DISKRESI POLISI DALAM KERUSUHAN DEMONSTRAN

DI INDONESIA

Ivo Valensio Weston Sitinjak, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: ivovalensio1@gmail.com

I Dewa Gede Dana Sugama, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dewasugama@ymail.com

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan mengkaji lebih mendalam diskresi polisi dalam kerusuhan demonstrasi. Metode yang dipakai dalam mengkaji penelitian ini adalah penelitian normatif. Hasil dari penelitian ini yakni prosedur yang harus ditempuh dalam meyampaikan pendapat dihadapan khalayak ramai yang terdapat dalam Pasal 9-14 Undang- Undang No. 9 Tahun 1998 serta diskresi polisi dalam kerusuhan demonstran. Diskresi yang dilakukan polisi dibenarkan apabila berdasarkan hukum yang berlaku guna mencapai tujuan hukum itu sendiri. Diskresi polisi tidak melanggar ham orang lain karena kewenaangan polisi dalam melaksanakan diskresi sudah diatur dalam hukum positif Indonesia. Orang Indonesia melakukan penyampaian pendapat di hadapan khalayak ramai selalu berakhir dengan anarkis. Sehingga polisi terpaksa menggunakan kewenangannya yang dianggap melanggar ham.

Kata Kunci : Diskresi Polisi, Kerusuhan, Demonstran

ABSTRACT

This paper aims to examine more deeply about the police's discretion in the rioting demonstrations. The method used in this research is normative method. The results of this study are the procedures that must be taken in expressing opinions in front of the general public contained in Article 9-14 of Law No. 9 of 1998 as well as police discretion in the riots of demonstrators. Discretion by the police is justified if based on applicable law in order to achieve the objectives of the law itself. Police discretion does not violate the human rights of others because the police's authority in carrying out the discretion is regulated in Indonesian positive law. Indonesians express their opinion in front of the public always ends with anarchism. So that the police are forced to use their authority that is considered to violate human rights.

Keywords: Police Discretion, Riots, Demonstrators

  • I.  PENDAHULUAN

    • 1.1  Latar Belakang

Menyatakan pendapat di depan umum merupakan suatu hak dan dapat dilakukan oleh siapa saja dikarenakan hal tersebut dilindungi dalam konstitusi Indonesia. Pengaturan tersebut diatur dalam pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 tentang “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”1 Dalam hal menyatakan pendapat di hadapan khalayak ramai hendaknya dilaksanakan secara kondusif sesuai aturan hukum mengenai tata cara berpendapat di depan umum. Menyatakan pendapat di depan umum wajib tunduk pada aturan yang berlaku.

Dalam pelaksanaan unjuk rasa sebagai salah satu ekspresi berpendapat di depan umum yang terjadi di Indonesia banyak yang berjalan dengan tidak lancar dan

kondusif sesuai yang diharapkan. Sebagaimana dalam unjuk rasa yang dilaksanakan pada Rabu, 22 Mei 2019 yang bertujuan untuk mengekspresikan pendapat mengenai hasil pemilihan umum 2019 yang telah disampaikan pada dini hari di Kantor KPU dan Bawaslu di Jakarta. Unjuk rasa tidak berjalan damai, sejumlah aksi dilakukan seperti pelemparan batu, petasan, dan senjata api serta ditemukan beberapa bom molotov pada saat kejadian. Demonstrasi yang dilakukan pada 22 Mei 2019 menurut Wiranto, demonstrasi yang berakhira dengan kerusuhan dan sebagai kejahatan yang dapat mengancam kedaulatan negara.2 Korban meninggal berjatuhan hingga sebanyak 6 orang meninggal dan ratusan orang terluka karena polisi menembakkan peluru karet untuk mengatasi kejadian tersebut.3 Gas air mata juga ditembakkan kepada demonstran untuk membubarkan aksi ricuh tersebut. Tak hanya itu, untuk membubarkan massa polisi menyiram para demonstran dengan air kali melalui helikopter.

Aksi unjuk rasa menyebabkan kerugian baik warga masyarakat, pemerintah, sekolah, maupun perusahaan swasta dikarenakan sejumlah sekolah diliburkan, perusahaan meliburkan karyawannya. Sejumlah titik jalan dikabarkan ditutup sehingga menyebabkan masyarakat putar balik lebih jauh untuk sampai ke tujuannya. Dikabarkan bahwa salah satu pusat perbelanjaan mengalami kerugian hingga milyaran dikarenakan terjadinya aksi kericuhan di depan pusat perbelanjaan tersebut.4 Kerusuhan yang terjadi juga menyebabkan dibatasinya sosial media dan aplikasi chatting (pesan online) sehingga mengganggu komunikasi dan pekerjaan banyak orang.

