TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN GRASI BAGI TERPIDANA MATI
on
TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN GRASI BAGI TERPIDANA MATI
Oleh
Josi Dedi Gultom
A A. Gde Oka Parwata
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRACT
Clemency is an effort that may be filed by death row inmate to the President to ask for forgiveness or reduction of sentence to the President in order to avoid the implementation of the death penalty. In other words clemency was sentenced to death early efforts to preserve his life. By granting clemency to death row inmate is President authority as stipulated in the 1945 Constitution Article 14 paragraph (1) and the Act No. 5 of 2010 on the Amendment to the Law No. 22 Year 2002 on clemency.
Keywords: Clemency, Sentenced to Death, Death Penalty, President Act No. 5 of 2010 on the Amendment to the Law No. 22 Year 2002 on Clemency
ABSTRAK
Grasi merupakan salah satu upaya yang dapat diajukan oleh terpidana mati kepada Presiden untuk meminta pengampunan atau pengurangan hukuman kepada Presiden supaya terhindar dari pelaksanaan hukuman mati tersebut. Dengan kata lain grasi adalah upaya pagi terpidana mati untuk mempertahankan hidupnya. Pemberian grasi oleh Presiden kepada terpidana mati adalah kewenangan konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 14 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi..
Kata Kunci: Grasi, Terpidana Mati, Pidana Mati, Presiden, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
Setiap terdakwa diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum, baik yang berupa upaya hukum biasa, upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP maupun upaya hukum diluar KUHAP. Upaya hukum adalah hak yang diberikan hakim kepada para pihak dalam suatu perkara untuk dapat tidak setuju dengan suatu putusan pengadilan1. Grasi sendiri merupakan upaya hukum diluar KUHAP. J.C.T Simorangkir berpendapat bahwa grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merobah sifat atau bentuk hukuman itu2. Sedangkan menurut Undang-Undang no 22 tahun 2002 grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Yang menjadi syarat utama dari pemberian grasi menurut Undang-Undang no 22 tahun 2002 adalah adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan Satochid Kertanegara memberikan pendapat bahwa grasi atau pengampunan adalah merupakan juga hal yang dapat menggugurkan hak untuk melaksanakan hukuman3. Sama halnya dengan pendapat Utrecht yang menyatakan bahwa grasi termasuk ke dalam alasan gugurnya melaksanakan hukuman di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, grasi yaitu menggugurkan menjalani hukuman atau sebagian hukuman4. Grasi sangat dibutuhkan dalam pemerintahan suatu Negara karena dapat meminimalisasi beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim, khususnya untuk pidana maksimal seperti pidana mati, yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap
innocent people. Selain itu, adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat dipercaya bisa saja terjadi. Grasi dapat dikatakan merupakan salah satu lembaga yang bisa mengkoreksi dan mengatasi resiko tersebut.
Melihat berbagai faktor tersebut maka menggugah penulis untuk membahas permasalahan terhadap “Tinjauan yuridis terhadap pemberian grasi bagi terpidana mati” yang di khususkan pada alasan memberikan grasi kepada seorang terpidana mati
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui alasan pemberian grasi terhadap seorang terpidana mati.
Penulisan skripsi yang berjudul tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Pidana Mati Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Peredaran Narkotika ini merupakan suatu penelitian Normatif. Penelitian normatif adalah penelitian yang menjelaskan tentang asas-asas hukum yang terdapat dalam ketentuan perundangan-undangan5. Suatu penelitian hukum normatif mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer (bahan-bahan pengetahuan ilmiah yang bersifat mengikat), bahan hukum sekunder (bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer) dan bahan hukum tertier (bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder).6 Data primer diperoleh dari Undang-undang Dasar tahun 1945 amandemen ke IV, Undang-Undang No 22 tahun 2002 tentang grasi dan Undang-Undang No 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Bahan hukum sekunder yaitu bahan pustaka yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam skripsi ini adalah berupa buku-buku atau literatur.
Ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai grasi tidak menyebutkan secara eksplisit alasan-alasan yang digunakan agar seseorang dapat diberikan grasi. Dalam konsiderans huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi menyebutkan bahwa grasi dapat diberikan oleh Presiden untuk mendapatkan pengampunan dan/atau untuk menegakkan keadilan hakiki dan penegakan hak asasi manusia terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, bahwa grasi yang diberikan kepada terpidana harus mencerminkan keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan kepastian hukum berdasarkan Pancasila dan UUD.
Secara tersirat ketentuan Pasal 6A UU No. 5 Tahun 2010 tentang grasi menyebutkan alasan pemberian grasi adalah demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan. Menurut Utrecht, ada 4 (empat) alasan pemberian grasi yaitu sebagai berikut:
-
a. Kepentingan keluarga dari terpidana;
-
b. Terpidana pernah berjasa bagi masyarakat;
-
c. Terpidana menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
-
d. Terpidana berkelakuan baik selama berada di Lembaga Permasyarakatan dan memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya7;
Utrecht mendasari alasan-alasan pemberian grasi berdasar faktor internal yang terdapat dalam diri pribadi terpidana. Menurut J.E. Sahetapy, alasan yang memungkinkan Presiden untuk memberikan grasi adalah sebagai berikut8:
-
a. Bila seorang terhukum tiba-tiba menderita penyakit parah yang tidak dapat disembuhkan;
-
b. Hakim adalah seorang manusia yang mungkin saja khilaf atau ada perkembangan yang belum dipertimbangkan oleh hakim pada waktu mengadili si terdakwa;
-
c. Perubahan ketatanegaraan atau perubahan kemasyarakatan sedemikian rupa misalnya ketika Soeharto dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan Reformasi, maka kebutuhan grasi tiba-tiba terasa mendesak, terlepas dari kasus Abolisi dan Amnesti;
-
d. Bila terdapat ketidakadilan yang begitu mencolok misalnya sehabis revolusi atau peperangan;
III.KESIMPULAN
Pada dasarnya grasi adalah hak progatif dari presiden yang diatur dalam undang-undang, tetapi pemberian grasi pada terpidana mati haruslah dilihat dari dampak perbuatan yang sudah dilakukannya. Khusus bagi pelaku tindak pidana yang mempunyai dampak yang luas, grasi seharus nya menjadi barang yang langka dan pemberian grasi jangan menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat.Tetapi diatas semua itu keadilan harus ditegakkan, karena itu adalah salah satu tujan dari hukum itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Kartanegara, Satochid. Tanpa Tahun. Hukum Pidana Bagian Dua. Balai Lektur Mahasiswa. Jakarta.
M.P. Pangaribuan, Luhut. 2002. Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh
Advokat. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Simorangkir, JCT. 2004. Kamus Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pers, Jakarta.
Utrecht, 1987. Ringkasan Sari Kuliah Hukum Pidana II. Pustaka Tinta Mas. Surabaya
Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi
Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi
5
Discussion and feedback