PENGATURAN PEMBAYARAN UANG

PENGGANTI TERHADAP KORPORASI DALAM UNDANG- UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Dwiki Mahadipa, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: dwikimahadipa08@gmail.com

I Wayan Novy Purwanto, Fakultas Hukum Universitas Udayana, email: novypurwanto17@gmail.com

ABSTRAK

Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo, Undang-Undang 20 Tahun 2001. Adapun permasalahan yang dibahas adalah pengaturan sanksi pidana tambahan pembayaran uang pengganti terhadap korporasi yang harta bendanya tidak mampu melaksanakan pembayaran uang pengganti dan pengaturan pidana pengganti terhadap korporasi yang tidak mampu membayar pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi perspektif ius constituendum. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan konspetual, perundang-undangan, dan perbandingan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa sanksi pengganti terhadap korporasi yang tidak melaksanakan pembayaran uang pengganti tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang 20 Tahun 2001. Pengaturan pelaksana sanksi pengganti terhadap korporasi diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014. Pengaturan sanksi pengganti terhadap korporasi dimasa yang akan datang dilakukan melalui kebijakan formulatif yaitu dalam melaksanakan pembayaran uang pengganti harus diatur dalam Undang-Undang Tipikor mengenai sanksi terhadap korporasi, sebagaimana merupakan materi muatan dari pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Kata kunci: Pembayaran Uang Pengganti, Korporasi, Korupsi

ABSTRACT

The criminal act of corruption in Indonesia, not only damage finance cost but also impact social and economic rights of society. In Article 18 of Act Number 31 Year 1999 jo. Act Number 20 year 2001. According to the statement, the problems of this study is the substitute sanction of payment of replacement money by corporation which does not perform replacement money and how is the regulation of payment of replacement money in Act regarding Eradication of Criminal Corruption in ius constituendum. Method used in this study is normative legal research by conceptual approach, Statue Approach, and Comparative Approach. The result shows that Substitute sanction against corporation that does not perform replacement payment is not regulated in Act Number 31 Year 1999 Jo. Act Number 20 year 2001. The regulations of substitute sanction against the corporation regulated in Supreme Court Regulation Number 5 Year 2014. The regulation of substitute sanction against the corporation will be done through formulative policy, that shall be regulated in Act regarding Eradication of Criminal Corruption concern about substitute sanctions against corporations, which is to fulfill the legal needs of the society.

Keywords: payment of Replacement Money, Corporation, Corruption.

  • I.    PENDAHULUAN

    • 1.1.    Latar Belakang

Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebar ke seluruh tubuh pemerintahan sehingga sejak tahun 1960-an langkah-langkah pemberantasannya pun masih tersendat-sendat sampai masa kini. Manurut Romli Atmasasmita, di Indonesia korupsi sudah merupakan kolaborasi antara para pelaku di sektor publik dan sektor swasta.1 Keadaan ini semakin dipersulit lagi dan hampir merupakan keputusan manakala kita menyaksikan pula aparatur penegak hukum dari hulu ke hilir terlibat ke dalam jaringan korupsi yang seharusnya dijadikan musuh penegak hukum atau sasaran penegakan hukum itu sendiri.

Mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menggunakan instrument hukum pidana, tidak hanya dilakukan dengan menambah pihak-pihak yang terjerat dengan undang-undang korupsi saja, tetapi terhadap mereka yang dijerat dengan undang-undang a quo itu juga diberikan sanksi yang maksimal. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang 20 Tahun 2001, maka ragam atau jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan cukup variatif. Salah satu sanksi yang penting dan sekaligus menandai kekhususan dari undang-undang a quo adalah adanya sanksi berupa “uang pengganti”. Menurut Yudi Kristiana, sanksi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti menjadi sesuatu yang penting, karena salah satu tujuan yang dicapai dalam pemberantasan korupsi adalah pengembalian keuangan negara.2

Mengenai pembayaran uang pengganti adalah merupakan suatu kewajiban untuk mengembalikan kerugian yang diderita oleh korban akibat perbuatan pelakunya/terpidana.3 Pengaturan pembayaran uang pengganti secara tegas diatur pada pasal 18 ayat (1) b, ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang 20 Tahun 2001. Pidana tambahan pembayaran uang pengganti pada hakikatnya dapat diterapkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi baik yang telah melanggar ketentuan pasal 2 dan pasal 3 maupun juga yang telah melanggar ketentuan pasal-pasal lainnya. Pelaku yang dimaksud disini bisa manusia atau bisa juga korporasi, mengingat korporasi menurut undang-undang a quo ditentukan sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi.

