Pertanggung Jawaban Pidana Kepala Desa Satra Terkait Penyimpangan Pengelolaan Dana Desa (Berdasarkan Putusan Perkara Nomor 10/Pid.Sus-Tpk/2018/Pn.Dps)

Oleh:

I Putu Jericko Susila Adnyana, Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, e-mail : Putujeko@gmail.com

I Ketut Rai Setiabudhi, Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, email : raisetiabudhi_fhunud@yahoo.com

ABSTRAK:

Tulisan ini berjudul Pertanggungjawaban Pidana Kepala Desa Satra Terkait Penyimpangan Pengelolaan Dana Desa yang menganalisa putusan perkara nomor 10/Pid.Sus-Tpk/2018/Pn.Dps. Adapun permasalahan yang akan di bahas didalam tulisan ini yang didasari dari adanya penyimpangan dalam pengalokasian dana desa oleh kepala desa satra yaitu mengenai pemenuhan unsur tindak pidana korupsi serta bagaimana pertanggungjawaban pidana kepala desa terhadap penyimpangan pengelolaan dana desa. tujuan dari penelitian ini ialah mewujudkan pembangunan hukum nasional berdasarkan spirit reformasi. Adapun metode penelitian yang di gunakan dalam penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian hukum normative. Hasil yang di peroleh dari penelitian ini, bahwa perbuatan Kepala Desa Satra telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi berdasarkan pengalokasian dana Tahun 2015 yang tidak dapat dipertanggung jawabkan penggunaannya. Karna perbuatan kepadal desa satra telah memenuhi unsur perbuatan tindak pidana korupsi serta ditemukannya bukti dan fakta persidangan majelis hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa yaitu pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan pidana denda dan pidana tambahan berupa uang pengganti.dari hasil penelitian dapat di simpulkan bahwa perbuatan kepala desa satra dapat dipertangunggjawabkan secara pidana karna telah terbukti memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana.

Kata Kunci:Pertanggung Jawaban, Korupsi, Dana Desa.

ABSTRACT:.

This article is titled Criminal Accountability of Satra Village Head Regarding Irregularities in Management of Village Funds which analyzes the decision on case number 10 / Pid.Sus-Tpk / 2018 / Pn.Dps. The problems that will be discussed in this paper are based on the existence of irregularities in the allocation of village funds by the village head of satra, namely regarding the fulfillment of elements of corruption and how the criminal responsibility of the village head for irregularities in village fund management. the purpose of this research is to realize the development of national law based on the spirit of reform. The research method used in writing this scientific paper uses the normative legal research method. The results obtained from this study, that the actions of the Head of Satra Village have fulfilled the element of corruption based on the allocation of funds in 2015 which cannot be accounted for. Because the actions of the Satra village have fulfilled the elements of the criminal act of corruption and the discovery of evidence and facts of the trial the panel of judges dropped the criminal to the defendant, namely imprisonment for 2 (two) years and an additional fine and criminal in the form of replacement money. From the results of the research it can be concluded that the actions of the satra village head can be criminally accounted for because they have been proven to fulfill the element of criminal liability.

Keywords: Accountability, Corruption,Village Funds.

  • 1.    Pendahuluan

    1.1.    Latar Belakang

Maju mundurnya pembangunan nasional tergantung pada pembangunan disetiap tingkatan di bawah pemerintahannya. Demikian pula dengan laju perekonomian disuatu daerah baik propinsi dan kabupaten tidak terlepas dari kemajuan pembangunan ekonomi di desa-desa.1

Sebagai salah 1 (satu) penyelenggara pemerintahan terkecil yang paling bawah serta yang paling dekat dengan masyarakat yakni pemerintahan desa. “Penyelenggaraan pemerintahan desa sesuai ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) tidak bersifat sentralistik, melainkan adanya pemerataan kewenangan secara vertikal yang melahirkan pemerintahan daerah berjenjang.

