PENGATURAN POLITIK UANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA PEMILIHAN UMUM

Ida Bagus Mahayoga Raharja, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: bagusyogaraharja62@gmail.com

I Ketut Rai Setiabudhi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, e-mail: raisetiabudhi_fhunud@yahoo.com

ABSTRAK

Tujian studi ini adalah untuk mengkaji bentuk pengaturan delik politik uang di dalam UU Pemilu dan menilai apakah pengaturan tersebut sudah baik dalam rangka menanggulangi politik uang. Studi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan memusatkan objek kajian pada UU Pemilu. Hasil studi menunjukkan bahwa politik uang diatur dalam Pasal 523 UU Pemilu yang terdiri dari 3 (tiga) ayat). Politik uang dirumuskan sebagai perbuatan “memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu”. Akan tetapi, kriminalisasi politik uang dalam UU Pemilu masih menyisakan celah sebab subjek yang bukan penyelenggara, peserta, dan tim kampanye yang mempraktikkan politik uang saat kampanye dan masa tenang tidak dapat dituntut pidana.

Kata Kunci: Delik, Politik Uang, Pemilu.

ABSTRACT

The aim of this study is to examine the form of money politics offenses in the Election Law and assess whether the regulation is proper in order to overcome money politics . This study uses normative legal research methods by focusing the object of study on the Election Law. The study results show that money politics is regulated in Article 523 of the Election Law which consists of 3 (three) paragraphs. Money politics is formulated as an act of "giving or promising money or other material to voters not to exercise their voting rights or elect certain election participants". However, the criminalization of money politics in the Election Law still leaves loopholes because subjects outside of the implementing participants, participants, and campaign teams who conduct money politics during campaigns and quiet periods cannot be prosecuted criminal.

Key Words: Delict, Money Politics, Election

  • 1.    Pendahuluan

  • 1.    1. Latar Belakang

Negara hukum memiliki konsep yang saling bersinergi dengan negara yang menghargai nilai-nilai demokrasi. Oleh karena itu, maka tidaklah berlebihan bila konsep negara hukum menjadi syarat terhadap negara demokrasi dan begitu pula sebaliknya. Sedemikian eratnya hubungan antara pemahaman mengenai negara hukum dan negara demokrasi, maka dalam perkembangannya terdapat sebuah peristilahan yang dinamakan democratische rechtstaat. Negara sangat membutuhkan keabsahan dalam rangka melaksanakan kekuasaan yang dimiliki. Guna memberikan legitimasi tersebut, maka segala tindak tanduk pemerintahan harus berdasarkan hukum yang berlaku karena hukum dipandang sebagai representasi dari konsensus segenap rakyat. Konsesus dimaksud juga mencerminkan bahwa rakyat memberikan sebagian kedaulatannya kepada sebagian atau sekelompok orang untuk menjalakan

kekuasaan. Eksistensi kekuasaan semata-mata diarahkan untuk memenuhi kebutuhan maupun kepentingan setiap warga negara.1

Mengacu pada Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, maka secara tegas terlihat bahwa Indonesia menganut konsep negara hukum demokratis. Kedaulatan rakyat mengandung 4 (empat) makna. Pertama, kekuasaan dipegang dan dimiliki oleh rakyat. Kedua, kekuasaan dilaksanakan oleh rakyat melalui wakil atau utusan yang dipilihnya sendiri. Ketiga, kekuasaan itu diimplementasikan bersama rakyat. Keempat, tujuan dari kekuasaan adalah terpenuhinya kepentingan dan kebutuhan rakyat. Namun, untuk mencapai keempat aspek tersebut, maka negara demokrasi harus memiliki hukum sebagai pedomannya. Memang benar bahwa tiap-tiap negara memiliki sistem hukumnya masing-masing akan tetapi tujuan akhirnya tetaplah sama. Keberadaan hukum dalam suatu negara, terkhusus bagi negara demokrasi, dimaksudkan agar setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah jangan sampai merenggut hak-hak setiap warga negara dan mencegah adanya penyalahgunaan wewenang.2