Penegak hukum khususnya kepolisian Indonesia mempunyai tugas dalam melindungi masyarakat dan menegakan hukum (Pasal 30 ayat (4) UUD NRI 1945). Kepolisian Indonesia dalam menjaga keamanan dan ketertiban aksi unjuk rasa dituntut untuk melindungi peserta unjuk rasa dan masyarakat yang tidak turut serta. Unjuk rasa yang terjadi pada Rabu, 22 Mei 2019 mengharuskan polisi berjaga di sejumlah titik dan di sekitar rumah warga. Dalam upaya mengamankan masyarakat saat terjadi kerusuhan pada saat unjuk rasa tidak jarang polisi melakukan diskresi. Pengaturan hukum terkait diskresi telah diatur dalam Undang – Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Adminsitrasi Pemerintahan. Pengertian dari diskresi menurut UU Administrasi Pemerintahan tersebut terdapat dalam pasal 1 angka 9.5 Pengertian diskresi pada UU No. 30 Tahun 2014 itu terkait diskresi pejabat pemerintahan. Sedangkan diskresi polisi adalah kewenangan polisi dalam menentukan perkara tersebut patut diteruskan atau tidak sesuai akal pikirnya.6 Hal tersebut diatur dalam pasal 18 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia dan Penjelasan Umum mengenai UU ini.7 Tindakan diskresi polisi oleh sebagian orang

dianggap melanggar hak asasi seseorang dikarenakan tindakan yang melukai warga sipil. Salah tafsir oleh anggota polisi dapat menimbulkan perbuatan yang tidak sesuai dengan kepastian dan keadilan hukum. Kurangnya batasan mengenai “penilaian sendiri” dalam pengertian diskresi tersebut dapat membuat polisi berbuat tidak sesuai dengan aturan hukum. Penelitian ini dilakukan untuk memperbaharui penelitian sebelumnya yang berjudul “Wewenang Diskresi Oleh Penyidik,” oleh Pebry Dirgantara dan "Kajian Freedom of Speech and Expression dalam Perlindungan Hukum terhadap Demonstran di Indonesia." Oleh Sabela, Amira Rahma. Penelitian ini mengkaji sebenarnya diskresi polisi dalam kerusuhan demonstrasi melanggar HAM atau tidak. Kurang jelasnya pengaturan pada pasal 18 ayat 1 UU No 2 Tahun 2002 membuat masyarakat menjadi bingung dan berpendapat bahwa diskresi polisi pada kerusuhan demonstran melanggar HAM. Pengaturan Paradoks yang terjadi di masyarakat hendaknya diluruskan oleh sebuah pengetahuan mengenai hal tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis membuat suatu kajian mengenai “Diskresi Polisi Dalam Kerusuhan Demonstran Di Indonesia”.

  • 1.2    Rumusan Masalah

Berdasarkan hal tersebut maka masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah :

  • 1.2.1    Apa prinsip dan prosedur pelaksanaan demonstrasi yang benar berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia ?

  • 1.2.2    Bagaimana diskresi polisi dalam kerusuhan demonstrasi dalam perspektif HAM ?

  • 1.3    Tujuan Penulisan

    • 1.3.1    Memberikan penjelasan tentang prinsip dan prosedur pelaksanaan demonstrasi yang benar berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia

    • 1.3.2    Memberikan penjelasan tentang diskresi polisi dalam kerusuhan demonstrasi ditinjau dari perspektif HAM

  • II.    Metode

Penelitian hukum normatif sejalan dengan metode yang dipakai dalam penelitian ini. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang memusatkan kajian pada hukum. Dalam mengkaji penelitian ini menggunakan pendekatan kasus(case approach) yang dalam penelitian ini kasus yang diangkat yaitu kerusuhan unjuk rasa 22 Mei 2019. Selain itu digunakan juga pendekatan konseptual(conceptual approach) dan pendekatan pengkajian terhadap perundang-undangan(statute approach). Tulisan ini membahas mengenai prosedur yang harus ditempuh dalam meyampaikan pendapat dihadapan khalayak ramai yang terdapat dalam Pasal 9-14 Undang- Undang No. 9 Tahun 1998 serta penafsiran pada pasal 18 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2002. Bahan hukum yang digunakan yaitu buku, hukum positif yang terkait, jurnal berkaitan diskresi polisi, berita, dan internet dengan melihat nama situsnya. Data dikumpulkan dengan membaca literatur baik dalam buku, jurnal, dan internet kemudian langsung dituangkan ke dalam tulisan. Teknik yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan analisis kualitatif dengan penulisan secara narasi yang kemudian memuat kesimpulan.

