PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORGANISASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA
on
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORGANISASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA
I Dewa Gede Pradnya Dwiditya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dewa21.10.98@gmail.com
Anak Agung Ngurah Oka Yudistira Darmadi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: yudistira.darmadi@yahoo.com
ABSTRAK
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui apakah organisasi yang melakukan tindak pidana terorisme di Indonesia termasuk dalam subjek hukum pidana berupa korporasi sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang terorisme danuntuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana dari organisasi yang melakukan tindak pidana terorisme di Indonesia. Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normative dengan menggunakan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Hasil dari tulisan ini adalah ditemukannya kekaburan norma terkait pengertian korporasi dalam undang-undang terorisme. Organisasi yang melakukan tindak pidana terorisme di Indonesia dapat disamakan dengan korporasi sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang terorisme dikarenakan organisasi tersebut merupakan kumpulan orang yang memiliki pengurus dan kekayaan yang dimilikinya digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme. Organisasi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dengan melihat 3 (tiga) bentuk pertanggung jawaban yaitu teori pertanggungjawaban mutlak, teori pertanggungjawaban pengganti, dan teori pertanggungjawaban korporasi secara langsung. Oleh karena dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, organisasi tersebut dapat dijatuhkan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Terorisme.
Kata Kunci: Tindak Pidana Terorisme, Organisasi, Pertanggungjawaban Pidana
ABSTRACT
The purpose of this research is to understand whether or not the organization conducting the acts of terrorism in Indonesia including the subject of criminal law in the form of the corporation as that referred to in the act of terrorism, also to understand the mode of criminal liability of such organizationwho conducting the acts of terrorism in Indonesia. The method used in this research in normative legal research method by using statute approach, case approach, and conceptual approach. The result of this research is found an unclear norm regarding the definition of corporation within the Terrorism Act. The Organization conducting the acts of terrorism in Indonesia is sam as the corporation that mentioned in Terorrism Act it’s because that organization that association of people who have directing minds and wealth in order to do acts of terrorism. That organization be held criminally liable for the act of terrorism by three mode of criminal liability namely strict liablity theory, vicarious liability theory, and direct corporate liabilitu theory. That’s be held criminally liable, that organization that can be imposedcriminal sanction as referred to in Article 18 of Terrorism Act.
Keywords: Acts of Terrorism, Organization, Criminal Liability.
1.Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Penjelasan mengenaiterorisme mula-mula diuraikan pada European Convention on the Suppresion of Terrorism (ECST) pada tahun 1977 yang mana artinyadiperluas menjadi Crime Against Humanity, mencakupdelik yang menimbulkan suatu kondisi dimana perseorangan,
komunitas dan khalayak umum merasakan atmosfer teror.1 Di Indonesia kejahatan terorisme sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (yang selanjutnya disebut sebagai UU 5/2018). Bahwa dalam peraturan tersebut, jika kita mengacu pada Pasal 1 angka 2 UU 5/2018 bahwa yang dimaksud dengan terorisme adalah suatu tindakan kekerasan atau suatu ancaman kekerasan yang melahirkan suasana takut, melahirkan korban yang bersifat massal dan bahkan dapat menyebaban kecacatan terhadap fasilitas publik.
Muladi berpandanganbahwa terorisme merupakan kejahatan luarbiasa yang memerlukan upaya yang cukup keras, hal ini dikarenakan: 1) terorisme merupakan tindakan yang menimbulkan bahaya yang sangat besar terhadap hak yang melekat pada diri seseroang, dalam hal ini hak untuk hidup dan terlepas dari rasa teror; 2) korban dari terorisme ini random, bahkan kebanyakan korbannya adalah orang yang tidak bersalah; 3) dalam menjalankan perbuatannya dimungkinkan untuk menggunakan senjata pemusnah massal; 4) memiliki hubungan dengan organisasi terosisme nasional dan internasional.2
Lahirnya tindak pidana terorisme tentu didasari atas motif-motif seperti ideologi, ekonomi, politik, memperjuangkan kemerdekaan, serta radikalisme. Sepanjang sejarah terdapat empat tipologi kejahatan terorisme yang dilakukan, pertama yaitu aksi terorisme dalam perihal penentangan terhadap pemerintah, kedua aksi terorisme yang disokong negara untuk mengalahkan lawan politik, ketiga aksi terorisme yang berkarakter milenarianisme, dan keempat aksi teroris yang mengatasnamakan agama.3 Eksistensi dari terorisme merupakan momok yang tidak hanya kepada jalannya sebuah demokrasi, tetapi juga bagi perekonomian, ketentraman dan keamanan suatu negara.