Salah satu karakteristik yang tampak pada negara hukum demokrasi adalah diselenggarakannya pemilihan umum (untuk selanjutnya disebut pemilu). Di Indonesia, Paragraf keempat Pembukaan UUD 1945 dan demokrasi Pancasila menjadi roh dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia. Pengaturan pemilu secara eksplisit diatur pada Pasal 22E UUD 1945. Urgensitas pengaturan pemilu dalam konstitusi adalah sebagai komitmen Indonesia dalam melaksanakan kedaulatan rakyat dan memberi kepastian hukum. Melalui ketentuan tersebut, maka sudah tentu memberikan jaminan waktu pelaksanaan pemilu secara periodik sekaligus menjamin teknis pelaksanaan atau proses serta terselenggaranya pemilu yang berintegritas.3

Negara demokrasi mempunyai prinsip yang memandang rakyat sebagai pemilik kekuasaan yang utama yang kemudian disebut dengan istilah of the people, by the people, for the people. Menyadari ketidakmungkinan untuk memberikan kekuasaan kepada seluruh rakyat, maka muncul kesepakatan untuk memilih secara langsung sebagian dari mereka untuk menjalankan kekuasaan itu. Kendatipun demikian, dalam realitanya justru timbul beragam ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam dunia politik, terumata dalam konteks penyelenggaraan pemilu yang tentu membawa dampak buruk yang lebih besar. Contoh konkrit ketidakjujuran dan ketidakadilan itu adalah politik uang dalam kompetisi pemilu. Fenomena politik uang dalam perebutan kekuasaan kian tak terkendali yang tentunya merusak atau bahkan menghancurkan hampir seluruh aspek kehidupan. Orientasi politik yang mengarah pada dedikasi dan pelayanan kepada masyarakat berubah haluan menjadi politik uang. Tujuan luhur reformasi yang hendak membangun demokrasi dengan sistem yang kuat dan pengembalian kekuasaan tertinggi kepada rakyat, guna meningkatkan keikutsertaan politik masyarakat, akan tetapi seiring waktu justru terjadi perubahan ke arah yang negatif dengan terjadinya politik uang dalam lingkungan masyarakat.

Politik uang yang terjadi di Indonesia secara nyata menimbulkan dampak yang buruk. Hal tersebut ditandai dengan berubahnya cara pikir masyarakat dalam memilih pemimpin. Pada awalnya, masyarakat memilih pemimpin dengan pertimbangan pada

hati nurani dan kesesuaian atau relevansi antara visi misi calon pemimpin dengan permasalahan yang ada di masyarakat. Dengan adanya politik uang, masyarakat memilih pemimpin tidak lagi berdasarkan kriteria tersebut, melainkan berdasarkan calon pemimpin yang sanggup memberikan uang atau materi lainnya. Perubahan cara pandang ini tidak terlepas dari peran partai politik dan politisi. Sebagian partai politik maupun politisi menggunakan strategi politik uang sebagai langkah praktis untuk menaikkan angka elektabilitas calon sehingga mencoreng nilai demokrasi dan memberikan pendidikan politik yang buruk terhadap masyarakat. Dampak selanjutnya yang timbul adalah terpilihnya pemimpin yang tidak berintegritas, mengabaikan aspirasi rakyat, dan cenderung meningkatnya jumlah pemimpin koruptif.4