Penegasan pada ketentuan Pasal 18 UUD NRI 1945 bahwa “adanya asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan berarti memberi kesempatan dan kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan secara otonom. Namun secara otonom tidak berarti sudah terlepas dari pengawasan pemerintahan pusat, mengingat bahwa desentralisasi merupakan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah tidak ditentukan dari sifat urusan tapi lebih ditujukan pada manfaat.2

Terkait hal pembagian kewenangan tersebut bahwa sebagai bagian dari sistem pemerintahan di daerah maka pemerintahan desa sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2104 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah) pada Pasal 371 ayat (2) bahwa Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Desa. Kemudian diturunkan menjadi ketentuan Pasal 18 pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa) bahwa kewenangan Desa meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.

Berdasarkan uraian tersebut maka “setiap pemerintah desa berhak atas mengelolaan desa secara otonom termasuk terkait dengan pengalokasian dana desa setiap tahunnya. Pengelolaan dan pengalokasian dana desa yang dikelola oleh pemerintah desa secara langsung maka sebagaimana penelitian awal bahwa ditemukan pengalokasian dana desa yang tidak sesuai serta memenuhi unsur sebagai perbuatan tindak pidana korupsi yakni pada kasus perkara nomor 10/Pid.Sus-Tpk/2018/Pn.Dps, bahwa pengalokasian dana desa memenuhi unsur tindak pidana korupsi yang dibuktikan melalui hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembanguan (selanjutnya disingkat BPKP) Provinsi Bali terhadap pengelolaan dana Desa Satra tahun 2015 sebesar Rp. 1. 442. 229. 199, 37 dan sebesar Rp. 94. 344. 494, 78 yang tidak dapat dipertanggung jawabkan penggunaannya. Berdasarkan uraian

tersebut maka judul penelitian ini yakni “Pertanggung Jawaban Pidana Oleh Kepala Desa Satra Terkait Pengelolaan Dana Desa Tahun 2015 Pada Putusan Perkara Kasus Nomor 10/Pid.Sus-Tpk/2018/Pn.Dps.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

  • 1.    Apakah Perbuatan Kepala Desa Satra Telah Memenuhi Unsur Tindak Pidana Korupsi Pada Putusan Perkara Kasus Nomor 10/Pid.Sus-Tpk/2018/Pn.Dps ?

  • 2.    Bagaimanakah Pertanggung jawaban Pidana Kepala Desa Terhadap Penyimpangan Dalam Pengelolaan Dana Desa Sesuai Putusan Nomor 10/Pid.Sus-Tpk/2018/Pn.Dps ?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penelitian ini ialah “mewujudkan pembangunan hukum nasional yang dapat mencerminkan keadilan berdasarkan spirit reformasi.3 Secara aktual mengetahui “pertanggung jawaban pidana oleh kepala desa atas pengelolaan dana desa. Pertanggung jawaban pidana yang dimaksudkan difokuskan pada putusan perkara nomor 10/Pid.Sus-Tpk/2018/Pn.Dps.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini dikualifikasikan ke dalam jenis penelitian hukum normatif yaitu penelitian dengan melihat pada ketentuan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang kemudian dikaitkan dengan permasalahan terkait tindak pidana korupsi khusunya terhadap dana desa.4

  • 3.    Hasil dan Analisis

    • 3.1.    Pemenuhan Unsur Tindak Pidana Korupsi Oleh Kepala Desa Satra Pada

Putusan Perkara Kasus Nomor 10/Pid.Sus-Tpk/2018/Pn.Dps

Perbuatan tindak pidana, khususnya perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana korupsi, sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Dengan kata lain bahwa Tindak pidana korupsi telah menggoyakan sendi-sendi kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Oleh karena itu, korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa tetapi sudah merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).5

Sebagai suatu kejahatan yang luar biasa, tindak pidana korupsi juga merupakan masalah global antar Negara sehingga tergolong kejahatan transnasional, dengan begitu maka upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu

dilakukan pemerintah secara berkesinambungan serta perlu adanya dukungan dari berbagai sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya seperti peningkatan kapasitas kelembagaan serta peningkatan penegakan hukum guna menumbuhkan kesadaran dan sikap masyarakat yang anti korupsi serta serta sebagai bagian dari program untuk memulihkan kepercayaan rakyat.6