Batas waktu pembayaran uang pengganti paling lama 1 (satu) bulan, dan apabila tidak membayar dalam kurun waktu tersebut maka harta bendanya akan disita oleh jaksa dan kemudian dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Namun apabila harta benda tersebut tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti maka menurut pasal 18 ayat (3), terpidana akan dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya.

  • 1.2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik suatu permasalahan yang akan dibahas dalam jurnal ini. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:

  • 1.    Bagaimana pengaturan sanksi pidana tambahan pembayaran uang pengganti terhadap korporasi yang harta bendanya tidak mampu melaksanakan pembayaran uang pengganti ?

  • 2.    Bagaimana pengaturan pidana pengganti terhadap korporasi yang tidak mampu membayar pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi perspektif ius constituendum?

  • 1.3.    Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini memiliki tujuan umum dan khusus.

  • 1.    Tujuan umum dari penulisan ini memberikan pemahaman mengenai pidana tambahan pembayaran uang pengganti terhadap korporasi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat UU Tipikor).

  • 2.    Tujuan khusus dari dibuatnya penulisan ini yaitu untuk :

  • 1)    Mengetahui bagaimana pengaturan pengaturan sanksi pidana tambahan pembayaran uang pengganti terhadap korporasi yang harta bendanya tidak mampu melaksanakan pembayaran uang pengganti.

  • 2)    Mengetahui bagaimana pengaturan pengaturan pidana pengganti terhadap korporasi yang tidak mampu membayar pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi perspektif ius constituendum.

  • II.    METODE PENELITIAN

    • 2.1.    Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan jurnal ilmiah ini adalah jenis penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin.4 Penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan yang pertama adalah jenis pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang merupakan pendekatan yang menggunakan legislasi dan regulasi.5 Selanjutnya yang kedua dengan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & Konseptual Approach). Teknik pengumpulan bahan hukum normatif yaitu dengan cara mengumpulkan sumber data sekunder di bidang hukum yang dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya, kemudian mengkaji dan melakukan penafsiran hukum terhadap peraturan perundang-undangan. Teknik pengolahan bahan hukum yang digunakan adalah teknik deskripsi yang berarti menguraikan apa adanya suatu kondisi atau posisi dari hukum atau non hukum. Penelitian ini dilakukan dengan meniliti bahan pustaka yang ada seperti peraturan perundang-undangan kemudian mengadakan penelitian terhadap masalah hukum.6

  • III.    HASIL DAN PEMBAHASAN

    • 3.1.    Pengaturan Sanksi Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Terhadap Korporasi yang Harta Bendanya Tidak Mampu Melaksanakan Pembayaran Uang Pengganti

Pidana pembayaran uang pengganti ditentukan sebagai pidana tambahan dipertegas dalam Pasal 17 UU Tipikor, yang formulasinya adalah sebagai berikut,

“Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18”. Berdasarkan rumusan tersebut terdapat dua hal yang ingin disampaikan dalam Pasal 17 UU Tipikor tersebut yaitu: Pertama, menyatakan bahwa Pasal 2, Pasal 3 (tentang tindak pidana korupsi), dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 (tentang tindak pidana korupsi aspek gratifikasi atau penyuapan) dijatuhi pidana pokok (denda dan penjara); Kedua, dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud Pasal 18. Namun adanya kalimat “…dapat dijatuhi pidana tambahan” maka penjatuhan hukuman pidana tambahan dalam perkara tindak pidana korupsi sifatnya adalah “fakultatif”, artianya hakim dalam putusan pengandilan perkara tindak pidana korupsi tidak selalu harus menjatuhkan suatu pidana tambahan bagi setiap terdakwa yang diadili.