Mengingat akan dampak buruk yang timbul dari masifnya peristiwa politik uang dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama dengan Pemerintah mengategorikan perbuatan politik uang sebagai tindakan kriminal (perbuatan pidana). Tindak pidana politik uang diatur secara eksplisit pada Pasal 523 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (untuk selanjutnya disebut UU Pemilu). Kriminalisasi politik uang juga merupakan langkah preventif sekaligus langkah represif dalam menanggulangi politik uang di Indonesia yang dapat mencederai asas-asas pemilu dan mempersulit tercapainya tujuan diadakannya pemilu di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka pengkajian terhadap pengaturan delik politik uang dalam UU Pemilu merupakan hal yang urgen. Sebab, apabila substansi hukum UU Pemilu khususnya dalam konteks politik uang tidak memadai, maka konsekuensi logisnya adalah penegakan hukum tidak berjalan dengan baik pula.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka penulis hendak mengkaji melalui tulisan yang berjudul “PENGATURAN POLITIK UANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA PEMILIHAN UMUM”. Sebelumnya, terdapat 2 penelitian terdahulu yang mengulas tentang politik uang dalam UU Pemilu yaitu penelitian yang berjudul “Politik Uang dalam Pemilu Menurut Pandangan Hukum Islam dan Undang-Undang” yang ditulis oleh Supriansyah dan “Peranan Hukum dalam Mencegah Praktik Politik Uang (Money Politic) dalam Pemilu di Indonesia: Upaya Mewujudkan Pemilu yang Berintegritas” yang ditulis oleh Chandra, M. Jeffri Arlinandes dan Jamaluddin Ghafur. Kedua penelitian tersebut lebih menitikberatkan pada bentuk pengaturan politik uang dalam UU Pemilu. Di sisi lain, fokus penelitian yang akan dilakukan oleh penulis tidak hanya terbatas pada model pengaturannya saja, melainkan apakah pengaturan politik uang dalam UU Pemilu sudah baik dalam rangka menanggulangi politik uang selama pelaksanaan pemilu.

  • 1.    2. Rumusan Masalah

  • 1.    Bagaimana pengaturan norma delik poltik uang dalam UU Pemilu?

  • 2.    Apakah ketentuan-ketentuan mengenai delik politik uang sudah baik dalam rangka menanggulangi politik uang di Indonesia?

  • 1.    3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk melakukan telaah berkenaan dengan perumusan delik politik uang dalam UU Pemilu. Selain itu, penulisan jurnal ini juga

dimaksudkan untuk mengetahui efektivitas perumusan norma delik politik uang dalam rangka menanggulangi politik uang yang sering terjadi dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

  • 2.    Metode Penelitian

Metode penelitian hukum normatif menjadi pilihan penulis dalam menulis jurnal ini. Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian yang sering digunakan dalam mengkaji suatu norma dalam peraturan perundang-undangan apakah norma dalam peraturan perundang-undangan telah dirumuskan secara jelas (tidak multitafsir), apakah terdapat pertentangan norma, atau apakah suatu peraturan perundang-undangan tidak mengatur suatu perbuatan hukum yang seharusnya diatur terlebih dahulu.5 Penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan dengan menempatkan UU Pemilu sebagai objek kajian. Teknik yang digunakan untuk penelusuran bahan hukum ini adalah metoda kepustakaan (library research). Sumber-sumber literatur akan dijadikan sebagai rujukan dalam mengkaji masalah yang penulis teliti. Literatur berupa buku-buku dipilih berdasarkan relevansi masalah dan dapat mendukung topik penelitian. Berikutnya juga jurnal-jurnal ilmiah yang tersebar di dunia maya melalui internet penulis unduh untuk melengkapi sumber-sumber akademik yang diperlukan. Demikian juga dengan hasil-hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan tema penelitian juga akan menjadi bahan bacaan dan sumber rujukan.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    3.    1. Pengaturan Delik Politik Uang dalam UU Pemilu

Politik uang yang mewarnai kontestasi pemilu dewasa ini menjadi salah satu jenis tindak pidana pemilu berdasarkan UU Pemilu. Kasus-kasus yang mengandung anasir tindak pidana pemilu akan diperiksa terlebih dahulu oleh pengawas pemilu. Setelah dilakukan pemeriksaan, barulah kasus tersebut diproses oleh kepolisian dan kejaksaan untuk kemudian dilimpahkan kepada pengadilan. Pidana yang dapat dijatuhkan apabila hakim berpendapat bahwa pelaku terbukti melakukan tindak pidana pemilu adalah pidana penjara dan pidana denda. Bertautan dengan itu, Djoko Prakoso berpendapat yang dimaksud dengan tindak pidana pemilu adalah kesengajaan yang dilakukan oleh orang atau badan hukum untuk melawan hukum, mengacaukan, merintangi atau mengganggu penyelenggaraan pemilu yang telah diatur undang-undang. Pada taraf internasional, pengaturan tentang sanksi harus dimuat dalam regulasi pemilu. Bagi negara yang melaksanakan pemilu, aturan tentang pelanggaran pemilu harus diatur secara tegas dalam undang-undang. Setiap ketentuan pidana yang dirumuskan wajib memperhatikan tujuan pembentukan undang-undang.