Selain itu,kejahatan terorisme dapattimbul dari perasaan frustasiatas perlakuan disharmonis yang berjalanpanjang dan tanparasa terhadap suatu perbaikan. Tetapiterdapat motif lain yang menjadi dasar dari dilakukannya kejahatan terorisme yaitu adanya suatu kepercayaan berlebih terhadap suatu keyakinan sehingga menganggap bahwa sebuah pemerintahan atau keyakinan lain salah. Motif inilah yang mendesak timbulnya radikalisme oleh sekelompok orang untuk menarik animopenguasa bahkan dunia dengan menciptakan suasana teror terhadap khalayak umum sehingga menimbulkan korban jiwa atau kekayaan terhadap masyarakat.4Di Indonesia, agama merupakan aspek keyakinan yang digunakan oleh seseorang dalam menjalani kehidupan. Namun bagi sebagian orang, agama digunakan sebagai alat untuk memicu sebuah konflik yang dapat menciptakan sebuah tindakan kekerasan dan perselisihan. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa perkara mengenai tindakan terorisme yang diperbuat oleh komunitas radikal yang berkedok agama, seperti komunitas radikal yang mengatasnamakan jihad sebagai dasar untuk
melakukan tindakan terorisme5, seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Al-Qaeda, dan lain sebagainya.
Tindakan terorisme oleh kelompok radikal dimulai dari terjadinya peristiwa dibajaknya pesawat terbang komersil yang ditabrakan ke gedung World Trade Centre di New York, AS. Setelah ditelusuridiketahuibahwa pelaku dari peristiwa tersebut adalah Osama Bin Laden yang merupakan pendiri sekaligus pemimpin dari organisasi teroris internasional bernama Al-Qaeda.6Setelah kejadian tersebut, di Indonesia timbul gerakan kelompok radikal, seperti serangan bom yang terjadi di Jalan MH Thamrin pada tanggal 14 Januari 2016 yang menyebabkan 8 orang tewas dan 24 orang mengalami luka-luka, bom bunuh diri di Mapolres Surakarta yang mengakibatkan 1 orang mengalami luka-luka, dan beberapa serangan teror lainnya yang mana serangan teror tersebut diklaim olehJamaah Ansharut Daulah (JAD).7
JAD merupakansalah satu kelompok radikal yang ada di Indonesia. JAD merupakan salah satu organisasi yang dipimpin oleh Zainal Anshori didirikan pada tahun 2015 yang merupakan perpanjangan ISIS di Indonesia yang bertujuan untuk mengubah Ideologi Indonesia yang awalnya Pancasila menjadi khilafah yang tidak segan melakukan penyerangan terhadap pemerintah.8 Organisasi ini didanai oleh anggota dan dari Zainal Anshori yang mana dana tersebut nantinya akan digunakan untuk mendanai kegiatan dari JAD sendiri seperti hijrah berdakwah, berjihad dan pengukuhan amir-amir setiap wilayah di Indonesia.9
Melihat perbuatanyang diperbuat oleh JAD, tentunya perbuatan tersebut sudah mencukupi unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 UU 5/2018. Oleh karena telah terpenuhinya unsur delik, pelaku dari delik tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Tetapi menjadi sebuah persoalan terkait dengan kejahatan terorisme yang dilakukan oleh seseorang yang disokong oleh sebuah organisasi maka dirasa tidak cukup jika hanya membebankan pertanggungjawaban tersebut kepada orangnya saja.Selain itu, dalam Pasal 1 angka 9 UU 5/2018telah dinyatakanbahwa subjek hukum tidak hanya terbatas terhadap orang perseorangan melainkan juga terhadapsuatu korporasi. Dalam hukum pidana kita, pengertian korporasi tidak hanya berupa badan hukum saja, tetapi juga bukan badan hukum.10Dengan adanya ketentuan tersebut, membuka peluang untuk mempidana sebuah korporasi. Lalu atas ketentuan tersebut pula, dapatkah sebuah komunitas yang melakukan tindak pidana terorisme dapat disamakan dengan korporasi sehingga komunitas tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka penulis hendak mengkaji mengenai “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORGANISASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI INDONESIA”. Sebelumnya, penulis belum dapat melihat tulisan yang mengangkat
mengenai hal ini. Penulis mengangkat hal ini dikarenakan melihat berita terkait tindak pidana teorisme yang dilakukan oleh sekelompok orang yang diklaim oleh sebuah organisasi. Menurut penulis hal ini sangat penting untuk diangkat, dikarenakan hingga saat ini sudah banyak tindak pidana terorisme yang terjadi di Indonesia yang dilakukan oleh sebuah kelompok tapi tetap yang dipidana hanya orangnya saja dan hal tersebut dirasa kurang perlu. Dengan tulisasn ini diharapkan agar nantinya menjadi pedoman dalam memintakan pertanggungjawaban pidana bagi organisasi yang melakukantindak pidana terorisme di Indonesia.