  • III.    Hasil dan Pembahasan

  • 3.1    Tata Cara Pelaksanaan Demonstasi yang Benar Berdasarkan Peraturan yang Berlaku di Indonesia

Indonesia menerapkan demokrasi dengan sistem presidensial yang memberi kekuasaan yang paling tinggi kepada rakyat. Pengaturan mengenai hal tersebut diatur pada pasal 1 ayat 2 UUD 1945. Sebagai akibatnya Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Internasional yang mengatur mengenai hak sipil, hak ekonomi maupun hak sosial serta hak politik rakyat. Perlindungan atas hak – hak tersebut pada hakikatnya sudah diatur dalam berbagai peraturan yang ada di Indonesia. Kebebasan berpendapat sebagai contoh dari hak individu tentang politik dan sipil yang telah diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998. Namun sering terjadi kendala dalam penerapan kebebasan berpendapat ini banyak terjadi kasus terkait kebebasan berpendapat.8 Negara dalam menjalankan roda pemerintahan harus memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut sudah ada pada ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan juga ada pada UUD 1945.

Pemerintahan Indonesia yang berpegang teguh pada prinsip pancasila, telah menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia. Ini mengartikan bahwa Indonesia sebgai negara demokrasi harus mengimplementasikan segala kebijakan dengan tidak bertentangan dengan Pancasila. Sila ke 4 sebagai dasar dari adanya sistem demokrasi yang dianut oleh Indoesia. Sila keempat ini memiliki makna bahwa rakyat sebagai peran utama dalam pemerintahan dan bersama dalam mengambil keputusan yang bulat. Konsekuensi sebagai negara demokrasi, negara dapat dikatakan milik rakyat karena secara formal negara didirikan atas terjadinya perjanjian masyarakat.9 Tetapi dewasa ini sering sekali pemerintah mengecewakan rakyat yang sudah memilih wakil – wakil nya yang turut andil dalam mengambil maupun membuat suatu kebijakan dan keputusan. Atas kekecewaan tersebut maka rakyat menggunakan demokrasi dan ham nya dengan cara berunjuk rasa. Bagi masyarakat demokrasi sangat berarti penting bagi berjalannya organ pemerintahan sesuai dengan jalannya kehendak yang terjamin.

Konsekuensi dari sistem demokrasi ini, rakyat memiliki kebebasan dalam hal memprotes suatu kebijakan pemerintah. Gerakan protes dari masyarakat tersebut biasa disebut dengan unjuk rasa. Unjuk rasa dilakukan oleh kelompok orang banyak yang saling mengenal atau tidak mengenal dengan tujuan yang sama yaitu menolak suatu kebijakan atau keputusan pemerintah. Perbedaan pikiran dan pemahaman yang dilakukan secara ramai atau unjuk rasa. Selain unjuk rasa, kebebasan berpendaat memiliki berbagai bentuk, antar alain pawai, rapat umum, demonstrasi maupun mimbar bebas yang dijamin dalam undang-undang.10 Demonstrasi sebagai wujud sikap dalam berpendapat di hadapan khalayak ramai merupakan hak konstitusi yang diakui dan dijamin dalam HAM. Demokrasi dan HAM saling terkait satu sama lain sebagai syarat mutlak dalam penyelenggaraan negara hukum oleh pemerintah. Pengimplementasian hak demokrasi yang berwujud kepedulian orang maupun kelompok orang terhadap nasib rakyat dan bangsa akibat dari adanya suatu kebijakan maka terjadilah unjuk rasa atau demonstrasi. Demonstrasi sebenarnya bukan sesuatu yang buruk apabila dilaksanakan dengan cara yang tepat dan tidak anarkis. Demonstrasi juga dianggap sebagai suatu cara melawan pemerintah yang otoriter. Demonstrasi sebagai sarana dalam penyampaian ide atau gagasan dari masyarakat

dengan menggunakan pengerahan massa. Tujuan tercapainya gagasan atau ide tersebut berkaitan erat dengan cara penggunaan demonstrasi tersebut.