Definisi tindak pidana pemilu yang diutarakan oleh Djoko Prakoso masih terbilang sempit. Sebab, tindakan mengacaukan, merintangi, atau mengganggu berlangsungnya pemilu baru merupakan sebagian contoh dari tindak pidana pemilu sehingga belum mengakomodasi seluruh jenis perbuatan pidana pemilu. Dengan demikian, delik pemilu harus dimaknai sebagai seluruh tindak pidana yang terjadi dan berhubungan erat dengan penyelenggaraan pemilu, baik dari tahap kampanye, masa tenang, dan hari pemungutan suara. Seluruh tindak pidana yang terjadi pada saat

penyelenggaraan pemilu tetapi tidak ada kaitannya dengan pemilu bukan merupakan definisi dari tindak pidana pemilu.6

Politik uang sebagai sebuah istilah, dimaknai sebagai pemanfaatan uang demi memengaruhi keputusan tertentu termasuk namun tidak terbatas pada pemilihan ataupun dalam konteks lain yang bersinggungan dengan keputusan penting.7 Dengan kata lain, uang menjadi alat ampuh dalam menentukan keputusan. Politik uang membuat seseorang mengambil keputusan bukan lagi berdasar pada baik buruknya keputusan bagi masyarakat, melainkan berdasar pada manfaat apa yang didapatkan dari keputusan yang diambil.8 Tidak hanya sampai di situ saja, politik uang bahkan dijadikan ajang untuk kepentingan non politik dengan cara membeli dukungan partai, memberikan sesuatu baik berupa uang ataupun materi lain yang dapat dinilai dengan uang. Maka dari itu, pemberian barang atau fasilitas juga merupakan modus operandi politik uang. Politik uang yang semakin jamak terjadi menunjukkan betapa kuatnya pengaruh uang dalam menentukan kemenangan dan juga memiliki andil yang signifikan dalam menentukan keputusan politik. Tentu hal yang demikian tidak sejalan dengan norma hukum dan kaidah yang berlaku di masyarakat.

Fungsi uang saat ini berkedudukan sejajar dengan kekuasaan politik. Uang dan kekuasaan dipandang mempunyai peran sosial yang sama.9 Paradigma yang melekat tersebut semacam pembenar untuk melakukan politik uang (money politics) khususnya dalam konteks pemilu dengan menilai bahwa kekuasaan politik sebagai bagian dari proses politik harus dibarengi dengan fungsi uang sebagai proses ekonomi.

Meninjau modus politik uang, maka setidaknya ditemukan 4 (empat) jenis politik uang yang terjadi. Pertama, politik uang antara elit ekonomi (subjek pemberi) dengan peserta pemilu. Kedua, politik uang antara kandidat dengan partai politik yang mencalonkan. Ketiga, politik uang antara peserta pemilu (subjek pemberi) dengan pelaksana pemilu yang berwenang untuk melakukan rekapitulasi suara. Keempat, politik uang antara peserta pemilu dan tim sukses (subjek pemberi) dengan masyarakat (pemilih).10 Dalam perkembangan yang selanjutnya, terdapat modus baru terkait politik uang. Pada awalnya, pelaku politik uang hanya sebatas memberikan uang atau barang kepada pemilih tanpa mengetahui secara pasti siapa yang akan dipilih oleh pemilih saat pemungutan suara. Untuk mengatasi hal tersebut, maka calon atau kandidat yang bersangkutan benar-benar memastikan bahwa uang yang diberikan diganjar dengan suara. Pemilih diminta untuk menunjukkan bukti bahwa ia telah memilih calon.11 Tidak hanya mengarah kepada pemilih, politik uang acapkali juga ditujukan kepada pelaksana pemilihan dengan cara memanipulasi daftar pemilih dan perolehan suara.