Melihat latar belakang a quo, permasalahan yang dapat penulis angkat dalam pembahasan ini yaitu:
-
1. Apakah organisasi yang melakukan tindak pidana terorisme di Indonesia termasuk dalam subjek hukum pidana berupa korporasi sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Terorisme?
-
2. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana bagi organisasi yang melakukan tindak pidana terorisme?
Adapun Tujuan dari ditulisnyatulisan ini adalah untuk mengetahui apakah organisasi yang melakukan tindak pidana terorisme di Indonesia termasuk dalam subjek hukum pidana berupa korporasi sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Terorisme. Selain itu, tujuan dari penulisan tulisan ini adalah untuk mengetahuibentuk pertanggungjawaban pidana bagi organisasi yang melakukan tindak pidana terorisme.
Adapun metode penelitian yang digunakan pada tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif.Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian yang sering digunakan dalam mengkaji suatu norma dalam peraturan perundang-undangan apakah norma dalam peraturan perundang-undangan telah dirumuskan secara jelas (tidak multitafsir), apakah terdapat pertentangan norma, atau apakah suatu peraturan perundang-undangan tidak mengatur suatu perbuatan hukum yang seharusnya diatur terlebih dahulu.Tulisan ini mengaplikasikan pada pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Teknik yang digunakan untuk penelusuran bahan hukum ini adalah metoda kepustakaan (library research). Sumber-sumber literatur akan dijadikan sebagai rujukan dalam mengkaji masalah yang penulis teliti. Literatur berupa buku-buku dipilih berdasarkan relevansi masalah dan dapat mendukung topik penelitian. Berikutnya juga jurnal-jurnal ilmiah yang tersebar di dunia maya melalui internet penulis unduh untuk melengkapi sumber-sumber akademik yang diperlukan.Pada penelitian ini terdapat norma kabur dalam undang-undang terorisme terkait sejauh mana yang dimaksud dengan korporasi, maka dalam hal menganalisa serta menarik kesimpulan Penulis menggnakan interpretasi gramatikal.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1. Organisasi Yang Melakukan Tindak Pidana Terorisme Di IndonesiaTermasuk Subjek Hukum PidanaDalam Undang-Undang Terorisme
-
Dalam perkembangan terhadap kedudukan sebuah korporasi sebagai subjek hukum pidana dibagi menjadi3 (tiga) fase, yaitu:11
-
a. Fase Pertama
Dalam fase ini dilihat dari upaya-upaya agar sifat dari sebuah kejahatan yang diperbuat oleh sebuah korporasi terbatas pada perseorangan. Sehingga apabila terjadi sebuah kejahatan dalam lingkup korporasi, maka kejahatan tersebut dianggap dilaksanakan oleh orang yang mengurusi korporasi tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 59 KUHP yang tersirat dasar pengembangan dari pertanggungjawaban pidana oleh korporasi.
-
b. Fase Kedua
Dalam fase ini, dirumuskanpada suatu peraturan bahwa suatu korporasi dapat melakukan kejahatannamun untuk pertanggungjawaban pidananya kembali dibebankan kepada pengurusnya, kecuali dinyatakan secara expressive verbis dalam anggaran dasar atau peraturan dari korporasi itu sendiri. Dalam fase ini mulai lahir perkembangan, dimana korporasi dapat melakukan sebuah kejahatan. Akan tetapi pertanggungjawaban pidana oleh korporasi belum muncul, pertanggungjawaban pidananya tetap dibebankan kepada orang perseorangan (anggota pengurus dari korporasi).
-
c. Fase Ketiga
Dalamfase ini muncul sebuah harapan untuk memintakan pertanggungjawaban pidana kepada sebuah korpoasi. Dalam ketentuan-ketentaun yang berlaku di Indonesia telah dicantumkan ketentuan terkait dapat dimintakannya pertanggungjawaban pidana kepada sebuah korporasi tetapi masih terbatas dalam peraturan khusus di luar KUHP.