Upaya pencegahan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi pada intinya terdapat asas tiada tanpa kesalahan yang mensyaratkan adanya perbuatan pidana yang secara umum dan objektif diatur khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) dan peraturan perundang-undangan lain. Sebagaimana menurut Simons dan Moelyatno mengartikan sifat melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada umumnya. Tetapi dalam hubungan bersifat melawan hukum sebagai salah satu unsur dari suatu delik harus selalu berpegangan kepada norma delik sebagaimana dirumuskan dalam hukum pidana.7

Upaya pencegahan serta pemidanaan sebagai suatu upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi juga dilakukan berdasarkan Intruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi di Indonesia, untuk melakukan langkah-langkah strategis mempercepat pemberantasan korupsi yakni dengan menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi bagi setiap lini pemerintahan di tingkat Pusat dan Daerah. Penegakan hukum di Indonesia selalu menjadi objek yang menarik untuk dikaji baik pada masa orde lama hingga sekarang.

Berdasarkan uraian tersebut maka upaya pencegahan dan pemidanaan sebagai bagian dari upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tentunya juga dilakukan terhadap pengelolaan terhadap Alokasi Dana Desa (selanjutnya disingkat ADD). ADD adalah dana dari pemerintah pusat yang disalurkan melalui pemerintah daerah untuk selanjutnya langsung diberikan kepada pemerintah desa melalui rekening desa, serta penggunaannya menjadi kewenangan penuh dari Kepala Desa untuk mengatur dan mengelola untuk kegiatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukannya.8

Adanya kewenangan penuh terhadap pengelolaan ADD tentunya akan sangat rentan terjadi penyelewengan apabila tidak diawasi. Keberadaan ADD sangat penting karena berfungsi sebagai sarana pembiayaan pengembangan yang ditujukan untuk program-program fisik dan non fisik yang berhubungan dengan indikator Perkembangan Desa, meliputi tingkat pendidikan, tingkat pendapatan masyarakat, dan tingkat kesehatan.9

ADD dikelola oleh Pemerintah Desa dengan ketentuan penggunaan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa (selanjutnya disebut PP No. 72 Tahun 2005) yang sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa). Selanjutnya terhadap pengelolaan

terhadap ADD tersebut yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa (selanjutnya disebut Permendagri No. 113 Tahun 2014).

Unsur yang telah terpenuhi pada perkara kasus nomor 10/Pid.Sus-Tpk/2018/Pn.Dps berdasarkan fakta persidangan serta hasil audit BPKP Provinsi Bali dengan nomor SR-561/PW22/5/2017 tanggal 15 Desember 2017 terhadap pengelolaan tersebut, bahwa semua item kegiatan dalam APBDesa Desa Satra tahun 2015 ditemukan beberapa kegiatan yang tidak dapat dipertanggung jawabakan. Ketentuan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tindak Pidana Korupsi) menurut pendapat majelais hakim telah terbukti dan dapat digunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa yang dimana dapat diuraikan sebagai berikut:

  • 1.    Unsur setiap orang

  • 2.    Unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

  • 3.    Unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan

  • 4.    Unsur merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara

Unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi mengandung unsur kesengajaan (opset) terdakwa dan kesalahan/sengaja yang termasuk dalam syarat pemindanaan, maka kesengajaan ini harus berhubungan langsung dan yang menjadi tujuan utama dari suatu perbuatan seseorang terdakwa, yaitu untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan merugikan keuangan Negara.

Unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan mengandung unsur karena dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi Berdasarkan uraian tersebut maka majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa selaku perbekel Desa Satra melaksanakan sendiri secara langsung terhadap pembayaran dalam kegiatan Desa Satra yang bersumber dari APBDesa Desa Satra tahun 2015 tanpa disertai bukti-bukti pelaksanaan kegiatan yang sah dan dapat dipertanggung jawabkan dari jumlah total sebesar Rp. 1.442. 229. 199, 37., dan terdapat sejumlah Rp. 94. 344. 494, 78 yang tidak dapat dipertanggung jawaban oleh terdakwa maka perbuatan terdakwa tersebut sudah sepatutnya dinyatakan telah terbukti menyelahgunakan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Sehingga berdasarkan pertimbangan tersebut maka secara hukum unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan harus dinyatakan terpenuhi.