Demonstrasi dipandang sebagai suatu adanya usaha tawar menawar dan kritik antara rakyat dan pemerintahan. Saling kritik antara rakyat dan pemerintah akan menjadikan perubahan pola pikir yang saling menghargai perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat memang wajar terjadi dan bukan lah sesuatu hal yang buruk, tetapi merupakan hal yang baik dan telah sesuai dengan sila keempat Pancasila yang beresensikan musyawarah mufakat. Demonstrasi yang diusahakan oleh rakyat menuju perubahan kebijakan pemerintah yang tidak sesuai atau menyimpang dari ideologi dan tujuan negara dengan mengangkat isu ke ranah publik. Pada hakikatnya demonstrasi merupakan cara masyarakat dalam cara berkumpul dan menyuarakan aspirasinya. Meskipun sudah diakui dan dilindungi secara hukum acap kali ditemukan demosntrasi yang berujung dengan kegiatan yang anarkis dan tidak berperi kemanusiaan. Demokrasi tidak disertai dengan aturan hukum akan kehilangan arah dan bentuk sedangkan aturan hukum tidak disertai dengan demokrasi akan kehilangan makna.11

Kebebasan mengemukakan pendapat adalah hak asasi seiap orang, tapi setiap orang tidak boleh bertindak sesukanya karena ada batas terhadap ham orang lain juga. Kebebasan yang dimiliki oleh setiap orang adalah sesuatu yang harus memiliki pertanggung jawaban secara hukum. Dalam menggunakan haknya mengenai kebebasan berpendapat terlebih melakukan demonstrzasi harus berpegang pada pokok-pokok aturan yang ada dalam peraturan di Indonesia. Prinsip ini biasa dikenal sebagai asas atau jantungnya dari suatu peraturan. Asas – asas terkait kebebasan berpendapat tercantum dalam pasal 3 UU No. 9 Tahun 1998. Asas adanya

kesembangan antara hak dan kewajiban mengartikan tidak boleh hanya menuntut haknya saja tetapi harus menjalankan kewajibannya. Musyawarah dan mufakat dalam pasal 3 tersebut sesuai dengan sila 4 pancasila yang mengharuskan bangsa Indonesia dalam memutuskan sesuatu harus menggunakan keputusan Bersama dan tidak mementingkan kepentingan individu atau golongan. Kepastian hukum dan keadilan harus selalu ditegakkan sesuai dengan dibentuk nya Undang – Undang ini. Profesionalitas mengartikan bahwa kegiatan yang dilakukan harus berlandaskan etika dan moral. Tidak kalah penting pengaturan dalam undang-undang ini juga harus memberikan manfaat terhadap seluruh warga negara Indonesia. Implementasi dari adanya asas tersebut dapat dilihat pada kebebasan berbicara dan berekspresi.12 Kebebasan ini saling terikat namun tetap memiliki perbedaan dan tidak terikat dengan kebebasan berpikir.13 Sehingga keingingan warga negara dalam mewujudkan hamnya terkait kebebasan dalam menyampaikan pikiran secara lisan maupun tulisan tetap terjamin.

Menyampaikan pendapat di hadapan khalayak ramai merupakan ham yang ada pada Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945. Selain itu terdapat pada Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM mengatur “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan

memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.” Serta dalam Pasal 44 UU HAM dinyatakan bahwa “Setiap individu maupun secara serentak bersama orang banyak mempunyai hak untuk mengajukan perndapat atau memohon terkait usulan kepada pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang bersih, efektif secara lisa maupun tulisan dengan merujuk peraturan yang berlaku.”14 Dalam instrumen hukum internasional yaitu dalam (UDHR) serta (ICCPR) hak berpendapat juga diakui. Article 19 UDHR : “Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.” Article 19 ICCPR : 1)everyone should have the right to express an opinion without any intervention;2) everyone should have the freedom to express their opinion in any form, and impart all kinds of information without restrictions. Berdasarkan aturan tersebut maka setiap orang bebas menyatakan pendapat baik pribadi maupun bersama-sama, baik mengenai hal tertentu maupun usul kepada pemerintah hanya saja harus memperhatikan aturan hukum yang berlaku. Jangan sampai upaya untuk mengajukan pendapat mengganggu ham orang lain juga, harus tetap menghormati ham orang lain sebagaimana dalam Hukum positif Indonesia.