Korporasi merupakan subyek hukum atau pelaku tindak pidana korupsi, hal ini dikarenakan frasa “setiap orang” yang mendahului rumusan delik dalam undang-undang tindak pidana korupsi. Secara expressis verbis didefinisikan dalam Pasal 1 angka 3 yang formulasinya sebagai berikut “setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi” tentu berbeda dengan frasa “setiap orang” yang digunakan dalam rumusan-rumusan delik di dalam KUHP. Menurut teks aslinya frase “setiap orang” tersebut merupakan terjemahan dari frase “hij die” yang termuat dalam rumusan delik menurut Wetboek van Strafrecht, yang merujuk pengertian “setiap manusia”.7 Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa penentuan korporasi sebagai subyek tindak pidana hanya untuk tindak pidana tertentu yang diatur dalam undang-undang khusus.8

Jaksa dalam hal ini dapat melelang harta benda milik terpidana dan bilamana harta benda yang sudah dilelang tetap tidak mampu melunasi uang pengganti maka selanjutnya berlaku ketentuan sanksi bagi terpidana yaitu pidana penjara, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 18 ayat (3) huruf b. Jika hanya melihat frasa “terpidana” yang dihubungkan dengan pengertian pelaku tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (3) dalam hal ini mencakup orang perseorangan atau termasuk korporasi, maka ketentuan pasal 18 ayat (3) ini berlaku juga terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Namun, jika hal tersebut ditafsirkan bahwa korporasi sebagai terpidana yang harta bendanya sudah dilelang oleh jaksa namun tetap tidak mampu melunasinya, maka tentu akan menimbulkan suatu kesulitan dalam penerapannya, mengingat korporasi itu sendiri tidak dapat dikenakan pidana penjara, pidana penjara hanyalah dapat dikenakan terhadap manusia (naturlijk person) yang melakukan tindak pidana. Sehingga tujuan pemidanaan dalam aspek pencegahan akan sulit terapkan bagi korporasi, Menurut Muladi & Dwidja Priyatno, korporasi hanya dapat dikenakan saksi:

  • a.    Pidana denda;

  • b.    Pidana tambahan berupa pengumuman putusan pengadilan;

  • c.    Pidana Tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan, tindakan administrative berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas tertentu yang telah atau dapat diperoleh perusahaan dan tindakan tata tertib berupa penempatan perusahaan dibawah pengampuan yang berwajib;

  • d.    Sanksi perdata (ganti kerugian).9

Dalam Pasal 18 undang-undang tindak pidana korupsi tidak dicantumkannya pidana pengganti terhadap korporasi melainkan sanksi pembayaran uang pengganti lebih terfokus pada subyek tindak pidana berupa orang, sehingga akan menimbulkan ketidak pastian hukum karena ketidak mampuan koporasi dalam melunasi dan tidak adanya aturan atau sanksi pengganti bagi korporasi yang menimbulkan efek jera serta keadilan akan pentingnya pengembalian kerugian keuangan atau perekonomian negara. Ketentuan pidana penjara dalam Pasal 18 ayat (3) tidak dapat diterapkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang subjeknya adalah korporasi, hal tersebut berimplikasi pada kekosongan pengaturan mengenai pembebanan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, bilamana korporasi yang harta benda atau kekayaannya tidak mencukupi melunasi uang pengganti tersebut.

  • 3.2.    Pengaturan Pidana Pengganti Terhadap Korporasi yang Tidak Mampu Membayar Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Ius

Constituendum

Pemberatasan akan tindak pidana korupsi dirasa sangat jauh dari harapan masyarakat di Indonesia, sebagaimana penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia hingga saat ini terus dilakukan secara serius untuk menyelamatkan uang negara demi terwujudnya program pembangunan nasional serta memberikan efek jera bagi setiap pelakunya, namun dirasa hingga saat ini penegakan akan tindak pidana korupsi belum memberikan hasil yang optimal dalam upaya pencegahan, khusus dalam sanksi pengganti pembayaran uang pengganti terhadap korporasi sebagai upaya memulihkan kerugian negara.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyediakan dua cara yang digunakan dalam perampasan aset hasil dari tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan dan perekonomian negara yaitu:

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyediakan dua cara yang digunakan dalam perampasan aset hasil dari tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan dan perekonomian negara yaitu:

  • 1.    Perampasan melalui jalur pidana (conviction based aset forfeiture)

Perampasan aset hasil tidak pidana korupsi melalui jalur pidana sangat bergantung pada kemampuan jaksa penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa didepan persidangan pengadilan dan membuktikan bahwa barang-barang yang telah disita adalah hasil dari kejahatan tindak pidan korupsi yang didakwakan, perampasan aset melalui jalur tuntutan pidana diputuskan oleh hakim dimana dapat dijatuhkan pidana pokok serta dalam pidana tambahan, jenis pidana tambahan yang berkolerasi dengan upaya pengembalian kerugian negara adalah perampasan aset, perampasan aset dalam UU PTPK pegaturannya secara konkret disebutkan dalam pasal 18 huruf a dan huruf b, yang merupakan pidana tambahan yang berkolerasi dengan upaya pengembalian kerugian negara.