Unsur merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara mengandung unsur bahwa yang dimaksud dengan frase dapat sebelum frase keuangan Negara atau perekonomian Negara menunjukan bahwa tindak pidana korupsi juga merupakan delik formil yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan berdasarkan pengalokasian sejumlah Rp. 94. 344. 494, 78 yang tidak dapat dipertanggung jawaban oleh terdakwa.

  • 3.2.    Pertanggung jawaban Pidana Kepala Desa Terhadap Penyimpangan Dalam Pengelolaan Dana Desa Sesuai Putusan Nomor 10/Pid.Sus-Tpk/2018/Pn.Dps Menurut M. Ali Zaidan menyebutkan bahwa terhadap penerapan sanksi terhadap seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana atau terhadap mereka yang

melakukan tindak pidana, sebagaimana diketahui bahwa penerapan suatu sanksi merupakan suatu upaya untuk menjadikan sanksi pidana sebagai ultimum remidium. Seseorang yang telah terbukti melakukan tindak pidana mewajibkan hakim untuk menentukan jenis pidana yang layak untuk dijatuhkan.10

Kutipan demikian apabila dikaitkan dengan perkara Nomor 10/Pid.Sus-Tpk/2018/Pn.Dps dapat disimak bahwa “fakta persidangan untuk mempersingkat uraian putusan maka majelis hakim merunjuk pada berita acara persidangan dalam perkara yang memuat secara lengkap segala peristiwa yang terjadi dalam persidangan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan yang dimana merupakan 1 (satu) kesatuan dengan putusan ini. Berdasarkan keterangan para saksi-saksi ahli serta dikaitkan dengan keterangan terdakwa lalu dihubungkan pula dengan keberadaan barang-barang bukti surat, dan dilihat dari hubungan yang 1 (satu) dengan yang lain saling terkait dan bersesuaian, dan perbuatan terdakwa yang telah memenuhi unsur : 1. Unsur setiap orang

  • 2.    Unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

  • 3.    Unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan

  • 4.    Unsur merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara

Maka majelis hakim memiliki pendapat bahwa seseorang dapat dinyatakan telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan suatu tindak pidana yang didakwa kepadanya, menakala keseluruhan unsur dari ketentuan pidana yang didakwa kepadanya telah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan dimuka persidangan. Hal yang dimaksud tersebut sebagaimana tuntutan subsidair dengan dalil Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi, maka hakim memiliki pendapat bahwa terdakwa secara hukum harus dinyatakan telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan unsur melawan hukum dinyatakan telah terpenuhi sesuai dengan fakta yang terungkap di dalam persidangan.

Delik yang telah terpenuhi pada ketentuan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi tersebut yakni setiap orang,dan selanjutnya pada delik menguntungkan diri sendiri meskipun tidak dapat dibuktikan, akan tetapi adanya pengalokasian dana sebesar Rp. 94. 344. 494, 78 yang tidak dapat dipertanggung jawabkan penggunaanya, sehingga majelis hakim berpendapat bahwa unsur menguntungkan diri sendiri secara argumentum a contrario dapat disimpulkan telah menguntungkan orang lain atau suatu korporasi secara hukum telah terbukti sehingga secara hukum patut dinyatakan unsur ini telah terbukti.

Selanjutnya terdapat delik menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan menurut pendapat majelis hakim mengandung unsur bahwa terkait dengan terdakwa sendiri selaku Kepala Desa Satra yang melaksanakan pembayaran kegiatan secara langsung atas pembayaran kegiatan Desa Satra yang bersumber dari APBDesa Desa Satra tahun 2015 tanpa disertai bukti-bukti pelaksanaan kegiatan yang dapat dipertanggung jawabkan dari jumlah total sebesar Rp. 1.442. 229. 199, 37., serta terdapat sejumlah Rp. 94. 344. 494, 78 yang tidak dapat dipertanggung jawaban oleh terdakwa sehingga berdasarkan

pertimbangan tersebut maka secara hukum unsur tersebut harus dinyatakan terpenuhi.