Prosedur dalam mengemukakan pendapat di hadapan khalayak ramai secara jelas diatur pada UU No 9/1998 terutama pasal 9 sampai dengan 14.15 Penyampaian pendapat di hadapan khalayak ramai harus dengan prosedur yang tepat dan penyampaian tersebut harus dilakukan dengan bertanggung jawab. Pengaturan penanggung jawab dapat ditemukan pada pasal 12 UU No. 9 Tahun 1998. Ketentraman dan ketenangan merupakan suatu keinginan yang diinginkan oleh setiap orang dimanapun berada. Keinginan tersebut hendaknya terwujud apabila terjadi keseimbangan kewajiban dan hak per orangan.16 Menyampaian pendapat di hadapan khalayak ramai merupakan hak setiap warga negara. Konsekuensi dari hak tersebut beban yang harus dipikul oleh setiap warga negara. Karenanya sebelum menyampaikan pendapat di hadapan khalayak ramai seharusnya warga negara mengerti dan paham hak dan kewajibannya sebagai warga negara serta mengetahui sebab dan akibat akan perbuatan dilakukan. Aparat penegak hukum (Polri) tentunya memiliki kewajiban dalam menjaga kondisi penyampaian pendapat tersebut yang diatur dalam Pasal 13.17 Selain itu Pasal 14 menyatakan “Pembatalan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum disampaikan secara tertulis dan langsung oleh penanggung jawab kepada Polri selambat-lambatnya 24 jam sebelum waktu pelaksanaan.”18 Hendaknya segala aturan dan prosedur yang diterapkan dalam hukum positif mengenai penyampaian pendapat di hadapan khalayak ramai dilaksanakan agar tujuan dari penyampaian pendapat dapat tersampaikan serta tidak mengganggu keamanan dan ketertiban di masyarakat. Menurut penulis penyampain pendapat di hadapan khalayak ramai sangat bagus dan sesuai dengan sila 4 pancasila. Kenyataan yang sering terjadi di Indonesia penyampaian pendapat ini sering berakhir dengan kerusuhan. UU No. 9 Tahun 1998 sudah mengatur tentang penyampaian pendapat ini. Hendaknya para peserta penyampain pendapat sebelum melakukan

aksinya memahami aturan yang ada pada UU No. 9 Tahun 1998. Pengetahuan yang minim dan kondisi di lapangan membuat peserta mudah untuk meluapkan emosinya seperti kerusuhan pada 22 Mei 2019. Pasal 13 ayat 2 memang menjamin kemanan bagi peserta penyampaian pendapat oleh polisi, tapi polisi juga memiliki ketentuan sendiri bagi peserta yang anarkis.19 Polisi tidak akan memberikan tindakan apabila penyampaian pendapat di hadapan khalayak ramai sudah sesuai prosedur.

  • 3.2  Diskresi Polisi Dalam Membubarkan Kerusuhan Demonstrasi Dalam

    Perspektif Hak Asasi Manusia

Unjuk rasa yang terjadi pada Rabu, 22 Mei 2019 mengharuskan polisi berjaga di sejumlah titik dan di sekitar rumah warga. Perkembangan yang lebih luas, berbagai aksi unjuk rasa dan atau demonstrasi yang pertamanya berjalan dengan baik tetapi masuklah faktor – faktor yang menjadikan demonstrasi tersebut anarkis atau tidak dapat dikendalikan dengan baik oleh aparat penegak hukum. Sehingga tidak terbendung terjadinya bentrokan antara peserta demonstrasi dan aparat yang dianggap peserta sebagai musuh mereka. Kerusuhan yang berdampak pada pengrusakan toko-toko serta fasilitas umum, pembakaran, penjarahan maupun tindakan – tindakan oleh peserta demonstrasi yang mengancam dan mengganggu ketertiban dan kemanan masyarakat.20 Diskresi adalah kewenangan polisi dalam menentukan perkara tersebut patut diteruskan atau tidak sesuai akal pikirnya. Polisi memiliki tindakan diskresi sebagai “the gate keeper of criminal justice system”. Faktor polisi melakukan tindakan diskresi antara lain :

  • (1)    bahaya yang ditmbulkan dari suatu pelanggaran;

  • (2)    reaksi masyarakat terhadap pelaku di suatu tempat terjadinya pelanggaran;

  • (3)    kondisi individu pelaku sendiri.

Dalam melaksanakan diskresinya polisi harus sesuai dengan:

  • (1)    aturan hukum.