Perkembangan criminal law di Indonesia, ketentuan pidana khusus telah memperlebar cakupan subjek hukum pidana yang tidak lagi terbatas pada orang perseorangan namun juga kepada korporasi, baik yang ber-legal standing maupun bukan. Korporasi yang ber-legal standing terdapat duajenis, yakni badan hukum perdata dan badan hukum publik. Di Indonesia, korporasi yang berbadan hukum perdata antara lain Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi, partai politik dan berbagai kesatuan organisasi lainnya. Dan korporasi yang berbadan hukum publik antara lain Pemerintah, Kementerian, maupun lembaga-lembaga publik. Selain yang berbadan hukum, terdapat pula korporasi yang bukan berbadan hukum antara lain firma, CV, perusahaan dagang.12
Seiring dengan perkembagan zaman, bahwa tindak pidana terorisme yang terjadi pada saat ini tidak hanya dilakukan oleh satu orang saja melainkan dilakukan oleh sekumpulan orang (organisasi) yang mana apabila mempidana satu per satu anggota dari organisasi tersebut tentu tidak efektif. Sehingga agar menjadi efektif dapatkah organisasi yang bersangkutan dibebankan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana terorisme yang terjadi. Namun menjadi sebuah persoalan terkait makna korporasi dalam undang-undang terorisme, apakah dapat disamakan dengan organisasi.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 9 UU 5/2018 secara expressive verbis menyatakan bahwa selain orang perseorangan, korporasi juga dapat dipidana. Pada Pasal 10 undang-undang ini pula disebutkan bahwa korporasi adalah himpunan orang dan/atau kekayaan yang teratur, baik yang ber-legal standing maupun bukan. Jika melihat penjelasan mengenai korporasi tersebut tentu
terdapat kekaburan norma terkait sejauh mana yang dimaksud dengan himpunan orang dan/atau kekayaan yang teratur, baik yang ber-legal standing maupun bukan.
Meihat dari asal usul kata, korporasi atau corporate bermula dari Bahasa latin yaitu dari kata “corporatio”, artinya hasil produksi dari membadankan atau menjadikan badan sebagai orang.13 Menurut Wirjono Prodjodikoro,corporartio merupakan suatu perhimpunan individu yang biasanya pihak yang memiliki interest adalah orang-orang yang mewakili korporasi itu, orangyang memegangkuasa dalam aturan korporasi berupa hasil rapat sebagai alat kekuasaan yang teratas dalam aturan korporasi14.
Mengacu pada Pasal 1 angka 10 UU 5/2019, maka himpunan individu juga dianggap sebagai korporasi. Kumpulan orang juga dianggap sebagai korporasi dengan syarat, kumpulan orang tersebut merupakan kumpulan orang yang terorganisasi. Karakteristik utama dari himpunan indvidu yang teratur adalah himpunan individu tersebut mempunyai seorang atau lebih pemimpin, dimana himpunan individu yang tidak mempunyai seorang atau lebih pemimpin tidak dapat dikatakan sebagai himpunan individu yang teratur. Selain itu,kumpulan orang tersebut dan kepemimpinannya dapat bersifat tetap atau sementara. Suatu kumpulan orang dikatakan bersifat sementara apabila hanya pada saat kejahatan dilakukan atau hanya teratur untuk keperluan melakukan sebuah kejahatan tertentu. Himpunan individu yang bersifat tetap maupun sementara tidak harus memiliki sebuah anggaran dasar sebagai suatu organisasi tapi cukup memiliki satu orang atau lebih pemimpin.15
Mengenai kekayaan yang terorganisir dapat dikatakan dikategorikan sebagai corporatio, apabila kekayaan tersebut terpisah atau telah dipisahkan kepemilikannya dari pemiliknya semula. Pemilik semula dapatberupa individu atau beberapa individu atau suatu badan yang ber-legal standing. Dengan kata lain, syarat bagi kekayaan yang terorganisir dianggap sebagai korporasi apabila kekayaan tersebut tidak lagi dimiliki individu atau badan tertentu tetapi telah dimiliki sepenuhnya oleh korporasi yang melakukan kejahatan yang mana kekayaan tersebut diperuntukkan sepenuhnya untuk membiayai suatu kejahatan. Selain itu, kekayaan tersebut harus dikelola oleh pengurus daricorporateyang berwenang bertindak untuk dan atas nama korporasi yang bersangkutan dalam mengelola kekayaan tersebut.16
Berbicara mengenai organisasi, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia organisasi diartikan sebagai kesatuan (susunan pengurus dan sebagainya) yang terdiri atas bagian-bagian (orang dan sebagainya) dalam perkumpulan dan sebagainya untuk tujuan tertentu. Secara yuridis terkait pengertian organisasi, Penulis mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya disebut UU 17/2013) yang mana pada Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa organisasi kemasyarakatan adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Pada Pasal 9 undang-undang ini juga dinyatakan bahwa dalam pembentukannya dapat dilakukan oleh 3 (tiga) orang warga negara Indonesia atau lebih. Lalu dalam Pasal 10 menyatakan bahwa organisasi dapat berupa badan hukum atau tidak berbadan hukum. Lalu dalam Pasal 22 undang-undang a quo menyatakan bahwa organisasi memiliki strukur organisasi