Kuatnya pengaruh uang dalam politik terhadap kandidat terpilih membuat risiko yang sangat besar terhadap demokrasi. Risiko dan pengaruh uang dalam politik antara lain: pertama, adanya kecenderungan dari partai penguasa untuk memanfaatkan kas negara untuk kampanye dan juga operasional partai politik. Kedua, publik akan kesulitan mendapatkan akses atau kesempatan dalam pemerintahan karena didominasi oleh penyumbang yang bermuara pada ekslusivisme politik. Ketiga, setiap keputusan politik diambil berdasarkan kehendak dari penyumbang baik orang perseroangan maupun korporasi. Keempat, timbulnya pembusukan nilai-nilai politik dan korupsi politik. Korupsi politik ini dapat mengakibatkan para pengambil kebijakan politik mempertahankan kekuasaan, status, dan kekayaan dengan menyalahgunakan kewenangan.12

Pemerintah dan DPR telah mengkriminalisasikan perbuatan politik uang di dalam UU Pemilu. Berdasarkan UU Pemilu, politik uang diartikan sebagai “memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung”. Rumusan tersebut diatur pada Pasal 523 UU Pemilu yang terdiri dari 3 (tiga) ayat. Ketiga konstruksi norma tersebut memiliki kesamaan dalam unsur subjektifnya yang menandakan adanya kesalahan (schuld) dalam bentuk kesengajaan.13 Kesengajaan dalam memori penjelasan (Memorie van Toelichting) KUHP diartikan sebagai menghendaki dan mengetahui akibatnya (willens en wetens veroorzaken van een gevolg). Dengan demikian, maka seseorang baru dapat disebut melakukan suatu delik dengan sengaja jika ia mempunyai kehendak dan juga tahu akan akibat yang timbul dari perbuatannya. Dalam hukum pidana, terdapat 3 (tiga) corak kesengajaan yakni: a. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan yang artinya bahwa pelaku memang berkehendak untuk melakukan suatu perbuatan pidana atau bermaksud untuk menimbulkan suatu akibat tertentu dari perbuatannya.

  • b.    Kesengajaan berkesadaran kepastian yang artinya bahwa pelaku berkehendak untuk melakukan suatu perbuatan akan tetapi adanya suatu akibat lain dari perbuatannya bukanlah menjadi tujuan. Meski demikian, ia secara sadar mengetahui adanya akibat lain yang timbul.

  • c.    Kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan yang artinya bahwa pelaku berkehendak untuk melakukan suatu perbuatan dan ia menyadari adanya kemungkinan lain yang timbul dari perbuatannya. Meski demikian, ia tetap melaksanakan perbuatan.

Bila ditautkan dengan delik politik uang dalam UU Pemilu, maka Pasal 523 ayat (1) dan Pasal 523 ayat (2) termasuk kualifikasi kesengajaan dalam arti luas yang meliputi seluruh bentuk kesengajaan. Sedangkan Pasal 523 ayat (3) termasuk kualifikasi kesengajaan sebagai maksud/tujuan.

Unsur objektif yang terdapat pada ketiga norma tersebut juga menitikberatkan adanya larangan untuk memberi atau menjanjikan materi atau uang kepada pemilih. Adanya pemberian atau janji tersebut harus datang dari pelaku tindak pidana untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian, pemberian atau janji secara langsung artinya

bahwa si pelaku tindak pidana sendiri lah yang secara langsung memberi atau menjanjikan uang atau materi kepada pemilih tanpa melalui perantara. Sebaliknya, pemberian atau janji secara tidak langsung artinya bahwa si pelaku tidak secara langsung memberikan atau menjajikan uang atau materi kepada pemilih, melainkan melalui perantara.14

Selain ditemukannya persamaan pada ketiga norma delik politik uang dalam UU Pemilu, terdapat pula perbedaan di antara ketiga norma tersebut. Perbedaan dimaksud secara jelas terlihat dengan adanya pembedaan delik berdasarkan waktu tindak pidana dan subjek tindak pidana. Pasal 523 ayat (1) melarang adanya politik uang pada saat kampanye dengan subjek tindak pidananya adalah pelaksana, peserta, dan tim kampanye. Pasal 523 ayat (2) melarang adanya politik uang pada saat masa tenang dengan subjek tindak pidananya adalah pelaksana, peserta, dan tim kampanye. Terakhir, Pasal 523 ayat (3) melarang adanya politik uang pada saat hari pemungutan suara dengan subjek tindak pidananya adalah setiap orang.