  • 2.    Non Conviction Based asset forfeiture

Konsep ini akan berguna dalam berbagai konteks terutama saat perampasan pidana tidak tersedia atau tidak memungkinkan seperti :

  • a.    Yang melakukan kejahatan itu telah meninggal (kematian dengan sendirinya menghentikan proses pidana);

  • b.    Pelaku kejahatan telah melarikan diri keluar negeri;

  • c.    Pelaku kejahatan sulit disentuh karena terdapat kekebalan yang sangat kuat yang dimilikinya;

  • d.    Pelangar tidak dikenal namun asetnya ditemukan;

  • e.    Harta kekayaan yang berkaitan dipegang oleh pihak ketiga yang tidak dituntut dengan tuntutan pidana namun ada fakta bahwa harta tersebut tercemar;

  • f.    Penuntutan pidana tidak dapat dilanjutkan karena tidak cukup bukti.

Sebagaimana dijelaskan diatas Penulis berpendapat bawha konsep perampasan aset (aset recovery), di beberapa negara memiliki substansi yang berkaitan dengan pengaturan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, yaitu ketika terpidana tidak mampu membayar uang pengganti sehingga konsekuensi yang dibebankan yakni harta bendanya dan termasuk aset-asetnya dapat disita dan dilelang guna menutupi kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut, ini merupakan tujuan mendasar adanya sanksi pidana tambahan pembayaran uang pengganti yaitu memulihkan kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindak pidana yang dilakukan.

Secara umum dipandang bahwa pidana tambahan dalam UU Tipikor serta dalam RUU KUHP masih sangat jauh dari upaya mengembalikan kerugian negara serta memiskinkan para koruptor sebagaimana sifat dari pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam UU Tipikor masih bersifat “fakultatif”. Hakim tidak selalu menjatuhan sanksi pidana uang pengganti kerugian terhadap terpidana, dan RUU KUHP tidak cukup memuat sanksi-sanksi yang menjamin bahwa pelaku tindak pidana atau koruptor untuk tidak dapat menikmati hasil kejahatannya (crime does not pay).

Sebagaimana dampak yang ditimbulkan dari adanya tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, sejalan dengan upaya menegakkan hukum pidana terhadap korporasi yang terlibat dalam perbuatan korupsi, maka perlu pula mendapat perhatian dalam merancang hukuman atau sanksi yang dapat dijatuhkan kepada korporasi, kesulitan menjatuhkan pidana terhadap korporasi tidak saja terjadi dalam persoalan pembuktian namun juga kesulitan menentukan sanksi yang tepat sehingga selain menimbulkan efek jera, sekaligus juga memberikan keadilan.

Kebijakan formulatif pidana pengganti dalam ius contituendum adalah apabila korporasi yang harta bendanya tidak mampu melaksakan uang pengganti dan penjatuhan akan sanksi penjara tidak dapat diterapkan sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) PERMA Nomor 5 Tahun 2014, guna menutupi adanya kekosongan norma bilamana adanya perkara korupsi yang melibatkan korporasi sebagai terdakwa. Adapun upaya pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat perlunya diatur dalam Undang-Undang dengan acuan penjelasan dalam Pasal 7 ayat (2) PERMA Nomor 5 Tahun 2014 yaitu sanksi pengganti terhadap korporasi sebagaimana jaksa dapat mengajukan korporasi tersebut untuk dipailitkan, oleh karena sanksi yang dijatuhkan untuk memulihkan keuangan negara merupakan kebutuhan hukum atas terjadinya tindak pidana korupsi. Sebagaimana hal tersebut merupakan materi muatan dari undang-undang bukan materi muatan dari PERMA, sehingga hal tersebut tidak tepat diatur di PERMA melainkan harus diatur di undang-undang.