dan kepengurusan. Selain itu dalam undang-undang ini juga dinyatakan bahwa organisasi dalam pengelola keuangannya demi tujuan organisasi yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian a quo, Penulis berpendapat bahwa terdapat persamaan antara korporasi dengan organisasi. Pertama, sama-sama dapat berbadan hukum maupun tidak. Dalam undang-undang terorisme bahwa korporasi dapat yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum yang mana hal tersebut sama seperti yang dinyatakan dalam undang-undang organisasi masyarakat bahwa organisasi dapat berbadan hukum atau tidak berbadan hukum. Kedua, korporasi yang didefinisikan sebagai sekolompok orang yang teroganisir bahwa dalam sekelompok orang tersebut harus memiliki harus memiliki pengurus hal tersebut juga sama dengan organisasi dalam undang-undang organisasi. Ketiga, bahwa korporasi yang didefinisikan sebagai kekayaan yang terorganisir adalah kekayaan tersebut sepenuhnya diperuntukan untuk kepentinagn korporasi yang mana hal ini juga sama dengan hal yang dinyatakan dalam undang-undang organisasi masyarakat yang mana menyatakan bahwa organisasi berhak mengelola keuangan organisasi demi mewujudkan tujuan organisasi. Atas persamaan tersebut, maka Penulis berpendapat bahwa organisasi yang melakukan tindak pidana di Indonesia dapat disamakan dengan korporasi. Sehingga organisasi yang melakukan tindak pidana di Indonesia dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
-
3.2. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Bagi Organisasi Yang Melakukan Tindak Pidana
Terorisme Di Indonesia
Seiring dengan adanya perkembangan zaman hingga saat ini, dirasa perlu untuk memposisikan corporatio sebagai subjek hukum dalam criminal lawsehingga dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila korporasi yang bersangkutan berbuat sebuah tindak pidana. Pada saat ini, di Indonesia acap kali terjadi kejahatan terorisme dilakukan oleh pelaku kejahatan yang mana pelaku tersebut merupakan anggota dari organisasi tertentu dan bahkan organisasi yang bersangkutan mengklaim bahwa tindakan yang diperbuat oleh pelaku merupakan perbuatan organisasi tersebut. Dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme (yang selanjutnya disebut UU 15/2003)menyatakan bahwa kejahatan terorisme dapat diperbuat oleh atau atas nama suatucorporatio yang dilakukan oleh individu-individu yang memiliki hubungan pada corporateyang bersangkutan, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lainnya sehingga pembebanan sanksi pidana dapat dibebankankepada korporasi yang bersangkutan.
Kejahatan oleh korporasi dapat dilakukan oleh individu-individu yang memiliki hubungan pada corporateyang bersangkutan, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lainnya. Adapun yang diartikan dengan individu-individu yang memiliki hubungan kerja adalah individu-individu sebagai pengurus melakukan pekerjaanya berdasarkan oleh: 1) AD dari corporate yang bersangkutan beserta perubahannya; 2) pangkat pengurusa dan kontrak kerja dengan corporate; 3) surat penetapan sebagai pengurus; dan 4) kontrak kerja sebagai pekerja. Selain itu yang diartikan denganindividu-individu berdasarkan hubungan lain adalah individu-individu yang berhubungan namunbukan hubungan kerja dengan corporate, yaitu menggantikan korporasi untuk berbuat perbuatan hukum untuk dan atas nama corporateberdasarkan: 1)
pelimpahan kewenangan; 2) kontrak dengan pemberi wewenang; dan 3) pendelegasian wewenang.17
Dalam memintakan pertanggungjawaban pidana kepada organisasiyang melakukan tindak pidana terorisme di Indonesia dapat menggunakan 3 (tiga) teori pertanggungjawaban, yaitu:
-
1. Strict Liability atau Pertanggungjawaban Mutlak
Di Indonesia dikenal asas yang menjadi dasar dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana kepada dader yaitu asas geen straf zonder schuld, yang berarti seseorang dapat dipidana apabila ia memiliki kesalahan. Namun dalam perkembangannya memungkinkan untuk dibebankannya suatu pertanggungjawaban atas strafbarfeit yang dilakukan meskipun tidak adanya kesalahan sehingga munculah teoristrict liability.
