi perlindungan penuh terhadap hak-hak anak. C. De Rover menyatakan penegakan kejahatan merupakan tujuan mendasar dari penegakan hukum dan merupakan bidang kegiatan dengan nilai spesifik bagi hak-hak anak (termasuk didalamnya perempuan).7 Namun cara berfikir masyarakat yang menganggap kekerasan dalam rumah tangga bukan sebagai tindak pidana yang melanggar kaidah hukum namun lebih merupakan masalah keluarga ataupun masalah perempuan saja membuat hal ini menjadi sepele di mata aparat hukum.

Langkah solusi antisipatif agar anak tidak menjadi korban adalah dengan terlebih dahulu menganggap permasalahan ini adalah suatu tindak pidana dan merupakan kejahatan yang serius, tentunya apabila hal itu sudah ada dalam pola pikir masyarakat akan serta merta membentuk prilaku untuk melindungi perempuan dan anak. Ini yang perlu mendapat langkah aktif dan berusaha menyingkap kejahatan ini sampai tuntas agar efek jera bagi pelaku itu ada dan menjadi preseden bagi oknum yang akan menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak untuk memikirkan perbuatan itu. Selain itu saya melihat dari segi legislasi, dalam rangka pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hendaknya hukuman untuk pelaku-pelaku diperberat dan terkait hal ganti rugi bagi korban harus mendapat perhatian agar lebih efektif dan diperoleh secara konkrit oleh korban tanpa melewati proses yang berbelit-belit.

  • 2.2 Perlindungan Hukum Bagi Anak

Begitu banyaknya fenomena kekerasan dan tindak pidana terhadap anak menjadi suatu sorotan keras dari berbagai kalangan. Hal ini dianggap sebagai suatu indikator buruknya instrumen hukum dan perlindungan anak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 20 tentang perlindungan anak, bahwa yang berkewajiban dan bertanggung-jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Pasal 21 dan 25 dalam UU ini juga mengatur lebih jauh terkait perlindungan dan tanggung jawab terhadap anak. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga pada pasal 2 terkait ruang lingkup pada pasal ini juga mencakup keberadaan anak untuk dilindungi dari kekerasan dalam rumah tangga. Perlindungan hukum terhadap anak juga ditampilkan implisit dalam undang-undang perlindungan saksi dan korban. UU Nomor 13 tahun 2006 pada pasal 5 ayat 1 butir a yakni “seorang saksi atau korban berhak: memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya “. Dalam ketentuan umum pasal ini menjelaskan tentang keluarga tersebut dan anak menjadi satu anggotanya. Instrumen hukum diatas menjadi bukti bahwa hukum di Indonesia memberi perhatian terhadap keberadaan anak. Adapun hal yang harus dipahami lagi untuk mencegah kekerasan terhadap anak ialah prinsip perlindungan terhadap anak. Prinsip nondiskriminasi, prinsip yang terbaik bagi anak

(the best interest of the child), prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, dan prinsip menghargai pandangan anak.8

III KESIMPULAN

  • 1.    Berdasarkan ketentuan UUD 1945 Pasal 34,anak merupakan salah satu hal yang menjadi fokus negara untuk dilindungi sehingga wajib jika secara konstitusional telah diatur maka pemerintah dan masyarakat pada umumnya harus dapat merubah mainset dan ikut berperan serta dalam usaha antisipatif untuk mencegah anak menjadi korban kekerasan.

  • 2.    Keberadaan UU No 23 Tahun 2002, UU No 23 Tahun 2004, serta UU No 13 Tahun 2006 sebagai instrumen hukum saja tidak cukup untuk menjadi suatu batasan bagi setiap pelaku kekerasan terhadap anak untuk mengurangi dan meniadakan kekerasan terhadap anak, dibutuhkan pengertian dan pemahaman posisi anak yang juga memiliki hak yang pada dasarnya sama satu sama lain agar keberadaan anak lebih terlindungi .

DAFTAR PUSTAKA

Amirudin, dan H Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum,PT Radja Grafindo Persada Jakarta

C. De Rover, 2000, To Serve & To Protect, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta.

Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita, Cetakan Pertama, Edisi pertama, PT Raja Grafindo Utama, Jakarta.

Muladi, 2005, HAM Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung.

Rukmini, Mien, 2009, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi, Edisi I Cetakan ke-2, PT Alumni, Bandung.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Edisi I, Cetakan V, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta.

Sutedjo, Wagiati, 2010, Hukum Pidana  Anak,  Cetakan:Ketiga. PT.Refika

Aditama,Bandung.

5