Melihat uraian fakta-fakta hukum tersebut maka majelis hakim mempertimbangkan tuntutan subsidair dari terdakwa yang melanggar Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi. Menimbang bahwa terdakwa telah terbukti bersalah dan selama persidangan tidak ditemukan alasan-alasan pemaaf bagi perbuatannya itu, dengan demikian terhadap terdakwa Ni Made Ratnadi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara berlanjut sebagaimana pada dakwaan subsidair, menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 50. 000. 000, 00 apabila denda tersebut tidak dibayar maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.

Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ni Made Ratnadi dengan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp. 44. 344. 384, 78 dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayarkan uang pengganti paling lama dalam 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terdakwa tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.

  • 4.    Kesimpulan

Mengenai pemenuhan unsur pertanggung jawaban pidana oleh Kepala Desa Satra pada perkara nomor 10/Pid.Sus-Tpk/2018/Pn.Dps bahwa berdasarkan fakta di persidangan bahwa perbuatan terdakwa imade ratnadi telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi, adapun unsur-unsur yang telah terpenuhi yaitu unsur setiap orang, unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi mengandung unsur kesengajaan (opset), meskipun dalam persidangan tidak terungkap, namun penggunaan dana yang tidak ada pertanggung jawaban tersebut, tentu secara argumentum a contrario secara hukum patut dinyatakan unsur ini telah terbukti. Kemudian unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat dibuktikan dengan pelaksanaan pembayaran terhadap kegiatan Desa Satra yang bersumber dari APBDesa Desa Satra tahun 2015 yang tidak dapat dipertanggung jawaban secara penuh. Selanjutnya unsur merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dibuktikan dengan penggunaan APBDesa yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Mengenai pertanggung jawaban pidana kepala desa dalam pengelolaan dana desa pada Perkara Nomor 10/Pid.Sus-Tpk/2018/Pn.Dps karna perbuatan terdakwa I made ratnadi telah terbukti memenuhi unsur perbuatan tindak pidana korupsi serta berdasarkan fakta-fakta persidangan dan tidak ditemukannya alasan-alasan pemaaf ataupun pembenar bagi perbuatannya maka sesuai dengan ketentuan UU Tindak Pidana Korupsi terdakwa i made ratnadi dijatuhan hukuman pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000,00 serta pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp. 44.344.384,78 apabila denda tersebut tidak dibayar maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

M. Ali Zaidan, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana,( Jakarta, Sinar Grafika, 2015)

Zainuddin Ali, Metode penelitian Hukum, Cet. Ke-V, ( Jakarta, Sinar Grafika, 2014)

Jurnal:

Abdul Rauf Alauddin Said, “Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusatpemerintah Daerah Dalam Otonomi Seluasluasnya Menurut UUD 1945”, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 9, (2015). 4.

Fransiska Novita Eleanora, “Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Penyuapan”, Jurnal Hukum Dan Dinamika Masyarakat, Vol. 9, No. 2, (2012). 204

Hasman Husin Sulumin, “Pertanggungjawaban Penggunaan Alokasi Dana Desa Pada Pemerintahan Desa Di Kabupaten Donggala”, Jurnal Katalogis, Vol. 3, (2015). 1

Ida Bagus Prayoga, "Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali Dalam Pemungutan Pajak Progresif", Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal), Vol. 5, (2016). 3

Misno, “Manfaat Alokasi Dana Desa Bagi Masyarakat Desa: (Studi Pada Desa Blankahan Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat)”, Jurnal Perspektif, Vol. 8,(2015). 2

Nyimas Lolantari, “Kendala Penyidikan Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh Kejaksaan (Studi di Kejaksaan Negeri Ngasem Kabupaten Kediri)”, Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, (2015)

Raymel B. Kaseger, “Perbuatan Merugikan Keuangan Negara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Lex Crimen, Vol. VI, (2017). 6

Yuyun Yulianah, “Potensi Penyelewengan Alokasi Dana Desa Di Kaji Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa”, Jurnal Mimbar Justitia, Vol. I, (2015). 2

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 387)

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495)

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 158 (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4587)

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2093)

Intruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi di indonesia

Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 7 Tahun 2020, hlm. 1-9.