Yang dimaksud dengan pertanggungjawaban mutlak (strict liability) merupakan sistem dimintanya pertanggungjawaban kepada dader, dimana dader dapat dipidana apabila perbuatan telah dilakukan sebagaimanadinyatakan dalam peraturan tanpa melihat adanya mens rea, yang juga diartikan sebagai liability without fault.18Berdasarkan teori ini pertanggungjawaban terhadap korporasi semata-mata berdasarkan apa yang dinyatakan dalam ketentuan pidanadengan tidak melihat siapa yang memiliki mens rea.19Teori ini diberlakukan agar dapat membebankan tanggung jawab pidana kepada corporateatas kejahatan yang diperbuat oleh individu yang memiliki hubungan kerja dengan corporate. Dengan teori ini pula penuntut umum dibebaskan dalam kewajibannya untuk memuktikan adanya mens rea dari pelakunya. Penuntut umum hanya diwajibkan untuk membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dengan dampak yang timbul. Dengan memberlakukan teori ini maka korporasi dapat dibebankan tanggung jawab pidana20.Dimana pihakdinyatakan berasalah apabila perbuatannya dalam masyarakat menimbulkan dampak negatif yang mengancam nyawa seseoran. Meskipun coporation dijalankan dengan sebagaimana mestinya, alasan dibebankan tanggung jawab tersebut adalah tetap dilaksanakannnya kegiatan meskipun diketahuinya bahwa kegiatan tersebut menimbulkan dampak negatif.21
Berdasarkan uraian a quo, jika Penulis hubungkan dengan perbuatan yang dilakukan oleh anggota dari organisasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD) telah memenuhi delik terorisme sebagaimana yang dirumuskan pada UU 5/2018. Perbuatan dari anggota dari organisasi tersebut menimbulkan dampak negatif berupa korban jiwa dan juga memberikan suasana teror bagi masyarakat. Jadi dengan teori ini organisasi tersebut
dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana atas kejahatan terorisme yang telah dilakukan oleh anggotanya tanpa melihat adanya sikap batin. Sehingga Penulis berpendapat bahwa organisasi yang melakukan kejahatan terorisme di Indonesia dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana dengan teori pertanggungjawaban mutlak.
-
2. Vicarious Liabilitu atau Pertanggungjawaban Pengganti
Teori vicarious liability merupakan teori pertanggungjawaban korporasi yang lebih memfokuskan pada pertanggungjawaban oleh korporasi sebagai “agen” dari perbuatannya.22Dalam teori ini sekalipun sebuah tindak pidana terjadi akibat dari mens rea dari orang perseroangan namun bila kegiatan yang dimaksudhanya untuk kepentingan dari corporatebelaka maka kejahatan yang diperbuat oleh individu tersebut dimaksudoleh korporasi maka pembebanan tanggung jawabanya dapat dibebankan kepada korporasi yang memperoleh keuntungan tersebut. Vicarious liability memberikan tanggung jawab pidana kepada korprasi atas tindakan orang perseorangan sebagai cerminan dari korporasi yang diwakilinya. Syarat untuk pemidanaan dari subjek hukum harus memiliki mens rea yang melekat pada diri pelaku. Terkait dengan sikap batin dari corporate agar dapat dimintai tanggung jawab pidana harus diterimanya doktrin tanggung jawab fungsional (fungsional daderschap). Ciri utama dari fungsional daderschap adalah tindakan pelaku harus menghasilkan perbuatan fungsional bagi pengurus lainnya. Apabila hal tersebut telah terpenuhi maka kemampuan bertanggungjawab pengurus-pengurus tersebut dapat dialihkan menjadi kemampuan korporasi untuk berbuat.23
Berdasarkan uraian a quo, bila Penulis kaitkan dengan kejahatan terorisme yang dilakukan oleh organisasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dimana anggota dari organisasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD) melakukan jihad berupa serangan bom. Dari perbuatan yang dilakukan oleh anggotanya tentu terlihat mens rea untuk melakukan tindak pidana terorisme tersebut dan dikehendaki oleh Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dengan mengklaim perbuatan dari anggotanya. Oleh karena itu, Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dengan bentuk pertanggungjawaban pengganti.