Penulis berpendapat mengenai penjelasan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014, “dalam hal ini dapat dipailitkan karena aset yang telah dilelang masih belum cukup untuk melunasi uang pengganti” tentu pemahaman ini akan timbul suatu pandangan yang terpaku bahwa tidak adanya kewajiban atau keharusan untuk melakukan pengembalian kerugian negara akibat korporasi dipailitkan/bangkrut, sehingga akan dirasa sulit untuk mengoptimalkan tujuan dari pidana pembayaran uang pengganti tersebut, diharapakan pengaturan uang pengganti pelaku korporasi di masa yang akan datang diperlukan penyesuaian pembentuk undang-undang yang lebih komprehensif untuk menata kembali mengenai pemidanaan terhadap korporasi, baik mengenai sanksi-sanksi yang lebih proporsional dan mampu menjerakan, termasuk memberikan peluang penggunaan restorative justice terhadap korporasi, yang dipandang sebagai alternatif dalam memcahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam penjatuhan pidana terhadap korporasi, termasuk penerapan

pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang lebih terfokus pada pengembalian keuangan negara yang lebih efektif.

  • IV.    PENUTUP

    • 4.1.    Kesimpulan

Pengaturan sanksi pengganti terhadap korporasi yang tidak mampu melaksanakan pembayaran uang pengganti dalam perkara korupsi tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan pidana penjara dalam Pasal 18 ayat (3) tidak dapat diterapkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang subjeknya adalah korporasi, hal tersebut berimplikasi pada kekosongan pengaturan mengenai pembebanan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, bilamana korporasi yang harta benda atau kekayaannya tidak mencukupi melunasi uang pengganti tersebut. Pengaturan sanksi pengganti terhadap korporasi yang tidak mampu melunasi pidana tambahanan pembayaran uang pengganti dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dimasa yang akan datang dilakukan melalui kebijakan formulatif, dengan acuan penjelasan dalam Pasal 7 ayat (2) PERMA Nomor 5 Tahun 2014 yaitu sanksi pengganti terhadap korporasi “jaksa dalam hal ini dapat mengajukan korporasi tersebut untuk dipailitkan”

  • 4.2.    Saran

Diharapkan Pemerintah RI bersama dengan DPR RI segera melakukan revisi Undang-Undang Tipikor sehingga dimasa yang akan datang tidak terjadi kekosongan norma hukum mengenai sanksi pengganti terhadap korporasi yang tidak mampu melunasi pembayaran uang pengganti. Diharapkan Pemerintah RI bersama dengan DPR RI segera melakukan revisi Undang-Undang Tipikor untuk mencegah adanya celah bagi pelaku, sehingga secara langsung mencegah timbulnya kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, serta harus dilakukan upaya yang sungguh-sungguh dari aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Atmasasmita, Romli. Sekitar masalah korupsi: aspek nasional dan aspek internasional. Mandar Maju, 2004.

Kristiana, Yudi. Pemberantasan tindak pidana korupsi: perspektif hukum progresif. Thafamedia, 2016. Widyopramono. Pemberantasan korupsi dan pidana lainnya: sebuah perspektif jaksa & guru besar.

Penerbit Buku Kompas, 2016.

Jurnal Ilmiah

Lukas, Ade Paul. "Efektivitas Pidana Pembayaran Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Purwokerto)." Jurnal Dinamika Hukum 10.2 (2010): 81-92.

Munzil, Fontian, and Imas Rosidawati Wr. "Kesebandingan Pidana Uang Pengganti dan Pengganti Pidana Uang Pengganti dalam Rangka Melindungi Hak Ekonomis Negara dan Kepastian Hukum." Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 22.1 (2015): 25-53.

Indriana, Yayan. "Pengembalian Ganti Rugi Keuangan Negara Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi." Cepalo 2.2 (2019).

Mahmud, Ade. "Problematika Asset Recovery Dalam Pengembalian Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi." Jurnal Yudisial 11.3 (2018): 347-366.

Suhariyanto, Budi. "Penerapan Pidana Uang pengganti Kepada Korporasi Dalam Perkara Korupsi Demi Pemulihan Kerugian Keuangan Negara." Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 7.1 (2018): 113-130.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874)

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.

Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 6 Tahun 2020, hlm. 1-8..