  • (2)    tidak boleh melanggar kaidah yang ada di hukum maupun nilai yang ada dimasyarakat;

  • (3)    kebebasan dalam mengatasi masalah sesuai dengan landasan pertam dan kedua. Mengacu kepada pandangan umum bahwa polisi harus bertindak atas setiap pelanggaran ketentuan hukum sehingga membiarkan atau tidak melakukan tindakan merupakan suatu penyimpangan.

Menjalankan tugas sebagai penjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat mengharuskan polisi melakukan tindakan pencegahan maupun represif. Dalam aksi kerusuhan aksi unjuk rasa yang terjadi menyebabkan polisi menjalankan diskresi sebagai wewenangnya untuk mengatasi kerusuhan agar massa dapat segera meninggalkan lokasi kerusuhan. Salah satu diskresi yang dilakukan polisi yakni penggunaan senjata api. Berat atau ringannya dari tingkat kejahatan yang dilakukan tersangka merupakan salah satu pertimbangan anggota polisi di lapangan dalam menggunakan senjata api. Biasanya pelaku dengan kasus kejahatan yang berat seringkali melakukan perlawanan saat akan ditangkap oleh petugas, sehingga untuk menghindari hal tersebut maka petugas sudah mengantisipasi tindakan pelaku dengan bersiap menggunakan senjata api mereka. Diskresi yang dilakukan polisi, dalam arti

pengambilan keputusan pada penggunaan senjata api dalam pelaksanaan tugasnya, adalah kewenangan membuat suatu keputusan, berdasarkan situasi dan kondisi yang dihadapi, terutama pada penggunaan senjata api dalam pelaksanaan tugas polisi di lapangan.21 Polisi dihadapakan pada situasi yang sulit, di mana senjata api yang dipegang oleh polisi dapat digunakan sesuai prosedur dan ketetapan (protap) yang berlaku.

Upaya yang dijalankan oleh Polri dalam menjalankan tugas pokok dan menanggulangi serta mengatasi masalah yaitu

  • •    Upaya preventif adalah usaha mencegah perbuatan jahat seseorang dimana niat dan kesempatan berbuat jahat bertemu. Penyuluhan, pengaturan, pengawalan sebagai tindakan preventif yang sifatnya mencegah.

  • •    Menindak pelaku, menegakan hukum merupakan tindakan polisi sebagai upaya represif. Berkaitan dengan hal tersebut telah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU No.2 Tahun 2002 bahwa “Pejabat kepolisian negara Republik Indonesia mempunyai wewenang dalam menjalankan kewajibannya demi kepentingan umum dengan bertindak sesuai hati dan pikirannya sendiri.”22

Menghadapi aksi demonstran pada kerusuhan aksi unjuk rasa pada Rabu, 22 Mei 2019 dimana demonstran yang melawan petugas serta melempar batu dan bahan peledak mengharuskan polisi melakukan diskresi. Diskresi dalam hal pembubaran aksi demonstran yang dilakukan salah satunya yaitu dengan penembakan gas air mata dan peluru karet. Tindakan diskresi yang dilakukan oleh polisi tidaklah melanggar hak asasi manusia, dikarenakan polisi bertugas melindungi hak asasi manusia warga masyarakat lainnya.23 Seseorang tidak akan diberikan tindakan apabila mengikuti aturan yang diinstruksikan oleh pemerintah. Diskresi yang dilakukan polisi tidak melanggar hak asasi manusia asal dilakukan sesuai prosedur yang berlaku. Jika seoarang polisi melakukan tindakan sesuai aturan hukum maka polisi tersebut akan dikenakan tindakan disipliner. Kepolisian tidak bisa kebal hukum karena kewajiban dan hak kepolisian telah diatur oleh hukum. Selain itu polisi harus harus peka terhadap kondisi di masyarakat dan bertanggung jawab kepada masyarakat dan negara.24

Protap Kepala Kepolisian RI No. Protap/1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarki, dalam pendahuluan bagian umum huruf a disebutkan bahwa “Anarki merupakan bentuk pelanggaran hukum yang membahayakan keamanan dan mengganggu ketertiban umum masyarakat sehingga perlu dilakukan penindakan secara cepat, tepat, dan tegas dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) serta sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.“ Dalam Protap 1/X/2010 dinyatakan bahwa “Tindakan Kepolisian adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain yang dilakukan secara bertanggung jawab menurut hukum yang berlaku untuk mencegah, menghambat, atau menghentikan

anarki atau pelaku kejahatan lainnya yang mengancam keselamatan, atau membahayakan jiwa raga, harta benda atau kehormatan kesusilaan, guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat.” Dalam melakukan tindakan kepolisian wajib memperhatikan asas. Asas legalitas yakni dalam melaksanakan tindakannya, setiap anggota polri berdasarkan hukum. Asas nesesitas, yaitu setiap tindakan oleh anggota Polri harus memiliki tujuan penegakan hukum. Asas ini terdapat pada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu25 :