-
3. Direct Corporate Criminal Liability atau Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Secara Langsung
Direct corporate criminal liabilityadalah teori pemberian tanggung jawabkepada sebuah corporate yang mana corporate bisa berbuat secara langsung melalui individu-individu yang berhubungan erat dengan corporatedan dianggap sebagai corporateitu sendiri.24Teori ini merupakan sebuah teori yang menyatakan bahwa sebuah corporate bisa berbuat sejumlah perbuatan pidana secara langsung melalui para pengurusnya dari korporasi yg bersangkutan. Teori pertanggungjawaban pidana ini memiliki ciri utama yaitu perbuatan-perbuatan dari pengurusyang masih dalam lingkup korporasi tersebut.Corporate criminal liability memiliki hubungan yang erat dengan theory identification yang mana menguraikan bahwa perbuatan dari pengurus korporasi,
semasihtindakan tersebut memiliki hubungan dengan corporate sehingga dianggap sebagai tindakan dari corporateitu sendiri. Jadi aktivitas yang dilakukan oleh pengurus bukan mewakili corporate yang bersangkutan namun diibaratkan sebagai aktivitas dari corporate itu sendiri.25
Berdasarkan uraian a quo, bila dikatikan pada kasus pengeboman oleh anggota dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD), organisasi ini bisa dimintakan pertanggunggjawaban pidana karena dader yang berbuat kejahatan terorisme ini merupakan anggota yang memiliki hubungan erat dengan organisasi Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Sehingga perbuatan dari anggotanya dianggap sebagai perbuatan dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD) sendiri. Sehingga Penulis berpendapat bahwa organisasi yang berbuat kejahatan di Indonesia bisa dibebankan tanggung jawab pidana dengan bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung.
Berdasarkan uraian ketiga teori diata, Penulis berpendapat bahwa organisasi yang melakukan tindak pidana terorisme di Indonesia dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dengan melihat ketiga bentuk pertanggungjawaban pidana yang mana perbuatan organisasi dilihat dari perbuatan dari anggotanya yang mencerminkan tujuan dari organisasi tersebut. Dalam menentukan mens rea, menurut Penulis apabila penegak hukum menggunakan teori pertanggungjawaban mutlak maka tidak perlu dibuktikan mens rea dari organisasi hanya cukup hubungan kausalitas antara tujuan organisasi dengan perbuatan anggotannya. Namun apabila ingin dibuktikan mens rea dari organisasi tersebut, Penulis berpendapat hal tersebut dapat digunakan dengan menggunakan teori pertanggungjawaban pengganti dan teori pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung yang mana mens rea dapat dibuktikan dari mens rea sekumpulan orang yang ada dalam organisasi tersebut. Dikarenakan organisasi yang melakukan tindak pidana terorisme di Indonesia dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana maka dapat dibebankan sanksi pidana berupa pidana denda dengan nominal paling banyak Rp1.000.000.000.000 (satu triliun rupiah). Selain itu organisasi dapat pula dibekukan atau bahkan dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai organisasi yang dilarang sebagaimana dinyatakan pada Pasal 18 UU 15/2003.
Seiring dengan perkembangan zaman, tindak pidana terorisme tidak hanya dilakukan oleh orang perseorangan saja, melainkan juga dapat dilakukan oleh suatu organisasi sehingga rasa perlu untuk menuntut organisasi tersebut. Tetapi hal tersebut sulit dilakukan dikarenakan pada Pasal 1 angka 9 UU 5/2019 hanya menyatakan bahwa yang menjadi subjek hukum pidana pada undang-undang tersebut adalah orang dan perseorangan dan korporasi. Pengertian korporasi pada undang-undang terorisme yaitu pada Pasal 10 hanya menyatakan bahwa korporasi merupakan himpunan indvidu dan/atau kekayaan yang teratur baik yang berbadan hukum maupun bukan yang mana dari penjelasan tersebut masih terdapat kekaburan norma yaitu apa yang dimaksud dengan himpunan orang dan/atau kekayaan yang teratur tersebut. Dalam penulisan ini ditemukan suatu titik terang yang mana organisasi dapat disamakan dengan korporasi dikarenakan sama-sama memiliki pengurus, kekayaan yang dimiliki sepenuhnya dilakukan demi tujuan organisasi maupun korporasi tersebut dan juga mereka sama-sama dapat berbadan hukum atau tidak berbadan hukum. Oleh karena itu, organisasi yang melakukan tindak pidana terorisme di Indonesia dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Organisasi
yang melakukan tindak pidana terorisme di Indonesia, dapat dimintakan pertangunggjawaban pidana melalui 3 (tiga) bentuk teori pertanggungjawbaan, yakni: teori pertanggungjawaban mutlak yang memintakan pertanggungjawaban pidana dikarenakan organisasi tersebut telah memenuhi unsur delik tanpa membuktikan adanya unsur kesalahan pada organisasi tersebut. Selain itu, juga dapat menggunakan teori pertanggungjawaban pengganti yang mana pertanggungjawaban pidana ini dimintakan atas perbuatan anggota dari organisasi yang mana perbuatan tersebut mencerminkan tujuan dari organisasi tersebut. Dan juga dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana berdasarkan teori pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung yang mana pertanggungjawaban dimintakan dikarenakan perbuatan anggota dari organisasi tersebut dianggap sebagai perbuatan dari organisasi Dikarenakan organisasi dapat disamakan dengan subjek hukum pidana pada undang-undang terorisme yaitu korporasi, maka organisasi yang melakukan tindak pidana di Indonesia dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Sehingga,organisasi tersebut dapat dijatuhkan sanksi pidana berupa pidana denda dengan nominal paling banyak Rp1.000.000.000.000 (satu triliun rupiah). Selain itu organisasi dapat pula dibekukan atau bahkan dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai organisasi yang dilarang.Selain kesimpulan, adapun saran yang ingin penulis sampaikan bahwa apabila nantinya terdapat undang-undang pidana yang mengamini korporasi sebagai subjek hukum pidana agar lebih diberikan definisi yang spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Mahrus. Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi.Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015.