  • 3.    2. Baik atau Tidaknya Pengaturan Politik Uang dalam UU Pemilu

Substansi hukum (legal subtances), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture) merupakan tiga komponen yang menjadi satu kesatuan dan tak dapat dipisahkan.15 Penegakan hukum yang berkeadilan dapat terlaksana apabila ketiga komponen tersebut saling menunjang satu sama lain dan tidak terdapat disharmoni. Substansi hukum artinya bahwa penegakan hukum didasarkan pada pembentukan hukum yang memadai dan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Struktur hukum artinya bahwa penegakan hukum didasarkan pada bekerjanya subsistem peradilan yang terintegrasi dan saling memberikan penilaian atau evaluasi. Budaya hukum artinya bahwa penegakan hukum didasarkan pada kesadaran masyarakat untuk memahami dan menghayati nilai-nilai filosofis, sosiologis, dan yuridis dari hukum itu sendiri.16

Sebagaimana telah penulis kemukakan pada pembahasan rumusan masalah pertama, dapat dipahami bahwa delik politik uang yang diatur pada Pasal 523 dibedakan berdasarkan waktu. Pasal 523 ayat (1) melarang perbuatan politik uang pada saat kampanye, pasal 523 ayat (2) melarang tindakan politik uang pada saat masa tenang, dan pasal 523 ayat (3) melarang tindakan politik uang pada saat hari pemungutan suara. Selain dibedakan berdasarkan waktu dilakukannya politik uang, rumusan delik politik uang juga dibedakan berdasarkan subjek yang dituju (addresat norm). Pasal 523 ayat (1) dan Pasal 523 ayat (2) merupakaran representasi dari delik kualitatif (kwaliteitsdelict/delicta propria). Artinya, delik-delik yang diatur oleh kedua pasal tersebut mensyaratkan kualitas tertentu pada subjek tindak pidananya, baik itu jabatan, kewenangan, profesi, pekerjaan, ataupun kondisi tertentu lainnya.17 Di sisi

lain, Pasal 523 ayat (3) termasuk kualifikasi delik communia yang artinya delik ini ditujukan bagi siapapun tanpa memandang kualitas tertentu.18

Adanya pemisahan berdasarkan waktu tindak pidana (tempus delicti) dan subjek tindak pidana pada Pasal 523 UU Pemilu menimbulkan problematika baru. Sebab, apabila terdapat subjek tindak pidana di luar dari pelaksana, peserta, dan tim kampanye yang melakukan praktik politik uang pada masa kampanye dan masa tenang, maka terhadap pelaku tersebut tidak dapat dipidana berdasarkan UU Pemilu. Hanya penyelenggara pemilihan, peserta, dan tim kampanye saja yang dilarang untuk melakukan politik uang. Padahal, dalam tataran teoretis maupun praktis, siapapun dapat melakukan politik uang sepanjang pelaku yang bersangkutan memiliki kepentingan atas menangnya peserta pemilu.

  • 4.    Kesimpulan

Pemerintah dan DPR telah mengkriminalisasikan perbuatan politik uang di dalam UU Pemilu. Rumusan tersebut diatur pada Pasal 523 UU Pemilu yang terdiri dari 3 (tiga) ayat. Ketiga konstruksi norma tersebut di atas memiliki kesamaan dalam unsur subjektifnya yang menandakan adanya kesalahan (schuld) dalam bentuk dolus. Unsur objektif yang terdapat pada ketiga norma tersebut juga menitikberatkan adanya larangan untuk memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada pemilih. Selain ditemukannya persamaan pada ketiga norma delik politik uang dalam UU Pemilu, terdapat pula perbedaan di antara ketiga norma tersebut. Perbedaan dimaksud secara jelas terlihat dengan adanya pembedaan delik berdasarkan waktu tindak pidana dan subjek tindak pidana. Pasal 523 ayat (1) melarang adanya politik uang pada saat kampanye dengan subjek tindak pidananya adalah pelaksana, peserta, dan tim kampanye. Pasal 523 ayat (2) melarang adanya politik uang pada saat masa tenang dengan subjek tindak pidananya adalah pelaksana, peserta, dan tim kampanye. Terakhir, Pasal 523 ayat (3) melarang adanya politik uang pada saat hari pemungutan suara dengan subjek tindak pidananya adalah setiap orang.