  • 1)    Pasal 48 : "barang siapa yang melakukan tindakan secara terpaksa tidak dapat dipidana";

  • 2)    Pasal 49 : " Barang siapa/anggota yang melakukan perbuatan dengan maksud membela diri dengan keadaan terpaksa terhadap diri sendiri ataupun orang lain, karena ada serangan melawan hukum tidak dipidana" ;

  • 3) Pasal 50 : "barang siapa/anggota melakukan perbuatan untuk melaksanakan

ketentuan Undang-Undang tidak dipidana";

  • 4) Pasal 51 : "barang siapa/anggota melakukan perbuatan untuk melaksanakan

perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana".

Anggota polisi dalam mengambil keputusan terhadap tidak menindak pelanggar hukum tidak dipat diprotes dengan dugaan bahwa perbuatan itu adalah melanggar hukum. Melainkan penggunaan diskresi yang tidak sesuai aturan dapat dikritik dengan alasan lain.26 Menjalankan amanat peraturan perundang-undangan dalam hal menjaga keamanan, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat merupakan tugas pokok Kepolisian.27 Seiring berkembangnya jaman maka teknik kejahatan pun semakin berkembang dan canggih sehingga profesionalitas polisi sangat diperlukan dalam menghadapi situasi terkini. Akibat dari ketidak profesionalitas polisi dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga penegakan hukum yang dicita – citakan adil terhadap semua orang akan timpang.28 Penafsiran kewenangan menurut peniliaian sendiri yang ada pada pasal 18 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2002 dalam hal kerusuhan sudah diatur dalam Protap Kepala Kepolisian RI No. Protap/1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarki. Penggunaan gas air mata dan peluru karet sudah ada pada poin no 14 bagian cara bertindak satuan polri huruf f.

Unjuk rasa memang dapat dilakukan oleh siapapun karena hak asasi manusia setiap individu namun harus sesuai dengan pembatasan yang ada dalam konstitusi Indonesia pasal 28J bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Apabila seseorang melakukan haknya tanpa memperhatikan pembatasan tersebut maka Polri sebagai aparat penegak hukum berhak melakukan

tindakan kepolisian dan hal tersebut tidaklah melanggar ham pelaku. Tindakan yang dilakukan polisi telah diatur dalam peraturan di Indonesia Pemikiran masyarakat terhadap tindakan polisi dalam menangani kerusuhan demonstran dengan menggunakan gas air mata maupun senjata dianggap melanggar HAM. Sejatinya tindakan tersebut tidaklah melanggar HAM karena diatur dalam Protap/1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarki. Hendaknya masyarakat memahami secara benar aturan terkait perbuatan yang akan dilakukan.

IV. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Penyampaian pendapat di hadapan khalayak ramai memiliki prosedur sesuai peraturan perundang-undangan. Diskresi yang dilakukan polisi dalam hal pembubaran aksi demonstran tidaklah melanggar hak asasi manusia, dikarenakan polisi bertugas melindungi hak asasi manusia warga masyarakat lainnya. Diskresi dibenarkan apabila berdasarkan hukum yang berlaku guna mencapai tujuan hukum. Kepada masyarakat hendaknya dalam menyatakan pendapat di muka umum berdasarkan aturan berlaku dan memperhatikan hak asasi manusia orang lain agar tidak mengganggu hak asasi manusia lainnya. Kepada pihak kepolisian hendaknya mengamankan penyebab kerusuhan aksi unjuk rasa guna memberikan keamanan bagi warga masyarakat serta mengusut tuntas dengan keadilan dalam masalah kerusuhan 22 Mei 2019.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

A Josias Simon Runturambi, MSi, and Atin Sri Pujiastuti. Senjata Api dan Penanganan Tindak Kriminal. Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015.

Hakim, Abdul Aziz. Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia. Pustaka Pelajar, 2011.

Mohammad, Kemal, and Irvan Oli’I. Mohammad. "Sosiologi Peradilan

Pidana." Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2015.