Muladi dan Priyatno, Dwidja. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Edisi Ketiga.Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Sjahdeini, Sutan Remy. Ajaran Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi & Seluk-Beluknya.Jakarta: Kencana, 2017.
Jurnal/Tesis/Disertasi/Proceeding Conference
Asmara, Musda “Reinterprestasi Makna Jihad Dan Teroris,” Al Istinbath: Jurnal Hukum Islam 1 No.1 (2016).
Kurniawan, Ridho dan Sari D, Siti Nurul Intan, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Asas Strict Liability (Studi Pembaharuan Hukum Pidana Lingkungan),”Jurnal Yuridis 1No.2 (2014).
Perdana, Cipi., “Rekontruksi Pemidanaan Pelaku Tindak Pidana Terorisme di Indonesia,”Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 23 No.4 (2016).
Rahmat, Maulana, “Politik Hukum Terhadap Tindak Pidana Terorisme Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,”Jurnal Wawasan Yuridika 1 No.2 (2017).
Rezeki, Septya Sri, “Pertanggungjawaban Korporasi Terhadap Penerapan Prinsip Strict Liability Dalam Kasus Kerusakan Lingkungan Hidup,” Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam 1 No.1 (2015).
Saputra, Nyoman Ananda Try Saputra; Swardhana, Gde Made; Wirasila, Anak Agung Ngurah, “Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di Provinsi Bali,”Kertha Wicara: E-Journal Ilmu Hukum 8 No.5 (2019).
Setiawan, Muhammad Arif. "Kriminalisasi Terorisme di Indonesia dalam Era Globalisasi." Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 9, no. 21 (2002).
Sibarani, Raymond Joshua Marudut; Putrajaya, Nyoman Serikat; Rozah, Umi, “Penerapan Doktrin Vicarious Liability Dalam Tindak Pidana Penggelapan Pajak Oleh Korporasi (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2239 K/PID.SUS/2012),”Diponegoro Law Journal 5 No.3 (2016).
Suhariyanto, Budi, “Progresivitas Putusan Pemidanaan Terhadap Korporasi Pelaku Tindak Pidana Korporasi (Progressivity of Criminal Decision on Corporate Actors Coruption),” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 16 No.2 (2016).
, “Urgensi Pemidanaan Terhadap Pengendali Korporasi Yang Tidak Tercantum Dalam Kepengurusan (Kajian Putusan Nomor 1081 K/PID.SUS/2014),”Jurnal Yudisial 10 No.3 (2017).
Wahyu, “Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik Yang Melakukan Tindak Pidana,”Arena Hukum 7 No.2(2014).
Winari, Luh Nila, “Kebijakan Hukum Pidana Non Penal Dalam Penanggulangan Kejahatan Radikalisme Berbentuk Terorisme,” DIH: Jurnal Ilmu Hukum 12 No.23 (2016).
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6216).
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284).
Website
https://www.boombastis.com/fakta-jamaah-ansharut-daulah/158587.
https://www.dw.com/id/daftar-serangan-teror-jad-di-indonesia/g-43803485.
https://www.idntimes.com/news/indonesia/irfan-fathurohman/aliran-dana-jad-berasal-dar-suriah/full.
Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 7 Tahun 2020, hlm. 1-12.
Discussion and feedback