Adanya pemisahan berdasarkan waktu tindak pidana (tempus delicti) dan subjek tindak pidana pada Pasal 523 UU Pemilu menimbulkan problematika baru. Sebab, apabila terdapat subjek tindak pidana yang bukan penyelenggara, peserta, dan tim kampanye yang melakukan praktik politik uang pada masa kampanye dan masa tenang, maka terhadap pelaku tersebut tidak dapat dipidana berdasarkan UU Pemilu. Hanya penyelenggara pemilihan, peserta, dan tim kampanye saja yang dilarang untuk melakukan politik uang.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Efendi, Jonaedi dan Ibrahim, Johnny. Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris. (Depok, Premada Media Group, 2018), 123.

Huda, Ni’matul. Penataan Demokrasi & Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi. (Jakarta, Kencana, 2017).

Husen, Ode. Negara Hukum, Demokrasi, dan Pemisahan Kekuasaan. (Makassar, Social Politic Genius, 2019).

Jayus. Hukum Pemilu & Alternatif Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu. (Surabaya, Jakad Publishing, 2019).

Zuleha. Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Sleman, Deepublish, 2017).

Jurnal:

Adelina, Fransiska. “Bentuk-Bentuk Korupsi Politik”. Jurnal Legislasi Indonesia 16, No. 1 (2019). 59-75.

Amsari, Feri dan Hemi Lavour. “Menjerakan Pelaku Uang Mahar Pemilu”. Integritas: Jurnal Antikorupsi 5, No. 1, (2019). 97-110.

Chandra, M. Jeffri Arlinandes dan Jamaluddin Ghafur. “Peranan Hukum dalam Mencegah Praktik Politik Uang (Money Politic) dalam Pemilu di Indonesia: Upaya Mewujudkan Pemilu yang Berintegritas”. Wajah Hukum 4, No. 1 (2020). 52-66.

Fauzi, Agus Machfud. “Perilaku Pemilih Menjelang Pemilu 2019”. Journal of Islamic Civilization 1, No. 1, (2019). 40-48.

Fitri, Adelia. “Dinamika dan Hambatan Jelang Pemilu Presiden Tahun 2019”. KEMUDI: Jurnal Ilmu Pemerintahan 3, No. 1, (2018). 113-131.

Hafid, Irwan. “Penindakan Hukum Mahar Politik dalam Pilpres 2019 Ditinjau dari Politik Hukum Pidana”. Jurnal Adhyasta Pemilu 6, No. 2, (2019). 129-143.

Kholiq, M. Abdul. “Perilaku Politik Transaksi (Meninjau Fenomena Praktek Politik Uang Dalam Pemilu)”. Manarul Qur’an 13. No. 2, (2017). 94-105.

Moonti, Roy Marthen. “Dampak Politik Uang Terhadap Demokrasi”. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 4, No. 3, (2018).

Ramadhan, Nur. “Evaluasi Penegakan Hukum Pidana Pemilu dalam Peny.elenggaraan Pemilu 2019”. Jurnal Adhyasta Pemilu 6, No. 2, (2019). 115-127.

Permatasari, Dewi. “Pertanggung jawaban Pidana dalam Tindak Pidana Pemilu (Studi Terhadap Pelanggaran Pemilu di Indonesia)”. Jurnal Ilmu Hukum Mimbar Keadilan 2, No. 1 (2015), 219-228.

Satria, Hariman. “Politik Hukum Tindak Pidana Politik Uang dalam Pemilihan Umum di Indonesia”. Jurnal Anti Korupsi Integritas KPK 5, No. 1 (2018). 1-14.

Supriansyah, Mat. “Politik Uang dalam Pemilu Menurut Pandangan Hukum Islam dan Undang-Undang”. Diss. UIN Raden Intan Lampung, 2017.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun Nomor 6109)

Jurnal Kertha Wicara Vol. 9 No. 6 Tahun 2020, hlm. 1-9.