Jurnal

Adihartono, Wisnu, Ihsan Ali-Fauzi, and Irsyad Rafsadi. "Belajar dari Pemolisian yang Baik: Menangani Konflik Anti-Ahmadiyah di Manis Lor (Jawa Barat) dan Cikeusik (Banten)." Jurnal HAM (2014).

Gunawan, Wahyu Hartanto. "Perlindungan Hukum Terhadap Polisi Yang Bertugas Mengamankan Para Demonstran Ditinjau Dari Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia." CALYPTRA 2, no. 2 (2013).

Melina, Cairin. "Kebebasan Berekspresi Di Era Demokrasi: Catatan Penegakan Hak Asasi Manusia." Lex Scientia Law Review 2, no. 2 (2018).

Muslim, Muslim. "UPAYA POLRES JAYAPURA KOTA DALAM MENANGANI DEMONSTRASI ANARKIS DI KOTA JAYAPURA." Legal Pluralism: Journal of Law Science 5, no. 2 (2015).

Notanubun, Peiroll Gerard. "Tinjauan Yuridis Terhadap Kebebasan Berbicara Dalam Ketentuan Pasal 27 Ayat 3 Uu Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE Dalam Hubungan Dengan Pasal 28 UUD 1945." Mimbar Keadilan (2014).

Pebry Dirgantara, “Wewenang Diskresi Oleh Penyidik,” Jurnal Kertha Wicara, Vol. 04, No.3, (2015)

Putra, I. Putu Ary Yoga Pramana, Osgar S. Matompo, and Ida Lestiawati. "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGAMANAN UNJUK RASA OLEH KEPOLISIAN (STUDI DI KEPOLISIAN RESOR PALU)." Jurnal Kolaboratif Sains 1, no. 1 (2019).

Rahmanto, Tony Yuri. "Kebebasan Berekspresi dalam Perspektif Hak Asasi Manusia: Perlindungan, Permasalahan dan Implementasinya di Provinsi Jawa Barat." Jurnal HAM 7, no. 1 (2016).

Sabela, Amira Rahma. "Kajian Freedom of Speech and Expression dalam Perlindungan Hukum terhadap Demonstran di Indonesia." Lex Scientia Law Review 1, no. 01 (2017).

Saputra, Sigit. "EFEKTIVITAS PENGGUNAAN KEKUATAN OLEH KEPOLISIAN DALAM MENANGANI AKSI UNJUK RASA ANARKIS DI KOTA PADANG." UNES Journal of Swara Justisia 3, no. 3 (2019).

Susilowati, WM Herry, and Noor Tri Hastuti. "KEDUDUKAN HIRARKI PROSEDUR TETAP BAGI ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM MENANGANI KERUSUHAN MASSA DAN HUBUNGANNYA DENGAN HAM." Perspektif 16, no. 1 (2011).

Usi, Zahara. "PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENGAMANAN DEMONSTRASI DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN RESOR KOTA PADANG." Abstract of Undergraduate Research, Faculty of Law, Bung Hatta University 8, no. 1 (2017).

Internet

Andry Novelno, 2019, Wiranto Soal Aksi 22 Mei Itu Kejahatan Serius. URL : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190521142949-12-396888/wiranto-soal-aksi -22-mei-itu-kejahatan-serius, diakses tanggal 22 Mei 2020.

Indra Komara, 2019, Ini Sebaran Rumah Sakit yang Tampung 6 Korban Tewas Rusuh 22 Mei, URL : https://news.detik.com/berita/d-4559881/ini-sebaran-rumah-sakit-yang-tampung-6-korban-tewas-rusuh-22-mei, diakses tanggal 22 Mei 2020.

Ria Anatasia, 2019, Tutup Akibat Aksi 22 Mei Sarinah Thamrin Berpotensi Merugi Hingga          Rp          1          Miliar,          URL          :

http://www.tribunnews.com/bisnis/2019/05/22/tutup-akibat-aksi-22-mei-sarinah-thamrin-berpotensi-merugi-hingga-rp-1-miliar, diakses tanggal 22 Mei 2020.

Peraturan Perundang-Undangan atau Instrumen Hukum Internasional

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Undang – Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Adminsitrasi Pemerintahan

Prosedur Tetap Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor Protap/1/X/2010 tentang Penanggulangan Anarki

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Cipil and Political Rights)

Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 7 Tahun 2020, hlm. 1-12.